BAB 5

Drama Completed 371

Kemarau panjang menjambak desa. Sesekali debu beterbangan membedaki rumah-rumah penduduk. Pohon-pohon banyak yang layu dan sebahagian sudah mengering ranggas menyisakan daun kering yang berguguran ke datar tanah. Tanah berambut rumput kering, sebahagian dimukim hewan melata yang menjulur lidah kehausan. Hewan-hewan itu menatap burung-burung yang enggan berkicau, selain hanya menyisir lemas bulu-bulunya di ranting kering.

Beberapa hari terakhir, nenek dan para tetua desa bermusyawarah untuk mengadakan ritual pojiyan2 secepatnya. Kabarnya, dalam pekan ini akan segera dilaksanakan di balai desa—setelah beberapa latihan dilakukan. Sejak pohon-pohon banyak yang kering dan mati, nenek sering duduk di dekat jendela, wajahnya tampak murung, matanya yang sudah sedikit rabun, sering terlihat beku dan redup, selalu tertuju ke luar, pada barisan pohon-pohon layu yang dijarum sinar matahari. Tak jarang, setiap kali daun-daun kering berjatuhan dari ranting yang ranggas, butir-butir air mata juga bergulir dari sudut mata nenek. Nenek menangis, seperti merasakan derita pohon-pohon yang ada di luar.

setelah tiba pelaksanaan ritual pojiyan, nenek datang pagi-pagi sekali, membawa sirih, gambir dan pinang dalam kotak tembaga yang biasa ia pakai saat ada hajatan. Semua pakaiannya hitam, bahkan hingga selendang yang ia pakai juga hitam. Kata nenek, itu pertanda warna duka kerana hujan tak kunjung turun. Di acara ritual itu, nenek ditunjuk sebagai salah satu penari dengan pagu suara anak ayam. Sejak musyawarah itu digelar, nenek latihan suara dengan berbunyi anak ayam yang mengeciap-ciap, selalu setiap hari hingga kemarin.

Semua penari sudah siap mebentuk lingkaran. Di tengah-tengah, bersusun sesajen dalam ancak raksasa yang terbuat dari pelepah daun pisang, beralas daun dan berpucuk kepala kambing. Dikelilingi aneka jajan dan untaian ragam kembang. Angin pedusunan mendesir lirih, mengantar wangi lahang berseruak dari arah kebun siwalan. Orang awam berdatangan satu per satu, membawa makanan dari hasil tani sendiri. Kepala desa dan beberapa aparat sudah duduk di sebuah kursi yang berderet panjang. Empat buah soundsystem menembangkan musik saronen dari empat penjuru pojok balai.

Nenek bersedah, sebelum mengulum kembali selembar sirih, gambir dan pinang. Beberapa kali berdiri dan memandang langit seperti tengah bercakap rahasia dengan alam. Beberapa saat setelah itu, pimpinan ritual pojiyan memberi aba-aba agar seluruh peserta bersiap dengan duduk khusyuk sambil memejam mata.

Pimpinan yang duduk menghadap kiblat di tengah-tengah lingkaran mulai membaca mantra, beberapa di antaranya berbahasa Madura. Sedangkan para peserta yang melingkar masing-masing menyuarakan satu jenis bunyi. Ada yang meniru bunyi binatang, seperti anak ayam yang sedang mengeciap, lenguh sapi, kambing dan suara lainnya. Ada yang meniru bunyi desir angin, daun jatuh, kecius daun tersisir angin dan ranting patah. Ada yang meniru bunyi gamelan, seruling dan alat lainnya. Ketika didengar dan dihayati dengan seksama, tampaklah suara-suara itu seperti suara aktivitas alam, mulai dari binatang, tumbuhan dan manusia.

Mulanya, suara-suara itu dimainkan dalam ritme yang lirih. Kemudian agak cepat ketika para peserta mulai berdiri dan menggerak-gerakkan kaki dan tangannnya untuk menari. Semakin lama, semakin cepat dan para peserta semakin khusyuk dalam tariannya masing-masing, seraya terus berjalan pelan mengelilingi pimpinan yang duduk bersila membaca mantra di tengah-tengah lingkaran para peserta itu.
Kata nenek, pojiayan itu lambang keseimbangan hubungan antara alam dan manusia dalam bergerak memuji Sang Pencipta. Pimpinan pojiyan yang duduk bersila di tengah-tengah adalah simbol Sang Pencipta, sedang para peserta yang menari-nari rapi sambil menyuarakan ragam suara alam itu adalah simbol alam yang berotasi secara rapi.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience