Sudah hampir sebulan pernikahan antara Nadia dan Adnan, hanya sedikit yang berubah pada sosok Nadia, dimana biasanya pulang kadang larut malam sekarang dia pulang tak pernah melewati jam 9 malam dan perubahan yang lainnya adalah sikapnya terhadap Dimas dan Alea yang tidak lagi sedingin dulu. Namun sikapnya terhadap Adnan dan terhadap Bu Neni tetaplah sama. Nadia selalu saja bersikap dingin, kalau berbicara selalu sinis, menyindir dan menyakitkan. Entah mengapa hatinya tidak pernah mencair.
Seperti halnya malam ini, Nadia pulang dan seperti biasa setiap pulang Nadia akan di suguhi pemandangan hangatnya sebuah keluarga Cemara dimana papa, mama sambungnya, Adnan serta adik-adiknya bercengkrama dalam damai namun semuanya itu tentunya tanpa Nadia.
“Nadia, kemari dulu nak ! ” Pinta Pras pada putrinya. Dengan mata lelah Nadia menuruti permintaan papanya.
“Ada apa, pah?” Tanya Nadia sambil menghempaskan bokongnya di sofa. Dimas dan Alea seperti mengerti kalau orang tuanya akan membicarakan urusan orangtua, mereka beranjak masuk ke kamar masing-masing.
“Nadia, mulai besok kamu tinggal sama nak Adnan di apartemen yang sudah papa siapkan...! ” ucap pak Prasetia.
“Papa ngusir Nadia” matanya mulai berkaca, terasa jelas bahwa ibu tirinya itu ingin menguasai papanya dan menyingkirkan Nadia, dalam benak Nadia tentunya.
“Siapa yang ngusir kamu, Nak. Papa Cuma ingin kamu belajar mandiri dengan rumah tangga kamu.” ucap pak Prasetia
pak Prasetia coba menjelaskan tujuannya untuk menempatkan agar Nadia pindah ke Apartement. Sesuai dengan saran istrinya agar Adnan betul-betul bisa membawa biduk rumah tangga nya sendiri.
“Papa sadar ga ? dengan cara papa menikahkan aku dengan dia, hidup Nadia malah tambah kacau, pah. Mana betah Nadia tinggal sekamar dengan orang asing, cowok culun yang gak tau diri itu” tangan Nadia menunjuk pada sosok Adnan yang ada di hadapannya.
"Dan sekarang Nadia harus tinggal berdua?" Sambung Nadia
“Nadia, dia itu suami kamu. Jaga sikap sopan santun kamu terhadap nak Adnan” Bentak pak Prasetia.
Adnan menunduk merasakan perih di dalam hatinya, mencoba meratapi seburuk itukah kebencian Nadia terhadap dirinya.
Sementara Bu Neni hanya mengelus-elus punggung tangan suaminya mengisyaratkan suaminya untuk tetap sabar menghadapi Nadia
“Apa papa pikir Nadia sekarang bahagia? Gak pah, Nadia gak bahagia dan mungkin gak akan pernah bahagia dengan suami pilihan papa itu ” Tutur Nadia menegaskan.
“Nadia, jaga sikap kamu...! Papa yakin suatu saat kamu akan bahagia bersama nak Adnan” timpal pak Prasetia.
“Please pah, Dia itu bukan kriteria suami yang Nadia mau ” Sungguh kali ini hati Adan makin sakit.
“Tidak semua yang kita mau, itu yang kita butuhkan Nadia. Suatu saaat kamu akan lebih mengiginkan dan membutuhkan nak Adnan ketimbang yang lainnya, Nadia” Bujuk Prasetia.
“Gak akan, pah...!” Sahut Nadia disela isakannya.
“Terserah kamu, Nak. Pokoknya besok siang kamu pindah ke apartemen. Tidak ada bantahan untuk kamu, Nak. Papa sudah menyiapkan semuanya termasuk kebutuhan kamu selama sebulan kedepan, kamu tinggal packing sebagian baju kamu dan buku-buku kuliah kamu.” Nadia tidak menjawab ucapan Papanya. Dia berlari menaiki tangga menuju kamarnya.
Ide supaya Nadia dan Adnan pindah ke apartemen memang merupakan ide dari bu Neni istri dari Prasetia yang sekarang, tapi ide itu tidaklah buruk menurut Prasetia dan masuk akal juga karena bu Neni menginginkan adanya perubahan sikap dan prilaku dari Nadia dengan memberikan ruang atau kebebasan bagi Adnan untuk mendidik istrinya sendiri, sebab Kalau mereka masih tinggal di rumah ini tentunya akan ada kecanggungan bagi Adnan untuk bersikap tegas, mengatur istri dan rumahtangganya mengingat sifat manja Nadia terhadap papanya tentu sangatlah berpengaruh.
Kepindahan Nadia dan Adnan ke apartement yang sudah disiapkan pak Prasetia pun tak lagi bisa terbantahkan. Mau tidak mau Nadia mengikuti perintah papanya. Dan bagi Adnan dia hanya pasrah apapun yang akan menjadi keputusan papa mertuanya. Prasetia memang terlalu baik dimata Adnan, Adnan terlalu banyak hutang budi sehingga tak sanggup menolak ataupun membantah permintaan papa mertuanya itu.
“Nadia anak kesayangan papa, sekarang kamu sudah dewasa dan sudah menikah. Kamu bukan lagi tanggungan papa sekarang, tolong jaga sikap kamu terhadap nak Adnan karena dia adalah suami kamu. Papa minta tolong nak” Prasetia menelus-elus rambut Nadia dan butiran beningpun tak dapat dibendung menetes dari mata lelaki paruh baya itu.
Sementara Nadia sesegukan menangis dengan menelungkupkan tubuhnya di ranjang apartemennya sekarang.
“Pah, papa sekarang menjadi seperti orang asing buat Nadia. Papa sama sekali tak memahami maunya Nadia” Nadia mencoba mengeluarkan keluh kesahnya.
“Ini demi kebaikan kamu, Nak. Demi kelangsungan rumahtangga kamu, demi masa depan kamu. Pintu rumah kami masih dan selalu terbuka kalau sekedar untuk mampir dan menginap. Tapi ingat kamu sekarang punya nak Adnan, kemanapun kamu pergi harus seijin nak Adnan meskipun Cuma mengunjungi papa. Percaya sama papa nak, nak Adnan laki laki yang baik. Bangunlah...! apa kamu tidak ingin memeluk papamu? Padahal kita sekarang akan jarang sekali bertemu.” Tutur pa Prasetia panjang lebar.
Kemudian Nadia bangun mendudukan tubuhnya di atas ranjang, menatap mata Papanya yang rupanya menangis tanpa suara lalu Nadia memeluknya dengan erat.
“Nak, boleh mama memelukmu?” kali ini bu Neni memberanikan diri, karena bu Neni cukup menyadari kalau sampai saat ini anak tirinya itu belumlah bisa menerimanya.
“Belajarlah untuk menerima suamimu” kalimat terakhir dari pak Prasetia papanya Nadia. tak ada jawaban dari mulut Nadia, hanya tangisan yang terdengar menyedihkan..
Nadia melepaskan diri dari pelukan papanya menatap dalam wajah papanya, sementara prasetio memberikan intrupsi kepada Nadia untuk menyambut pelukan ibu sambungnya. Nadiapun mengalihkan pelukan itu ke bu Nani.
“Jangan membenci kami, Nak. Jauh dalam lubuk hati mamapun menyayangi kamu sama seperti mama menyayangi Dimas dan Alea. Mama sering menanyakan pada papamu makanan apa yang kamu suka? masakan apa yang kamu suka? Dan mama selalu menyediakan semuanya untukmu tapi sayangnya kamu terlalu sibuk dengan perasaan kamu dan pikiran kamu sendiri. Kalau memang kamu menganggap dunia kamu hancur atas kehadiran mama dan anak-anak mama, mama minta maaf, mama berharap dari pernikahan ini kamu bisa memulai kehidupan baru, dari tempat yang kamu tinggali saat ini mama harap kamu bisa memulai semuanya dari awal” pesan bu Neni ibu sambungnya Nadia.
Entah mengapa Nadia merasakan rasa nyaman berada di pelukan bu Neni saat ini, Nadia seperti menemukan dunianya yang sempat hilang dari pelukan itu. Tangisan Nadiapun kembali pecah.
“Sudah,Nak. Kamu jangan menangis lagi...! kami yakin ketika kamu pulang ke rumah papamu nanti, kami akan menemukan senyumanmu lagi.” Nadia melepaskan pelukanya beralih meraih tangan bu Neni kemudian menciumnya.
Prasetia merasa lega dan haru, itu artinya hatinya Nadia sudah luluh dan menerima ibu sambungnya.
“Terimakasih, Nak. Sekarang papa harus pulang. Jaga diri baik baik!”
Pesan pak Prasetia sebelum meninggalkan anaknya.
“Nak Adnan, papa titip Nadia anak papa, jaga istrimu untuk papa. Jangan pernah sekalipun menyakiti hatinya jika itu terjadi berarti kamu sudah menghianati papa ” Pesan pak Prasetia yang kini pandangannya beralih pada sosok lelaki yang sedari tadi berdiri di pintu kamar mengamati interaksi ayah dan anak. Adnan mengangguk kemudian mencium tangan lelaki paruh baya itu penuh hormat.
Share this novel