2

Crime Completed 14534

BUKANKAH SEMUA ORANG PASTI INGIN MELAKUKAN YANG TERBAIK BAGI PASANGANNYA?

Putus

"PUTUS maksudnya?"

Maya mencoba menerjemahkan arti kata aku pengen kita temenan aja yang baru dikatakan Hari.

Apa Har?

Lo barusan minta putus?

Ah, Hari pasti gak serius.

Eh... tapi Hari gak ketawa...

Kok putusin gue?

Kok bukannya ngajak gue ke Jakarta sih Har? Bukannya elo mo ngenalin gue ke orangtua?

Apa gue gak salah denger, Har?

Ini pasti ada sesuatu yang salah sama telinga gue!!!

"Uhm... ya, sebagai pacar... secara teknis kita udah ngga pacaran lagi ya, May. Tapi kalo sebagai temen... Aku pengen kita tetep seperti itu," ujar Hari sambil menatap Maya dalam-dalam.

"Kok putus sih? Aku boleh tau kenapa kamu pengen kita temenan aja, Har?" Mata Maya terasa panas dan kakinya lemas.

Putus?

Nggak bisa! Nggak bisa!

Gue kan sayang banget sama dia... Gila apa kalo dia mutusin gue?

Gue masih ngarepin kalo gue salah denger.

Gue masih ngarepin kalo ini cuma mimpi.

Gue masih ngarepin kalo ini cara becanda Hari yang sangat-sangat gak lucu.

Hari menarik nafas panjang. "Well... Gimana ya neranginnya ke kamu? Aku takut kamu ga ngerti." "Try me," Maya jutek.

Mendengar Hari mengatakan aku takut kamu ga ngerti, Maya mengartikan Hari menganggapnya bodoh.

Kalo Hari bener-bener pengen putus...

Ini bener-bener mimpi buruk buat gue!

"Uhm... gimana ya, aku bingung gimana neranginnya... err... " Hari mengetukkan jemari di atas meja. "Gini May, kamu tau... kita berdua bukan anak kecil lagi... udah sama-sama dewasa, udah harus mikir panjang... " "Ok... ok... Tadi kan yang ini udah dibahas... Trus ... trus... trus?" ujar Maya dengan tidak sabar.

Gue harus tenang.

Gue gak boleh emosi.

Gue harus denger alesan Hari.

"Dan kamu... bentar lagi kan mau diwisuda... kerja... dan yang pasti nikah. Aku ngerti banget sebagai perempuan kamu pasti nanya mau dibawa ke mana hubungan kita ini ’kan?"

"Uh huh," Maya mengangguk. "Dan intinya?"

"Aku ngga mau May kasarnya ’mempermainkan’ kamu. Lebih lagi kamu adalah seseorang yang spesial..." "Spesial, Har?"

Senyum yang mengembang dari wajah Hari seperti sesuatu yang dipaksakan.

"Kalo aku memang spesial kenapa kamu sampe mutusin aku???"

"May... kalo aja kamu ngerti, ini ga gampang buat minta putus dari kamu... Tapi, aku terpaksa, May. Aku ngerasa ga pantes buat jadi pacar kamu."

"Biar gampang, sekarang aku tarik benang merahnya aja yah," Maya berusaha menahan emosi.

"Pertama, kamu bilang kalo aku ini adalah orang yang spesial. Kedua, kamu ngerasa gak pantes buat jadi pacar. Ketiga, karena alesan itu kamu minta putus.

Nggak logis banget kan?"

Bilang itu sekali lagi... gue cekék loh, Har.

Hening.

"Ya... Selama ini aku sadar kalo aku selalu ada di ’bawah’ kamu, May," ujar Hari dengan kedua tangan membentuk tanda petik. "Aku dua tahun di atas kamu, tapi aku masih belum lulus."

"Itu nggak masalah kok."

"Sementara kamu sendiri sebentar lagi diwisuda... Mulai dengan kehidupan baru kamu kerja di perusahaan yang udah lama jadi impian kamu."

"T-tapi..."

"Kamu ngerti bahasa Prancis... Aku? Sama sekali ngga tau apa-apa." "Tapi..."

"Kamu bisa bela diri... Aku ngga."

"T-tapiii..."

"Masa depan kamu cerah, May. Ngga seperti aku. Itu sebabnya aku pengen kamu dapetin orang yang lebih baik. Aku... aku... ngga pantes buat kamu," Hari menundukkan kepala.

Entah kenapa kali ini kata-kata Hari itu mampu membuat mata Maya basah.

Hatinya perih membayangkan bila harus kehilangan Hari. Orang yang selama satu tahun terakhir ini mengisi hidupnya. Orang yang selalu mengajaknya melihat bintang. Orang yang bisa membuatnya tersenyum bahagia, tertawa dalam duka dan yang terpenting membuatnya selalu ingin melakukan yang terbaik.

Sedih, kesal, marah dan kosong bercampur jadi satu membungkus perasaan Maya saat ini. Tapi di lain pihak, apa yang dikatakan Hari adalah benar.

"Har..." Maya berusaha meraih tangan Hari.

"Kamu ngerti kan, May?"

"Aku nggak pernah mikirin hal yang kamu bilang tadi, Har. Aku sama kamu tuh... uh... Gimana yah... Aku ngerasa cocok aja sama kamu. Karena kamu, aku bisa ngelakuin segala sesuatu dan berusaha untuk jadi yang terbaik." "Tapi kamu terlalu baik buat aku, May..."

"Bukankah semua orang pasti ingin melakukan yang terbaik buat pasangannya, Har???" tukas Maya cepat sambil berusaha menahan air mata yang menetes.

Gue nggak pengen putus sama Hari.

Please, Har... gue tuh udah ngerasa cocok banget sama elo.

"Tapi itu justru susah buat aku... Lama-lama jadi beban, May."

"Susah gimana? Jadi beban gimana? Tolong bikin aku ngerti, Har." Maya terus memberondong Hari dengan pertanyaan.

Gue masih pengen mempertahankan hubungan gue sama Hari. I’d do anything!

Bahkan sampe ngemis juga gue rela.

Ngemis untuk seseorang seperti Hari kan wajar banget!

Gue rela, yang penting Hari nggak ninggalin gue.

"May... ini masalah pride, sebagai laki-laki seharusnya aku bisa lebih dari kamu. Coba kamu pikirin lagi apa yang udah aku bilang... Kalo selama ini emang bener, aku ada di bawah kamu... dan terkadang itu ngebuat aku ngerasa aku bukan laki-laki."

Sesaat Maya terdiam. Ia melarikan pandangannya ke luar. Tapi pandangan itu kosong. Sulit bagi Hari untuk mengartikannya.

"Tolong jangan bikin ini tambah susah... Aku udah bilang bahwa untuk putus dari kamu bukan hal yang gampang. Kamu pantes dapetin seseorang yang lebih baik dari aku."

"Semua alesan yang udah kamu bilang itu nggak cukup buat bikin kita putus!" Tidak ada respon dari Hari.

"Har, please dengerin aku..." Maya mengiba. "Aku sayang kamu banget, Har... Masa sih kamu nggak bisa ngeliat itu?" Hari tetap diam.

"Aku nggak bisa ya ngerubah pendirian kamu?" Maya menghapus air mata yang mengalir perlahan di pipi.

Hari, gue tuh udah terlalu sayang banget sama lo...

Please bilang Har kalo ini semua nggak bener.

Please bilang kalo pendirian elo bisa dirubah.

Hari menggeleng.

"Kamu adalah yang terbaik dan karena itu kamu sangat pantes dapetin yang terbaik juga." Maya menatap Hari lurus-lurus.

Cowok ganteng ini, yang sekarang ada di depan gue... orang yang gue sayang banget dalam sejarah gue pacaran, minta gue cuma jadi temennya aja?

Nggak ada orang lain yang bisa gue sayang banget selain elo.

Har, apa lo nggak tau sedalem apa gue sayang sama elo?

"Justru kamu yang terbaik buat aku, Har."

Hari menggeleng untuk yang kesekian kalinya. "Ngga, May. Bukan aku yang terbaik buat kamu. Tolong jangan bikin semua keputusan ini sulit. Jadian sama kamu adalah sesuatu yang indah... dan aku pengen hubungan kita berakhir dengan indah."

Mulut Maya bergetar, ia tidak sanggup menahan air mata yang makin lama menggenang. Hatinya berteriak-teriak menolak keputusan yang secara sepihak itu. Rasanya ia terlalu lemah untuk menganggukan kepala, menerima keputusan Hari bagi hubungan mereka berdua yang pada akhirnya harus tutup buku, selesai.

Tanpa banyak bicara Hari langsung memeluk Maya. Wajah Maya tenggelam dalam pelukan sambil menangis kuatkuat. Harianto Prabowo, separuh tarikan nafas hidup itu kini memilih pergi.

"Aku bakalan susah ngelupain kamu, May."

Lost In Space

You are my soul satellite

I’d be lost in space without you

(Lost in Space - Lighthouse Family)

MAYA tidak pernah mengenal kalimat diputuskan oleh seorang laki-laki. Selama ini, sulit dibuktikan dengan statistik ada berapa puluh laki-laki yang harus ’menderita’ karena diputuskan Maya.

Selalu Maya yang memutuskan semua yang pernah jadian dengannya. Tidak pernah tidak.

Maya adalah:

Seorang perempuan dengan gelar spesialis penolak pernyataan cinta dan ratu spesialis memutuskan cinta. Sebagai perempuan, Maya beruntung dikaruniai wajah yang cantik. Badannya berisi karena ia menekuni taekwondo dengan serius sampai berhasil meraih sabuk hitam. Selain itu, prestasi akademiknya pun layak dikagumi. Lulus dari Teknik Elektro – Universitas Bumi Parahyangan dengan predikat cum laude adalah bukan sesuatu yang dapat diraih dengan mudah.

Di balik segala itu, bila berhadapan dengan sebuah masalah, ia tenang dan berusaha mencari solusi yang terbaik. Tapi jangan coba-coba mengusik dia. Berurusan dengan Maya adalah mimpi buruk.

Ia bukan tipe perempuan yang senang berdandan dan menghabiskan waktu berlama-lama ke salon untuk creambath, manicure atau pedicure. Ia nyaris membiarkan wajahnya polos tanpa make-up. Tapi semua itu tidak membuat kecantikannya berkurang. Justru karena kesan natural ditambah otaknya yang berisi membuatnya memiliki banyak ’penggemar’.

Dan sekarang, untuk pertama kalinya dalam sejarah ia merasakan penderitaan karena diputuskan Hari, seorang lakilaki yang bisa membuatnya berkata: ’akhirnya gue dapetin seseorang yang selama ini gue cari’. Maya harus tabah menerima permintaan Hari untuk mengembalikan hubungan mereka back to square one, kembali menjadi hubungan pertemanan biasa.

Usai Hari mengantarkannya pulang, Maya terbaring lemas di tempat tidur sambil menatap langit-langit.

Har...

Kok putusin gue?

Kok tega sih, Har?

Apa gue salah kalo gue pengen ngelakuin yang terbaik?

Gue belajar jungkir balik sampe jam dua pagi supaya gue bisa lulus kuliah dengan predikat cum laude.

Gue belajar bahasa Prancis karena gue emang pengen itu jadi nilai tambah buat gue kalo kerja nanti.

Semua itu biar bikin elo bangga...

Kenapa itu justru jadi sesuatu yang bikin elo mutusin gue?

Apa salah Har kalo gue pengen ngelakuin yang terbaik buat elo dan buat diri gue sendiri?

Apa sih yang ngebuat elo ngga ngerasa jadi laki-laki?

You have no breasts, of course you’re a guy!

Silly.

Maya memalingkan pandangan pada poster Metallica yang tergantung di salah satu dinding. Ia beranjak untuk memutar lagu Fade To Black yang selalu ampuh untuk mengobati bila ia sedang sedih. Tapi kali ini, gagal. Ternyata perasaan sedih itu tetap singgah, tidak bisa dihilangkan dengan mudah.

Maya akhirnya meraih CD Lighthouse Family yang pernah diberikan Hari. Lagu Lost In Space adalah lagu kesayangan Hari yang diikrarkannya sebagai theme song mereka berdua. Saat sering menghabiskan waktu memandang bintang, Hari selalu memutar lagu ini.

You are my soul satellite

I’d be lost in space without you

Maya merebahkan diri ditempat tidur sambil meraih sebuah frame dari kayu berwarna coklat gelap yang berisi foto Hari.

Semua orang bilang kalo kita berdua adalah pasangan yang cocok banget, Har.

Maya dan Hari.

Seperti... Romeo dan Juliet.

Jihan dan Primus.

Barbie dan Ken.

Maya membiarkan jari telunjuknya menyusuri foto Hari.

"Aduh… mata itu…" gumam Maya.

Pandangan mata itu yang mampu membuat Maya salah tingkah ketika pertama kali mereka bertemu. Tajam, dingin tapi memberikan sensasi yang luar biasa.

Melihat foto mereka berdua membuat Maya serasa memasuki mesin waktu, kembali ke masa lalu, saat pertama ia mengenal Hari.

Adalah ketidaksengajaan yang mempertemukan mereka. Setahun yang lalu, saat Maya harus ke Jakarta untuk urusan keluarga, ia bertemu Hari. Kereta Api Parahyangan jam 5 pagi, gerbong pertama. Hari duduk persis di sebelah Maya.

"Hai," tiba-tiba laki-laki ganteng berjaket jeans biru gelap tanpa kumis itu menyapa Maya. Ia langsung menaruh tas ransel warna hitam di rak besi kabin dan duduk di sebelah Maya.

"Tinggi 1,75 M. Rambut rapi ber-gel. Wangi. Matanya tajem kayak matanya Andy Garcia. Badannya bagus J ummm..." Maya memberi penilaian dalam hati. Sapaan si laki-laki ganteng itu mengusik Maya yang sedang melamun memperhatikan beberapa penumpang kereta yang baru masuk mencari tempat duduk.

Sebetulnya ia paling anti berbicara dengan seseorang yang duduk di sebelahnya dalam kereta dan lebih memilih untuk berpura-pura tidur secara sengaja dengan mulut menganga yang bisa membuat seseorang yang berhasrat ingin berkenalan bisa langsung mengundurkan diri (karena kelakuan Maya itu membuatnya turn off). Siasat itu selalu berhasil untuk menghindari percakapan basa-basi berdasarkan pengalaman yang berakhir dengan,

"Uhm... mmm... Ngomong-ngomong ada yang marah ngga ya kalo saya main ke rumah kamu?"

"Ini kartu nama saya, Hutomo Adiputro. Oh ya... by the way, saya regional manager di perusahaan penerbangan internasional loh dan MASIH SINGLE."

"Ada yang jemput ngga nanti di stasiun? Kalau ngga keberatan, saya bisa nganterin kamu ke rumah." Tidak berbicara tapi terus menerus memandangi Maya dengan tatapan ’mupeng’.

Tapi Hari adalah pengecualian.

Begitu melihatnya, ada perasaan aneh yang muncul. She feels butterfly in her stomach. Maya tidak lagi melancarkan jurus tidur dengan mulut menganga. Sebaliknya, ia justru ingin percakapan dengan orang ganteng yang ia curigai mirip seperti seorang finalis cosmo-men tahun lalu yang ada disampingnya itu berlanjut.

Is it love at first sight?

Of course it is.

"Mau?" ujar Hari menyodorkan kantung kertas yang berisi donat. "Aku belum sarapan, kebetulan tadi sengaja beli donat banyak."

"Uhm... Nggak usah, makasih... Gue nggak laper," Maya menolak dengan halus.

Bohong! Bohong! Bohong!

Jujur, ia sendiri memang lapar. Terlebih lagi semalam ia tidak makan karena terlalu mengantuk dan lebih memilih untuk tidur.

---KRUUUUK... KRUUUK...---

--------------------------------------------------------------------------------

Tiba-tiba perutnya mengeluarkan suara yang sangat tidak diinginkan. Maya dengan sigap melipat kedua tangan sambil menekan kuat-kuat ke arah perut untuk meredam suara itu.

Si ganteng itu tersenyum. "Yakin nih kamu ngga laper?" Maya diam. Mukanya memerah.

"Ambil aja, nih... GRATIS kok." Si ganteng itu secara spontan menaruh kantung kertas yang berisi donat di pangkuan Maya.

"Uh-huh..." Maya akhirnya menerima tawaran.

"Nah, gitu dong... Kan enak nih sarapan bareng-bareng."

Maya tersenyum. "Thanks yah, tadinya gue mo ngorder makanan di kereta."

Kereta mulai berjalan pelan meninggalkan stasiun Bandung. Sambil menikmati donat pemberian si ganteng, Maya kembali memperhatikan orang-orang dalam kereta. Penumpang kereta didominasi oleh orang-orang yang sudah rapi berpakaian kerja. Seorang perempuan muda yang duduk di sisi kanan berpakaian sangat rapi dengan blazer coklat muda dan rok selutut, terlihat berkali-kali membuka map yang berisi CV, mungkin ia ke Jakarta untuk persiapan interviu kerja. Seorang bapak berumur sekitar lima puluhan terlihat sibuk terlibat percakapan dengan seseorang melalui handphone.

"By the way, kamu mau ke mana?" tanya laki-laki ganteng murah hati pemberi donat itu.

"Uh... let’s see..." Maya mengeluarkan tiket kereta dari saku celana jeans-nya. "Ini kereta api Parahyangan dan gue turun di Gambir. Sangat masuk akal kalo gue mo ke Jakarta mungkin yah." "Kamu lucu ya..." Puji si ganteng tulus.

Mereka berdua tertawa.

"Sorry... Dari tadi aku belum tau nama kamu." Si ganteng itu memandangi Maya dalam-dalam. Padangannya tajam, tanpa ekspresi tapi maut.

"Amaya."

"Harianto."

"Panggil aja gue Maya."

"Kamu bisa manggil aku Hari."

Perkenalan yang biasa saja, tidak ada acara sodor tangan dan bersalaman. Padahal sebetulnya Maya ingin merasakan genggaman tangan si ganteng yang bernama Hari. Maya terkadang menyimpulkan orang dari cara bagaimana ia bersalaman.

Orang yang bersalaman dengan erat bisa diartikan seseorang yang bersemangat, hangat, optimis, pede... atau juga menunjukkan bahwa ia pria berotot kawat bertulang baja.

Orang yang bersalaman dengan lemah diartikan Maya sebagai orang yang tidak punya tenaga, lapar, tidak bersemangat dan dingin.

Hmmm...

Mungkin benar mungkin juga tidak.

Tapi begitulah Maya.

Tiga jam lebih perjalanan Bandung – Jakarta, seperti bisa ditempuh dalam waktu lima menit. Mereka membicarakan hal-hal yang ringan dan standar seperti film favorit, kuliah di mana, hobi dan bukan hal-hal yang berat seperti apakah Pluto itu termasuk planet atau bagaimana caranya orang-orang Mesir jaman dulu membangun piramid.

Saat kereta memasuki Gambir, Hari bertanya, "Maaf, aku boleh tau nomor handphone kamu?" Maya tersenyum.

Untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun terakhir, ia memberikan nomor handphone-nya pada seseorang yang baru ia kenal dalam kereta.

---

Setelah telepon pertama, seusai Maya tiba kembali di Bandung, mereka akhirnya semakin dekat. Pertemuan itu berlanjut terus sampai setahun yang lalu Hari menyatakan perasaannya pada Maya.

Membayangkan putus dari Hari saja ia tidak pernah. Maya sangat yakin ia cocok sekali dengan Hari. Maya yakin sekali suatu saat Hari akan membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.

Padahal... setiap hari, setiap menit, setiap nafas, Maya tidak pernah berhenti menyayangi Hari. Perasaan hampa langsung menyergap ketika ia sadar akan pilihan Hari pergi dari setiap hembusan nafas itu.

Maya terus memandangi foto Hari dalam frame kayu coklat gelap sampai akhirnya mendekap frame foto itu erat-erat. Satelit hati itu memilih pergi. Air matanya kembali menetes.

And I'll never lose my faith in you...

Ketika bait terakhir lagu Lost in Space terdengar, Maya perlahan menutup kelopak matanya.

"Padahal gue nggak pernah sedikit pun meragukan elo, Har... "

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience