19

Crime Completed 14534

DAMN, I STILL LOVE YOU!

Resepsi Pernikahan

SABTU malam ini adalah rencana resepsi pernikahan Teh Nia yang bertempat di Auditorium Pusda’i yang terdapat dalam satu kompleks yang sama dengan masjid yang menjadi tempat prosesi akad nikah berlangsung.

Sudah satu minggu ini Maya akhirnya berhasil hidup seperti orang-orang normal pada umumnya. Bangun pagi, mandi, sholat subuh, sarapan dan menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca koran. Ia pun mulai mempersiapkan acara wisuda yang sebentar lagi akan dijalaninya dan mulai browsing di internet mencari lowongan kerja di perusahaan konsultan asing yang sudah lama diincar (tanpa tergoda untuk membuka inbox Hari dan menebak-nebak apa password barunya). Selain itu, membantu Rini mempersiapkan acara resepsi pernikahan Teh Nia membantunya sibuk melupakan Hari.

Maya betul-betul menepati janji untuk membiarkan Hari hidup damai tanpa gangguan.

Pagi itu, Maya sedang mempersiapkan gaun hitam yang akan dipakainya nanti malam. Meski termasuk panitia, Maya tidak diharuskan memakai seragam pakaian tradisional sunda. Ia hanya seksi sibuk yang membantu Rini mengecek segala sesuatu agar semuanya berjalan lancar.

---BEEP BEEP---

"Halo Rin..."

"Say, ntar tolong stay tune di depan masjid sebelum Ashar ya. Gua plus rombongan bakal dateng ke Pusda'i jam segituan. Akad nikah dimulai sesudah kita semua sholat."

"Oke."

"Trus, ntar tolong pastiin acara sesudah Maghrib check sound sekali lagi..." "Oke..."

"Mmm... trus..." Rini menyerocos menyebutkan sederetan tetek-bengek.

Maya tertawa, "Iya, iya, tenang..."

"Duh, yang nikah Teh Nia tapi yang senewen malah gua," Suara Rini terdengar panik. "Sama pastiin orkestra ya May... Abis degung sunda, baru orkestranya manggung. Pokoknya lu jagain stage ya?"

"Beres deh."

"Oh iya... Aduh ampir lupa nih satu hal yang paling penting..."

"Apa lagi Rin?" Maya tersenyum kecil mendengar suara Rini yang panik.

"Jangan biarin Ua-ua gua, Mang dan Bibi beserta Aki-Nini gua nyanyi ya. Serius. Bisa bubar."

"Hahaha... "

"Dari sekarang gua udah nerangin ke mereka kalo elu jago taekwondo, maksa nyanyi bisa berakhir di rumah sakit soalnya."

"Hahaha... Elo tuh yah, mematikan hasrat mereka berkesenian sih."

"Biarin. Demi keselamatan acara. Ya udah deh kalo gitu, gua mau ngurus sepupu-sepupu kecil gua yang pada belom mandi nih. Thanks banget ya say."

"Bye."

---KLIK---

---

Seperti yang sudah dijanjikan, Maya sudah berada di pelataran masjid menjelang Ashar. Rombongan keluarga Rini dan calon mempelai wanita berada di ruangan khusus di samping masjid. Saat Maya muncul di ruangan itu untuk menemui Rini, Tante Heti sang perias pengantin terlihat sedang sibuk memberi sentuhan akhir untuk menyempurnakan riasan Teh Nia.

"Rini..." Maya melambaikan tangan memberi isyarat agar Rini mendekat.

"Gimana May? Beres?"

"Beres... Lo tenang aja ya."

"Eh ini nih, daftar lagu titipan Teh Nia," Rini mengeluarkan secarik kertas dengan tulisan tangan Teh Nia."

"Ooo... ini lagu-lagu yang wajibnya... Oke deh, beres."

"Thanks banget loh May..."

"Sidik mana?"

"Tuh lagi ngobrol sama Aki," Rini menunjuk ke arah tangga di mana Sidik yang sudah siap dengan pakaian tradisional sunda sedang mengobrol dengan Aki (kakek Rini).

"Yah udah... Gue udah setor muka nih. Abis Ashar kan? Ketemu di dalem masjid yah."

"Oke deh."

Tepat beberapa menit sesudah sholat Ashar, acara akad nikah dimulai. Kedua calon pengantin duduk berdampingan menghadap kiblat dengan pakaian serba putih. Seluruh anggota keluarga dan kerabat dekat, duduk mengitari calon pengantin. Suasananya begitu tenang, khidmat dan sakral. Suasana seperti inilah yang dahulu pernah ada dalam bayangan Maya. Malah saat ini ia masih membayangkan suatu saat nanti, pria berpeci putih dengan beskap sunda yang ada disampingnya nanti adalah Hari. Tapi Maya langsung cepat-cepat mengusir pikiran itu.

Sesudah acara akad, kini resmi-lah Teh Nia berubah status menjadi seorang istri dan Rini kini resmi memiliki kakak ipar. Semua yang hadir memberikan do’a dan ucapan selamat, termasuk Maya.

---

Sesudah sholat Maghrib, Maya memastikan sound system yang akan dipakai orkestra nanti tidak bermasalah sambil mengagumi indahnya pelaminan yang dihias dengan bunga serba putih dan ratusan lilin sekitar pelaminan yang memberikan kesan romantis. Semua dekorasi baik di luar maupun di dalam auditorium didominasi warna putih.

Menjadi single fighter, datang ke acara pernikahan tanpa ada pasangan, memang cukup menambah penderitaan Maya yang masih patah hati. Entah kenapa pikirannya selalu kembali terpantul pada bayangan Hari. Semua laki-laki yang dilihatnya, seolah-olah berwajah sama seperti kembar yang identik dengan Hari.

Maya cepat-cepat mengalihkan pandangannya dengan berkonsentrasi pada daftar lagu wajib permintaan Teh Nia untuk dinyanyikan Mas Wedding Singer yang konon katanya memiliki suara yang mirip sekali dengan Ari Lingua. Di kertas itu tertera delapan lagu.

Rini, ini lagu request Teteh. Pokoknya ini lagu wajib, sisanya terserah mau lagu apa.

Omat-nya (wanti-wanti sekali, ya), Aki, Nini, semua Ua, Mang & Bibi jangan sampe ’manggung’ heheheh...

Diana Krall: Let’s Fall In Love

Laura Fygi: I Love You For A Sentimental Reason

Jill Scott: He Loves Me

Jeffrey Osbourne: All The Way

Keith Martin: Because of You

Jane Monheit: More Than You Know

Basia: Baby You’re Mine

Daniel Bedingfield: If You’re not The One.

Begitu membaca daftar lagu terakhir, Maya mengernyitkan dahinya. "Kok?"

---

Rombongan pengantin memasuki auditorium bersamaan dengan dimulainya upacara ’mapag panganten (menjemput pengantin)’. Fotografer dan kameramen sibuk mengabadikan momen istimewa ini. Para tamu undangan yang sudah hadir berdiri menyambut kedatangan pengantin.

Sesudah semua prosesi selesai, para tamu undangan memberikan ucapan selamat. Sebagian yang lain langsung menikmati makanan yang tersedia untuk mengurangi antrian menuju pelaminan.

Maya yang sedang kelaparan, menikmati Sakanayaki dengan tenang. Berdiri tidak jauh dari orkestra yang sedang mempersiapkan diri untuk memainkan lagu-lagu request Teh Nia.

Setelah memastikan urusan orkestra-nya selesai, Maya kembali menjelajah seluruh stand makanan yang tersedia. Maya akhirnya kembali ke dekat stage sambil membawa semangkuk Yaki Udon.

Sambil mengedarkan pandangan ke kanan-kiri, matanya terpaku pada seorang laki-laki berjas hitam yang mengenakan dasi polos warna marun.

Ya, laki-laki itu adalah Hari yang sedang menggandeng si Nenek Sihir berada dalam antrian menuju pelaminan untuk memberikan ucapan selamat pada pengantin.

Seketika Maya mematung. Pandangannya terus membeku memperhatikan Hari diiringi suara Mas Wedding Singer yang sedang menyanyikan lagu request Teh Nia.

Gosh!

Itu Hari... Aduhhh... Gimana dong... Bukannya Ibu sama Bapak Prabowo yang diundang?

Mereka mana? Kok nggak dateng? Kok malah Hari sih yang ada?

Ngapain dia disini?

Aduuuuh... Udah susah-susah gue ngelupain dia... Kok dia ngancurin semuanya siiiih...

Duh, mana dia tetep ganteng lagi... Gue paling suka ngeliat cowok pake jas... Dan ini... Hari yang ganteng tambah ganteng aja pake jas...

Damn! I still love you, Har...

Gimana gue nggak kejang-kejang coba ngeliatnya?

Aduh, gue harus ngehindarin supaya kita gak saling ngeliat nih. I don't wanna run away but I can't take it I don't understand if i'm not made for you then why does my heart tell me that I am? is there any way that I could stay in your heart?

Setelah bait terakhir dinyanyikan, entah kekuatan apa yang membuat Hari menoleh tepat ke arah Maya.

Mereka saling berpandangan.

Dan... seketika wajah Hari langsung berubah pucat.

Maya, Hari dan Si Nenek Sihir

HARI dan Maya saling berpandangan selama beberapa detik. Ini untuk yang pertama kalinya mereka bertemu setelah Hari memutuskan Maya. Wajah Hari langsung mendadak pucat begitu ia melihat Maya yang berdiri hanya beberapa meter saja darinya.

Maya sendiri bingung dengan sikap apa yang harus dia ambil. Apakah ia harus senyum melihat Hari yang begitu begitu mesra menggandeng si Nenek Sihir itu? Atau ia harus pura-pura tidak melihat mereka?

Seperti orang yang mendadak lumpuh, Maya kesulitan untuk menggerakan kaki dan harus sekuat tenaga untuk memalingkan wajah ke arah lain. Dari sudut matanya terlihat Hari menunduk. Maya menghilangkan diri dalam kerumunan orang dan cepat-cepat menuju bagian luar auditorium. Tiba-tiba saja ruangan besar itu terasa sesak baginya.

---

Bagian luar auditorium tidak terlalu dipenuhi tamu undangan dan itu cukup membantu membuat Maya ’bernafas’ setelah ’kejutan’ yang baru terjadi beberapa menit yang lalu itu. Hembusan angin membantu menenangkan pikirannya.

Maya bersandar pada salah satu pilar. Ia yakin dari situ, ia dapat mengawasi Hari keluar sekaligus bisa kembali masuk dengan aman dari pintu di sisi kanan auditorium ini. Dalam diam, Maya melepaskan pandangannya ke atas langit.

Malam bulan purnama dengan taburan seribu bintang di langit. Matanya mencari sebuah bintang. Ia melihat salah satu bintang yang berkelip seperti menghibur, berusaha mengajaknya tersenyum.

"Sejauh apa pun bintang itu di langit, aku akan pergi ke sana untuk mendapatkannya." Mungkinkah bintang itu yang bernama Amaya?

Tak terasa sudah beberapa menit Maya melamun sambil memperhatikan bintang di langit. Sehingga sesaat ia lupa memperhatikan hal lain yang sedang ia hindari.

"Mamaaaay... Eh ngapain sendirian ngelamun ngeliatin bintang?" Suara centil Juju membuyarkan lamunan Maya.

"Eh... Ju...ju..." Maya seperti anak yang baru belajar mengeja.

"Dari tadi Juju panggil-panggil loh... Mamay asik banget sih ngeliatin bintang." Maya tersenyum.

Aduuuuh kacau kacau kacau...

Kok makhluk ini bisa sampe lolos dan sekarang malah ada di depan gue sih???

Bego banget sih gue...

Trus... HARI! HARI!

Hari mana?

"Sendirian nih May?" tanya Juju sambil menyeruput juice-nya,

"Uh huh... Kalo Juju?"

"Oh... Juju sih bareng sama Hari. Juju nggak nyangka deh bo, ternyata ini kawinan kakaknya Rini."

"Mmm... Emang Juju kenal sama mempelai pria-nya yah?"

"Ngga... Sebenernya yang di undang sih orangtua-nya Hari. Mereka ternyata ga bisa dateng ke sini. Ada urusan penting yang ngga bisa di tunda. Makanya Hari di suruh ngewakilin."

"Ooh gitu." Maya mencari-cari di mana Hari. Ia harus segera masuk ke Auditorium untuk menghindari pertemuan selanjutnya dengan Hari. "Trus Hari di mana, Ju?"

"Itu tuh yang baru keluar dari antrian Kambing Guling. Tadi Juju yang nyuruh ngantri. Juju sih males banget ngantri." Juju yang mengenakan gaun biru dengan model bahu terbuka menunjuk Hari. "Yang... sini Yang... Ini Juju kenalin nih sama temen Juju," si Nenek Sihir itu melambaikan tangannya ke arah Hari.

Ya ampuuun Ju...

Elo tuh nganggep Hari apa sih?

Udah bilang Hari orang yang lumayan buat nganter meni pedi sama beli sepatu... sekarang elo nyuruh dia ngantri ngambilin makanan buat elo???

Eh!

Kok elo malah manggil Hari siiiiiiiiih... Udah tau gue ke sini tuh biar gak ketemu dia, ini malah elo ajak ke sini lagi.

Duh bete banget... Gue harus gimana donggg...

Hari meski terlihat bingung dan salah tingkah, akhirnya mendekati Juju dan Maya. Juju meraih piring yang berisi kambing guling dari tangan Hari.

Ju? Nggak salah malem-malem makan kambing guling?

Bukannya biasanya elo selalu beralesan takut gendut kalo makan daging malem-malem?

"Yang, kenalin nih temen Juju. Namanya Mamay. Dia tuh sahabatnya Rini loh, Yang. May, kenalin dong ini Hari, pacar Juju."

Ini Hari, pacar Juju???

Please deh Ju... Hari itu bukan pacar lo...

Hari itu cuma orang yang lo anggap lumayan buat nganterin elo meni pedi sama beli sepatu aja. Iya ’kan Ju?

Lo cuma nganggep jadian sama Hari adalah hasil tes pasar elo doang ’kan Ju?

Dan elo bangga banget ’kan Hari ninggalin gue demi elo!

IYA ’KAN?

Nih sekarang gue kasih tau yah... ELO TUH UDAH SAKIT JIWA tau nggak!

Hari diam. Maya juga diam. Tidak ada yang berinisiatif untuk mengulurkan tangan terlebih dahulu. Buat apa perkenalan ini? Bukankah mereka berdua sudah saling mengenal? Keduanya terlihat canggung.

"Eh... Kok diem aja sih Yang... Ayo dong salaman sama Mamay."

Akhirnya Hari mengulurkan tangan. "Apa kabar?" Suaranya terdengar bergetar.

Apa kabar?

Kabar gue buruk, Har...

Kabar gue selalu buruk sejak elo mutusin gue demi si Nenek Sihir yang sakit jiwa ini.

Maya tidak membalas sodoran tangan Hari. Ia sudah capek dengan semua ini. Hari masih mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Maya, seolah-olah mereka berdua belum saling mengenal. Sadar bahwa Maya tidak membalas, Hari menarik tangannya.

"Loh, kok Mamay gitu sih... Ga salaman sama pacar Juju?" Si Nenek Sihir itu terlihat kecewa dengan sikap Maya.

"Gue udah kenal sama pacar elo, Ju," jawab Maya dingin.

"Oh ya? Di mana?"

Ada jeda beberapa saat setelah Maya menarik nafas dalam-dalam. "Hari itu

...

mantan pacar gue

...

tepatnya yang rela mutusin gue demi elo."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience