BAB 1

Family Completed 551

“Bagaimana, keadaanya Doktor ?”
“Alhamdulillah, mulai ada perkembangan. Tapi, usahakan beliau tidak di ganggu dengan pikiran-pikiran dan juga kenangan masa lalu. Khususnya, hal-hal yang berbau traumatik dengan kecelakaan itu…”
“Baik, Doktor .”
“Oh ya, saya tunggu Anda di ruangan saya. Ada hal serius yang perlu kita bicarakan. Berkaitan dengan ayah Anda…”
“Insya Allah, secepatnya saya akan kesana, Doktor .”
“Kalau begitu, saya permisi. Nanti jururawat Maria dan Jururawat Santi yang akan menjaga ayah Anda secara bergantian bila perlu…”
“Oh, begitu. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, Doktor .”
“Sama-sama.”

Perempuan muda ahli kesehatan itu pun lenyap di balik pintu. Ku tatap wajah pendar seorang lelaki yang lagi terbaring di atas tilam. Ayahku. Matanya terpejam. Raut mukanya pucat, tirus, tampak mengiba. Wajahnya tetap bersih, menunjukkan kewibawaan dan karisma seorang lelaki pengampu pendidikan sekolah dasar. Usianya bisa di lihat dari puluhan uban yang tercuntai disela-sela rambut hitamnya. Senyumnya tertahan dalam ketidak sadarannya saat ini. Hela nafasku mengisyaratkan betapa aku harus bersabar demi membuktikan, bahwa aku sangat menyayangi dan begitu dalam peduli padanya. Tak lagi kuingat apa yang pernah ia abaikan dariku. Tak lagi aku mempertimbangkan segala ketidak adilannya terhadap kami yang tak terhitung waktu itu. Tak mungkin juga aku meminta waktu untuk mengulang kembali, agar ia –waktu yang sia-sia itu– membuktikan kalau dia –ayahku– menyesal telah pernah menganggapku tak ada. Semua hanya kenangan yang tak perlu di ingat-ingat kembali meski tak mudah di lenyapkan dari ingatan. Bagiku, apapun yang telah terjadi. Dia tetap ayahku.

“Lihat, Ayah. Di kelas, Herman dapat juara dua…” ayah tersenyum padaku sekedarnya. Lalu secepat ia mau melirik raport kedua saudaraku. Dika dan Dikta.

“Wah, Dika juara satu. Dan Dikta, juara tiga. Kalian berdua memang hebat!” ayah tersenyum bahagia memeluk kedua saudaraku. Mataku juga bersinar bahagia berharap ayah juga sudi memelukku. Cukup lama aku mematung di hadapan mereka dengan sebuah senyuman yang lama kelamaan aku rasa memudar dengan sendirinya. Ku telan ludahku tercekat. Serasa bagai sebiji bola golf tersangkut di kerongkongku.

Aku duduk menatap kedua saudaraku, tersenyum berharap ayah akan memujiku. Tapi aku tertegun. Waktu itu tak ubahnya hanyalah sebuah mimpi indahku yang belum menjadi kenyataan. Aku bersabar. Mungkin ayah akan memelukku nanti, setelah selesai dengan kedua kakak-kakakku yang memang lebih banyak punya kelebihan dari pada aku dalam segala hal.

“Ayah, Dikta mau di belikan sepatu baru…” rengek kakakku yang mirip orang bule itu. Matanya binar menatap wajah ayah. Aku tersenyum.

“Hmmm, boleh!”

“Kalau aku, Ayah. Aku mau di belikan tas baru…”

“Oke. Besok kita kepasar. Kalian bisa memilih apa yang kalian inginkan. Sebagai kado atas prestasi kalian…”

“Horeeeee….” kedua saudaraku sungguh girang. Meski aku tak menyebut apa yang aku inginkan. Entah kenapa aku turut girang ketika kedua kakakku itu melompat-lompat di atas sofa tempat ayah duduk memegangi koran kesayangannya. Kedua kakakku berlarian kebilik. Ku beranikan diri mendekat dan berharap ayah mau mengabulkan permintaanku seperti keinginan Dikta dan Dika. Meski aku tahu kecewa selalu menjadi jawaban di akhir setiap harapanku. Tapi, saat itu entah kenapa, aku percaya ayah mau melihatku walau sesaat. Meski hanya sekali itu saja. Hati kecilku berbisik bahwa aku juga akan mendapat hak sama dengan si kembar itu.

“Ayah. Herman dapat juara dua…” ku sodorkan raportku meski dengan suara lirih demi berharap ayah mau peduli barang sesaat. Setidaknya dia mau melihat tak ada satupun angka merah di urutan nilai akademikku. Ayah diam. Dia membalikkan koran dan memperbaiki kacamatanya ketempat semula. Hatiku bertasbih.

“Ayah. Aku juga ingin ikut kepasar…” ayahku masih diam. Seolah ia tidak mendengar. Hatiku kembali bertasbih. Tapi duri beracun sudah mencekik leherku.

“Ayah, mau aku buatkan kopi?” rayuanku tak berhasil memalingkan wajahnya dari selembar kertas penuh tulisan dan kabar. Aku bertasbih berkali-kali. Kini, lumpur hitam menarik tubuhku. Aku terseret kedalam masa pahit dan getir. Lebih pahit dan getir kala lidahku menelan sari brantawali.

“Oh, ayah lagi capai yah. Maaf ya Ayah, Herman mengganggu…”

Dari kejauhan aku mendengar seseorang memanggil namaku. Mataku menangkap Mak Marni melambaikan tangan. Dia tersenyum memintaku segera mendekatinya. Ku tatap wajah ayah seksama. Pertanyaan menggunung pecah dan tumpah ruah di hadapannya. Tak ada jawaban kenapa betah ia mendiamkanku. Kembali Mak Marni memanggil. Ku tatap ayah lekat. Alisnya mengatup. Keningnya berkenyit. Konsentrasi?

Tuhan, Kau di langit tidak buta. Kau di Arsy tidak tuli. Katakan dan bisikan pada ayah. Aku menyanginya. Mak marni memanggilku lagi. Dia berharap aku mendekatinya segera.

“Ayah, Herman permisi ke dapur, ya. Besok, Herman ingin ikut ayah kepasar…”

“Hmmm…!” hanya itu balasan yang ia berikan untukku. Subhanallah. Dadaku yang terbakar seolah disirami embun pagi. Jiwaku yang kering dan retak seakan mekar bersemi ketika air mata langit menyiramiku demi mendengar deheman seorang ayah yang sekian lama dingin padaku. Aku tersenyum girang. Lalu berjalan tercepuk menuju dapur dengan senyum terindah. Senyum legawa penuh keleluasaan. Sesakku dibawa angin malam. Sesalku di timpa hujan petang.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience