BAB 8

Drama Completed 371

Beberapa hari sebelum hari itu, paman Sato sudah beberapa kali mendatangi nenek, ia pun berkali-kali memaksa nenek agar berkenan menjual sebahagian tanahnya kepada juragan paman Sato. Harga yang akan diberikan tiga kali lipat dari harga normal. Paman Sato terus membujuk nenek agar mau melepas tanahnya kepada juragan tanah yang selama ini menjadikan paman Sato sebagai makelar. Tapi nenek masih tetap pada pendiriannya, ia tak mau menjual tanahnya sedikit pun meski ditawar dengan harga lima kali lipatnya. Mulanya aku sangat menyayangkan nenek kerana tidak mau menjual tanahnya dengan harga yang mahal itu, kala itu aku diam-diam juga membujuk nenek agar mau menjual tanahnya kerana harganya sangat tinggi. Nenek hanya diam sambil memalingkan wajahnya, hingga suatu malam nenek bercerita panjang lebar perihal alasan kenapa nenek tak mau menjual tanahnya. Intinya, nenek tak ingin kedaulatannya terjajah. Tanah adalah simbol kedaulatan, jika tanah lepas ke tangan orang asing, maka bisa dipastikan kelak anak-cucunya tak akan punya tempat untuk hidup, begitu kata nenek.

“Dulu, sebelum meninggal, kakekmu berpesan, pesan itu diulang berkali-kali. Ia melarangku menjual tanah sembarangan. Bahkan ia menyarankanku agar mempertahankan tanah untuk tak terjual, sebab jika tanah terjual, bapakmu, kamu dan anak-cucumu tak akan punya tempat untuk hidup, otomatis kamu akan terusir,” jelas nenek bersuara berat, sambil menahan napas yang dalam. Wajahnya layu seperti kering nyaris gugur dari ranting. Aku mengangguk paham.

“Jadi, bagaimana pun alasannya, kita harus mempertahankan tanah kita, agar kita punya tempat hidup masa depan, agar tanah kita tidak dikeruk begitu saja, yang hanya menyebabkan kerusakan lingkunngan,” tangan nenek menepuk bahuku.

“Betul, Nek!. Kita harus menjaga tanah kita dari segala ancaman,” tegas kujawab. Tangan kukepal di depan nenek. Nenek tersenyum.
“Kau tahu? Para investor yang hanya mengeruk tanah kita itu juga termasuk hama yang harus kita basmi,” bisik nenek ke telingaku.
“Siap!”
“Mati dalam upaya mempertahankan tanah demi kelestarian alam adalah mati yang bermartabat,” imbuh nenek seraya tersenyum.

Paman Sato dan orang asing itu tidak hanya menemui nenek di ladang, mereka juga datang ke rumah, masih tetap membujuk nenek agar mau menjual ladangnya. Tapi nenek tetap bertahan, ia tidak mau menjual ladangnya meski sesendok pun, bahkan meski harganya sepuluh kali lipat dari harga normal sekalipun.
Paman Sato dan orang asing itu terlihat kecewa, wajahnya memerah, dan tak menampakkan senyum sedikit pun. Obrolan kami terlihat tegang dan tak tuntas sampai larut malam, hingga paman Sato dan temannya itu pamit, seraya mengancam akan membunuh nenek jika tetap tidak mau menjual tanahnya.
Nenek tak kalah garang, ia malah menantang dua lelaki itu sambil membelalakkan mata. Nenek bilang, dia memang bercita-cita untuk mati di tanahnya sendiri.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience