BAB 9

Family Completed 551

Engkaulah nafasku

Yang menjaga di dalam hidupku

Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik

Kau tak pernah lelah

S’bagai penopang dalam hidupku

Kau berikan aku semua yang terindah

Aku hanya memanggilmu ayah

Di saat ku kehilangan arah

Aku hanya mengingatmu ayah

Jika aku t’lah jauh darimu

Tak ada hal yang paling menyedihkan dalam hidup ketika orang yang kita cintai menolak untuk ditemui. Tak ada penyembuh luka ratusan tahun lamanya seandainya seorang yang kita harapkan sekecap saja ucapan penyejuk hati darinya terlontar barang sekecap. Bahkan, ayah melarang Mak Marni untuk membukakan pintu biliknya buatku. Ayah akan sedih jika melihatku ada di dekatnya. Ayah akan trauma jika aku duduk disebelahnya. Ayah akan berontak jika aku menunjukkan wajah dihadapannya. Masa lalu yang kelam, seolah mengejar dan terus menerornya. Oh Tuhan, kenapa dengan ayahku ini?

Aku menangis kerana tak ada satupun orang, terutama kedua saudaraku yang menjadi kebanggaan ayah selama ini untuk mencarikan pendonor ginjalnya yang kedua. Dika tak bersedia. Dikta tak kuasa. Aku, tak di terima. Ayah kritis. Mak Marni menangis. Kedua kakakku berlinang air mata buaya. Hati tedalam mereka berdoa, agar si tua bangka nan bau lemah kuburan itu segera tiada, agar tak menganggu mereka, tak mengacau keluarga mereka. Oh Tuhan, betapa kejam mereka membalas pekerti ayah yang sangat menyanyangi mereka. Diatas sajadah biru lusuh aku bersimbah air mata. Agar jalan itu segera terbuka. Biarlah aku mati dalam derita, asal ayah tertap bahagia. Dunia tak penting buatku. Dunia hanya persinggahan buatku. Akhirat. Disana ibu menunggu. Ku titipkan surat buat Mak Marni. Aku memeluknya dan mengcuap maaf atas salah dan khilafku yang selama ini tak senonoh dalam senda sehari-hariku padanya. Mak Marni tak rela aku menjauh. Mak Marni mengaduh ketika aku bersikukuh. Mak Marni bersumpah demi Tuhan yang meninggikan langit dan membentangkan bumi. Bahwa ia sangat mencintaiku dan tak ingin aku enyah dari keluarga. Tapi apa daya. Aku tak berkenan dihati orang yang kuharap cintanya. Aku tak tampak dipandangan orang yang kusanjung wibawanya. Aku sampah. Tak bertuan. Tidak bernilai. Layaknya aku terkubur hangus dalam kesengsaraan. Meredam luka yang telah lama membusuk dan melebur bersama amuba di lubang penderitaan. Selamanya. Kutitip salamku buat ayah. Semoga bingkisanku, tak membuatnya murka.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience