Marah-Marah Tak Jelas?

Drama Series 1943

Sejak aku menuduhnya berselingkuh di belakangku, sejak aku menemukan obat penguat dan aku menganggap kalau obat itu adalah milik suamiku. Sejak itu juga dia bersikap dingin padaku, walau aku berusaha untuk mendekatinya namun usahaku tak membuahkan hasil. Malam ini tiba-tiba aku terbangun karena tangisan Syana yang begitu kencang.

‘’Ya Allah, Nak? Adek kenapa?’’

Walaupun tubuh terasa agak pusing karena tangisan si bungsu membuatku kaget langsung duduk, namun aku tetap bergegas mengambil si bungsu yang tengah tertidur. Kubawa turun dari tempat tidur lalu aku mencoba untuk mengayunnya. Namun, nihil. Syana tetap menangis dengan kencang.

‘’Kamu nggak bisa ya membujuk anak kamu? Nganggu orang tidur aja,’’ ketus Mas Nando yang membuat aku terperanjat, dia langsung memunggungiku.

Anak kamu? Dia bilang Syana hanya anak aku? Bukankah dia yang menghamiliku? Tentu Syana juga anak dia. Sepertinya bukan Mas Nando yang kukenal.

‘’Anak kamu? Ini anak kamu juga loh, Mas. Kamu tahu enaknya saja. Kalo lagi begini kamu malah nggak mau membantu aku. Udah nggak mau bantu, eh malah mengomel nggak jelas,’’ ketusku.

Kini baru aku tahu bahwa lelaki itu mau yang enak saja, contohnya ketika menjalankan kewajiban sebagai suami istri. Lalu setelah benih yang ditanamnya itu tumbuh di rahim wanita, eh si lelaki malah jarang mengurus anaknya. Bahkan tak mempedulikan si anak. Lebih parahnya lagi dia mengatakan kalau anak itu cuman anak istrinya.

Padahal yang membuat hamil itu si suami, tanpa adanya suami tentu seorang anak tak kan hadir. Seharusnya dia juga mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Memang aku tak habis pikir dengan sikap Mas Nando akhir-akhir ini. Dia jauh berbeda. Dia sungguh berubah.

Syana tetap tak mau diam, padahal sudah berbagai macam cara aku lakukan agar dia diam. Aku sudah mengobati perutnya dengan minyak kayu putih, jika perutnya terasa sakit. Lalu memberikannya ASI mungkin dia haus dan lapar pikirku. Namun, itu semua tak membuat dia diam dari tangisannya. Malah tangisan Syana makin kencang.

‘’Duuh, nganggu orang tidur aja!’’ Suamiku itu langsung membawa bantal dan pergi ke luar dari kamar.

Membuat aku menggeleng dengan sikapnya yang berbeda. Dulu semasa Akram bayi, Mas Nando-lah yang membantu aku untuk membujuk Akram jika dia menangis terbangun di malam hari, sedangkan aku tengah terlelap. Dia memilih membujuk putra kami seorang diri tanpa mau membangungkannya. Alasannya karena dia tak tega membangunkanku yang tengah beristirahat. Bahkan siang hari pun dia membantuku untuk bermain dengan anak kami. Kini? Semua itu sudah terlihat sangat berbeda.

Padahal ini anak ketiga kami. Seharusnya dia lebih giat membantu aku dalam mengurus ketiga anak kami. Apalagi ketiganya yang masih kecil-kecil. Dulu aku pernah meminta izin pada suami untuk KB, namun dia marah padaku. Katanya anak itu rezeki dari Allah. Dia lebih suka memiliki banyak anak dariku, katanya begitu. Tapi, kini kenyataannya malah berbeda. Kalau tahu aku akan begini, aku akan masuk KB secara diam-diam tanpa pengetahuan Mas Nando.

Setelah setengah jam Syana menangis akhirnya dia terlelap juga di pangkuanku, dengan pelan kuletakkan ke ayunannya karena tanganku sudah terasa penat sekali menggendong si bungsuku sejak tadi. Kupandangi benda yang melingkar di dinding, pukul 01.00? Ya Allah, ternyata masih tengah malam. Pantas saja mataku ini perih sekali. Aku mengusap bola mata berulangkali. Mataku beralih menatap tempat tidur. 

‘’Ternyata kamu beneran tidur di luar, Mas? Kenapa sih kamu sekarang beda banget,’’ gumamku sambil memandangi tempat tidur yang tak ada lagi bantal Mas Nando di sana.

Muncul di benakku ribuan pertanyaan. Kenapa sikapnya jauh berubah sekali? Apa karena aku telah menuduhnya berselingkuh di belakangku? Tapi, kan aku sudah mengakui kesalahan dan meminta ma’af dengan tulus padanya. Apa dia semarah itu padaku hingga mengacuhkanku, hingga bersikap dingin pada istrinya ini.

Itu juga berimbas pada Syana, dia tak mau membantuku untuk membujuk buah hati kami. Dia malah marah tak jelas karena suara Syana membuat dia terganggu tidur. Ah, aku tak habis pikir dengan suamiku itu, kalau dia marah dan kesal padaku tak harus melibatkan Syana juga yang tak tahu apa-apa.

Aku menggeleng. Daripada memikirkan perangai Mas Nando yang tak jelas, lebih baik aku rebahkan dulu tubuh yang terasa capek ini. Nanti kalau Syana terbangun lagi malah aku tak bisa beristirahat sama sekali. Ternyata aku terlelap dengan pulas. Kuusap bola mata dengan pelan lalu meraba kasur di sebelahku.

‘’Ya Allah! Apa Mas Nando masih tertidur di luar?’’

Kuedarkan pandangan pada benda yang melingkar di dinding. Pukul 08.00? Ya Allah? Aku sungguh terperanjat. Ternyata aku bangun kesiangan karena lelah semalam menggendong Syana yang sedang rewel. Seketika teringat olehku putra pertamaku yang akan sekolah hari ini pasti dia sedang tertidur pulas juga.

‘’Akram?’’ Aku langsung berlari menuju kamar kedua anakku.

‘’Adnan? Abang kamu mana, Nak?’’

Aku terkesiap memandangi kamar yang berhiasan gambar Upin Ipin itu, cuman ada Adnan di dalam kamarnya yang tengah asyik bermain dengan ultramen yang kubelikan beberapa bulan nan lalu.

‘’Aklam cekolah, Ma.’’

‘’Sekolah?’’ ulangku karena saking kagetnya, Adnan langsung mengangguk.

‘’Tadi Ante Eja yang mandiin Aklam.’’

Aku mengusap muka dengan kasar. Ya Allah! Karena aku ketiduran, wanita lain yang mengurus anak-anakku.

‘’Trus Adnan udah sarapan, Nak?’’ Dia menyahut dengan anggukan.

Aku menghela napas dengan kasar. Reza juga yang memasak sarapan? Lalu aku bagaimana? Seharusnya itu semua tugasku sebagai orangtua, sebagai istrinya Mas Nando. Tugas Reza itu cuman bantu-bantu di toko dan sesekali beberes rumahku kalau aku tengah repot mengurus anak-anakku. Kalau begini yang ada suamiku malah makin mengacuhkanku karena tak becus mengurus dia dan anak-anak. Dia tak kan tahu bagaimana lelahnya aku semalam yang sendirian membujuk Syana yang menangis kencang di tengah malam.

Seketika aku terdengar ponsel yang tengah berdering di kamarku.

‘’Adnan main dulu ya. Mama mau ngangkat telpon.’’ Aku langsung melangkah ke kamar tidur lalu meraih ponselku. Sangat jelas terpampang di layar ‘Reza call’.

‘’Assalamua’laikum, Mba. Ma’af ya, tanpa seizin Mba aku udah ngantar Akram langsung ke sekolah. Aku nggak tega bangunin Mba yang sedang terlelap pulas.’’

‘’Wa’alaikumsalam, Za. Nggak apa-apa. Ma’af udah merepotkan kamu. Seharusnya itu adalah tugasku. Ma’af banget ya. Kamu jadi repot mengurus anak-anakku dan kamu bikin sarapan juga,’’ lirihku.

Walaupun aku berkata ‘tak apa-apa’ namun di hatiku agak terasa lain. Wanita lain yang mengurus anak-anakku dan tak menutup kemungkinan suamiku juga. Apa iya? Kenapa aku merasa seperti ini? Tidak, aku tak ingin wanita lain bisa mengambil hati anak-anakku, apalagi suamiku. Namun, aku sudah terlanjur memberikannya izin untuk jadi karyawan di tokoku. 

‘’Apa dia kucarikan saja tempat kerja yang lain? Mencegah sebelum terjadinya sesuatu yang nggak kuinginkan. Tapi, tentu harus dengan cara.’’

Baiklah nanti akan kupikirkan bagaimana caranya agar wanita itu bekerja di tempat yang lain saja.

‘’Nggak merepotkan sama sekali kok, Mba. Aku seneng banget bisa mengurus anak-anaknya Mba. Mereka udah kuanggap anak sendiri.’’

‘’Hem, maksudku udah aku anggap keluargaku.’’ Seketika terdengar olehku suara yang tak asing lagi bagiku tengah memanggil Reza.

‘’U—udah dulu ya, Mba. Aku dipanggil sama Mas Nando kayaknya pembeli ramai pada datang.’’

‘’Ya udah, Za.’’

Telepon sepihak pun terputus. Seketika membuatku termangu. Apa ada sesuatu yang dilakukan mereka tatkala di belakangku? Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang tengah terjadi. Tapi, kuharap itu semua cuman perasaanku saja. Aku berusaha menepis semua prasangka buruk yang menghantuiku.

