Pop Nadia
Orang tuaku sudah pulang sejak jam 4 sore, mereka pulang meninggalkan sebuah kesunyian yang melahirkan rasa jenuh dan bosan. Seperti biasa Aku mendiamkan suami misteriusku itu, entah apa yang sedang dia lakukan di dapur, mungkin dia sedang bercinta dengan alat masak yang serba baru itu.
Drrrrrrt
Tiba-tiba handphoneku berbunyi dan menampilkan satu nama di layar telphon genggamku. aku mengangkatnya meskipun aku tau ketika aku berbicara dengan seseorang di seberang sana suami misteriusku akan mendengannya dan aku tidak peduli.
“Hallo sayang....!”
“....”
“Kabar aku baik sayang. Kamu sendiri, gimana?”
“.....”
“Kapan...?”
“....”
“malam ini?”
“....”
“Kalau malam sekarang kayaknya aku gak bisa, sayang!”
“....”
“Gak lagi sibuk sih, ini juga lagi rebahan. Cuma lagi males aja. Capek!”
“....”
“Baru pindahan”
“....”
“Gak, Rumah aku masih tetep di situ. Cuma papah nyuruh aku tinggal di apartemen nemenin sepupu aku” aku coba membohongi Arya kalau aku tinggal di apartement bersama kakak sepupuku. Padahal sebenarnya aku tinggal dengan Suamiku.
“...”
“Cowok, emang kenapa?”
“....”
“Boleh, nanti aku kenalin. orangnya baik ko...! yang penting kamunya gak macem-macem aja”
“...”
“Ya udah, bye...! mmmuah”
“De, kamu belum makan dari siang. Makanlah aku sudah siapkan di meja makan.” Tiba-tiba Adnan sudah ada di dekatku menawariku makan setelah aku selesai menutup telphonku.
"Jangan-jangan dia sengaja nguping pembicaraanku?" batinku menerawang.
“Hemmmp...” aku tidak menjawab, hanya berdehem.
“Hemmmp....hemmmp...hemmmp. Kalla hadzil ardl maatakfii masahah..., wanta’ayasna bahub lautadiqil ardl naskan kalla qolb”
Adnan melantunkan lagu Sabyan setelah mendengar dehemanku.
“Nih laki gue kenapa?Cihhh...ko laki gue sih ?Sadar Nad_! Apa dia lagi Ngeledekin gue gitu? Nyindir gue?Sumpah geli gue dengernya! Tapi suara lo enak juga bang...!” Batinku. Aku mengulum senyum, mungkin kalo Anggi ada di sini dia bakalan ketawa lepas, dan Aku tidak harus menahan tawa seperti ini.
“De, makan dulu...! nanti keburu dingin!” teriak Adnan dari meja makan.
“Hayati lelah bang!” Jawabku dalam hati.
Aku tak menjawab panggilannya karena tak kuat menahan tawa. sungguh Aku ingin tertawa lepas namun aku tahan dan menutup mukaku dengan bantal sementara tubuhku terguncang efek dari tertawa.
Setelah puas tertawa Akupun beranjak ke meja makan dan nampaklah Adnan yang sedang makan. Bagai seorang putri kerajaan dan dia adalah pengawalku ketika Aku duduk di meja makan Suami misteriusku langsung menghentikan makannya beralih mengambil piring dan mengisinya dengan nasi kemudian diberikannya kepadaku. Bukan Nadia namanya kalau aku luluh begitu saja.
Kalaupun dalam hatiku berkata iya, tapi tak begitu dengan gengsi dan egoku. Kami makan tanpa suara, membisu satu sama lain.
"Setelah sedekat ini aku memperhatikannya ternyata nih cowok lebih ganteng dari mantan-mantanku, lebih ganteng dari Arya pacar gelapku dan lebih ganteng dari Bryan cowok bule kekasihku di dunia maya.Huh, tapi sayang dandanan Lo bang. Emang gak bisa ya Lo lepasin itu sarung? Apa mesti gue melorotin?Eits...
tapi nanti dia salah faham lagi, dikiranya aku agresif mau ngapa-ngapain dia." Batinku berkecamuk dalam hati.
Setelah makanku hampir selesai aku mencoba memberanikan diri untuk berinteraksi, karena tidak mungkin juga kan aku hidup seatap dengan sesama manusia tanpa berinteraksi.
“Nama lo siapa?” Setelah sebulan menikah rupanya aku belum hafal nama suamiku sendiri, meskipun papaku pernah memberitahukan nama suamiku, karena pada dasarnya aku gak suka jadinya lupa dan gak mau tahu tentang dia.
“Adnan” Sahutnya singkat
“Gue harus manggil lo apa?” Adnan mengangkat kedua bahunya.
“Terserah kamu, suka-suka kamu, yang penting manis dan enak di dengar. Honey, Sayang, Dear, Babe atau apalah...!”Ucap adnan, mencoba menggodaku. Aku memutar bolamataku malas.
“Jangan ngarep lo...! emang lo fikir gue suka sama lo gitu? inget pernikahan ini bukan gue yang mau.” Aku coba mengingatkannya.
“Lo-Gue... sepertinya itu gak ada dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, de” Protes Adnan.
“Bisa gak lo manggil gue Nadia saja, jangan ‘de’ , Sumpah, geli gue dengernya” mendengar protesku, Adnan menatapku dengan intens.
“Jangan natap gue gitu juga! Gue hawatir, kalau Lo sering natap gue kayak gitu nanti lo jatuh cinta, gue juga yang repot. Lo kan nikahin gue karena ga tega sama bokap gue, yeakann?” Sambungku, sambil mencoba menenangkan hati yang sedikit berdebar antara takut dan nervous diliatin.
“Antara ya dan tidak” Jawabnya.
Deg
“Maksud lo...?” Tanyaku penasaran.
“Saya menyetujui permohonan pak Prass karena tidak tega nolak beliau, beliau terlalu baik. Tapi setelah saya menikahi kamu sepertinya saya tertantang untuk mendidik istri saya dengan baik” ucapnya.
Tutur katanya sangat sopan, namun mengejutkanku. Aku langsung menjatuhkan sendok dan garpu diatas piring yang hampir kosong. Jujur ada rasa keberatan dan gak ikhlas menyeruak dalam hatiku.
“Apa lo ngerasa udah pantes jadi suami gue? Hello...!”Sindirku
“Ya..., saya tau diri Nadia, saya sangat tau diri, keadaan saya seperti apa, saya tidaklah lupa, dan mungkin tidak layak memperistri kamu. Tapi sekarang kau istriku, kewajibanku untuk menafkahimu, mendidikmu suka tidak suka, terima atau tidak terima dan aku akan sangat berdosa bila menyia-nyiakan kamu, membiarkanmu tanpa mengarahkanmu” kembali mataku berkaca, aku berfikir ini cowok ko gak tau diri banget.
“Lo ngerti gak sih perasaan gue sekarang kayak apa?” Batinku
“Lo sendiri sadar kan...? kenapa harus maksain diri? Gue ingetin ya, lo bukan tipe cowok yang gue mau” Adnan terdiam sejenak, aku melihat ada kemarahan di raut wajahnya, dia berdiri dari duduknya dan_
Cup...
Adnan mengecup pucuk kepalaku tanpa aba-aba, aku pikir dia akan ngluyur brgitu saja meninggalkanku.
“Sialan..., berani sekali dia” Batinku dalam hati, seketika tubuhku membeku.
“belajarlah memperlakukanku dengan baik, karena Tuhan mulai memperhitungkan dosa atas ketidakpatuhanmu terhadapku” bisiknya di telingaku.
Kemudian dia membereskan meja makan dan mencuci piring yang tadi kami gunakan. Sementara aku memperhatikan gerak geriknya yang seperti pelayan, ya...menurutku dia lebih cocok jadi pelayanku ketimbang jadi suamiku.
“Lo nyadar ga? Lo tuh lebih cocok jadi pelayanku ketimbang suamiku” Ucapku, aku mencoba mengeluarkan isi fikiranku.
Prang...
Tiba-tiba Adnan mengejutkanku dengan melempar 1 piring yang sedang dia bilas. Dan aku hanya meringis, jantungku berdetak kencang otakku bertanya-tanya apa yang akan di lakukan Adnan selanjutnya terhadapku. Dia berbalik dan menghampiriku yang masih duduk di kursi meja makan. Dan sekarang tubuhku bergetar ketakutan.
“Jangan pernah menghinaku lagi...!” sahut Adnan sambil memukul meja makan, matanya berkaca dan wajahnya penuh amarah.
Aku terdiam membeku sungguh ini sangat menakutkan bagiku, aku tak pernah melihat kemarahan seperti itu sebelumnya dari siapapun . Kemudian akupun menangis karena ketakutan.
“Saya, sudah begitu sabar menghadapimu,Nadia. menghadapi tatapan sinismu setiap kita bertemu, menghadapi ucapanmu yang menyakitkan. Apakah kamu berfikir pernikahan ini kemauanku,hah..? Kau tahu, selama sebulan ini aku merasa hidupku tak tenang? Apa kau tau itu, hemmmp? Apa kau tahu, setiap saat aku harus menyiapkan mentalku ketika datang malam dan harus bertemu denganmu? Apa kau tau, sesakit apa aku ketika kau menyindirku dimana kau mengatakan di kamarmu bau sampah?” Adnan menguapkan semua emosinya sambil menangis.
Ya lelaki itu menangis di hadapanku. Sementara aku masih menangis karena ketakutan, dalam hati aku berdo’a semoga Adnan tak lepas kendali sehingga tidak terjadi sesuatu terhadapku.
“Jangan mengukur segala sesuatu dengan uang...! karena kau akan menyesal, Nadia.” Lalu Adnan pergi ke kamar, tak berapa lama Adnan kembali dengan membawa kotak beludru yang berukuran 5cm x 21cm x 30cm, entah apa isinya aku tak tahu, diletakannya kotak itu dihadapanku.
“Kau fikir sehebat apakah dirimu, Nadia? Secantik apakah dirimu?” Suara Adnan Penuh emosi, dan aku lihat dadanya naik turun.
“Itu maharmu..! Selama ini aku simpan karena tak berani memberikannya. Kau tahu, Nadia? Aku telah membelimu untuk seumur hidupku.” ucap Adnan sambil mengusap kasar air matanya.
Deg
“Apakah dia seriouse dengan pernikahan ini? Seumur Hudupku....?” batinku kembali menerawang
“ Dan apakah kau tau, Nadia? Aku telah membelimu dengan mahar yang sangat murah, sesuai dengan kemampuanku. Lebih murah dari harga seorang jalang diluaran sana” Aku tersentak mendengar penuturan terakhirnya.
Ada rasa nyeri yang tidak pernah aku rasakan, perih...seperti luka yang akan sulit untuk dicari obatnya. Aku seorang Nadia yang selalu di kelilingi orang-orang yang selalu menyanjungku. tapi sekarang di rendahkan serendah-rendahnya oleh seorang lelaki misterius yang katanya sebagai suamiku.
“Aku telah membelimu, Nadia. Itu maharmu...! Ambillah...! Dan berikan hakku...!" Geram Adnan kepadaku.
"Bukankah kau sudah berjanji ke papa untuk tidak menyakitiku...!" Aku mencoba mengingatkannya, agar dia tidak lepas kendali.
"Hemmmp. jika aku mau sejak aku menikahimu aku sudah meminta hak ku, tapi aku sangat menghargai perasaanmu. Apa kau tahu alasanku? Aku tidak ingin menyakitimu. Sampai situ apa kau faham?” Aku berlari ke kamar, karena tidak tahan dengan rasa sakit atas ucapannya tadi.
Aku menelungkupkan tubuhku di ranjang dan Adnan mengikuti langkahku, Dia duduk sembari memeluk lututnya, menyandarkan punggungnya di daun pintu dan menelungkup kan wajahnya pada lengan yang sedang memeluk lututnya. Kami sama-sama terdiam cukup lama, tanpa bicara dan yang terdengar saat ini hanyalah suara isakan dan tangisan dari kita berdua yang sibuk dengan fikiran kita masing-masing dan rasa sakit kita masing-masing.
“Berhentilah menyakitiku...! karena aku manusia biasa, ketika tersakiti akupun bisa marah. Aku minta maaf, aku tak bermaksud menyakitimu !” Adnan mengelus ramburku, mencium kembali ujung kepalaku kemudian dia pergi meninggalkanku sendiri dalam tangis. Dia pergi ke dapur untuk membersihkan serpihan piring pecah yang tadi dia lemparkan.
Share this novel