BAB 4

Family Completed 551

“Maaf, Pak Herman . Untuk biaya operasi kurang lebih sembilan belas juta rupiah. Biaya obat-obatan empat juta rupiah. Ruang ICU dan lainnya empat juta rupiah. Di tambah biaya…”

Petugas di Hospital ini menjelaskan detail semua jumlah biaya perawatan ayah selama menginap di sini. Sebulan di ruang VIP ibarat memelihara lintah penghisap keringatku. Aku harap tabungan dan simpananku di rumah cukup melunasi semuanya.

“Semuanya empat puluh dua juta rupiah.”

Gleeek! Dahiku berkenyit. Pikiran dan hatiku kompak dalam urusan kali ini. duitku tak cukup.

“Inysa Allah, nanti saya lunasi.” Meski hatiku ketar ketir.

“Terima kasih, Pak Herman .”

Aku terpaksa meminta bantuan. Tak ada jalan lain.

“Kak…” aku menghubungi Dikta. Dengan agak malas ia menjawab.

“Sudah agak baikan…!

Kalau di gabung sama tabungan Herman , perlu dua belas juta lebih, itupun Herman sudah keluarkan semua deposito, asuransi, sama pinjam duit koperasi pejabat.

Ya, saya berharap Kak Dikta atau Kak Dika berkenan membantu.

Lagi kosong?

Ya sudah, nanti Herman cuba pinjam ke teman.

Ya, kak. Walaikum salam.”

Aku lemas duduk di kursi tunggu. Mataku berkunang-kunang saat hatiku panas dingin bercampur limbung. Aku masuk mendekati ayah. Beliau masih terbaring dengan mata menatap jendela kaca. Sinar mentari senja meneduhkan hati dan pikiranku. Ku paksakan senyum ikhlas membelai bibirku menyambut pandangan ayah untukku. Agaknya ia terkejut.

“Ma-mana. Di-dikta? Di-dika?” segera aku berlari mencegah agar ayah tak banyak bergerak.

“Kata doktor , Ayah mesti banyak istirahat. Jangan bergerak dulu. Operasi ginjal kemarin masih belum kering.” aku pun menyodorkan setetes demi setetes air mineral dan ku suapi ayah dengan hati-hati. Hatiku bungah saat ayah bersedia menjamu suapanku. Oh, dunia. Lihatlah ayahku. Dia peduli padaku.

“Ma-mana. Dikta. Mana, Di-dika?” lirihnya di paksakan. Aku tercenung. Harus menjawab apa.

“Ke-kenapa di-diam…?” sambungnya kesal. Hatiku melebur.

“Kak Dikta lagi ada tugas di Bandung. Kalau Kak Herman , masih ada magang privat di Makassar.”

“Pa-panggil mereka. A-aku ri-rindu me-mereka…” ia menangis.

“Barusan Herman telfon Kak Dikta. Dia titip salam buat Ayah. Insya Allah, lusa mereka datang…”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience