Chapter 2

Mystery & Detective Series 591

"Shit!"

Aiden yang hendak membuka kulkas untuk mengambil coke dingin lantas menoleh.

"Hei Rick, berhentilah mengumpat di dapurku."

"Sorry man, hanya saja pasta buatanmu membuatku teringat pada Mrs. Marlon," ujar Rick dengan wajah pucat. Dia menggeser piring penuh pastanya ke depan lalu memijat pelipisnya.

Aiden duduk di salah satu kursi di depannya. Dapur itu tidak terlalu luas dengan perabotan yang juga tidak terlalu banyak. Well, apartemen tempatnya tinggal memang tidak memiliki banyak barang. Aiden sudah tinggal disana selama lebih dari 5 tahun namun jumlah barang-barangnya tidak terlalu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Sebenarnya apartemen itu milik Hayden. Wakil kepala polisi Costa City itu membawanya untuk tinggal bersama sejak Aiden berusia sembilan belas tahun. Hayden sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya di kantornya, atau di rumah sakit mengamati mayat-mayat korban kejahatan atau di TKP dimanapun dan kapanpun dia diminta datang. Dia hanya pulang saat perlu singgah sebentar untuk berganti baju atau untuk tidur. Dia bahkan menghabiskan hari-hari cutinya disekitar kantor polisi atau berkeliling kota. Yah, begitulah Hayden menyebutnya meski Aiden lebih yakin pria itu sedang berpatroli. Hayden praktis hampir bisa disebut tinggal di kantor polisi. Hidup dibalik pintu ruang kerjanya. Itu salah satu sebab kenapa apartemennya sangat... minimalis. Baik dari segi jumlah perabotannya ataupun stock bahan makanan yang ada.

Sebab lainnya adalah karena Hayden belum menikah.

Kalau ada yang berpikir Hayden polisi paruh baya dengan perut buncit dan mulut berbau asap rokok maka mereka salah duga. Sangat salah. Usianya empat tahun lebih tua dari Aiden. Wajahnya tampan dengan tubuh tinggi, tegap, bahu lebar, dada bidang dan aura maskulin yang kuat. Saat dia bertugas dalam penyamaran untuk suatu misi dengan berpenampilan casual serta jaket kulit hitamnya, dia lebih terlihat seperti model papan atas yang baru saja melenggang dari sampul utama majalah mode ternama dibanding sebagai seorang polisi. Insting tajam dan kecerdasannya mengantarkan karirnya sebagai wakil kepala polisi saat usianya dua puluh tujuh tahun. Jelas dia bukan gay. Banyak wanita yang bersedia memberikan kesaksiannya untuk itu. Aiden bahkan pernah harus menginap di hotel karena salah satu wanita yang pernah dibawa Hayden pulang ke apartemen terlalu 'berisik'.

Oh No, he's not a player.

Dia pria baik, meski bukan pria baik-baik. Dia tidak pernah memaksakan diri pada wanita. Dia memperlakukan mereka dengan hormat, bahkan para pelacur yang tertangkap operasi sekalipun. Sikap dan prinsip hidupnya membuat banyak wanita mendekati Hayden demi mengharapkan posisi permanen di hidupnya. Dan jika para wanita itu bersedia mengantri tanpa berebut, Aiden yakin antriannya akan cukup panjang.

Meski mereka tidak memiliki hubungan darah, tapi Hayden tidak menganggap Aiden sebagai orang asing. Dia justru cukup terbuka pada Aiden. Menceritakan asal usulnya, pengalamannya sebagai polisi, kasus-kasus tertentu yang sedang dia tangani, serta beberapa kali tentang wanita yang dia kencani. Kadang Aiden bersyukur Hayden memilih memungutnya dan memperlakukannya selayaknya manusia normal. Setelah semua kejadian yang Aiden alami di masa lalu, Hayden tetap menerimanya apa adanya. Sebagai saudara. Sebagai sahabat. Sebagai partner. Hayden juga sering melibatkan Aiden untuk kasus-kasus tertentu.

Aiden sudah sering menghabiskan waktunya menerka-nerka alasan kenapa Hayden belum menikah. Hayden selalu hanya tersenyum setiap kali pertanyaan itu diucapkan Aiden.

Jadi begitulah hidup mereka, berlalu bersama setiap ketukan palu pengadilan atas pelaku yang mereka tangkap. Bukan berarti Aiden mengeluh.

"Jadi, tentang mayat korban mutilasi yang ditemukan di halaman belakang gedung sekolah itu sungguh Mrs. Marlon?" ucap Aiden setelah menengguk coke kalengnya.

Rick masih memijit pelipisnya sambil memejamkan mata. "Yah begitulah. Sudah dilakukan tes DNA dengan putrinya dan hasilnya postif."

"Wow. Pastinya dia sangat terkejut mengetahui ibunya meninggal dengan cara seperti itu."

"Entahlah. Aku belum memastikan keterkejutannya."

Aiden menaikan salah satu alis matanya mendengar jawaban Rick.

"Putrinya langsung pingsan pada bagian saat Hayden mengatakan bahwa ibunya meninggal karena dibunuh. Dia masih berada di UGD terakhir kali aku menelepon Hayden siang tadi."

"Oh. Jadi dia belum melihat kondisi ibunya?"

"Kuharap tidak. Akan lebih bagus baginya kalau dia tidak melihat mayat ibunya yang terpotong-potong itu. Well setidaknya genangan darahnya tidak akan membuatnya mual saat harus memakan pasta."

"Oke aku tidak bermaksud membela diri, Rick, tapi itu saus pasta instan yang aku beli di minimarket dekat kantor Hayden. Aku mungkin punya banyak bakat, tapi menjadi Chef jelas bukan salah satunya."

"Yah aku tahu. Kau dan Hayden sama saja. Aku hampir yakin bahwa suatu saat kalian berdua pasti akan menua bersama dengan menyedihkan."

Aiden tergelak. "Bukan ide buruk. Setidaknya aku bisa meregang nyawa dengan seseorang yang kukenal berada didekatku. Aku akan lebih tenang kalau orang itu Hayden."

"Terserahlah."

Rick lantas berdiri dan ikut mengambil dua kaleng coke dari kulkas, membuka salah satunya dan berdiri bersandar pada kulkas.

"Seperti apa kondisinya?"

"Mrs. Marlon? Mengenaskan."

Kali ini Aiden tidak berbicara. Dia menunggu Rick melanjutkan jawabannya yang ternyata membutuhkan waktu beberapa lama. Nampaknya Rick cukup terkejut dengan kasus kali ini. Perampokan, pemerkosaan, prostitusi dan pembunuhan merupakan jenis kejahatan yang sudah umum terjadi di Costa City. Deretan nama tersangka yang menunggu diinterogasi diiringi ratapan sedih keluarga korban hampir setiap hari menjadi beban tambahan bagi Hayden. Sebagai wakil kepala polisi dia bertanggung jawab tidak hanya untuk memastikan pelakunya hidup di balik jeruji tapi juga beban mental serta psikis para korban dan keluarganya. Apalagi untuk kasus besar. Dan ini kasus heboh pertama di kota setelah kejadian penembakan di club Anne Marie tiga bulan lalu yang menewaskan 11 orang.

Rick sudah menjadi tangan kanan Hayden sejak sama-sama masih dilatih di akademi. Rick menguasai beladiri dan selalu unggul dalam penyerangan langsung. Namun dia bukan anggota yang pandai berpura-pura sehingga sangat jarang Hayden dan Rick bertugas bersama dalam sebuah misi penyamaran. Sedangkan Peter merupakan salah satu penembak jitu terbaik yang dimiliki kepolisian Costa City. Dengan strategi yang tepat dari Hayden, mereka hampir selalu menyelesaikan operasi sesuai target. Yah, hampir. Tidak semua operasinya sukses. Operasi yang membuat Hayden terlibat dengan Aiden untuk pertama kalinya menjadi kasus urutan nomor satu yang berada pada catatan kegagalan operasi mereka.

"Tubuhnya terpotong menjadi beberapa bagian. Pelaku meletakkannya begitu saja di area parkir di halaman belakang sekolah. Mayatnya ditemukan sekitar lima puluh meter dari mobilnya. Kunci mobil, dompet, perhiasannya masih ada di TKP."

"Jadi pelakunya bukan bermaksud merampok."

"Kurasa begitu," jawab Rick ragu.

"Ada sesuatu, Rick?"

"Ada yang hilang."

Kini Aiden berdiri, menatap Rick dengan serius. Aiden memang bukan polisi, tapi keterlibatannya cukup banyak membantu Hayden dan teamnya. Ini bukan pertama kalinya Rick atau Peter menceritakan detail kasus pada Aiden. Dan biasanya Rick tidak pernah terlihat ragu saat membagi informasi kasusnya.

"Apanya yang hilang, Rick?"

Rick menatap Aiden dengan tatapan menerawang. Tubuhnya tidak bergerak untuk sesaat. Kemudian dia menunduk, meneguk coke-nya hingga habis kemudian menjawab, "Kepalanya, Aiden. Kelihatannya si pelaku membawa kepala Mrs. Marlon."

"Shit!" ujar Aiden sambil melemparkan kaleng kosongnya ketempat sampah.

"Jangan mengumpat di dapurmu sendiri, Aiden."

***

Hayden terkejut melihat Aiden berdiri di depan resepsionis rumah sakit sambil berbincang dengan Peter. Aiden yang menyadari kedatangannya lantas menganggukkan kepalanya sedikit.

"Kapan kau datang?" tanya Hayden heran.

"Baru saja. Aku datang dengan Rick."

"Sudah kuduga. Aku sudah melarangnya untuk melibatkanmu dalam kasus apapun sementara ini. Seharusnya aku tau dia cukup bodoh untuk mengerti ucapanku."

"Hati-hati, Hayden. Kalau aku tidak cukup mengenalmu, aku mungkin berpikir kau cemburu pada Rick," kata Peter sambil tertawa.

"Justru sebaliknya. Dia memberiku inspirasi tentang 'Money Jar'. Kau tahu, jika dia harus memasukkan selembar uang setiap kali dia mengumpat atau mengutuk sesuatu, mungkin kita bisa mengganti GMC Sierra milikmu dengan Ferrari Lusso tahun depan."

"Kedengarannya aku harus menjaga jarak denganmu, Aiden. Untuk mengamankan rekeningku," jawab Rick yang kini menghampiri mereka dengan dua gelas kopi panas. Dia menyerahkan salah satunya pada Hayden.

"Entahlah Rick, kau sepertinya terlihat siap mengosongkan rekeningmu. Dan bayangan mengejar berandalan dengan Ferrari Lusso cukup menggoda," jawab Hayden sambil menyeringai pada Rick.

"Dan kedengarannya kalian cukup senggang untuk kuganggu," kata seseorang dibelakang mereka.

Mereka menoleh nyaris bersamaan. Wanita itu cantik. Tubuhnya langsing dan tidak terlalu tinggi. Dress biru tua yang jatuh hingga lututnya membuat warna kulitnya terlihat lebih cerah dan menawan. Aiden membaca nama yang tertulis pada jas putihnya; dokter Candice.

"Ms.Marlon sudah siuman. Kondisinya cukup stabil. Kurasa kalian bisa mengajukan beberapa pertanyaan padanya. Meski begitu, jangan terlalu membebaninya dan jangan terlalu lama. Aku tidak suka pasienku tidak bisa beristirahat," kata dokter Candice.

''Bagaimana denganmu Dok? Kau punya waktu istirahat cukup lama?" Peter tersenyum menatap wanita itu.

"Dan kenapa dengan waktu istirahatku?"

"Jika kau punya waktu istirahat cukup lama, bisa kuganggu dengan makan siang bersama di Restaurant Jepang di ujung Blok?"

Aiden dan Hayden menyeringai mendengar ucapan Peter. Diantara mereka berempat, Peter adalah yang paling cepat jika berurusan dengan wanita. Apalagi jika wanita itu cantik.

"Thanks. Tapi kurasa tidak, Sir. Karena menurutku kau bermaksud agar rekanmu ini punya waktu lebih lama untuk menanyai pasienku," jawab dokter Candice sambil menunjuk Hayden dengan kepalanya.

"Shit." Peter memalingkan wajahnya dan mengumpat pelan. Rick tertawa melihatnya.

"Ayo, Dok. Kurasa aku tidak berhasil mendapat tambahan waktu untuk bertanya pada Ms.Marlon," kata Hayden sambil berbalik melangkah menuju kamar perawatan Ms.Marlon bersama dokter Candice.

Baru beberapa langkah berlalu Hayden mendengar seruan Aiden. "Hey Hayden, kurasa kita bisa membeli dua 'Money Jar' untuk Rick dan Peter dan mungkin Ferrari itu bisa kau gunakan untuk patrol saat Natal tahun ini."

Hayden tidak menghentikan langkahnya, namun dia mengangkat lengan kanannya dan membiarkan Aiden melihat jempol tangannya.

***

"So.... Dia tau sesuatu?" tanya Rick tepat setelah Aiden menutup kembali pintu kamar perawatan Ms.Marlon.

"Selain fakta bahwa ibunya tewas dibunuh secara brutal? Tidak."

"Aku merasa kasus ini akan memakan waktu lebih lama daripada kasus penembakan di Anne Marie tiga bulan lalu."

"Kurasa juga begitu. Aku merasa ada sesuatu yang lain yang akan terlibat. Kasus ini bukan sekedar pembunuhan biasa," kata Aiden.

"Kenapa?"

"Insting, Rick. Apa yang dikatakan insting polisimu?"

"Insting polisiku bilang bahwa Mrs.Marlon bukan yang terakhir."

Aiden hanya menganggukan kepalanya. Pintu kamar perawatan itu terbuka kembali dan menampakkan Hayden dengan raut wajah penuh kecemasan.

"Mungkin sebaiknya kita lanjutkan pembahasan di apartemen. Lagipula ini sudah lewat jam makan malam dan aku lapar. Aiden, kau pulanglah dengan Hayden. Aku akan menyusul kalian," ucap Rick sambil berjalan ke pintu keluar.

Sesaat tidak ada yang berbicara. Mereka berdua diam sambil menatap punggung Rick yang semakin jauh.

"Sebaiknya kita makan. Ada yang kau inginkan?"

"Tidak, Hayden. Tapi mungkin sebaiknya kita menghindari pasta atau menu yang berwarna merah. Rick kelihatannya kurang menyukai menu berwarna merah sekarang ini."

"Oke" ujar Hayden santai. Mereka berjalan menuju tempat parkir. Beberapa polisi menyapa Hayden dan menganggukkan kepala sebagai bentuk sapaan. Hayden membuka pintu pengemudi, bersiap menyalakan mobilnya. Aiden sudah duduk di kursi penumpang di sebelahnya, menatap kearah jalan raya yang tidak terlalu ramai.

Hayden mulai melajukan mobilnya. Hanya beberapa saat setelah mobil hitam itu berada di jalan raya, Hayden bertanya, "Kau menemukan sesuatu, Aiden?"

"Entahlah. Kurasa tidak. Belum, mungkin."

"Hmm... Kau mendengar sesuatu?"

Aiden tidak langsung menjawabnya. Pandangannya masih menatap lurus ke depan, ke jalan raya yang entah sejak kapan mulai padat.

"Kurasa begitu."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience