BAB 3

Drama Completed 371

Sungguh suatu kegemaran yang sangat menyenangkan bagi bocah sepertiku, memanjat pohon-pohon rindang berkuntum buah, yang dahannya datar menghampar, yang daunnya lebat merambat. Satu di antara pohon yang sangat kusukai adalah pohon rambutan yang tumbuh di bahagian timur halaman.
Dongkol rasanya bila pagi-pagi sekali, mataku melihat buah rambutan segar berserakan di tanah, beberapa di antaranya kulitnya mengelupas oleh taring kelelawar atau taring tupai atau taring binatang pengerat lain yang suka mencuri buah rambutan itu.

Seusai salat subuh,—terutama pada saat hari libur sekolah—aku akan memanjat pohon itu. Pindah dari satu dahan ke dahan lain, sembari menikmati rambutan yang sudah masak, mendahuli tupai-tupai, kadang kala kubiarkan tubuh terjepit pada dahan bercabang rapat yang sedang diayun-ayun angin. Kubayangkan diri tengah berada di atas perahu, diayun ombak ke pulau jauh.

Setelah buah rambutan tinggal sedikit, aku berambisi untuk memetik semua rambutan itu mulai dari yang hampir matang sampai yang benar-benar matang. Tanganku lihai menggamit ujung ranting yang terhubung ke buah, lalu memetik buah-buah itu hingga ak tersisa. Buah-buah itu kukumpulkan dalam keranjang bambu yang kugantung di sebuah dengkul dahan.

“Bisri!” nenek memanggilku tiba-tiba. Ia berdiri tepat di bawah pohon rambutan yang kupanjat. Menatap ke atas—atau tepatnya menatap kepadaku yang sedang bergelantung di salah satu dahan. Tatap mata nenek sedikit terbuka, menampakkan bola mata yang sedikit kelabu. Ia tak bicara apa-apa lagi, tapi juga tak beranjak dari tempat semula, ekspresinya menyiratkan sebuah ketidaksukaan kepadaku.

Aku turun perlahan melewati takik darurat berupa dengkulan kulit pohon rambutan, tentu dengan perasaan yang sedikit malu kerana harus membawa keranjang berisi rambutan. Nenek tak bicara apa-apa, selain hanya melayarkan pandangannya pada setiap gerak tubuhku, mulai dari atas rambutan hingga ke bawah.
“Apa kamu lapar?” tanya nenek datar tapi terasa melesak ke dalam kepalaku.
“Tidak, Nek. Saya kenyang,” jujur kujawab.
“Apak kamu tupai?” pertanyaan nenek membuatku terperanjat, sedikit mendongakkan kepala, melihat ke wajah nenek.
“Bukan, Nek. Saya bukan tupai.”
“Tapi kamu lebih berbahaya dan lebih memalukan daripada tupai.”
Aku semakin terkejut, sekaligus bingung tentang pernyataan nenek.
“Maksud nenek bagaimana?”
“Kalau tupai hanya makan satu buah cukup, sedang kamu tidak,” ungkap nenek tegas. Aku bagai disambar petir dan tak menjawab apa-apa, sebatas menunduk memandang kuku kaki yang agak hitam dan berdaki. Sejenak tak ada cakap di antara kami, derit dahan terdengar bagai jerit rintih seorang pengemis.
“Baiklah, tak apa kau makan semua buah itu. Tapi aku ingin kamu melakukan satu hal,” ucap nenek sambil mengitariku.
“Apa itu, Nek?”
“Kamu harus menanam biji-biji rambutan yang kauhabiskan itu di ladang sebelah rumah.”
Aku mengangguk yakin, mataku masih menyisakan sorot tegang ke wajah nenek. Tapi nenek mulai tersenyum dengan sepasang bibir basah sadah. Giginya yang tinggal satu diliputi warna hitam bagai kayu hangus sehabis dilalap api.

Saat itu juga tak buang waktu. Aku langsung menuju ladang nenek, menanam biji-biji rambutan itu pada bidang tanah kosong yang telah dibajak. Aku meniru kebiasaan nenek, yang senantiasa sigap, menyisakan beberapa buah atau biji dari keseluruhan yang sudah dipetik untuk ditanam jadi bibit baru.

“Dengan membibit semacam itu, berarti kamu telah membuat hati ibu pohonan, yaitu bumi tersenyum kepadamu,” tiba-tiba nenek berdiri di belakangku. Membawa ancak berisi sesajen. Aku membalas senyum nenek seraya membantu menurunkan ancak itu ke alas daun pisang. Seperti biasa ia akan mencabut sebatang dupa dari selip ikat pinggangnya. Lalu membakarnya sambil melafalkan sesuatu. Kemudian nenek memintaku membawa ancak berisi sesajen itu ke pangkal pohon yang tumbuh di pojok tenggara ladang. Di sanalah nenek duduk bersila, matanya terpejam, ia membaca mantra sangat khusyuk sekali, seakan nenek sedang bercakap dengan seseorang dalam kegaiban. Rimbun daun pohon-pohon tiba-tiba bergerak pelan, seperti digesek angin, aku merasakan sesuau yang agak mistis, seolah nenek dan bumi memang sedang berbincang serius.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience