Ketahuan?

Drama Series 1943

‘’Mas? Apa maksud kamu bicara kayak gitu?’’

Aku berkata dengan suara lantang. Entah kenapa aku tak bisa membiarkan ucapan Mas Nando yang membuat hatiku teriris. Kali ini aku tak segan-segan menatap suamiku itu dengan tatapan tajam, begitu juga wanita yang mengenakan kerudung itu.

‘’Mba, jangan salah paham dulu. Aku dan Mas Nando..’’

‘’Diam kamu, Reza! Aku bicara sama suamiku. Bukan sama kamu!’’ potongku dengan tegas sambil menunjuk ke arahnya. Ya, baru kali ini aku meninggikan nada suara pada wanita yang bernama Reza itu.

‘’Aku nggak ada maksud apa-apa. Kamu jangan berlebihan deh,’’ sahut Mas Nando dengan nada ketus. Sedangkan wanita itu hanya menunduk, entah karena dia merasa takut padaku atau bagaimana aku pun tak tahu.

Aku menukik alis.’’Secara tidak langsung kamu udah nggak menginginkan masakanku lagi, Mas. Kamu masih ngelak lagi?’’

Entah keberanian dari mana aku mendapatkannya hingga secara spontan keluar begitu saja dari mulutku ini. Membuat kedua netra elangnya menatapku dengan tatapan tajam.

‘’Sudahlah, aku nggak mau berdebat sama orang kayak kamu. Sikap kamu itu berlebihan banget. Cemburulah, bilang aku selingkuhlah. Aku itu capek.’’

Membuat dadaku terasa dihimpit batu besar. Ya Allah! Begitu nampak sekali perubahan yang terjadi di diri suamiku. Ucapannya selalu menyakiti hatiku akhir-akhir ini. Mata terasa memanas, apalagi hati ini. Aku berusaha menahan sesuatu yang akan mengalir di pelupuk mata.

‘’Papa sama Mama berantem?’’ Putra pertamaku yang sudah rapi mengenakan seragam itu mendekati kami. Membuat aku memasang senyuman setulus mungkin.

‘’Enggak kok, Nak. Yuk sarapan. Ntar telat loh.’’

Aku langsung mengajaknya ke meja makan. Bagaimanapun sakit hati ini, aku harus menyembunyikannya sebisa mungkin di depan anak-anakku. Apalagi Akram dan Adnan yang sudah mengerti semuanya. Papa dari anakku itu masih bergeming berdiri. Entah apa yang dipikirkannya.

‘’Pa, kita sarapan dulu yuk.’’ Kali ini Akram yang bersuara.

‘’Papa mau langsung ke toko.’’

Dia bergegas melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan tanpa berpamitan padaku. Aku yakin dia tak berselera lagi untuk sarapan setelah beradu mulut denganku. Namun, seketika dia kembali lagi.

‘’Za, tolong kamu bawakan sarapan untuk aku ke toko.’’

Matanya tertuju pada wanita yang tengah termenung itu. Aku memang sengaja tak berkutik pada Reza, karena aku sungguh sakit hati.

‘’I—iya, Mas. Nanti aku bawakan.’’

Lelaki itu bergegas kembali melangkah tanpa melirik padaku. Aneh! Dia yang bikin aku sakit hati. Kok dia pula yang marah padaku?

‘’Ma, Papa itu kenapa ya?’’

‘’Kurang enak badan mungkin, Nak.’’

Tanganku sibuk menambahkan nasi ke piring Akram, tak lupa kulengkapi dengan gulai ayam.

‘’Sarapan dulu ya. Nanti Akram telat ke sekolah.’’ Kusodorkan piring yang berisi nasi dan gulai ayam pada putraku itu. Dia menyahut dengan anggukan pertanda menuruti apa kataku.

‘’Mba? Aku benaran nggak ada niat bikin…’’

‘’Bukan waktu yang tepat untuk membahas itu sekarang. Kamu sarapanlah dulu. Setelah itu berangkatlah ke toko,’’ kataku tanpa melirik ke arahnya.

Ya, walaupun hatiku sungguh sakit tapi aku juga tak tega membiarkan si Reza pergi ke toko tanpa sarapan terlebih dahulu, itu namanya aku membunuh. Aku tak sejahat itu, aku masih punya hati nurani.

Wanita itu hanya menunduk sedari tadi, baguslah kalau dia sadar aku tengah marah dan kesal padanya. Kulirik sejenak, tak seperti biasa dia menambahkan nasi ke piringnya. Ya, hanya sedikit yang ditambahkannya ke piring. Syukurlah kalau wanita itu tipis telinganya.

Semoga dia juga bisa menjaga sikap pada suamiku, ya walaupun Mas Nando duluan yang menyapanya. Setelah aku mengintip mereka tadi, aku menyimpulkan kalau suamikulah yang memulai mengajak Reza bicara, lalu di toko bagaimana? Apa lebih dari itu yang dilakukan oleh Mas Nando ke Reza?

‘’Astaghfirullah. Kenapa aku makin suudzon saja pada suamiku sejak aku mendengar ucapannya yang menginginkan masakan Reza setiap hari.’’

***

‘’Mba? Siapin sarapan untuk Mas Nando ya. Biar aku yang membawanya ke toko.’’ Ucapan wanita itu membuat aku tersadar dari lamunan.

‘’Kamu aja langsung yang nyiapinnya,’’ sahutku tanpa menoleh.

Mataku masih sibuk memandangi pohon mangga di depan rumah, sambil menghirup udara yang begitu segar di pagi ini. Aku merasa sedikit refresh.

‘’Kalo aku yang nyiapin, ntar Mas Nando nggak mau makan lagi. Tapi, kalo Mba yang nyiapinnya aku yakin dia pasti mau makan. Apalagi yang nyiapin istrinya sendiri.’’

Aku menghela napas dengan kasar. Entah apa maksud wanita ini berkata seperti itu. Apa dia hanya ingin menyirami hatiku yang terasa panas? Entahlah. Aku belum tahu seutuhnya tentang wanita ini. Aku harap apa yang aku cemaskan tak kan pernah terjadi. Sudah cukup dengan ucapan dan sikap Mas Nando yang membuat hatiku teriris, jangan sampai terjadi lagi hal yang lebih menyakitkan daripada itu. 

‘’Ya walaupun kalian lagi salah pahaman. Tapi, itu mungkin karena Mas Nando yang capek seharian kerja di toko akhir-akhir ini. Makanya dia marah-marah nggak jelas. Aku bukan maksud menggurui Mba sih. Aku cuman mengatakan apa yang aku tahu dan apa yang aku lihat.’’ Aku masih diam membisu walaupun dia sudah bicara panjang lebar.

‘’Mba? Kok diem? Apa Mba juga marah sama aku? Aku kan udah bilang dari awal. Kalo aku ke sini memang benaran mau kerja, bukan untuk macam-macam.’’ Tak ingin membahas sesuatu yang membuat kepalaku berdenyut tak karuan. Aku langsung berdiri.

‘’Ya udah. Akan aku siapin.’’ Bergegas aku memasuki rumah, lalu menuju ruang makan.

Ya, biar bagaimana pun juga tugasku harus aku jalankan walaupun hatiku kini sedang tak baik-baik saja. Tak berselang lama aku sudah selesai menyiapkan sarapan untuk Mas Nando, kuletakkan saja di rantang.

‘’Reza? Ini udah aku siapin,’’ teriakku kemudian.

Tak menunggu lama, wanita yang sudah nyaman berkerudung itu menghampiriku ke ruang makan. Langsung kuberikan padanya rantang yang telah kuisi dengan makanan. Diambilnya langsung dari tanganku.

‘’Kalo gitu aku berangkat kerja dulu ya, Mba,’’ pamitnya dengan semangat. Entah kenapa aku melihat ada yang berbeda pada wanita ini. Dia tampak lebih semangat dari sebelum-sebelumnya. Aku mengerjap pelan.

‘’Kok kamu kayaknya lebih bersemangat sekarang deh. Hayo ada apa?’’ Alisku terangkat menatap wanita itu yang ekspresinya berubah tatkala aku bicara seperti itu, sangat sulit kuartikan.

‘’Hem. Biasanya aku kurang nyaman pake jilbab, Mba. Sekarang udah nyaman aja gitu. Biasanya aku merasa gerah di toko apalagi banyak pembeli yang aku layani. Makanya sekarang aku lebih semangat dan auranya terpancar deh,’’ jelas wanita yang mengaku sudah nyaman menggunakan kerudung itu.

‘’Alhamdulillah. Syukur deh kalo kamu sekarang udah nyaman banget pake jilbab, Za. Ya udah, berangkat sana gih.’’ Aku menepuk lengannya dengan pelan, dia mengangguk lalu berlalu meninggalkanku.

***
Sudah seminggu berlalu aku menunggu kabar dari Siti namun tak ada kabar darinya soal kerja baru yang akan diberikannya untuk Reza. Ah, rasanya begitu penat hari ini. Ya, mungkin karena Syana yang tadi siang rewel, beres-beres rumah, dan ditambah rasa sakit hatiku terhadap Mas Nando. Mataku beralih menatap Syana yang terlelap di kasur.

‘’Alhamdulillah, kamu lebih duluan tidurnya, Nak. Itu artinya Mama bisa istirahat lebih cepat.’’ Aku tersenyum kala melihat putri mungilku yang terlelap dengan pulas, tiba-tiba aku menguap tak hentinya.

‘’Aku ke kamar Akram sama Adnan dulu deh.’’

Dengan rasa kantuk yang menyerang aku bergegas bangkit dan melangkah ke kamar kedua putraku. Sangat hati-hati aku membuka pintu kamarnya. Seketika aku merasa lega. Ternyata mereka sudah terlelap lebih duluan, tapi mainan mereka masih berantakan di lantai. Bergegas aku memasuki kamarnya, lalu membereskan mainan yang berantakan.

Ya, biasanya mainan itu mereka sendiri yang akan membereskan karena sudah aku biasakan dan ajarkan cara membereskan mainan. Tapi mungkin karena mereka merasa mengantuk berat hingga tak sempat membereskan mainan lalu terlelap begitu saja. Setelah selesai membereskan semua mainan anak-anakku, aku bergegas menyelimuti mereka. Lalu tanganku terangkat mengusap kepala putraku secara bergantian. Kembali kulangkahkan kaki ke luar dari kamar mereka, tak lupa menutup pintunya kembali.

Ah, mata ini sungguh terasa berat dan perih. Tapi bagaimana dengan Mas Nando dan Reza nanti? Siapa yang akan membukakan pintu untuk mereka? Aku langsung menghenyak di tempat tidur. Kupandangi benda melingkar di dinding masih menunjukkan pukul 20.00, tetapi jam segini aku sudah mengantuk berat. Mungkin karena tubuh dan pikiranku begitu lelah.

‘’Lebih baik aku tidur dulu sebentar.’’ Aku menguap berkali-kali, kubaringkan tubuh ke tempat tidur dan menyusul putriku ke alam mimpi.

Bunyi ketukan pintu membuat aku terbangun dan menggeliat, mataku terasa perih hingga sulit untuk dibuka. Ketukan pintu terus saja berbunyi tanpa henti. Itu pasti Reza yang datang. Memang dua hari ini dia lebih duluan pulang, memilih pulang tak bareng dengan suamiku. Katanya dia tak mau jika aku nantinya cemburu dan berpikiran yang lain.

‘’Iya sebentar,’’ teriakku. Dengan kepala yang masih pusing, aku melangkah dengan sempoyongan berjalan menuju pintu.

‘’Assalamua’laikum, Mba.’’

‘’Mba bangun tidur? Aduh, ma’af aku udah ganggu.’’ Wanita itu bergegas memasuki rumah.

‘’Wa’alaikumsalam. Nggak ganggu kok, Za.’’

‘’Jangan dikunci dulu pintunya, Mba. Biar Mas Nando mudah membukanya. Juga biar Mba ngga repot buka pintu terus. Apalagi Mba juga masih ngantuk kan?’’

Tanganku terhenti tatkala wanita itu berucap, dia menghentikan langkahnya menatapku yang tengah berada di depan pintu yang sudah kututupi. Dalam hati aku membenarkan ucapan si Reza, memang aku masih merasa mengantuk sekali. Ingin melanjutkan mimpi yang belum usai.

‘’Ya udah kalo gitu aku ke kamar dulu, Mba,’’ pamitnya kemudian yang aku sahut dengan anggukan.

***

Aku kembali melanjutkan tidur, mataku begitu perih rasanya.

‘’Sya? Kamu cari kerja untuk siapa? Reza?’’ Suara yang tak asing lagi bagiku, membuat aku memaksa membuka mata.

‘’Astaghfirullah! Mas Nando? Apa dia membaca chat aku? Gawat ini.’’ Aku mengusap bola mata, nampak lelaki itu tengah memegang ponselku dan melirikku dengan tatapan tak suka.

‘’Mas?’’ Aku langsung bergegas merebut ponselku dari tangannya. 

‘’Kamu jawab pertanyaan aku, Sya!’’

 Membuat jantungku berdetak hebat mendengar tebakannya. Padahal tadi aku mau menyembunyikannya dan aku ingin merencanakan ini semua tanpa sepengetahuan Mas Nando, tapi bagaimana lagi dia sudah membaca pesan yang kuterima dari sahabatku.

‘’Kamu mencarikan kerja untuk Reza?’’ ulangnya dengan mengintimidasi.

‘’Mas, dengerin dulu penjelasan aku. Ini semua demi kebaikan kita. Kebaikan aku dan kamu.’’ Aku berkata lirih.

‘’Kebaikan? Bagi kamu kebaikan. Bagi aku itu keburukan!’’ Jleb! Apa maksud Mas Nando berkata seperti itu? Dia menatapku tajam.

‘’A—apa maksud kamu, Mas?’’ 

‘’Semejak ada Reza di toko. Toko jadi ramai pembelinya. Dia pandai mengambil hati pembeli dan bahkan banyak yang berlangganan semejak ada dia. Bukankah itu keburukan bagi aku kalo dia berhenti kerja?’’

‘’Bagimu kebaikan. Kamu suka kan Reza angkat kaki dari sini? Karena apa? Karena kamu selalu berpikiran buruk pada dia. Kamu takut tersaingi sama dia? Hah?’’

Bersambung..

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience