Menemukan Obat Penguat?

Drama Series 1943

‘’Kenapa nggak kamu aja yang masak, Za?’’

Membuat aku terkesiap. Apa aku salah dengar? Tidak, aku tak mungkin salah dengar. Aku saja duduk berdekatan dengan Mas Nando. Dan telingaku ini tak mungkin budeg, ia masih berfungsi dengan baik. Hati ini sungguh perih mendengar ucapannya itu, apa maksud lelakiku ini? Apa dia tak menyukai masakanku, masakan istrinya sendiri?

Itu berarti dia lebih menyukai masakan wanita lain daripada masakanku sendiri? Ya Allah, hatiku perih. Sungguh perih! Selama ini kami hidup bersama, dia tak pernah komentar tentang masakanku, dia tak pernah mengatakan tak suka dengan apa yang kumasak. Namun, kini kenapa  berbeda? Ada apa ini?

‘’Kamu bilang apa barusan, Mas?’’ tanyaku dengan nada suara meninggi dan berusaha menahan rasa sakit hatiku.

‘’A—anu. Maksud aku, kenapa nggak Reza aja yang masak. Kan kamu ngurus anak-anak kita. Pasti capek kan?’’

Dasar lelaki! Dia bisa saja mengelokkan anak lidahnya. Sudah jelas aku mendengar ucapannya itu yang menginginkan masakan Reza.

‘’Akram, udah selesai kan sarapannya? Saatnya berangkat sekolah ya,’’ kataku yang beralih menatap Akram yang terheran-heran memandangi Papanya. 

‘’Iya, Ma. Akram berangkat dulu.’’ Bergegas dia menyalami tanganku, lalu beralih menyalami tangan Mas Nando dan juga Reza.

‘’Hati-hati, Nak.’’

Putraku itu langsung meninggalkan ruang makan. Sedangkan aku masih menatap tajam ke arah Mas Nando. Seketika tangannya mengenggam erat jemariku, aku berusaha untuk melepaskan namun kekuatannya mengalahkan kekuatanku.

‘’Istriku ini memang pencemburu banget, Za. Jadi kamu harap maklumin aja ya.’’

Dia mengecup tanganku dengan lembut. Baru kali ini dia bersikap romantis padaku di depan orang lain. Entah kenapa membuat hatiku sedikit terobati.

‘’Istri mana yang nggak akan cemburu. Suaminya menginginkan wanita lain yang memasak untuknya,’’ bisikku di telinga Mas Nando. Eh dia malah seperti orang yang budeg. Apa dia sengaja?
 

***

Daripada aku berpikiran buruk pada suamiku. Akan lebih baiknya aku ke toko melihat dengan sendirinya. Apa memang suamiku itu mulai tertarik pada Reza sehingga sikapnya akhir-akhir ini agak lain menurutku. Apa saja yang mereka lakukan di sana. Lebih baik aku ke sana, mumpung kedua anakku tak rewel. Apalagi aku sudah lama tak menginjakkan kaki ke toko, biasanya aku dan suamilah yang melayani pembeli.

‘’Za, mumpung Adnan dan Syana nggak rewel. Jadi aku mau ke toko nanti. Biar kamu nggak terlalu repot,’’ jelasku. Namun, tak ada respon di seberang sana. 

‘’Za? Kamu denger aku kan?’’

‘’I—iya, Mba.’’

‘’Aku dan anak-anakku mau ke toko nanti,’’ ulangku kemudian.

‘’Jangan, Mba.’’

‘’Jangan? Maksud kamu?’’ Alisku terangkat dengan suara meninggi.

‘’Ma—maksudku Mba kan harus mengurus si kecil. Kalo Mba ke sini, dia rewel nanti gimana?’’

‘’Lagian kalo dia rewel pasti Mba nggak akan bisa melayani pembeli,’’ lanjut Reza kemudian.

Dalam hati aku membenarkan ucapan wanita berambut pirang itu, namun di sisi lain aku ingin sekali ke toko kami yang sudah lama aku tak menginjakkan kaki ke sana. Ya, sejak Syana lahir aku tak pernah lagi ke toko. Biasanya aku dan suamilah yang melayani pembeli. Apalagi aku ingin memata-matai suamiku itu, karena perilakunya menurutku agak berubah padaku. Ditambah dia yang selalu memuji wanita yang bernama Reza itu.

Awas saja kalau kamu benaran bermain di belakangku. Sebelum berangkat ke toko, aku berdandan terlebih dahulu. Ya, walaupun akhir-akhir ini suamiku tak suka jika aku berdandan. Sungguh aneh sikapnya akhir-akhir ini. Tapi, biar bagaimana pun juga aku memang harus berdandan. Jika aku tak berdandan nanti malah kalah saing sama Reza bagaimana?

Tak berselang lama aku sudah selesai berdandan, kedua anakku juga sudah berpakaian rapi. Syana kugendong, sedangkan Adnan kuiringi sambil memegang tangannya. Aku memilih untuk pakai angkot saja ke sana biar cepat sampai.

Tak berselang lama aku dan kedua anakku sudah tiba di depan toko yang bermerk ‘’ Akram Passion’’ Memang Mas Nando dan aku sengaja memberi nama toko kami dengan nama anak putra pertama kami, karena toko itu memang diperuntukkan untuk Akram ketika dia masih bayi, walaupun toko itu usaha suamiku sebelum menikahiku. Aku tersenyum bahagia menatap toko yang kurindukan itu, bagaimana tidak. Sejak mengandung Syana hingga dia lahir  sampai sekarang, baru kali ini aku menginjakkan kaki di toko kami ini.

‘’Makasih, Pak.’’ Aku langsung memberikan ongkosnya pada Bapak Sopir angkot, dia mengangguk lalu angkotnya pun melaju kembali. 

‘’Papa pasti senang, Ma,’’ kata Adnan, aku hanya tersenyum lalu bergegas membawa kedua anakku.

Tampak pembeli lumayan ramai, mungkin karena sebentar lagi bulan ramadhan. Tentu mereka mengambil kesempatan sekarang untuk bisa membeli baju lebaran, kalau sudah dekat lebaran tentu akan mahal harganya.

‘’Assalamua’laikum, Pa. Kami datang.’’

‘’Ma—Mama? Kok nggak bilang ke Papa mau ke sini?’’ Aku menghela napas kasar. Bukannya menjawab salam istrinya, malah bertanya yang tak penting.

‘’Jawab salam dulu,’’ kesalku yang bergegas membawa kedua anakku memasuki toko.

‘’Wa’alaikumsalam.’’

‘’Maksud Papa itu, Mama kenapa nggak ngabari dulu mau ke sini? Biar Papa bisa membersihkan kamar untuk anak kita biar mereka nyaman bermain di dalam,’’ katanya lembut. Tumben ucapannya selembut ini.

‘’Biarkan Mama  yang membersihkan. Papa fokus melayani pembeli aja.’

***

Kamar ini sudah lama tak kubersihkan, kalau Mas Nando mana bisa bebersih. Aku langsung bergegas menyapu dan memunguti sampah yang berserakan di ruang kamar yang selalu kami jadikan tempat melepaskan penat. Tak lupa kubereskan juga tempat tidurnya.

Aku terkesiap tatkala merapikan bantal. 

‘’Obat penguat? Mas Nando nggak pernah pake obat ini setahuku. Lalu ini punya siapa?’’

‘’Kalo bukan dia yang makai obat ini, lalu siapa?’’

Kepalaku seketika berdenyut, ribuan pertanyaan muncul di benakku. Dada ini seketika sesak dan entah kenapa hatiku jadi tak enak tatkala menemukan obat ini. Pikiran buruk menghantuiku.

‘’Aku harus tanyakan sama Mas Nando sekarang juga. Ya, aku harus tanyakan.’’

Kubiarkan Syana terlelap di tempat tidur kecil yang sengaja disediakan oleh Papanya, sedangkan Adnan tengah bermain robot-robotan. Aku langsung menemui suamiku, ternyata dia tengah melayani pembeli.

‘’Mba Naisya? Udah lama nggak muncul. Ke mana aja? Kok aku nggak pernah nampak Mba?’’

Wanita yang kutaksir dibawahku umurnya, dia tersenyum manis memandangiku sambil menunggu Mas Nando membungkus barang yang dibelinya. Ya, dia memang pelanggan kami, pelanggan setia.

‘’Aku sibuk ngurus Syana. Sejak mengandung memang aku lebih memilih istirahat di rumah,’’ kataku sambil tersenyum.

‘’Jadi Adnan punya adik? Wah, aku nggak tahu tuh. Kalo aku tahu pasti udah datang ke rumahnya, Mba.’’

Aku hanya mengangguk, sedangkan wanita itu langsung menyodorkan uangnya pada suamiku. Aku jadi tak sabar menunggu para pembeli untuk pergi dari sini, supaya aku bisa bicara bebas dengan lelaku ini. Aku akan bertanya padanya, akan kuminta penjelasan dari Mas Nando tentang obat penguat itu.

Tak berselang lama toko sudah tampak sepi, sedangkan Reza tengah merapikan baju-baju yang tergantung dengan hanger di belakang. Aku langsung menghampiri suamiku yang tengah menghitung uang.

‘’Mas, ini punya siapa? Aku minta penjelasan sama kamu dan tolong kamu jawab dengan sejujur-jujurnya,’’ ketusku yang menekankan ucapan di akhir katanya.

Kusodorkan pada suamiku obat yang tadi kutemukan di bawah bantal. Seketika dia terkesiap, jelas dari raut mukanya. Membuat pikiran buruk kembali menghantuiku. Padahal aku sudah berusaha untuk menepis semua prasangka buruk itu.

‘’Ka—kamu dapat dari mana ini?’’ Ekspresinya berubah. Tadinya kaget, malah sekarang tersenyum dengan mata melotot. Bukannya pertanyaan istrinya yang dijawab, eh dia malah bertanya balik.

‘’Mas? Tanya aku jawab dong! Bukan malah nanya balik. Gimana sih kamu,’’ kesalku sambil melotot ke arahnya.

‘’Jadi ini yang membuat kamu kesal dan marah sama Mas?’’ Dengan spontan dia langsung merebut obat penguat itu dari tanganku.

‘’Kamu udah salah paham, Sya.’’ Dengan lembut suamiku berkata, tangannya terangkat membelai tanganku. Aku berusaha menepis dengan kasar.

‘’Hei! Dengarkan dulu aku ini, Sayang.’’

‘’Ini bukan punya aku. Kemarin ada suami istri yang belanja pakaian di toko kita. Karena istrinya pusing, jadi Mas suruh untuk istirihat di sini sementara. Tentunya bersama dengan suaminya yang menemani. Nah, obat ini punya mereka yang ketinggalan.’’

‘’Kamu kan tahu, Mas kalo bermain sama kamu itu nggak perlu pake ini. Kamu tahu itu kan?’’

‘’Iya, aku tahu. Tapi, mana tahu Mas make ini untuk wanita lain.’’ Kukeluarkan apa yang tengah mengganjal di pikiranku. Eh, dia malah tertawa besar. Lalu membuang obat itu ke tempat tong sampah yang tak jauh dari tempat duduknya.

‘’Sya, kamu itu karena kebanyakan membaca novel deh. Nggak baik loh berprasangka buruk sama suami sendiri. Kamu kan tahu, sejak dulu di hati aku itu cuman ada kamu.’’

‘’Mana tahu kamu sama Reza—‘’

‘’Sssttt. Reza itu bukan tipenya aku. Tipe aku itu wanita kayak kamu, wanita sholehah.’’ Lelakiku itu meletakkan telunjuknya di bibirku.

‘’Kamu harus percaya sama aku, suami kamu sendiri. Ya udah, aku mau melayani pembeli dulu. Hilangkan pikiran buruk itu, Sya. Aku yakin kamu bisa percaya sama suamimu ini. Aku nggak akan macam-macam kok.’’

Dia bergegas bangkit dan melayani para pembeli. Sedangkan aku tengah termangu. Kenapa aku seperti tak percaya dengan semua ucapan suamiku? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang tengah disembunyikannya?

‘’Apa kamu masih nggak percaya? Sya, aku ini tahu dengan dosa loh. Kalo aku bermain dengan wanita lain, wanita yang nggak sah untukku. Tentu aku akan berdosa besar dan aku akan mendapat balasan atas apa yang aku perbuat. Aku takut akan hal itu, Sayang.’’

Membuat aku terharu dengan ucapannya. Kini timbul rasa bersalah di hatiku, karena aku sudah berpikiran buruk pada suamiku. 

‘’Ma—ma’afkan aku ya, Mas,’’ lirihku dengan merasa sangat bersalah. Namun, dia bergegas meninggalkanku yang masih termangu di kasir.

‘’Aku harus melayani pembeli. Nanti kita bicara lagi,’’ sahutnya datar. Aduh, sepertinya Mas Nando benaran marah atas tuduhanku ini.

"Ta--tapi kok aku merasa ada yang janggal, ya? Apa cuma perasaanku aja?" gumamku dalam hati.

Bersambung.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience