3

Crime Completed 14534

3

CINTA MATI

Minder?

"AKU pengen kita temenan aja,"

Maya mengulang apa yang dikatakan Hari saat perayaan satu tahun mereka.

"Ah jangan ngajak gua becanda, May." Rini masih tidak percaya mendengar Maya membuat pengakuan bahwa hubungannya dengan Hari sebagai pacar sudah berakhir.

"P.U.T.U.S Putus.

Udahan.

Tamat.

The end.

El extremo.

C’est fini.

Das ende.

O fim.

Selesai, sampai jumpa lagi," ujar Maya kembali menegaskan.

"HAH? Gila lu... Kok setaun ngerayain jadian, kalian malah putus sih say?"

Kantin kampus Universitas Bumi Parahyangan saat itu terlihat sepi karena sebagian mahasiswa sudah masuk ruang kuliah. Hanya ada Maya, Rini dan tiga orang laki-laki duduk secara terpisah di meja yang berjauhan.

Mendengar suara Rini yang bervolume tinggi, otomatis ketiganya menoleh.

"Ini konser rock?" ujar salah satu dari mereka dengan nada sinis. "Eh Mayaaa... kirain siapa..." Ketika melihat Maya, wajahnya langsung berubah romantis.

"Sssh... Pelan-pelan dong kalo ngomong," pinta Maya sambil memberi isyarat agar Rini mengecilkan volume suara.

"Sorry, May. Nafsu nih gua.

Oke, gua ulang sekali lagi... Ngerayain setahunan jadian, kok kalian malah putus siiih?"

Maya menarik nafas panjang. "Lo kalo nanya itu jangan ke gue, salah alamat. Nanya-nya sana sama Hari."

"Baru sekarang nih gua denger ada kasus yang kayak gini. Keterlaluan tuh Hari, ga tau apa sobat gua ini bela-belain beli sepatu hak tujuh senti buat acara dinner setahunan kemaren?! Lu pengen gua ngapain Hari, May? Lu mau ngga kalo gua manggil anak-anak taekwondo kampus buat ngeroyok dia?" Rini mengepalkan tangan. Geram.

"Udah lah, Rin. Kita putusnya baek-baek kok."

"Mana ada putus baek-baek, May?" ujar Rini sengit.

Maya menunduk. Kelopak matanya kembali basah oleh air mata.

"Basi banget deh tuh orang."

Maya menarik nafas panjang.

"May... Alesannya apa sih sampe dia mutusin lu segala?" Ekspresi wajah Rini masih terlihat geram.

"Dia bilang, dia nggak pantes buat gue, Rin... Dia bilang gue terlalu baik buat dia karena dia ngerasa gue selalu ada di atas dia. Menurut dia, semua ini tentang pride dia sebagai laki-laki... dan jadian sama gue, ngebuat dia nggak ngerasa jadi laki-laki."

"Oh ya? Itu alesan dia mutusin elu, May?" volume suara Rini mengecil.

Maya mengangguk lemah.

"Oooh... Gua pikir... bukan itu alesannya. Hmm... Susah juga ya." Kekesalan Rini mereda. Dalam hati ia memang setuju dengan pendapat Hari. Terlebih lagi dari segi prestasi, Maya selalu ada di atas Hari.

"Kok bisa-bisanya pacaran sama gue dia ngerasa nggak jadi laki-laki. Jelas-jelas dia ngga punya ’dada’... Itu yang bikin gue nggak ngerti Rin," Maya tersenyum getir.

Rini menyeruput segelas orange juice yang ada di hadapannya. Sesekali ia mempermainkan sedotan plastik warna biru sambil mendengarkan Maya curhat.

"Errr... gimana yah," Rini menarik nafas. "Kesimpulan gua sih dia minder sama elu."

"Salah nggak sih kalo gue pengen ngasih yang terbaik buat dia?" Maya masih menangis pelan.

Rini terdiam.

"Gue aja nggak pernah mikirin kayak gitu. Dia yang buka forum. Kata dia, gue yang dua tahun di bawah dia bentar lagi mo wisuda... Sedangkan dia, masih ada sisa kuliah yang belum beres..."

"..."

"Gue nggak pernah ngangkat semua ini jadi isu. Bagi gue nggak penting. Yang penting buat gue adalah gue sayang dia, dia sayang gue.

Titik.

Gue tuh udah bukan sayang lagi sama dia, Rin. Gue udah cinta mati sama Hari. Mana bisa gue setahun sama dia kalo gue nggak cinta??" Suara Maya terdengar lirih. Ia menempatkan keningnya di atas meja, menunduk dalam-dalam menahan tangis.

Rini membelai rambut Maya. "Ssssh... sshhh... "

Rini membiarkan Maya menangis. Rini memang sahabat yang baik dan pengertian. Memang inilah yang dibutuhkan seorang perempuan. Seorang sahabat yang mampu mendengarkan dan mampu merasakan. Saat seorang perempuan curhat, ia ingin didengarkan. Inilah yang membuat mereka nyaman dan merasa di-support. Kemampuan mendengarkan adalah kualitas yang dibutuhkan seorang perempuan dari siapa pun. Bila seorang perempuan merasa sudah didengarkan, ia akan mudah menerima solusi.

Tak lama, Maya mengangkat wajahnya. Ia lalu menghapus air mata yang masih tersisa dengan kedua tangan.

"Nih, pake tissue May," Rini menyodorkan tissue dalam plastik berukuran saku.

"Thanks, Rin."

"Udah, sekarang lu mendingan tenang dulu deh. Bentar gua beliin air putih dulu ya." Rini beranjak dari duduk dan mengambil sebuah botol kecil air mineral.

"Rin... Thanks banget yah," ujar Maya saat Rini menyodorkan botol air mineral.

"Udah sana, minum dulu." Rini kembali duduk.

Usai Maya membasahi tenggorokan, ia diam. Menopang dagu dengan tangan kanan. Kedua matanya sembab. "Gua pikir, acara dinner setaunan kalian ngga kayak gini, May."

"Gue juga nggak nyangka," Maya mengangkat bahu, masih dengan muka yang sedih.

"Di rumah, gua udah nebak kalo Hari malah mau ngajak elu ketemuan sama orangtua-nya gitu..." Rini tertawa getir.

"Gue pikir juga tadinya gitu. Gimana nggak mikir ke sana coba... Orang dia ngomong... kita udah dewasa, udah harus mulai mikirin masa depan, sebagai laki-laki dia ngerti kalo cewek butuh kepastian hubungan ini mo dibawa kemana..." Pandangan Maya menerawang sambil mengingat peristiwa Sabtu kelabu saat Hari memutuskannya.

"Ternyata..."

"Iyah... Ternyata, dia malah mutusin gue bukannya ngajak gue ketemu sama orangtua-nya." Hening.

Rini mengernyitkan dahi, seperti sedang memikirkan sesuatu yang serius.

"May... Lu bener? Masih sayang Hari?"

"Gue cinta mati sama dia, Rin."

"Kenapa ngga kalo lu ngajak dia balik?" Rini menjentikkan jarinya.

Sekilas ada kilatan sinar di mata Maya. "Gue? Ngajak Hari balik?"

"Iya, kenapa ngga?"

"Hmmm..."

"Orang jelas-jelas lu masih sayang gitu sama dia. Kenapa ngga minta balikan lagi aja? Ngga salah kan? Ngga ada kan peraturan di negara kita kalo perempuan ngajak balik itu salah?"

Siapa Sih?

"IYA yah, Rin... Kenapa nggak?"

Bola mata Maya membesar. Seperti ada keyakinan baru.

Maya melirik jam tangan. Jantungnya berdegup kencang. Tiba-tiba perasaannya melonjak.

Ngajak Hari balik?

Kenapa nggak gue coba sekali lagi?

Bener juga kata Rini.

"Temenin gue yuk," ajak Maya pada Rini.

"Nemuin Hari?"

"Maya mengangguk cepat. "Jam segini sih dia pasti masih ada di kampus."

"Ya udah kita cabs sekarang."

Maya dan Rini berjalan menuju pelataran parkir kampus yang sejuk berkat pepohonan di sekitarnya.

"Mau kemana May?" sapa seorang laki-laki teman kuliah Maya ketika mereka berpapasan di salah satu sudut kampus. "Gua anter ya..."

"Makasih, kebetulan saya bawa mobil." Maya tersenyum sopan dan meneruskan langkah.

"Iiih... itu kan Panji anak desain yang cool itu May," sikut Rini. "Kalo lu ngga mau… mendingan buat gua aja."

Maya pura-pura tidak mendengar. "Tuh, mobil gue parkir paling ujung." Maya langsung menggandeng tangan Rini. Setelah Maya membuka mobil, Rini duduk dan memasang seat belt.

"Duh, panas banget ih," Maya segera menyalakan AC, mengikat rambut dan mengenakan kaca mata hitam. "Lo ngerasa gak sih, Rin, kalo Bandung sekarang tambah panas?" Maya menjalankan mobil dengan kecepatan rendah.

"Iya, makanya gua terpaksa motong rambut jadi pendek begini juga... Mana macet di mana-mana lagi."

"Trus lo merhatiin gak kalo banyak banget billboard di Bandung?"

"BANGET!... Segede-gede dinosaurus lagi, ngga cocok buat kota dengan jalan kecil!"

"Bandung kota billboard, udah bukan kota kembang lagi kali yeee..."

"Gua kangen banget Bandung tahun 80-an deh May. Jaman kita masih maen sorodot gaplok (nama permainan anakanak Bandung dengan menggunakan batu berbentuk pipih yang ditaruh di telapak kaki dan sebagai sasaran adalah batu lain yang disimpan pada jarak beberapa meter. caranya kita harus berjalan engklek untuk menembak batu sasaran-permainan ini sekarang sudah jarang dimainkan lagi) dulu, kayaknya udara Bandung sejuk deh dan ga kenal macet. Lu liat aja jalan Purnawarman kalo macet bisa sampe depan Aquarius."

Mobil sedan hitam milik bergerak menuju kampus Hari yang terletak di daerah utara Bandung.

"Lu yakin Hari ada di kampus, May?" ujar Rini sambil mengaitkan sebagian rambutnya yang pendek, di telinga.

"Yakin banget!" ujar Maya tanpa berkedip. Kalo Senin sih nggak tau kenapa dia selalu sibuk di himpunan." "Ga lu coba telpon dulu say?"

"Mm... Gak usah deh, biar kejutan buat dia." Maya terus berkonsentrasi menyetir mobil. Bandung siang itu, seperti biasa, macet. Ada angkot jurusan Cicaheum–Ledeng yang mogok persis di depan mobil Maya. Suara klakson mobil ramai bersahutan.

"Bukan gueeee yang gak mo jalan... Gak liat apa ada angkot mogok di depan mobil gue," sungut Maya kesal dengan suara-suara klakson yang seperti menuduh bahwa dia-lah yang menghambat kelancaran lalu lintas. Sementara antrian mobil di belakangnya begitu rapat sehingga ia harus sabar menunggu beberapa menit untuk melewati angkot yang mogok itu.

Lima menit kemudian, ban mobil Maya kempes. Ia benar-benar kesal. Kenapa justru di saat ada suatu hal yang urgent, selalu ada hal-hal yang tidak diinginkan, muncul.

Senin itu, setiap detik terasa berharga. Perasaannya begitu meluap-luap untuk meyakinkan Hari agar kembali menjadi that someone special-nya.

"Bete deh ih! Kalo lagi buru-buru pastiii aja suka ada yang aneh-aneh," sungut Maya. Ia mengarahkan mobil ke sisi trotoar.

"Udah... tenang aja. Tuh, untung ban mobilnya kempes deket tukang tambal ban," Rini menunjuk sebuah kios tambal ban di tepi jalan Siliwangi.

"Sialan nih, ada paku gede banget nancep di ban mobil gue," ujar Maya saat memeriksa ban yang terletak di bagian depan, kiri mobil.

Urusan mengganti dan menambal ban mobil diserahkan kepada ahlinya. Mereka tiba di kampus Hari dua puluh menit kemudian. Maya memarkir mobil di bawah pohon tidak jauh dari kampus Hari. Hari adalah mahasiswa Universitas Tatar Pasundan (UTP), jurusan Teknik Arsitektur. Taman kampus Hari ditumbuhi dengan pohon-pohon besar dan semak-semak sehingga terasa begitu teduh. Dua perempuan itu meninggalkan mobil dan berjalan menyusuri taman kampus yang luas.

"Eh, gue pikir-pikir mending gue telpon Hari deh," Maya menghentikan langkah dan meraih handphone yang ia simpan dalam tas. "Males juga kalo nyamperin dia di himpunan."

Mereka lalu duduk di sebuah bangku yang terbuat dari besi. Rini mengedarkan pandangan ke sekeliling kampus sambil mengagumi kegantengan beberapa mahasiswa UTP yang keluar dari gerbang.

"Duh... damainya dunia ya, yang penuh dengan cowok-cowok ganteng yang pinter-pinter ini. Yang itu... mirip banget Primus tuh!!! Yum... yum... Arah jam dua... Bisep-nya oke banget... Iiih rajin fitness ya ’Kang... Ya ampuuun arah jam sembilan! Cowok itu sih selera gua banget!!!" Rini sibuk sendiri men-scan kanan-kiri. "May... May... arah jam sebelas, say!" Rini mengguncangkan bahu Maya, memberi isyarat.

"Apaan sih? Arah jam sebelas mirip Rano Karno yah?" Maya sibuk menunduk mencari handphone di antara berbagai barang yang ia simpan dalam tas. "Bentar ah. Ih... ni handphone kemana sih?" ia mengaduk-aduk isi tas ransel.

"IH! BURUAN LIAT SEKARANG, GILING!"

Setelah mendapatkan handphone yang ternyata terselip dalam buku The Art of War yang sedang ia baca, Maya mengangkat dagu dan mengalihkan pandangan ke arah jam sebelas seperti yang diperintahkan Rini.

---JGERRR!---

Serasa disambar petir. Ia tidak mempercayai apa yang sedang dilihatnya.

Hari.

Arah jam sebelas.

Ia berjalan bersama seorang perempuan berambut panjang sambil memeluk pundak dan membelai rambut.

Tampak mesra dan begitu hangat.

Dan Maya sangat tahu bahwa Hari tidak pernah memeluk pundak perempuan yang tidak berstatus pacarnya.

Seketika handphone dalam genggaman Maya jatuh.

"I.. itu... H-Ha..ri?" ujar Maya dengan mulut menganga.

Sulit dipercaya.

Hari dan perempuan misterius itu lalu berhenti dan duduk di bangku besi taman kampus. Area taman di sebelah barat kampus Hari ini memang terbilang sepi, terlebih lagi sore seperti ini.

"Nunduk! Nunduk!" perintah Rini. Maya menurut. Dua orang sahabat itu membungkuk di balik semak-semak sambil terus memandangi Hari dan si perempuan misteri.

Setelah jeda beberapa detik dan merasa aman, Maya mulai mengangkat dagunya secara perlahan dan mengintip Hari, orang yang baru memutuskannya dua hari yang lalu dengan alasan bahwa ia tidak pantas untuk Maya, sedang duduk berduaan dengan seorang perempuan misterius.

"Siapa sih cewek itu, May? Sodara-nya Hari?" Rini yang mengintip dibelakang Maya.

Maya menggeleng pelan. "Hari sama sekali gak punya sodara yang tinggal di Bandung."

"Kok mesra gitu sih? Sekarang mereka lagi ngapain? Gua ga bisa liat jelas nih."

"Ngob...rol... sambil ngeliat sesuatu... Hmmm kayaknya foto deh..." Jantung Maya berdegup kencang.

"Trus... trus...?" Rini antusias.

Maya membalikan tubuh.

"Rin, elo aja deh yang ngeliat," ujarnya dengan muka pucat.

"Loh, kenapa?"

"Please... Gue nggak sanggup."

"Ya udah sini," Mereka bertukar posisi. Rini lalu mulai berakting seperti seorang detektif. "Mmm... mereka ngobrol...

Senyum-senyum gitu... Trus mereka pegangan tangan sambil liat-liat foto... Kayaknya sih mesra gitu ya May, sesekali

Hari benerin rambut si perempuan misteri itu."

Beberapa menit Rini menekuni perannya sebagai mata-mata. Matanya nyaris tak berkedip memperhatikan Hari bersama perempuan tak dikenal itu.

Sesaat, Rini menghentikan aktivitasnya. "May?"

"Yah, Rin?" ujar Maya lirih sambil menggigit bibir perlahan.

"Hari... udah pacaran lagi ya?" ujar Rini pelan dan terdengar sangat hati-hati. "Cewek itu... pacarnya Hari ya, May?"

Beberapa saat Maya diam, tidak menjawab pertanyaan Rini. Ada awan hitam mengambang diatas kepala. Ini seperti mimpi buruk.

Hari?

Udah pacaran lagi?

Ah, rasanya nggak mungkin.

Orang gue sama dia baru putus Sabtu kemaren kok.

Secepet itukah dia ngelupain gue?

Nggak mungkin banget... orang dia bilang sendiri kok kalo dia bakal susah ngelupain gue.

Masa sih dia bo’ong?

Dan cewek itu... dia siapa sih?

Rini bilang, itu pacarnya Hari?

Please jangan bilang dia pacarnya Hari.

Gue nggak terima banget.

Bilang dia kuntilanak, zombi atau genderuwo, gue masih bisa terima itu.

Maya tetap tidak percaya.

Tapi dengan kejadian yang sekarang sedang berlangsung secara ’live’ dari kampus Hari, membuat Maya tersadar bahwa yang dikatakan Rini adalah benar.

"Iyah kali, Rin..." jawab Maya lemah. "Dasar gila tuh orang!"

Maya meraih handphone dan mencoba menghubungi Hari. Rini masih sibuk meneruskan misi pengintaiannya.

"Ya.. ya... Hari ngambil handphone-nya, May... Trus... trus... dia berdiri dan ngejauhin si perempuan misteri itu..." Terdengar ada nada sambung.

"Halo? Hari?" Nada suara Maya terdengar tegas.

"Eh Maya... Ada apa nelpon?"

"Nggak ada apa-apa... Pengen aja denger kabar kamu setelah kita jalan malem Minggu kemaren." "Oh... baek kok, baek-baek aja..." ujar Hari, seperti biasa, tenang.

"Mmm... Baek-baek aja ya?" ujar Maya kesal.

Udah selesai minta gue buat buru-buru mutusin elo, hidup lo baik-baik aja ya, Har?

Dunia nyaman banget yah buat lo.

"Aku lagi di himpunan nih, lagi rapat. Ntar malem aku telpon ya."

---KLIK---

Mulut Maya menganga membentuk huruf O besar.

"Gila, dia langsung mutusin telpon gue sebelum gue sempet ngomong," Maya tercengang. "Dia buru-buru gitu Rin nutup telpon. Ngakunya lagi rapat di himpunan."

"Huh rapat di himpunan dimana? Di Hong Kong? Dasar kadal!" Rini dan Maya kembali melangkah dan masuk ke mobil.

"Gua rasa Hari tuh udah selingkuh deh May... sebelum dia mutusin elu." Maya tidak menjawab tapi ada sebersit ragu tergambar di wajahnya.

"Coba dong lu pikir. Ada gitu orang yang dalam dua hari putus udah langsung sibuk sama orang laen? Ga mungkin!" Maya diam. Mencoba mencerna apa yang baru dikatakan Rini.

"Teori gua sih dari sebelum-sebelumnya mantan lu itu udah deket sama si Nenek Sihir itu... Selama ini Hari udah selingkuh, May!"

Maya terdiam. Rini terus menyerocos untuk membuktikan kebenaran teorinya.

"Apalagi menurut lu Hari itu termasuk kategori cowok yang ga gampang deket sama cewek ’kan?" Tangan Rini sibuk bergerak ke kanan kiri, tanpa arti. Ini memang kebiasaannya saat berbicara.

Hari yang gue kenal sih emang gitu.

Dia nggak gampang deket sama cewek.

Meski Rini sahabat gue, dia nggak deket.

Hari bilang, cuma ada dua perempuan yang deket sama dia.

Nyokapnya... dan gue.

"Pikir dong May. Sadar ga sih kalo selama ini elu udah dikadalin Hari?"

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience