BAB 3

Family Completed 551

Ku ambil layang-layang Dikta yang tersangkut di atas dahan kecapi. Dari pada telingaku pecah mendengar perintah otoriternya sejak terik mulai menjerit diatas kepala. Dika duduk sambil mengibaskan karton yang entah dari mana bisa bersarang ditangannya.

“Sudah, belum?! Lama nian…” pekik Dikta dari bawah. Dika turut mencibir. Aku menjinjit demi meraih benang gelas yang tercuntai-cintai di hempas angin. Sesaat hendak kuraih tali itu melayang jauh. Begitu sejam lamanya. Uratku mau putus.

“Aih, kenapa lama nian, Herman . Bilang saja tak bisa…!” Dikta semakin memekik. Peluhku deras terjun ke bumi. Persendianku gemetar menahan ranting yang nyaris retak. Angin kejam tak peduli dengan tubuh kurusku.

Aku melompat kebawah sesaat setelah layang-layang sialan itu ku jatuhkan pelan kearah Dikta. Kedua saudara siamku itu berlari menuju ke teras rumah. Sesekali aku berjingkrak garang kala angkrang-angkrang nakal mencium kulitku. Aih, sakitnya.

Bagai tak tahu dibalas budi. Bagai air susu dibalas air tuba. Bagai nila setitik merusak susu sebelanga. Bagai selipar tak berwarna. Aku tergagu menatap siraman rohani ayah tercinta. Kenapa aku juga yang salah? Bukankah aku yang telah berjasa? Kenapa pula aku yang kena getahnya? Padahal tak seiris nangka manis tercicip dimulutku. Tuhan, apa itu keadilan?

“Kalau nggak boleh pinjam layang-layang Dikta. Jangan di koyak. Pantang itu…” kelakar Ayah dengan wajah padam. Raut itu membuat hatiku menjerit. Bukalah matamu ayah.

“Aku tidak mengoyaknya, Ayah. Sumpah!” Dikta dan Dika tersenyum menjulurkan lidah. Sehebat penipu, Dikta memasang wajah iba membuat siapa yang melihat tersenyuh. Muka pendusta. Maka kerak nerakalah yang cocok buatnya.

“Lihatlah, kau membuat Dikta menangis. Minta maaf padanya…”

Aku terdiam. Darahku mendidih melihat Dikta yang tersenyum menjengkelkan.

“Minta maaf! Cepat!” aku tersentak. Oh ayahanda. Lihat perangai anakmu itu. Dia pendusta.

“Tapi aku tak salah, Ayah!” sebutir air mataku jatuh. Aku tertunduk.

“Besok tidak usah kau ikut Ayah ke pasar. Di rumah saja?! Mau?!” wajah Ayah berpaling ke halaman rumah. Sebuah ekspresi tak nyaman di pandang dan membuat tekanan batin sekaligus ancaman manjur yang tidak mungkin terelak lagi. Orang Arab bilang. Hijran Majhura. Hatiku dongkol. Dua saudaraku itu selalu begitu. Kenapa banyak setan berwujud manusia!

“Herman ! Ayah juga tak suka kamu mengambil karton milik orang lain. Tadi, Pak Cik Rafael , menegur Ayah. Sekarang, kau belikan karton baru. Lalu taruh dimeja anak Pak Cik Rafael segera, karton itu buat tugas sekolahnya. Sekarang kau pergi ambil wang Ayah. Lekas belikan di toko Habeeb …” Simalakama. Kedua kalinya bibirku menjerit di dalam hati memecahkan pembuluh darah. Tulangku gemeletuk. Tuhan, berdosakah aku jika menyesali telah terlahir dan hidup didunia ini? Dika berlari masuk kedalam rumah.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience