Kenapa Mereka Seperti Akrab?

Drama Series 1943

‘’Assalamua’laikum, Mba Nisya. Ini aku Reza.  Aku mau cari kerja tapi susah banget. Apa aku boleh kerja di tempat, Mba? Aku butuh, Mba. Untuk biaya anakku.’’

Aku memandangi layar gawaiku yang masuk pesan dari nomor baru. Reza? Ah iya, aku baru ingat. Wanita itu kan sudah janda dan beranak satu orang. Dia sudah lama berpisah dari lelaki yang bernama Agung. Sejak itu juga dia mencari kerja demi menghidupi anak semata wayangnya karena mantan suami wanita itu tak mau bertanggung jawab. Rumah wanita yang bernama Reza itu tak begitu jauh dari rumahku yang di kampung halaman.

‘’Ta—tapi, banyak orang bilang kalo Reza itu wanita kurang beres. Apa benar? Bagaimana kalo dia jadi perusak rumah tanggaku?’’

Aku menggeleng secepatnya, aku berusaha menepis semua prasangka buruk yang hadir. Kembali aku fokus menatap layar gawai itu. Lalu langsung membalas pesan dari wanita yang mengaku bernama Reza.

‘’Wa’alaikumsalam. Nanti aku coba bicara dulu sama suamiku ya, Reza,’’ balasku kemudian yang langsung centang dua bewarna biru.

Kuletakkan gawaiku lalu kembali mengayun si bungsu yang tengah terlelap. Ya, biar bagaimana pun juga tentang permintaan Reza ingin bekerja di tokoku tentu atas izin dari suamiku, atas kesepakatan aku dan Mas Nando.

‘’Apa Reza diterima saja untuk bekerja di toko? Kan memang nggak ada yang bantu-bantu Mas Nando. Apalagi aku selalu sibuk sama anak-anakku.’’ Ya, aku harus bicara langsung dengan suamiku.

‘’Sya? Kenapa malah bengong kayak gitu?’’ Membuat aku terkesiap. Ternyata suamiku sudah menghenyak di ranjang, di sebelahku duduk.

‘’Ini loh, Mas. Reza katanya mau kerja di toko kita. Dia susah dapat kerja,’’ kataku dengan seadanya.

‘’Apalagi dia itu janda dan menafkahi anaknya. Kasihan banget kan, Mas?’’ Aku menatap Mas Nando, ekspresinya tak bisa kutafsirkan.

‘’Gimana menurut, Mas?’’ lanjutku karena suamiku itu tak menanggapi ucapanku.

‘’Ya nggak apa-apa sih.’’

‘’Lagian  kamu pasti repot mengurus anak-anak kita. Apalagi Mas nggak ada yang bantu di toko.’’ Dia duduk menghadapku lalu memegang jemari tangan kiriku karena tangan kanan tengah mengayun si bungsu, Syana.

Entah kenapa menurutku Mas Nando kini ekspresinya terlalu bersemangat untuk mempekerjakan Reza sebagai karyawan. Apa mereka saling kenal? Ah, itu mungkin pikiranku saja. Aku menggeleng dan menepis semua prasangka buruk yang hadir di benakku. 

Ya, aku harus berniat ikhlas untuk membantu Reza agar bisa menafkahi anaknya dengan mempekerjakannya di tokoku.

Soal apa kata orang tentang perilaku Reza itu tak penting. Bukankah pandangan orang lain itu berbeda-beda terhadap kita? Apalagi Reza itu seorang janda, jadi terkadang pikiran orang selalu buruk tentang janda. Mereka menganggap buruk terhadap janda, padahal tidak. Kita tak tahu apa penyebab mereka bercerai dan menyandang status gelar janda. Jadi, aku harus menepis semua pikiran buruk itu. 

‘’Ya udah. Berarti Mas beneran setuju kan? Kalo iya, aku akan hubungi langsung Rezanya,’’ kataku sambil tersenyum. Lelakiku itu mengangguk cepat. Bergegas kuambil gawai lalu mengetikkan pesan.

‘’Reza, Alhamdulillah suami aku setuju. Kamu langsung berangkat besok ke sini ya. Nanti aku kirimkan alamat lengkap tempat tinggalku.’’ Langsung kukirimkan. Kembali kuletakkan gawai. Tampak suamiku tengah mencium kedua putra kami yang tengah terlelap di tempat tidur.

‘’Mas, jangan dicium sedang tidur dong. Nanti dia malah nakal. Kalo ngelawan ke kamu gimana?’’

Eh, dia malah terkekeh.

‘’Kamu mah dari mana dapet kata-kata itu coba? Dari orang tua?’’ cibirnya sambil menatapku.

‘’Semua yang dikatakan orang tua itu ada benarnya loh, Mas. Dan itu terbukti,’’ sanggahku. Seketika gawai berdering. Tertulis di layarnya Reza calling. Aku langsung mengangkatnya.

‘’Assalamua’laikum, Za. Gimana kamu langsung bisa berangkat besok nggak?’’ Tanganku masih sibuk mengayun si bungsu.

‘’Wa’alaikumsalam, Mba. Ta—tapi masalahnya aku nggak punya uang untuk ongkos ke sana.’’

‘’Ya udah, gini aja. Kamu kirimkan nomor rekening kamu ya. Biar aku kirimkan ongkos dan sekalian belanja kamu di jalan, Za.’’

‘’Beneran, Mba? Makasih banyak loh. Ta—‘tapi nggak apa-apa sama suami, Mba?’’

Membuat aku tertawa kecil lalu menatap suamiku yang tengah membaringkan tubuhnya di samping anak-anak kami. Ya, sesekali memang Akram dan Adnan tidur bersama aku serta Mas Nando, tapi lebih sering tidur di kamar mereka.

‘’Iya. Nggak apa-apa kok. Suami aku pasti setuju. Dia orangnya baik kok.’’ Aku melirik pada suami yang tengah berbaring.

‘’Iya kan, Mas?’’ 

‘’Hem, iya.’’

‘’Mas jangan gitu dong. Dingin banget sikap kamu. Nanti Reza malah mengira kamu itu nggak setuju kalo aku ngasih uang untuk ongkosnya,’’ lirihku yang tengah menjauhkan gawai dari telinga.

Dia malah menatapku malas. Ada apa dengan suamiku ini? Seperti lain sikapnya. Apa dia tak menyukai Reza bekerja di sini? Jika iya, kenapa? Apa mereka pernah kenal satu-sama lain. Ah, tak mungkin!
***

Pagi begini aku sudah selesai beberes rumah dan memasak, lalu memandikan si bungsu Syana terlebih dahulu. Sedangkan kedua anakku masih terlelap. Memang terasa repot akhir-akhir ini, sejak aku punya anak tiga. Suamiku juga tak pernah membantu menjaga anak kami, karena dia lebih sibuk di toko ketimbang di rumah. Itu pun aku maklumi, karena dia bekerja untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Seketika gawaiku berdering. Aku yang tengah menggendong si bungsu langsung menoleh. Tampak Mas Nando tengah asyik sarapan, ya seperti biasa sebelum berangkat ke toko maka suamiku akan sarapan terlebih dahulu.

‘’Mas, tolong angkatin dong. Nih aku mau mandiin si Dedek dulu.’'

‘’Kan aku lagi sarapan,’’ keluh suamiku menatapku dengan tatapan malas, lalu dia melanjutkan kembali sarapannya.

‘’Sebentar doang kok, Mas. Itu pasti Reza yang nelpon. Kan sekarang dia mau ke sini,’’ kataku yang bergegas melanjutkan langkahku menuju kamar mandi.

‘’Hem.’’ Dia malah berdehem.

Dasar Mas Nando! Dia kalau sedang sarapan memang tak bisa diganggu. Tak berselang lama aku sudah selesai memandikan anak bungsuku, Syana. Langsung kubawa ke kamar tidur. Ya, memang kamar tidur dan kamar mandi kami terletak pisah.

‘’Mas? Siapa yang nelpon tadi? Apa Reza?’’ tanyaku pada lelaki yang tengah mematut kaca itu, aku masih fokus mengoleskan minyak kayu putih ke tubuh si mungil. Sesekali melirik pada suamiku.

‘’Iya, Sya. Tadi itu Reza ngasih tahu kalo dia udah di mobil dan dia minta jemput.’’

Aku mengerjap malas,’’ Minta jemput? Siapa yang akan jemput dia, Mas? Kan aku menjaga anak-anak. Belum lagi beberes rumah,’’ keluhku menatap Mas Nando dengan tatapan malas.

‘’Kamu tenang aja. Aku yang akan jemput.’’

Aku menggeleng cepat,’’Nggak, Mas. Biarin dia aja sendiri yang ke sini. Kan aku udah mengirimkan alamat lengkap kita ke dia semalam,’’ sanggahku dengan nada tinggi.

Kali ini aku sudah selesai memakaikan baju Syana, langsung aku beri ASI. Aku bingung dengan sikapnya Mas Nando, kemarin sikapnya dingin pada Reza. Aku membahas tentang wanita itu selalu ekspresinya datar. Tapi, kenapa kali ini dia malah bersemangat dan mau menjemput wanita itu? Apa mereka sebenarnya memang saling kenal? Tidak, Nisya! Tak mungkin mereka saling kenal, aku tahu suamiku ini tak pernah punya teman wanita sebelum menikahiku. Apalagi sekarang dia sudah menikahiku, tentu dia akan menjaga dirinya untuk istri tercintanya.

Suamiku itu menghenyakkan bokongnya di sebelahku.’’Sya, kamu takut aku berpaling?’’

Dia mengenggam jemariku lalu menatap kedua netraku. Tak bisa aku pungkiri, kalau aku merasakan cemburu dan takut.

***
‘’Apa suamiku langsung menjemput Reza?’’ gumamku. Apa Mas Nando langsung menjemput Reza setelah membuka toko? 

‘’Tapi nomornya handphonenya kan nggak ada sama Mas Nando.’’

Beberapa jam kemudian, gawaiku berdering. Mumpung Akram dan Adnan sedang asyik bermain, sedangkan si bungsu tengah terlelap.

‘’Mba, sebentar lagi aku sampai di Bandara nih. Bilang sama suami Mba, ya?’’

Tanpa membalas pesan dari wanita itu aku bergegas mengetikkan pesan.

‘’Mas, sebentar lagi Reza akan sampe di Bandara katanya. Mas jemput langsung ya.’’ Langsung kukirimkan pada kontak yang bertuliskan suamiku itu.

‘’Iya, Sya. Kamu tenang aja. Sebentar lagi Mas jemput. Tapi nomor handphonenya mana? Susah dong kalo nggak ada nomornya. Kan Mas belum pernah ketemu sama dia.’’

Aku menghela napas berat. Dalam hati membenarkan ucapan suamiku. Namun, entah kenapa terasa berat olehku mengirimkan nomor wanita lain pada suamiku itu.

‘’Tenanglah, Nisya. InsyaaAllah, suamimu itu bisa dipercaya kok.’’

Aku mengingatkan diri sendiri. Tanpa berpikir lagi langsung kukirimkan nomor Reza pada Sang Suami.

***
Aku bergegas melangkah ke depan. Sepertinya itu mobil Mas Nando yang sudah pulang menjemput Reza di bandara. Seketika membuat hatiku tak enak menatap suamiku yang tengah membukakan pintu mobil untuk wanita itu. Ya, aku merasa cemburu. Namun, aku berusaha untuk menghilangkan rasa cemburu itu. Wajar kalau aku merasakan cemburu, karena istri yang mencintai suaminya itu akan cemburu bila memperlakukan wanita lain sebaik mungkin di depan sang istri. Itu normal dan biasa-biasa saja. 

‘’Tapi kenapa mereka seperti akrab?’’

‘’Mba Nisya?’’ Wanita itu menatapku dengan senyuman lebar lalu menghampiriku.

‘’Astaghfirullah! Aku kira Reza akan berubah. Masih sama kayak dulu. Pakaiannya dan..’’

Aku menggeleng cepat dan berusaha untuk menenangkan pikiranku. Sejujurnya aku terperanjat kaget memandangi wanita itu yang tak memakai kerudung dan berpakaian ketat menampakkan lekuk tubuhnya. Rambut pirangnya terurai.

‘’Ya Allah. Bantu aku agar aku nggak berprasangka buruk.’’

Ya, Reza pasti wanita baik-baik. Belum tentu dia seburuk pakaiannya, pun sebaliknya. Wanita tertutup belum tentu sempurna baik juga.

‘’Ehm, iya, Za. Kamu jam berapa sampainya tadi di bandara?’’

‘’Jam empat tadi, Mba.’’ Aku terkesiap. Setahuku tadi Mas Nando perginya jam empat. Dan sekarang pulangnya sudah mendekati magrib? Itu berarti Mas Nando dan Reza duduk santai dulu di sana, apa iya? Ya Allah!

Bersambung.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience