Andy tidak suka membaca, tapi dia selalu menemani Myaren di perpustakaan setiap hari. Karena Myaren sering membaca buku dan perpustakaan adalah salah satu tempat mereka bersama selain di cofee. Dan sore ini, dia duduk disalah satu lorong menunggu Myaren datang.
Dengan terus berharap Myaren akan datang tepat pada waktunya, setiap suara sepatu terdengar mendekat dan melirik semangat kesebelah kanan ternyata oranglain.
Terus beberapa kali yang dilihatya, lagi-lagi bukan Myaren.
Kenapa dia belum datang juga?” Andy mengeluarkan ponselnya.
Terdengar nada sambung yang begitu lama.
“Yoboseyo?”
“Mya, aku sudah diperpus.”
“Aa, ne… jamkkanman!”
???? [jamkkanmanyo] tunggu sebentar.
Teleponnya dimatikan, Myaren.
Andy melihat jam tangan yang dikenakannya ditangan kiri.
“Satu jam… dia membuatku menunggu terlalu lama.” Keluh Andy kembali membenamkan kepalanya dipangkuan tangan.
Bayangan seseorang yang membawa troli dibelakang Andy tiba-tiba berkata. “Apa kau bertengkar dengan Myaren?”
“Apa yang membuatmu bertanya seperti itu?”
“Hanya bertanya saja.”
Andy berdiri. “Apa kau mengatakan sesuatu padanya?” Tanya Andy pada orang itu dari balik rak buku yang kosong.
“Aniyo.”
????[Tidak] aniyo
“Baguslah, ku harap kau jangan membuatku semakin gila.”
“Itu tergantung padamu.”
Andy bingung. “Apa maksudmu?”
“Jika kau tak menggangguku.”
Andy mengikuti langkah teman kelasnya yang sedang berkerja disini, di perpustkaan umum itu.
“Hhhh…” Hela nafas Andy, “kau ini, kita sudah berteman lama. Kepada siapa aku harus mengadu? Padahal, kau hanya mendengarkan saja.” lanjutnya.
“Tapi aku tak suka mendengar ceritamu.” Tutur temannya yang menyimpan buku dirak dengan kasar.
“Ya sudah, jangan dengar.” Ketus Andy.
“Kalau tidak, kau malah terus bertanya.”
“Abaikan.” Balas Andy cepat.
Sesuai perkataan Andy detik itu, temannya langsung memilih diam dan kembali mendorong troli buku dengan tenang.
Andy pun tak bergeming, dia pun kembali berjalan mengikuti sambil berkata. “Ini tak semudah yang kau pikirkan. Apa kau akan bertanggung jawab bila terjadi sesuatu pada kami berdua? Walaupun kau berusaha dan berhasil, kondisi itu tak semudah membalikkan telapak tangan, kau tau itu.”
Mendadak Andy berhenti melangkah. “Tapi tunggu… aku punya ide…Bagaimana kalau kita menanyakannya. Seolah kau membaca dalam sebuah kisah yang nyatanya terjadi padaku. Bagaimana?” Tanya Andy antusias.
Temanya yang acuh terus menata buku.
Andy sengaja menjatuhkan satu buku, satu buku berikutnya alih-alih agar temannya menjawab. Kemudian dua buku terakhir dijatuhkannya dari rak sekaligus yang tidak berhasil sama sekali membuat kawan kelasnya menoleh.
Hingga akhirnya Andy berteriak memanggil. “Yaa, Kim Sang Ho!”
“Sssstt…kau berisik sekali.” Tegur seseorang pada Andy dengan sorot mata tajam.
Andy menunduk, meminta maaf. Sementara Sang Ho, masih mengabaikan Andy walau sudah membuat kegaduhan di perpustakaan.
Andy berjalan menghampiri Sang Ho, “Kau dengar aku?” bisiknya.
Sang Ho masih terus menata buku, benar-benar mengabaikan Andy.
“Aish, ck… Yaa, Kim Sang Ho!” Bentak Andy, menahan tangan Sang Ho menyimpan novel bersampul biru.
Sang Ho menoleh pelan lalu berkata. “Apa?”
“Hah…” Andy mendengus, kesal.
Sang Ho melepaskan tangannya dengan tangan sebelah kiri dan kembali bekerja. “Jika kau lelah, maka berhentilah.”
“Sudah sejauh ini, untuk apa aku berhenti. Tidak! Aku takkan pernah berhenti.”
“Ya sudah, berhentilah mengusikku dan rapikan buku tadi.”
“Tidak, aku takkan mengganggumu, jika kau menjawabku.”
Sang Ho melepas nafas panjang berat.
“Tidak!” Bantah Andy tiba-tiba sebelum Sang Ho berkata.
“Hhh… sudahlah, berhenti bertanya.” Sang Ho menatap Andy, lelah. “dan berhentilah mengikutiku. Sebaiknya, kau bereskan buku tadi. Jangan membuat aku kehilangan pekerjaan.”
Andy duduk lemah dilantai dan membenamkan wajahnya yang bingung ketelapak tangan dengan jari telunjuk yang tidak sempurna.
Jari telunjuk kirinya yang sedikit terpotong tepatnya terpotong setengah kuku.
“Kau memang benar-benar buruk. Sudah kuduga, kau tak bisa bertanggung jawab seperti pada buku yang kau jatuhkan. Aku tak percaya, bahwa kau memang pecundang sejati.” Sang Ho pergi setelah mengatakan hinaanya pada Andy tanpa menoleh.
***
“Akong, aku pergi dulu ya.”
Akong sedang membersihkan meja. “Baiklah, pergilah. Ama sedang sibuk jadi tak usah pamit padanya.”
Myaren melihat Ama sedang sibuk menggoreng. “Baiklah, aku berangkat.”
Akong melambaikan tangan. “Jangan larut pulang.”
Myaren berhenti melangkah kembali menoleh, Akong. “Aku tak akan lama. Akong mau titip sesuatu?”
Akong mengantar Myaren sampai keluar dari kedai. “Tak ada, pergilah. Andy pasti sudah kesal menunggumu.”
“Em…sepertinya begitu. Aku pergi.” Pamit Myaren.
“Cepat pulang, ajak Andy makan malam dirumah nanti.”
Myaren mengangguk beberapa kali kemudian berjalan meninggalkan Akong, “Andy pasti kesal sekali.” batinnya.
“Berbahagialah kau, nak.” Gumam Akong melihat Myaren pergi.
Tiba-tiba suara Ama terdengar, dan membuat Akong kaget. “Kemana dia pergi?”
Akong terkejut. “Omo…”
Ama melihat Myaren yang jauh dari kedai. “Kenapa kau biarkan dia pergi begitu saja?”
Akong masuk kedalam kedai. “Tadi kau sedang menggoreng.”
“Setidaknya, dia berpamitan dulu padaku. Aish, kau ini. Akong macam apa?”
Akong tidak bergeming dan kembali kedalam kedai.
“Disini, permisi.” Teriak pelanggan meminta pelayanan.
“Kau layani dulu, aku pergi tidur sebentar. Kepalaku sakit sekali.” Seru Ama.
“Mau ku antar ke atas?”
“Tak usah, pelanggan itu sudah menunggu.”
***
Hyungsik melihat sekitar ruang keluarga, “Gak ada yang berubah ya, dengan rumah ini.” ungkapnya.
Myung yang membawa 3 bungkus plastik yang berisi buah pear hijau, jeruk dan anggur hijau.
“Yongki kemana?” Tanya Hyungsik pada semua orang yang berada diruang keluarga di rumah Yua yang besar dan mewah itu.
Yua sedang mengupas jeruk, “Benar, kemana dia?” tengoknya. “Sepulang tadi, mana ada hidung lubang besar itu.”
“Paling juga main game.” Jawab Yudha yang sedang mengunyah pear.
Myung yang duduk disamping menjelaskan. “Tu bocah tadi di Apartemen. Dia bete sama gw, terus pergi.”
“Aya! Parah lu Hyeong. Udah tau, itu anak titipan orang. Pergi kaya gitu, dia suka balik malem. Ada apa-apa lu aja yang tanggung jawab” Ribut Yua.
Myung merasa bersalah karena tidak mengajak Yongki belanja, tapi Myung tidak menunjukkan perasaannya. “Apaan sih, Yua. Berlebihan, lo.”
***
Ditrotoar, lampu hijau masih menyala.
Selagi menunggu lampu berganti, Myaren memasang headsfree ketelinganya.
Ponsel Iphonenya yang berwarna merah muda dengan gantungan panda yang menggantung diujung ponselnya.
Jarinya yang putih halus terus mencari lagu yang ingin didengarkan.Setelah menemukan lagu yang ingin diputar, Myaren kembali meluruskan pandangannya keseberang jalan yang terdapat bangunan berpintu sepotong kayu dan kaca dengan tulisan stiker Coffee diatas pintu.
“Noona itu, cantik sekali.” Ujar kekaguman seorang yang berada dibalik kaca kedai coffee.
Begitu Myaren menengadah, melihat lampu merah. Rambutnya yang panjang tertiup angin, swing…
Orang ini pun menyipitkan matanya untuk memastikan penglihatannya dengan benar. “Sepertinya itu…”
Lampu merah menyala, memberhentikan para pengendara.
Langkah kaki pertama Myaren, diperhatikan oleh seorang laki-laki bertopi putih yang berada didalam Coffee.
Disana tak terlalu banyak orang menyebrang, sehingga laki-laki itu tak sulit memandang Myaren.
Myaren semakin dekat, menuju kedai coffee.
Langkahnya yang santai dengan rambut panjangnya yang tertiup angin, membuat wajah Myaren semakin terlihat jelas oleh si pria bertopi itu.
Bibir laki-laki itu tersungging, senyum.
Myaren pun melewati kedai coffee saat pria ini sedang meneguk habis minuman yang baru dipesannya. Lalu segera pergi, mengikuti Myaren.
Melihat banyak para pejalan yang terus mendahuluinya. “Kenapa hari ini mereka berjalan cepat sekali, apakah hari ini akan turun hujan?” Tanyanya sendiri, berhenti melangkah untuk melihat langit.
Tiba-tiba. “Hari ini cerah, tak akan turun hujan Jiejie.” Suara yang tak asing berbisik pada Myaren dengan lembut.
Myaren menoleh, melihat wajah yang belum terlihat jelas olehnya karena silau matahari.
Tangan orang yang kurus itu menutupi mata Myaren dari sorot mentari. “Lama tak jumpa, Jie-can.”
Myaren terperanga. “Kau…”
Si pria bertopi tersenyum manis dengan giginya yang rapi dan mata sipitnya yang hampir terpejam.
***
Andy menutup buku yang bertuliskan Ther Merlian bersampul kuning. Hanya satu buku yang akan dia baca selagi menunggu Myaren di perpustakaan, yaitu buku yang bercerita tentang sihir.
Dia bangun dari kursi perpustakaan dan berjalan mendekati Sang Ho yang sedang membaca komik dimeja kerjanya, pengembalian buku.
“Kau ingin membeli sesuatu?” Tanya Andy.
Sang Ho memindahkan halaman komik, menjawab. “Kau tahu sendiri, aku tidak punya uang untuk membeli itu. Tapi…” perkataanya terhenti, ia melirik Andy.
Matanya yang coklat bersinar karena sinar matahari yang masuk dari kaca.
Dengan komik yang menutupi sebagian wajahnya, Andy mengikuti perkataan Sang Ho yang nyaris bersamaan. “Jika kau memberi, akan ku terima.”
Kemudian Andy melanjutkan. “Gantilah jawabanmu dengan yang lain. Kau membuatku semakin bosan saja.”
“Salahmu, yang selalu bertanya begitu.” Sahut Sang Ho tak mau kalah.
Andy menarik nafas. “Baiklah, aku traktir. Kau mau minum apa?”
“Terserah padamu, aku hanya menerima. Tapi jangan sekali-kali kau racuni minumanku. Karena, kau bisa saja masuk penjara dan tidak bisa bertemu dengan dia yang menjadi kuasaku.” Tatap Sang Ho.
“Aigoo, kutipan komik mana itu?” Andy mengejek.
Sang Ho memalingkan wajahnya kembali pada komik. “Pergilah cepat, atau aku akan lebih cepat melangkah dari pada dirimu.”
Andy mendengus, pergi keluar perpustakaan yang sangat membosankan tanpa Myaren.
Share this novel