9

Crime Completed 14534

INIKAH NAMANYA CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA?

Salesman Kondom

BEGITU sampai rumah, Maya segera menelepon Rini. Dalam beberapa detik terdengar nada sambung.

"Haluuu... Capa neeeh?"

"Heh! Lagi ngapain?"

"Lagi nelpon!"

"Ih itu sih gue udah tau."

"Please deh... Udah tau kok malah nanya sih? Yang ga normal di sini siapa?"

"Arrgghh... anyway..."

"Cerita dulu tadi gimana?"

"Tadi apaan?" tukas Maya galak.

"Ituuu, ngikutin Hari. Buruan cerita!" Rini terdengar tidak sabar.

"Ooo... ituuu... Heheheh," Maya terkekeh, penuh kemenangan. Ia tertawa membayangkan Hari yang kebingungan ketika mendapati seluruh ban mobilnya dalam keadaan kempes.

"Iya, itu, gimana?"

Maya lalu menceritakan kejadian bagaimana dia mengintai Hari mulai dari kampus, BIP dan sampai bagaimana Maya mengempeskan semua ban mobil Hari di depan sebuah rumah yang dicurigai sebagai rumah si Nenek Sihir itu.

"Dasar penjahat!" Rini berkomentar sambil disusul dengan gelak tawa. "Gimana cara tuh si Hari balik?"

"Bodo! Mudah-mudahan sih jalan kaki sampe gempor."

"Ampun deh ya, elu tuh... Memang deh kalo udah punya urusan sama orang bisa sampe kayak gini."

"Gue bilang juga bisa panjang kalo macem-macem sama gue," ujar Maya ringan tanpa merasa salah. "Tapi ada yang bikin gue bete banget nih, Rin."

"Apaan?"

"Gue gak sengaja ketemu Indra. Trus lo tau ngga? Ternyata Hari ngakunya kalo gue yang mutusin dia... Gara-gara gue udah punya cowok laen!"

"Gilaaaaa... Tukang ngarang banget sih tuh orang!"

"Pantesan aja si Buaya Darat itu santai banget pacaran di kampus."

"Bener-bener harus dikasih pelajaran tuh orang," Rini geram.

"Tunggu aja tanggal maennya... Heheheh..."

"Eh ngomong-ngomong besok gimana? Elu jadi dong ikut gua ke Jakarta?"

"Nah itu dia, Rin. Sorry banget gue nggak bisa."

"Mau ngapain? Besok-besok elu mau nyewa sniper ya?"

"Hahaha... Yah, dalam pertimbangan."

"Dasar giling!" maki Rini setengah bercanda.

"Yah udah, cepet balik yah."

---KLIK---

---

Rini dalam perjalanan menuju Jakarta. Dalam kereta, ia duduk dekat jendela. Ia sedikit berharap semoga ada seseorang mengisi tempat duduk di sampingnya. Berbeda dari Maya, Rini selalu berharap ada cowok ganteng setipe Samuel Rizal duduk di samping. Rini adalah tipe pengkhayal sejati yang selalu mendamba pacar berwajah tidak jauh dari Nicholas Saputra atau Pierre Roland. Dan sebagai tambahan, Rini adalah member Perkumpulan Perempuan Berkadar Gengsi Setinggi Langit (PPBGSL).

Tapi tragisnya, beberapa kali pergi ke Jakarta, ia tidak pernah beruntung karena harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Rini lebih sering duduk berdampingan dengan:

Orang paling pendiam se-Bandung.

Salesman yang menawarkan lem tikus. Bukan Samuel Rizal.

Sementara deadline dari keluarga untuk mendapat calon suami semakin tipis. Rini resah. Rini gelisah. Persis seperti saat ini.

"Semoga kali ini berhasil," harapnya cemas dalam hati.

Kereta bergerak meninggalkan stasiun. Rini hanya bisa menatap pasrah tempat duduk di sampingnya kosong. Untuk membunuh sepi, Rini membaca majalah yang sengaja ia beli sebelum masuk kereta. Sebuah artikel di majalah dengan judul ber-font besar yang sedang ia baca cukup menarik perhatian. ’Safe Sex - Use Condom.’

"Pori-pori kondom kan jauh lebih besar daripada virus HIV (Dikutip dari: Konsep Islam Menaggulangi HIV/AIDS oleh Prof. DR.dr. Dadang Hawari)," ujar laki-laki yang tiba-tiba duduk di sebelah Rini. Rupanya ia salah masuk gerbong sehingga terlambat duduk di tempat yang seharusnya.

"Eh?" Rini menoleh. Sekali melirik laki-laki berperut gendut yang bermata sipit itu, tiba-tiba terasa ada ’aliran listrik’ mengalir dalam darah dan percikan kecil yang membakar jantungnya.

"Iya, ini artikel yang sedang kamu baca. Safe Sex – Use Condom. Yang saya tahu, pori-pori kondom lebih besar dari virus HIV," ujarnya lagi sambil menunjuk judul artikel.

"Oh ya?" ujar Rini dengan pandangan so-tau-deh-lu.

"Begitu yang saya tahu."

"Terima kasih atas informasinya," Rini merespon dingin.

"Dan dibandingkan dengan semua negara di dunia, Senegal adalah negara yang masih relatif tidak tersentuh AIDS (Sumber: TV Perancis)."

Rini pura-pura tidak mendengar.

"Tingkat kebocoran kondom di pasaran mencapai 30%," tambahnya lagi.

"Anda memangnya salesman kondom ya? Kok tau sekali tentang kondom," timpal Rini.

"Hahaha..." Laki-laki itu tertawa. "Saya Sidik... Bukan ANDA..." Ia menyodorkan tangan. "... dan sayang sekali saya bukan salesman kondom."

"Rini," Rini menyambut sodoran tangan Sidik dengan senang hati. Kembali ’percikan’ itu terasa menguat.

"Rini... Minta nomor handphone-nya dong," ternyata Sidik cukup agresif.

"Lupa," ujar Rini singkat. Playing hard to get adalah motto hidupnya. Kesengsaraan akibat motto hidup inilah menjadi balasan kenapa tidak banyak orang yang mendekati Rini.

"Hehehe... Jadi saya ga boleh tau nih?"

"Bener, gua lupa. Asli!"

"Bo’ong banget... Kalo ga boleh bilang aja, Non."

"Gua kan ga pernah nelpon ke gue sendiri," kilah Rini. Ia berprinsip bila memang ada yang tertarik, tentu orang itu akan gigih berusaha mendapatkan nomor handphone-nya.

"Takut suaminya marah ya?"

Sidik 1 – Rini 0

Rini langsung mendelik. "Noooo... I’m not married... YET," Rini memperlihatkan tangan kanannya. "Ngga ada cincin kan?"

"Siapa tau."

"So I DO look like a married woman!" pandangan Rini penuh hostilitas.

Sidik tertawa. "Ngapain ke Jakarta, Rin?"

"Ada urusan keluarga."

"Oh."

"Elu? Kerja?"

"Saya penyiar di MERANA FM Bandung. Ke Jakarta buat ngeliput upacara pemakaman kucingnya pendengar." "Hahaha... Serius?"

"Radio tempat saya kerja kan segmennya buat orang-orang sedih gitu. Nah salah satu pendengar kita sedih banget karena kucingnya mati. Dia orang Jakarta yang kuliah di Bandung. Karena lagi ujian dia ga bisa ikutan upacara pemakaman kucingnya ini, makanya minta diliput."

"Gila tuh orang. Kucing mati aja minta ada liputan khusus."

"Heheheh," Sidik terkekeh. "Ya namanya juga udah sayang kali. Atas nama cinta dan sayang, orang bisa ngelakuin apa aja yang ngga pernah kita duga."

Sampai Gambir, ternyata Sidik tidak pernah menanyakan lagi nomor handphone Rini. Mereka berpisah sampai Rini masuk taksi. Setelah melihat bayangan Sidik dari kaca spion, Rini menunduk sedih. Dalam hati ia menyesal membiarkan Sidik pergi tanpa mengetahui nomor handphone-nya.

Nggak Mirip Samuel Rizal

JAM 23.44

---BEEP BEEP---

"Halo Maya cantik," Suara Rini terdengar riang gembira.

"Hoaemmm..." Maya menguap, "...duh jam segini nelpon," dan memaki.

"Lagi ngapain, May?"

"Ini lagi nepok-nepok bantal udah mo berlayar ke pulau mimpi nih. Hoaeammmhhh... Ada apa Rin?"

"Gua mau cerita dan lu harus dengerin."

"Hoaeeaaammmhhh..."

"Gua ketemu cowok di kereta looo..." Rini bercerita dengan penuh semangat.

"Trus, kalian pacaran nih? Kalo iya gue tumpengan deh, Rin."

"Kagak... Dia minta nomor handphone gua, ga gua kasih trus dia-nya ga nanya lagi. Bete ga sih lu?"

"Hahahaha..." Maya tertawa (persis seperti tawa musuh-musuh semua jagoan dalam sinetron yang terdengar hiperbola). "Makanya makan tuh gengsi! Sekarang nangis-nangis bombay deh lo gak berhasil bikin dia penasaran..."

"Ah elu tuh ya, emang SAHABAT SEJATI banget!"

"Duuuh, sorry gua kan becanda, Rin. Kok jadi sensi gitu sih? Ngomong-ngomong profil cowok itu gimana, Rin? Sampe bisa bikin lo morang-maring gitu."

"Lu tau Samuel Rizal?"

"Cowok keren yang maen di Tusuk Jelangkung itu?"

"...plus cowok yang jago basket ituuu..."

"Iyah, tau..."

"Iya, cowok yang duduk di sebelah gua di kereta itu..."

"...mirip Samuel Rizal yah?"

"Nggak mirip sama sekali."

!@#$%!@#$!

Please deh Rin...

Kalo nggak mirip ngapain dari tadi kita ngebahas Samuel Rizal?!

Maya diam.

"Cowok yang gua temuin itu berperut gendut sama matanya sipit. Secara fisik sih bukan tipe gua deh May. Tapi gua kok berasa aneh ya pas ketemu dia. Kayak ada apaaa gitu. Kayak ada ’aliran listrik’ yang bikin hati gua kesetrum...

Atau kayak ada percikan api yang bisa ngebakar perasaan gua."

"Wow... Masa sih?"

"Iya, padahal dia ngga mirip Samuel Rizal." Maya menarik nafas dalam-dalam.

Bukannya tadi udah kita bahas kalo cowok yang baru lo kenal ini JELAS-JELAS nggak mirip dia?

"Menurut lu, ini cinta pada pandangan pertama bukan ya, May?"

"Mmmhh... Bisa ya... Bisa iya banget."

"Iya, aneh gua juga. Trus pas gua sinis ke dia, dianya santai-santai aja. Tenang banget. Namanya Sidik Thamrin. Dia ker..."

"Dia penyiar MERANA FM Bandung, bukan?" potong Maya cepat.

"Loh?! Elu kenal?" Rini heran.

"Gue suka dengerin dia siaran lagi."

"HAAAAH? Elo jadi dengerin MERANA FM? Apa kabarnya Metallica?" Maya tidak menjawab.

"Elu kayaknya desperate banget deh sejak putus sama Hari. Anyway... barusan gua cek ricek undangan buat orangorang yang berdomisili di Jakarta. Ternyata ada undangan buat Keluarga Ir. Wishnu Suryo Prabowo di Pondok Indah. Itu bukannya nama bokap Hari, May?" Maya duduk terbangun.

Rini Menemukan Cinta "SIAPA?" ulang Maya.

"Keluarga Ir. Wishnu Suryo Prabowo di Pondok Indah. Itu bukannya nama bokap Hari?"

Deg! Jantung Maya serasa bergerak lebih cepat. Ia hanya terdiam heran. Bagaimana bisa nama keluarga Prabowo termasuk dalam daftar undangan.

"Itu emang nama bokapnya Hari lagi, Rin."

"Bakal ketemuan dong lu nanti di kawinan Teh Nia," ujar Rini hati-hati.

"Emang keluarga kenal yah sama bokapnya Hari?"

"Ngg... Iya kali... Gua juga baru tau tadi pas ngecek-ngecek." "Duh... " Nafas Maya terdengar berat.

"Kenapa May?" tanya Rini pelan. "Kepikiran ya?"

"Iyah Rin... Jadi kepikiran lagi perasaan gue sama Hari."

"..."

"Hmmm... Waktu itu sih baru ngobrol di telpon aja sama nyokapnya Hari. Enak banget deh ngomongnya... Nyambung dan kayak yang welcome banget sama gue."

"Mmm..."

"Yah udahlah, titip salam aja kalo lo besok ke tempatnya Pak Prabowo yah." Maya mengisyaratkan untuk mengakhiri topik pembicaraan.

"Oke."

Setelah percakapan lewat telepon berakhir, Maya jadi sulit memejamkan mata. Nama keluarga Prabowo kembali membawanya ke alam pikiran bahwa betapa di balik semua niat balas dendam pada Hari, jauh di lubuk hatinya... rasa sayang itu masih kuat. Maya berbaring menatap langit-langit sambil mendengarkan MERANA FM. Sebuah lagu sedih begitu menyayat hati membuatnya terhanyut dan menangis. Tanpa Hari, Maya merasa seperti setitik debu di padang pasir yang sering dipermainkan angin.

Terbang...

tapi tanpa arah.

Tips Mengatasi Patah Hati #9:

Siapkan sekotak tissue dan inhaler bila kamu menangis di malam hari karena masih teringat mantan. Dan... jangan ragu bila ingin menangis. It's okay to feel blue, don't deny your feelings.

---

Rini duduk menunggu di ruang tamu. Terlihat salah satu dinding dihiasi dengan foto keluarga berukuran besar. Tampak Hari, berpakaian tradisional Jawa lengkap dengan blangkon bersama orangtua dan dua adik perempuannya.

"Oh... Ini toch putri-nya Pak Maman?" Seorang wanita setengah baya muncul di ruang tamu. Tampak anggun dan cantik meski sudah dimakan usia. "Kapan datang dari Bandung ’de?"

"Kemarin, Tante."

"Monggo... monggo... Duduk ’de," ujar Ibu Prabowo dengan ramah.

"Ini Tante, saya ada titipan undangan dari Papa untuk Tante sama Oom. " Rini menyerahkan undangan pernikahan dari dalam tas.

"Iya, kemarin juga Pak Maman sudah telpon wanti-wanti supaya kita datang nanti. Monggo loh ’de diminum... Maaf Tante belum tau siapa namanya?" tanya Ibu Prabowo sambil mempersilahkan Rini untuk menikmati segelas orange juice.

"Rini, Tante."

Setelah menikmati segelas orange juice, mereka melanjutkan percakapan.

"Maaf Tante, dari tadi saya perhatikan foto keluarga Tante... Kalo ngga salah putra Tante namanya Hari ya?"

"Oh itu..." Ibu Prabowo melirik foto keluarga yang dipajang di dinding. "Iya, Hari... Harianto... Memangnya de’ Rini kenal toch?"

"Teman saya kebetulan teman dekatnya Hari, Tante."

"Sopo toch? Amaya ya?"

Rini mengangguk. "Iya Tante, Maya."

"Eeealah... Iya, Maya. Tante tuh seneng banget Hari sama Maya. Wong Maya itu udah ayu, pinter lagi ya. Tante liat dari foto yang dikasih liat Hari. Kemarin-kemarin Hari bilang rencananya dia pengen ngenalin dan ngajak Maya ke

Jakarta tapi sampe sekarang kok ya belum-belum juga."

"Iya, Tante. Maya sendiri titip salam buat Tante sama Oom."

"Yo wis, nanti salam kalau ketemu Maya ya de’. Bilangin, Tante tunggu di Jakarta." Tak lama setelah itu, Rini berpamitan pulang.

"Hari? Bilang ke nyokapnya kalo mau ngenalin Maya ke keluarga-nya? Yang bener aja," gumam Rini.

Salesman Kondom Is Back!

SETELAH dua hari di Jakarta untuk urusan distribusi undangan pernikahan kakak semata wayang-nya, Rini kembali ke Bandung. Karena satu jam lagi kereta tiba, ia memutuskan menunggu di sebuah café. Menikmati secangkir ice latte dan sepotong tiramisu(Tiramisu adalah hidangan pencuci mulut yangberasal dari salah satu propinsi di Italia. Karena rasanya yang lezat, maka disebutlah tiramisu yang berarti jemputlah/ ambil aku). Terkadang pikirannya terbang pada peristiwa saat ia bertemu Sidik. Adanya ’aliran listrik’ dan percikan yang belum pernah dirasakan memberikan sensasi yang luar biasa. Dimana hal itu belum pernah terjadi sebelumnya.

--------------------------------------------------------------------------------

Tapi Rini tetaplah Rini, dengan kadar gengsi setinggi langit bila sudah berhadapan dengan makhluk berlabel laki-laki. Kini ia menyesali diri tidak memberikan nomor handphone-nya pada Sidik. Kesempatan terkadang tidak terjadi dua kali. Akhirnya sekarang gigit jari sambil membolak-balikan beberapa halaman majalah dan membaca-baca artikel. Matanya terpaut pada artikel dengan judul yang cukup menarik perhatian. THE BENEFIT OF SEX, Sepuluh Manfaat Bercinta dengan Suami.

"The Benefit of Sex? Wow, that must be interesting," suara bass itu memecah konsentrasi Rini yang sedang serius membaca. Judul artikel itu memang ber-font besar, sehingga sekilas mudah dibaca.

Rini tengadah.

Salesman kondom is back.

Rini salah tingkah, tersenyum kaku karena tidak menyangka akan bertemu Sidik lagi. Ia berusaha cepat-cepat menutup majalah. Terlalu terburu-buru sehingga majalah itu jatuh lebih dekat ke arah Sidik. "Hmmm, kirain ga akan ketemu salesman kondom lagi nih."

"Saya penyiar, bukan salesman k..."

"Whatever," tukas Rini dengan tampang judes.

"Pertama kita ketemu, kamu lagi baca Safe Sex, siang ini The Benefit of Sex. Are you addicted to s..." "Of course not!" balas Rini cepat.

Sidik berusaha menahan senyum sambil meraih majalah itu di lantai. Ia menyodorkannya ke Rini.

Rini terpaku melihat Sidik. Salesman kondom itu, kenapa terlihat ganteng sekali di matanya. Berperut gendut dan bermata sipit, bila tertawa hanya akan membuat kedua matanya seperti membentuk garis. Rambutnya kecoklatan, pendek dan rapi ber-gel. Ia memakai kemeja putih bersih yang lengannya tergulung sampai sikut. Bola matanya berwarna coklat gelap. Meski tidak seperti Samuel Rizal, Rini masih tetap merasa ’kesetrum’ melihatnya saat itu.

Tanpa dipersilahkan, Sidik sudah duduk di kursi kosong di hadapan Rini.

"Udah beres nih urusan keluarga-nya?"

"Udah."

"Bentar ya, saya mau pesen minum dulu," Sidik pamit beranjak, dalam lima menit ia sudah muncul bersama secangkir espresso.

"Gimana acara liputan kamu?"

"Lumayan mengharukan."

"Eh ternyata temen gua ternyata suka dengerin elu siaran loh!"

"Oh ya?" Satu alis kanan Sidik terangkat. "Let me guess... Temen kamu itu baru putus ya?" "Iya. Kok tau?" Rini heran.

"Orang-orang yang baru putus emang target pendengar kita juga kok." "Oh... gitu..."

Rini lalu meneruskan membaca majalah sementara Sidik menikmati espresso-nya.

"Hmmm enak nih," Sidik memotong sedikit tiramisu yang ada di meja.

"Iya, gratis sih," ujar Rini sinis.

"Hehehe... Saya suka banget tiramisu. Satu loyang besar aja bisa saya abisin sendiri. Kamu bisa bikin tiramisu, Rin?" Rini menggeleng.

"Mmm... Sayang ya..."

"Eh... ngomong-ngomong... Asik ngga sih kerja di radio?"

"Dari dulu udah impian saya kerja di stasiun radio dan saya enjoy banget kerja di dunia broadcasting. Saya memang punya prinsip apa pun yang saya lakukan, saya harus menikmatinya. Supaya hasilnya maksimal." Rini menyimak.

"Kamu pernah dengerin saya siaran, Rin?"

Rini menggeleng. "Gua malah baru denger ada radio untuk segmen orang-orang sedih."

"Berarti kamu belum pernah denger dong acara andalan radio kita yang rating-nya tinggi."

"Apaan tuh? Acara curhat sampe nangis ya?"

"Lucky guess!" Sidik tersenyum. "Kapan-kapan dengerin saya siaran ya Rin."

Rini mengangguk. "Pasti. Hmmm, anyway... nanti di jemput pacar di stasiun?" tanya Rini dengan muka datar. Kalimat ini adalah translasi yang halus dari apakah kamu sudah punya pacar?.

"Ngga, kebetulan lagi ngga punya pacar," sahut Sidik.

"Oh gitu," Rini berusaha untuk tetap tenang, tidak menjerit-jerit kegirangan dan ogel-ogel pantat begitu mendengar jawaban Sidik. Laki-laki berperut gendut itu tersenyum sopan saat menangkap pandangan Rini. Percikan itu kali ini terasa lebih kuat membakar.

Sidik mengeluarkan sebungkus rokok menthol. "Sorry, ga apa-apa kan?" sebelum ia menyalakan rokok.

"No probs."

Sidik menghirup asap rokok dalam-dalam sambil sesekali diselingi meminum espresso. Tak lama kemudian, terdengar panggilan bagi penumpang untuk segera masuk kereta. Keduanya berjalan pelan meninggalkan café.

"Kamu di gerbong berapa, Rin?" Sidik mengeluarkan tiket kereta.

"Satu."

"Wah pisah dong kita," Sidik terdengar sedikit kecewa. "Anyway bawa handphone?" "Bawa."

"Boleh pinjem bentar? Dua menit?" ujar Sidik dengan kedua jari tangan kanan membentuk huruf V.

"Boleh. Nih."

Sepuluh detik kemudian, Sidik mengembalikan handphone Rini.

"Thanks."

"Gak jadi nelpon?"

"Saya nelpon ke handphone sendiri kok," ujar Sidik seraya mengeluarkan handphone miliknya dari saku celana. "Saya sih inget nomor handphone saya sendiri, so I got your number now." Sidik berlari kecil masuk ke gerbong dua sambil melambaikan tangan pada Rini.

"Licik," Rini tersenyum geram tapi senang karena kali ini Sidik berusaha mendapatkan nomor handphone-nya. |

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience