‘’Kamu pergi belanja sama suamiku?’’ tanyaku dengan nada meninggi.
‘’Hem, jangan salah paham dulu, Mba. Kami nggak pergi belanja kok. Ini tuh aku beli di tokonya Mba. Kebetulan barang baru banyak banget yang masuk. Trus aku lihat banyak baju muslimah yang bagus, jadinya aku beli di sana aja deh. Tiba-tiba aku teringat sama Mba, makanya suruh Mas Nando yang memilihkan untuk Mba. Kan dia suaminya Mba.’’ Tangannya masih menggantung yang sedari tadi tengah menyodorkan tas belanjaan padaku yang katanya untukku.
Aku menghela napas dengan pelan. Entah kenapa aku akhir-akhir ini dengan mudahnya berprasangka buruk pada suamiku dan juga Reza.
‘’Makasih ya, Za.’’ Aku langsung mengambil sesuatu yang disodorkan oleh Reza. Dia tersenyum lalu mengangguk.
‘’Pasti cocok banget sama, Mba. Lain denganku, pasti nggak cocok berpakaian kayak gini,’’ katanya lirih sambil memandangi pakaian yang dikenakannya. Aku langsung mendekati wanita itu.
‘’Kata siapa kamu nggak cocok pakai pakaian ini? Kamu mungkin karena belum terbiasa, Za. Kalo udah terbiasa akan terasa nyaman dan cocok kok.’’
‘’Asalkan kamu mau merubah pakaianmu dan benar-benar ingin berubah,’’ lanjutku, wanita itu hanya menunduk.
***
‘’Mba, aku mau ke toko lagi ya. Aku lembur kayaknya hari ini.’’ Wanita itu menghampiri aku yang tengah menggendong Syana, aku mengerjap pelan. Lembur? Itu artinya mereka pulang tengah malam berdua?
‘’Jangan berpikiran buruk, Sya,’’ kataku dalam hati mencoba mengingatkan diri sendiri.
‘’Kenapa harus lembur, Za?’’ tanyaku lembut.
‘’Biarkan aja Mas Nando yang bekerja sampe malam. Toh kadang temannya juga ikut membantu,’’ lanjutku.
Ya, terkadang memang Mas Faisal temannya suamiku ikut membantu jika pembeli ramai, karena dia juga banyak waktu senggangnya. Hitung-hitung menambah pemasukan untuk keluarganya, begitu kata Mas Faisal pada suamiku.
‘’Mas Faisal maksud, Mba? Dia lagi sibuk ngurus istrinya yang baru selesai operasi lahiran.’’ Membuat aku termenung.
Itu artinya mereka kerja bareng sampai malam berduaan? Apa suamiku bisa menjaga dirinya untukku? Tidak, aku harus yakin kalau Mas Nando bisa menjaga dirinya saat jauh dariku. Tapi siapa yang bisa menjamin? Aku menggeleng cepat dan berusaha menepis semua prasangka yang hadir.
‘’Mba? Mba jangan khawatir. Kita nggak akan macam-macam kok. Lagian Mas Nando itu tipe lelaki yang nggak tertarik sama wanita lain.’’
‘’Aku pun masih tahu dengan dosa, Mba. Ya, walaupun aku jauh dari kata sholehah. Kalo Mba masih nggak percaya, bisa tanyakan langsung kok sama Lina yang jualan di sebelah tokonya Mba. Atau sekalian suruh dia untuk jadi mata-mata,’’ lanjutnya dengan tenang.
‘’Aku ke sini kerja demi anakku loh. Bukan untuk merebut suaminya Mba,’’ katanya dengan tegas.
‘’Ma—maksud aku bukan begitu, Za…’’
‘’Aku mengerti, Mba. Kita sama-sama perempuan. Jadi aku mengerti apa yang Mba cemaskan. Tapi, tenang aja sesuai dengan ucapanku tadi. Aku ke sini untuk kerja demi menghidupi anakku yang ditelantarkan oleh Papanya. Aku nggak mungkin macam-macam.’’
Dia memotong ucapanku dengan cepat. Wanita itu menatap netraku, kubalas tatapannya. Kucoba melihat bola mata wanita yang janda beranak satu itu, tak ada kebohongan di sana. Ah, apa karena aku terlalu percaya dengan kejadian yang terjadi di novel online yang kubaca.
***
Hujan lebat turun disertai angin kencang. Membuat aku ketakutan, apalagi hari sudah larut malam.
BRAAKK!
Aku terperanjat kaget dengan bunyi benda yang sepertinya terjatuh. Mataku tertuju pada dinding. Foto pernikahan aku dan Mas Nando? Aku bergegas turun dari ranjang. Benar saja! Foto itu terjatuh di lantai hingga kacanya remuk. Mataku membulat menatap foto pernikahan aku dan suami.
‘’Astagfirullah!’’ Entah kenapa hatiku jadi tak enak.
Apa yang terjadi dengan suamiku di luar sana? Langsung kuambil sekop dan sendok kecil untuk membersihkan serpihan kaca kecil yang tergeletak di lantai. Dengan pelan kubersihkan lalu meletakkannya terlebih dahulu di dekat kamar mandi. Tak mungkin aku keluar dalam keadaan hujan lebat disertai angin kencang begini, lagian aku tak tega meninggalkan si bungsu dan kedua abangnya yang tengah terlelap di kamarku. Karena Mas Nando tak kunjung pulang, makanya kedua putraku tidur bersamaku, katanya ingin menemani Mama. Selesai membersihkan serpihan kaca, aku mengambil foto tanpa bingkai itu lalu termangu duduk di ranjang sambil memandangi foto kami.
‘’Ya Allah. Semoga ini bukan pertanda buruk dan semoga suamiku baik-baik saja.’’
***
‘’Sya, buka pintunya!’’ teriakkan di luar sana membuatku tersadar dari lamunanku.
Kuedarkan pandangan pada jam dinding. Pukul 01.00? Apa benaran itu suara suamiku? Tengah malam begini? Membuat rasa takut hadir begitu saja. Aku bergegas melangkah dengan pelan, kusibak sedikit hordeng. Ternyata benar itu suara Mas Nando, dia bersama Reza yang tampaknya seperti menggigil kedinginan. Membuat aku tak tega. Walaupun beribu pertanyaan muncul di benakku. Aku segera membuka pintu.
‘’Mas? Reza?’’ Aku menatap mereka dengan bergantian. Mereka menggigil dan bibirnya pucat. Sebaiknya nanti saja kutanyakan.
‘’Kamu langsung masuk ke kamarmu dan ganti bajumu, Za. Biar aku buatkan jahe,’’ kataku sambil menatap Reza yang kerudungnya berantakan karena basah kuyup. Aku baru ingat, kamar mandi cuman ada satu. Ya, tentu mereka harus bergantian.
‘’Biarkan Reza yang ke kamar mandi duluan. Nanti setelah itu baru kamu, Mas,’’ kataku dengan penuh penekanan.
Sedangkan wanita yang tengah basah kuyup itu hanya mengangguk, lalu bergegas pergi melangkah. Sedangkan Mas Nando memilih duduk di kursi plastik. Aku lebih memilih untuk diam saat ini, walaupun beribu pertanyaan muncul di benakku dan rasa panas muncul tatkala melihat Mas Nando dengan wanita itu berhujan-hujanan. Apa mereka jalan bareng ke sini? Atau lebih dari itu? Aku menggeleng cepat. Mencoba untuk menghalau rasa yang membuat hati ini memanas dan dada menjadi sesak tak karuan.
‘’Sya? Kok kamu diem aja dari tadi?’’ lirihnya memecah keheningan di antara kami.
Namun aku tak menanggapi ucapan suamiku. Daripada aku mengeluarkan kata-kata yang melukai hatinya. Lebih baik aku memilih untuk diam dulu, sebelum aku minta kejelasan padanya. Ya, daripada ucapanku melukai suamiku nantinya, apalagi dengan kondisi hatiku yang sedang tak baik-baik saja.
‘’Mba? Aku udah selesai nih,’’ teriak Reza.
‘’Kamu ganti dulu bajumu, Mas. Biar aku bawakan handuk dan bajumu ke kamar mandi,’’ kataku yang tak menyahut ucapannya.
Aku bergegas ke kamar tidur lalu membuka lemari. Kuambil baju berlengan panjang dan celana yang panjang untuk suamiku, lalu menyambar handuk yang tergantung di belakang pintu. Aku langsung melangkah ke kamar mandi.
‘’Ini handuknya,’’ kataku dengan dingin sambil mengetuk pintu kamar mandi. Pintu pun terbuka, kuulurkan tanganku saja yang tengah memegang pakaian dan handuk.
‘’Makasih, Sayang.’’
Hah? Sayang? Apa aku salah dengar? Apa telingaku ini mulai tak berfungsi? Semejak aku menuduhnya berselingkuh dia bersikap dingin padaku dan berkata seadanya saja. Kini dia memanggilku dengan ‘Sayang’
Aku acuhkan saja lalu bergegas melangkah, namun langkah kakiku terhenti.
‘’Nisya?’’ panggilnya dengan lembut. Pasti ada udang di balik bakwan.
Aku mengerjap malas, lalu menoleh.
‘’Temani aku yuk,’’ ajaknya yang membuat aku menggeleng dengan kelakuan anehnya ini. Kemarin sikapnya dingin, kini berubah lagi.
‘’Apa maksud kamu?’’ Aku sengaja berpura-pura tak tahu ke mana arah pembicaraannya, padahal aku tahu.
‘’Aku mau bikin minuman hangat dulu,’’ kataku sambil berlalu meninggalkannya.
Rasa marah, kesal, dan cemburu ini masih aku rasakan. Tapi, apalah daya biar bagaimana pun juga tugasku sebagai istri harus aku jalankan dan aku akan menanyakan sesuatu yang mengganjal di pikiranku itu setelah membuatkan minuman hangat untuknya. Segera aku ke belakang membuatkan minuman hangat yang berisi teh dan jahe. Tak berselang lama aku sudah selesai membuatkan dua cangkir minuman hangat. Langsung kuletakkan ke nampan lalu membawanya menuju kamar Reza terlebih dulu.
‘’Za? Nih aku bawa minuman untuk kamu,’’ panggilku sambil mengetuk pintunya.
Tak berselang lama, pintu terbuka. Wanita yang baru dua hari mengenakan kerudung itu memandangiku lalu beralih memandang ke minuman yang kubawa.
‘’Ma’af merepotkan, Mba,’’ katanya dengan lirih. Aku menggeleng lalu tersenyum.
‘’Nggak sama sekali kok.’’ Reza bergegas mengambil secangkir minuman hangat yang masih kupegang.
‘’Makasih ya, Mba.’’
‘’Sama-sama. Kamu istirahatlah.’’ Aku bergegas pergi dari hadapannya.
Terbayang wanita itu tengah berhujan-hujan dengan suamiku. Membuat aku malas untuk bicara banyak dengannya daripada nanti ucapanku melukai hatinya. Lebih baik aku tanyakan dulu pada Mas Nando, kenapa mereka bisa hujan-hujanan begitu? Dan apa saja yang mereka lakukan di belakangku.
‘’Diminum dulu.’’
Aku langsung memasuki kamar dan meletakkan minuman hangat di nakas. Papa anak-anakku itu sudah mengganti bajunya sesuai yang kupilihkan tadi. Dia tengah termenung duduk di tepi ranjang. Entah apa yang ada di pikirannya. Aku beralih menoleh ke tempat tidur, Syana masih tidur dengan pulas.
‘’Aku tahu Sya, kamu pasti marah kan?’’ Tangannya sibuk mengambil secangkir minuman yang telah kusuguhkan lalu menyesapnya.
‘’Kalo kamu tahu, kenapa masih bertanya?’’ Kali ini aku berkata ketus dengan nada yang tinggi.
Bersambung...
Terima kasih banyak yang sudah membaca karyaku yang sederhana ini. Bantu support terus yah Guys dengan cara follow akunku, like, komentar, dan share ya novel ini. Semoga kalian sehat selalu dan selalu dilancarkan rezekinya.
Share this novel