‘’Cemburu seorang istri ke suaminya itu hal yang wajar, Sya. Tapi jangan berlebihan ya. Dan berprasangka yang baik-baik saja.’’ Aku berusaha mengingatkan diriku sendiri.

***
Ponselku seketika berdering. Langsung aku meraihnya. Mama?

‘’Assalamua’laikum, Ma?’’

‘’Wa’alaikumsalam, Sya.  Gimana kabar kamu, sehat?’’

‘’Alhamdulillah sehat, Ma.’’

‘’Syukurlah. Cucu-cucu Mama sehat juga kan? Suami kamu?’’

‘’Alhamdulillah semuanya sehat, Ma.’’

‘’Itu yang penting, Sya. Mama senang banget kalo kalian di sana sehat semua.’’

‘’Gimana? Kamu pulangkan siap lebaran tahun ini?’’

‘’Kayaknya nggak bisa, Ma. Kan Syana masih kecil. Nanti kalo Syana udah berumur dua tahun baru bisa dibawa pulang, Ma.’’

‘’Loh dua tahun? Lama banget, Sya. Mama kan kangen banget sama cucu-cucu Mama juga sama kamu,’’ lirih Mama yang membuat hatiku tercubit.

Ya, bukannya aku tak mau pulang ke kampung halaman untuk lebaran ini. Tapi, si bungsu masih kecil tak bisa dibawa dalam perjalanan jauh. Dari sini ke kampung halamanku memang begitu jauh, berangkat siang dan sampainya besok pagi. Kalau Mama yang kusuruh ke sini dan tinggal bersamaku, tentu beliau tak kan mau.

Dulu aku pernah mengajak Mama untuk tinggal bersamaku dan suami, beliau malah langsung menolak. Alasannya Mama tak biasa hidup di rantau orang dan rumah siapa yang akan menjaga. Padahal Papa sudah lama meninggal, aku yakin beliau merasa sepi dan lain rasanya. Tapi, beliau tetap bersikeukeh untuk tetap di kampung. 

‘’Mama yang sabar ya. Sya, akan bicarakan dulu sama Mas Nando. Tentu menunggu Syana agak besar dulu, Ma. Setidaknya udah bisa dibujuk. Supaya nanti kalo dia rewel di jalan nggak repot.’’

‘’Iya deh. Mama pun mengerti, apalagi cucu Mama kecil-kecil. Ya udah, Mama mau melanjutkan beberes rumah dulu. Sampaikan salam Mama ke suami kamu ya.’’

‘’Iya, Ma. Tapi jangan terlalu capek ya, Ma. Sebisa Mama aja.’’

‘’ Kamu tenang aja, Nak. Malahan Mama banyak istirahat akhir ini.’’

‘’Oh ya, apa kamu udah dapat karyawan untuk bekerja di tokomu?’’ Aku terkesiap dengan pertanyaan Mama.

‘’Apa aku harus jujur ke Mama kalau karyawanku itu Reza? Tapi, Mama pasti marah banget. Kan secara Mama tahu bagaimana pakaian wanita itu.’’

‘’La—lagi nyari, Ma,’’ sahutku terbata.

Ma’af, Ma. Aku terpaksa berbohong kali ini. Biarkan aku mencari cari agar Reza tak bekerja lagi di tokoku. Aku akan mengusahakan untuk mencari pekerjaan untuk Reza atau aku bicara langsung sama suami.

‘’Kalo nyari karyawan itu yang sopan pakaiannya dan rajin solat. Kamu paham kan maksud Mama?’’ Membuat hatiku tercubit mendengar saran dari Mama.

Dalam hati aku membenarkan ucapan beliau. Tapi, apalah daya kini aku dihadapkan pada situasi yang tak kuinginkan, terasa berat olehku. Aku mengira wanita itu udah berubah pakaiannya. Namun, tak sesuai perkiraanku. Pakaiannya tetap seperti dulu ketika aku pulang dari rantau dan bertemu dengannya di jalan. Pakaian ketat, menampakkan lekuk tubuh, tak berlengan, dan membiarkan rambut pirangnya tergerai.

Apalah daya, aku sudah terlanjur menerimanya dikarenakan aku yang iba pada anaknya yang ditelantarkan oleh mantan suaminya, tentu anak itu butuh biaya untuk sehari-hari. Makanya aku mau menerima wanita itu dengan meminta izin pada suamiku. Ya, walaupun akhir-akhir ini firasat aku tak enak memandangi wanita itu, namun aku harus punya  bukti. Tapi, aku berharap firasatku salah dan semuanya baik-baik saja.

‘’Semoga semuanya baik-baik saja.’’

Bersambung.

Terima kasih banyak yang sudah membaca karyaku yang sederhana ini. Bantu support terus yah Guys dengan cara follow akunku, like, komentar, dan share novelku ini ya, biar aku lebih semangat melanjutkanya. Semoga kalian sehat selalu dan selalu dilancarkan rezekinya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience