BAB 6

Drama Completed 371

“Tak jhammong gurjem! Tak jhammong gurjem! Tak jhammong gurjem! He’ pehe’..he’pehe’….he’ pehe’…peyek…..peyek…peyek….Nanno rinnang….Nanno rinnang..!!”
Suara itu melantun lembut dari mulut para penari. Sedangkan pimpinan tetap khusyuk duduk bersila sambil terus membaca mantra, seakan membaca surat-surat cinta kepada Tuhan agar segera diturunkan hujan.

Aku melihat nenek menari-nari total dan penuh penghayatan. Matanya pejam bagai bulan terperam di antara keriput kulit yang diarsir garis-garis usia. Ia tak peduli tubuhnya yang renta, liuk tari yang dimainkan tetap menunjukkan jiwa yang semangat. Gerakan kaki yang beberapa kali dihentakkan ke tanah tampak sangat perkasa. Aku melihat nenek semangat mendalami ritual itu, seolah menyatukan jiwanya dengan alam. Semua penari dalam pejamnya, seperti sedang merangkul alam untuk berdoa dengan khusyuk agar hujan segera turun.
Setelah ritual pojiyan itu selesai, orang awam makan sesajen bersama-sama, tentu setelah para tetua menyisihkannya beberapa bungkus, untuk ditabur di tempat-tempat keramat. Tak terkecuali nenek, sebungkus sesajen yang lengkap dengan taburan kembang ia selipkan pada ikat pinggang kain yang ia kenakan. Wajah nenek lebih cerah dari sebelumnya. Aku menduga, ada banyak harapan dan kepuasan yang tumbuh pada diri nenek, sehingga wajahnya tampak berseri-seri.

“Bisri! Nanti sore kamu ikut aku ke ladang. Ada sesajen yang harus kita tabur ke pangkal pohon-pohon, agar kebahagian berkah dari ritual ini,” ucap nenek sambil menepuk bahuku. Aku tersenyum seraya mengangguk. Angin bertiup lebih dingin, serupa jarum-jarum menempel ke datar kulit. Di langit, segumpal mendung berarak, mirip batu-batu raksasa mengelinding ke ufuk timur. Nenek dan beberapa tetua tersenyum puas.
Sore hari—sebagaimana rencana nenek saat di balai—kami pun pergi ke ladang. Nenek membawa sebungkus makanan bertabur kembang yang ia peroleh dari sebahagian sesajen saat ritual pojiyan, masih bertakir daun pisang dengan kuar harum yang lumayan menyengat hidung.

Cahaya matahari sore membias kekuningan di datar daun dan rumputan. Hati-hati sekali nenek menapak ladang dengan kaki telanjangnya yang terlihat agak putih dan keriput. Mulutnya tak usai menggetarkan mantra atau mungkin ayat suci, lalu jumputan-jumputan kecil jemarinya menabur sesajen dan kembang itu ke pangkal pohon-pohon. Wajahnya terlihat serius, menampakkan bola mata yang tulus memandang pohon-pohon dengan tatap yang seolah mengalirkan sebuah kekuatan. Dari pohon yang satu ke pohon yang lain, mata nenek terlihat demikian lembut memandang pohon-pohon, bagai seorang ibu tengah memandangi wajah anaknya.

Setelah sesajen dalam bungkusan yang tergenggam di tangan kanannya tersisa sekitar tiga jumput, ia memanggilku untuk segerak mendekat kepadanya yang sedang berdiri di bawah pohon lengkeng yang rindang, sebahagian sanggul bunga-bunga halus pohon itu menyentuh rambut nenek. Aku pun mendekat. Udara sore semakin dingin, dan kesunyian tampak dilukiskan bunyi kersik daun-daun kering yang berjatuhan.

“Silakan ambil sisa sesajen ini,” tangan nenek mengulurkannya tepat di depan dadaku. Dengan tangan kanan yang agak gemetar, aku pun menjumputnya perlahan. Jantungku bagai diguncanng-guncang gempa.
“bacalah basmalah!. Lalu bacalah mantra ini, ngetket ongket sadaja panyaket, lobar gubar daddiya dadar3, ulang hingga tiga kali,” kata nenek sembari mengulang sendiri mantra itu sebanyak tiga kali. Aku pun mengikutinya, belajar mengeja kalimat mantra itu dengan bibir yang gemetar.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience