BAB 2

Drama Completed 371

Kami berjalan menyusur lengang, hanya silir angin mengecup daun, juga gesek sandal pada daun kering, kami larut dalam pikiran masing-masing, hingga tanpa terasa, kebun sudah kami tapaki. Ada tanaman kacang tanah dan di sekelilingnya bediri pohon-pohon besar. Nenek menurunkan palasa dari kepalanya ke datar rumput hijau yang bersih. Kemudian mencabut sebatang dupa yang terselip pada ikat pingganggnya. Disulutlah batang dupa itu dengan bantuan sepasang tangannya yang ditangkupkan agar tak dihalau angin. Lalu asap mengepul, wangi menyelinap ke dalam cuping pembauan, bara merah di ujung batang dupa tampak kian menyala ditiup angin. Nenek memintaku untuk membantunya membawa barang bawaan ke pangkal pohon terbesar yang tumbuh di pojok tenggara.

Nenek menyuruhku bersila sebagaimana yang telah ia lakukan. Aneka jajan dan kembang serta nasi jagung berlauk potongan leher ayam terhidang di depannya, di atas selembar daun pisang yang nenek bawa dari rumah. Ia memejamkan mata, bibirnya bergetar setelah tangannya menyatu di dadanya sambil memegang batang dupa yang berasap. Entah apa yang nenek baca, ia begitu khusyuk, seperti sedang berjumpa dengan seseorang dalam pejamnya itu.

Setelah membuka mata, nenek membagi nasi dan kembang itu menjadi beberapa bahagian yang ditakir dengan daun pisang. Lalu takir-takir itu ditaruh di pangkal masing-masing pohon. Aku ikut membantu nenek menaruh takir-takir itu, beranjak dari satu pohon ke pohon lain, melangkahi rintang ujung daun semak yang merimbun agak tinggi.

“Untuk apa nenek menaruh makanan itu di pangkal-pangkal pohon?” tanyaku iseng, bersamaan ketika tangan keriput nenek menaruh takir terakhir di pangkal pohon kesambi.

“Setiap pohon ada penjaganya. Jika tidak diantar makanan, apalagi sampai pohonnya ditebang, maka penjaganya akan marah, ia akan mengganggu manusia,” jelas nenek lantang, wajahnya penuh tatap keseriusan. Aku mengangguk walau masih dengan mata tak kedip, sebab ada banyak pertanyaan-pertanyaan dalam kepala.
“Dan pohon ini juga akan mengadu kepada ibunya jika disakiti atau ditebang,” sambung nenek sedikit mendekatkan wajahnya ke wajahku, hingga terendus aroma kapur dan sirih pada sadah yang membekas di bibirnya.

“Siapa ibu pohon ini, Nek?”
“Bumi,” jawab nenek singkat. Aku hanya tercenung, mengedar pandangan pada rerimbun pohon, sambil berkesimpulan bahwa bumi adalah ibu dari segala ibu, tempat semua makhluk menyusu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience