Keesokannya.
Pagi begini tubuhku terasa lemas dan panas, sepertinya aku telat bangun. Kuusap bola mata dengan pelan lalu memandangi benda yang melingkar.
‘’Tuh kan benar. Aku malah telat bangun lagi,’’ keluhku sambil memandangi benda di dinding.
Beralih aku menatap ke arah sampingku. Mana Mas Nando? Cuman ada ketiga anakku yang tengah terlelap. Biasanya Adnan dan Akram tidurnya di kamar mereka. Namun, karena mereka lebih duluan terlelap aku jadi tak tega membangunkan.
Alhasil kami tidur bersama dalam keadaan bersempit-sempit. Ke mana ya suamiku? Apa dia sudah pergi ke toko sepagi ini? Kok tumben tak memberitahuku dan tak biasanya dia pergi sepagi ini. Aduh, lebih baik aku berwudhu’ dulu sebelum mentari pagi bersinar. Aku hendak berdiri, namun tubuhku terasa sakit dan lemas.
‘’Kayaknya aku demam deh. Tapi aku harus kuat. Apalagi nanti aku mau bikini sarapan untuk suami dan anak-anakku.’’
Aku memaksa diri untuk tetap bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Walaupun kini sudah menunjukkan pukul 6 lewat, aku harus solat. Kata Mamaku, jika telat bangunnya sedangkan kita belum solat itu tidak apa-apa. Langsung saja melaksanakan solat daripada tak solat sama sekali. Ya, aku memang tak punya banyak ilmu agama, karena aku hanya tamatan SD.
Tapi, aku tetap tahu bahwa solat itu adalah suatu kewajiban bagi umat Islam dan juga menutup aurat itu suatu kewajiban bagi para muslimah yang sudah balig. Beberapa menit kemudian aku telah selesai melaksanakan solat. Kulihat anak-anakku masih tertidur pulas. Seketika hidungku mencium sesuatu.
‘’Kok kayak ada yang lagi masak ya?’’
Aku langsung membuka mukena dan melangkah dengan pelan ke luar dari kamar menuju dapur. Kudapati wanita berambut sebahu yang berpakaian baju tak berlengan itu tengah memasak. Bergegas kuhampiri.
‘’Za? Ya Allah, kenapa kamu yang masak? Padahal aku rencananya mau masak loh.’’
‘’Nggak apa-apa, Mba? Itu kok suara Mba kayak gitu, apa Mba sakit?’’ Dia tersenyum lalu menghentikan tangannya bekerja.
‘’Aku kurang enak badan aja, Za. Lemes aja bawaannya,’’ sahutku lirih.
‘’Ya udah, Mba istirahat aja. Sebentar lagi aku selesai masak kok. Biar aku aja yang menyiapkan sarapannya ya.’’ Seketika mampu membuatku termenung.
‘’Wanita ini kayaknya baik. Tapi, yang nggak aku suka pakaiannya yang….’’ Monologku dalam hati.
Aku menghela napas pelan.’’ Makasih ya, Za. Kamu udah membantu pekerjaan aku.’’
Dia menyahut dengan anggukan lalu senyumannya mengembang, sedangkan tangannya masih sibuk bekerja. Aku yang akan melangkah namun terhenti.
‘’Za? Itu baju kamu bisa diganti nggak?’’
Karena aku semakin risih membuat ucapan yang hendak aku keluarkan spontan terucap saja. Kemarin masih mendingan bajunya, masih ada lengan walaupun tak memakai kerudung. Lah, sekarang? Tak ada lengannya, membuat ketiak wanita itu tampak jelas. Untung saja suamiku sedang tak berada di rumah.
‘’Aku nyaman pake baju kayak gini, Mba. Udah biasa di rumah,’’ sahutnya dengan enteng. Seketika membuat aku beristigfar dalam hati lalu mengelus dada agar bisa sabar.
‘’Mama?’’ Ternyata Akram, anak pertamaku sudah bangun.
‘’Mama itu siapa?’’
Kali ini Adnan yang bertanya dengan suara berbisik, anak keduaku yang berumur enam tahun kurang. Aku menoleh. Ya, kemarin malam mereka sudah pada terlelap dan belum sempat aku memperkenalkan Reza pada kedua anakku.
‘’Hallo?’’ sapa Reza.
‘’Ini Tante Reza namanya. Tante ini akan tinggal sama kita,’’ jelasku sambil tersenyum memandangi kedua putraku. Mereka berucap ‘oh’ serempak.
‘’Coba perkenalkan dulu nama kalian, Nak.’’
‘’Aku Akram, Tante.’’
‘’Ini adikku namanya Adnan.’’ Si Abang malah mewakili adiknya untuk bicara.
Ya, Adnan memang pemalu sekali. Apalagi bicara dengan orang yang baru dikenalnya. Berbanding terbalik dengan Kakaknya Akram yang lebih pemberani dan suka bicara.
‘’Wah, nama kalian bagus yah. Ganteng lagi.’’
Bergegas kucari sesuatu di kulkas untuk meredakan rasa sakit ditenggorokanku dan suapaya tubuhku berkurang lemasnya.
***
Tak berselang lama, Mas Nando datang. Aku mengerjap pelan.
‘’Mas? Lah, Mas dari mana sepagi ini? Mana belum sarapan lagi,’’ kataku yang memandangi suami memasuki kamar.
‘’Aku dari toko. Ada barang baru yang masuk. Barang itu datang cepat ternyata. Tadi aku ditelpon sama orangnya.’’ Dia menghenyak di tempat tidur.
‘’Kalo gitu aku mandi dulu. Tadi belum sempat mandi karena buru-buru.’’
Belum selesai aku menyahut ucapannya suamiku malah bergegas melangkah ke luar sambil menyambar handuk. Sedangkan aku masih memakaikan seragam sekolahnya Akram.
‘’Sarapan dulu ya, Nak. Setelah itu baru berangkat sekolah. Kan sekarang kamu upacara, nanti telat.’’ Aku masih memasangkan kancing baju putihnya.
‘’Iya, Ma. Tapi Mama nggak ngantarin Akram?’’
‘’Nggak bisa, Sayang. Kan Adnan adik kamu belum mandi. Syana juga belum bangun. Nanti kalo Mama ke sekolah takutnya Syana bangun lagi.’’
‘’Akram pasti bisa. Kan udah gede, Sayang,’’ bujukku lembut.
***
‘’Mas mau tambah lagi?’’ tanyaku yang melihat nasi di piringnya tak lagi bersisa.
Selahap itukah dia sarapan? Selama ini dia hidup bersamaku, namun tak pernah dia makan selahap ini. Ya, baru kali ini. Tapi sayang yang memasak itu adalah wanita lain, karyawan toko kami.
‘’Kamu tau aja,’’ sahut suamiku yang menyodorkan piringnya padaku. Aku langsung menambuhkan nasi ke piring Mas Nando.
‘’Sayang, kalian mau tambah nasinya nggak?’’ Reza melirik kedua anakku.
‘’Mau banget, Tante. Habisnya enak,’’ ungkap si Abang yang tengah belemotan mulutnya.
‘’Jangan sampe kena baju putihnya, Nak,’’ kataku mengingatkan.
‘’Siapa sih yang masak seenak ini? Mama yang masak?’’ Lelakiku itu melirik sejenak padaku lalu kembali fokus menyuap nasinya. Seketika aku tersenyum tipis. Sayangnya itu bukan masakan aku.
‘’Reza yang masak, Mas,’’ lirihku seadanya.
Entah kenapa begitu terasa berat olehku mengatakan hal ini. Tapi, aku harus mengatakan seada dan sejujurnya. Memang kuakui wanita yang bernama Reza ini masakannya ternyata lebih enak ketimbang dari aku. Wanita ini ternyata punya sisi kelebihan dari segi memasak, walaupun pakaiannya terlihat tak sopan.
Tangannya seketika terhenti lalu beralih menatap wanita yang bernama Reza itu. Entah kenapa hatiku jadi mulai memanas melihat suami menatap wanita lain di depanku.
‘’Wah wah. Kamu memang wanita idaman banget, Za. Jarang loh ada wanita serba bisa kayak kamu.’’ Seketika seperti ada yang terbakar.
Ya, di hatiku terasa makin panas. Ya Allah, dia memuji wanita lain? Kenapa harus di depanku jika hendak memuji wanita lain? Wanita yang dipujinya malah tersenyum manis memandang ke arah suamiku. Membuat selera makanku lenyap. Aku langsung menyudahi sarapanku yang masih tersisa sedikit nasi.
‘’Nak, Abang udah selesai sarapan? Langsung berangkat sekolah ya.’’
‘’Iya, Ma. Akram berangkat dulu.’’ Si Abang langsung menyalami tanganku, lalu Papanya dan juga Reza, wanita itu tersenyum memandangi anakku.
‘’Hati-hati ya, Nak. Jangan hilang uang yang Mama kasih.’’
‘’Iya, Ma,’’ sahut anak pertamaku tanpa menoleh.
Ya, sekolahnya tak begitu jauh dari sini. Apalagi jalannya kecil, kendaraan hanya satu dua yang melintas. Makanya aku memilih tak mengantarkan putraku itu. Adnan belum mandi, ditambah si bungsu belum kunjung bangun.
Dia juga pernah beberapa kali pergi sekolah sendirian jika aku tengah sibuk mengurus kedua adiknya.
‘’Ma? Anan main dulu ya.’’ Aku menyahut dengan anggukan.
Anak keduaku ini menyebut namanya dengan Anan, logatnya belum lurus.
Sementara aku masih terdiam, lebih tepatnya aku hanya ingin diam. Begitulah aku jika terlampau sakit hati, maka aku memilih untuk diam saja terlebih dahulu.
‘’Sya, kamu harus banyak belajar tuh sama Reza. Biar kamu pinter masak kayak dia.’’
‘’Maksud kamu apa, Mas?’’ cecarku dengan menatap tajam ke arah suami.
‘’Hem, maksudku itu kamu harus minta resepnya Reza biar masakanmu tambah enak.’’
Dia memperbaiki ucapannya. Namun, itu tak kan bisa mengembalikan hatiku yang sudah terlanjur sakit. Aku tersenyum kecut.
‘’Iya, Mas,’’ sahutku datar sambil memandangi wanita yang bernama Reza itu.
Dia masih menyantap sarapan tanpa mempedulikan kami. Kali ini aku mengalah, Mas. Karena tak mungkin aku bertengkar di depan Reza yang baru sehari tinggal di sini, aku masih ada rasa segan.
***
‘’Mba? Ma’afkan aku ya.’’ Wanita itu menghampiri aku yang tengah duduk mencari angin di teras.
‘’Ma’af buat apa, Za?’’ Aku tahu ke mana arah ucapannya, namun aku berpura-pura tak paham dengan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh wanita berambut pirang itu.
‘’Ya, tadi sikap Mas Nando ke aku.’’
‘’Hem, maksudku laki-laki itu memang kayak gitu kok Mba. Kalo dia sesekali makan masakan orang lain pasti dibilangnya enak,’’ jelasnya panjang lebar.
‘’Nggak apa-apa. Emang masakan kamu enak kok.’’ Aku berkata tanpa memandangi wanita itu.
‘’Kamu jadikan menyusul Mas Nando ke toko?’’ Kualihkan ucapanku. Tak ingin berlama-lama membahas sesuatu yang membuat moodku berantakan dan hatiku sakit.
‘’Hem, jadi kok, Mba. Alamatnya juga udah dikirimkan sama Mas Nando ke aku.’’
‘’Syukurlah. Tapi, tolong pakaian kamu agak sopan ya.’’
‘’Maksudkuu, pelanggan Mas Nando itu lebih suka pakaian yang sopan.’’ Aku memperbaiki ucapanku.
‘’Iya iya, Mba. Tenang aja.’’
***
Malam ini aku tidur dengan memunggungi suamiku. Entah kenapa kata pujian yang diucapkannya pada wanita lain di depanku itu terngiang-ngiang di telingaku hingga saat ini. Membuat hati memanas dan terasa sangat perih.
‘’Kamu masih marah sama aku?’’ Aku malah tak menoleh dan memilih untuk diam.
Eh, tangan kekarnya malah memeluk pinggangku. Istri mana yang tak kan luluh dibuatnya? Tapi, kali ini aku menahan sesuatu gejolak yang muncul. Kalau sudah begini, pasti ada udang di balik batu. Aku memilih diam dan pura-pura tidur.
‘’Sayang,’’ panggilnya dengan lembut. Jarang-jarang dia memanggilku dengan kata ‘sayang’ kalau tak ada maunya.
‘’Kamu nanya sama aku? Istri mana yang nggak akan marah, suaminya memuji wanita lain di depannya. Kamu pikir itu,’’ kesalku dengan nada meninggi. Namun, aku masih memunggunginya.
‘’Iya. Aku salah. Aku tahu, Sya. Tapi kan memang bener kalo masakan Reza lebih enak. Kan kamu juga nyicip tadi.’’
Dalam hati aku juga membenarkan ucapan suamiku. Apa sikapku terlalu berlebihan? Tidak, aku harus belajar untuk tidak cemburu maupun sakit hati. Toh yang dikatakan sama Mas Nando benar adanya. Aku sudah merasakan bagaimana rasa makanan yang dimasak oleh wanita itu. Memang rasanya jauh lebih enak daripada masakanku.
‘’Tapi, apakah dia nggak bisa menyenangkan hati istrinya ini?’’
Aku menggeleng cepat. Ya, aku tak boleh memperpanjang masalah kecil. Aku tak boleh membesarkan masalah kecil. Mungkin aku terlalu berlebihan. Aku memaksa menepis semua rasa yang hadir. Lalu menukar posisiku menjadi menghadap pada suamiku itu.
‘’Iya, Mas. Aku tahu itu. Masakannya lebih enak daripada masakan aku. Dulu kan aku udah bilang ke kamu, kalo aku ini bukan wanita yang serba bisa,’’ kataku. Ternyata aku belum bisa menepis rasa sakit hati itu sepenuhnya.
‘’Sssttt, kamu jangan katakan itu lagi. Anak-anak kita udah tidur di kamar mereka kan?’’ Lelaki itu meletakkan telunjuknya di bibirku. Aku mengerti apa maksud suamiku ini. Ah, dasar Mas Nando.
‘’Aku menginginkan kamu malam ini. Aku belum bisa tidur kalo belum tersampaikan.’’
Entah kenapa rasa marahku seketika reda. Kekasih halalku itu langsung mencoba melakukan apa yang dia inginkan.
‘’Mas. Ta—tapi...’’
Bersambung.
Mohon supportnya yah, Guys. Terima kasih banyak. Semoga kalian sehat selalu dan dilancarkan rezekinya.
Share this novel