Chapter 10

Mystery & Detective Series 591

"Dia bisa memecatku," kata Irina dengan wajah marah.

"Dia bosmu, tentu saja dia bisa memecatmu."

"Dia akan memecatku, Aiden!" Kali ini Irina sudah nyaris berteriak. Apa yang ada di kepala tampan Aiden?

"Aku tahu. Aku tahu kau mungkin akan dipecat."

Irina merasa sudah seperti salah satu oven besar di Black Russo, berdiri dengan kaku namun dengan panas menggelegak di dalam. Bersiap meledakkannya kapan pun ketika pemicunya ditekan. Dan kalimat datar Aiden barusan berhasil menekan tombol yang tepat.

"Jadi itu saja? Apa resiko itu tidak terdengar seperti sesuatu bagimu? Well, bagiku itu terdengar seperti aku akan kehilangan pekerjaan yang kusukai, waktu bersenang-senang dengan sahabatku, dan tentu saja yang paling utama adalah aku akan kehilangan penghasilanku satu-satunya yang kudapatkan susah payah. Satu-satunya!" teriak Irina.

Irina melipat kedua lengannya di dada, menghadapi Aiden dengan tatapan garang seekor macan betina. Atau setidaknya begitulah kesan yang dia harapkan dilihat Aiden. Oh, seandainya Black Widow itu nyata. Irina pasti senang jika Black Widow nyata dan dapat mengajarinya banyak trik berguna untuk menghadapi pria macam Aiden. Pria tampan mempesona macam Aiden.

Tapi sosok itu hanya senyata layar lebar. Begitupun dengan Wonder Woman. Atau Storm. Salahkan imajinasinya yang terlalu hidup.

Satu hal yang nyata, tak satupun sosok wanita tangguh tadi atau wanita tangguh manapun dalam imajinasi Irina yang berpenampilan sepertinya sekarang. Diam-diam Irina menarik turun matanya, menatap sweater hitam dan celana pendeknya. Bukan, sweater hitam dan celana pendek Aiden yang dia kenakan. Sweater itu menenggelamkan tubuh kecilnya. Irina bahkan harus bersusah payah menggulung lengan sweater itu agar dapat melihat telapak tangannya sendiri. Dia yakin celana pendek yang dia paksakan menggantung di pinggulnya itu pasti akan terlihat aneh. Tapi karena panjang sweater itu hampir mencapai setengah pahanya, dia tidak perlu terlalu khawatir dengan celana itu. Setidaknya, ketika kejadian buruk seperti celana besar itu melorot dan teronggok di lantai secara tiba-tiba, panjang sweater itu bisa menyelamatkannya dari rasa malu di depan Aiden atau Hayden. Sedikit.

Sadar sedang berada dalam situasi genting melawan Aiden, Irina memaksa matanya mendongak berharap tekad bertempurnya terlihat oleh mata hazel Aiden. Bukan waktunya mempermasalahkan sweater yang terlalu panjang atau celana pendek berukuran dua kali lebih besar.

Sayangnya Aiden tidak membalas tatapannya. Pria itu sedang menunduk, memusatkan pandangannya kebawah. Refleks, Irina mengikuti arah tatapan Aiden dan terperanjat. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Lagi. Seperti saat-saat lain ketika mereka berdekatan. Tubuhnya memanas dengan cara aneh yang belum pernah dialaminya. Sialnya, Irina merasa cara aneh itu menyenangkan.

"Ehem!" Irina berusaha menjaga suaranya terdengar datar dan jelas sambil bergerak gelisah bertumpu dari satu kaki ke kaki yang lain.

Suara Irina membuat Aiden mendongak, mengalihkan kesibukannya dari memandangi dada gadis di depannya.

"Eye's up here!" Tangan Irina bergerak melambai di depan wajahnya, tapi pandangannya beralih ke hal lain. Apapun selain wajah Aiden. Seharusnya dia merasa tersinggung menyadari Aiden menatapnya seperti itu. Seharusnya dia mengkonfrontasi Aiden penuh semangat, bukannya gugup setengah mati karena malu. Irina merasa bodoh. Bodoh karena baru bisa memahaminya sekarang, bahwa Aiden Hawthorne membuatnya bodoh. Tapi dia memang tidak punya kesempatan membangun pengalaman bersama pria. Dia sibuk bekerja dan sibuk menghindari hantu-hantu yang berusaha bicara padanya. Satu-satunya hal yang dia jaga sebagai rahasia yang membuatnya merasa istimewa karena berbeda. Rahasia yang dilemparkannya ke meja ruang tamu apartemen Hayden tiga malam lalu.

Malam itu, setelah Hayden menanyainya atau sebut saja menginterogasinya mengenai Robert, pria itu lantas meluncur menemui rekan polisinya, meninggalkan Irina berduaan dengan Aiden dalam situasi canggung.

Tentu saja Aiden mempersilakannya istirahat dikamarnya. Pria itu benar-benar merebahkan diri di sofa. Merasa lelah luar biasa, Irina mensyukuri sebuah tempat tidur king size yang diselimuti kain menjuntai berwarna cream sesaat setelah mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar Aiden. Tampak sangat nyaman dan mengundang. Sayangnya tubuhnya yang lengket karena keringat setelah berlari dari apartemennya sendiri memaksanya memilih kamar mandi lebih dulu. Toh tempat tidur itu tidak akan kemana-mana kan?

Irina belum sempat mengagumi kamar mandi Aiden saat kenyataan itu menyeruak di hadapannya. Yah, sebelum ini dia tidak pernah berpikir bahwa kebiasaannya mandi dengan pakaian lengkap bisa membuatnya terserang panik akut. Tapi malam itu dia merasa membutuhkan seluruh keberanian sekaligus seluruh sifat bijaknya hanya untuk memutuskan apakah tetap melakukan kebiasaannya dan membuat basah kuyup baju pinjaman milik dokter Candice?

Yah. Pikirkan ketenangan jiwamu, Irina. Mandi dengan pakaian lengkap sudah menyatu dengan hidupmu selama ini. Ingat bagaimana hantu tentara mesum menatap tubuhmu saat masih anak-anak dulu?

Irina memikirkan suara hatinya. Yah benar. Itulah yang seharusnya dilakukannya. Melakukan kebiasaannya, rutinitasnya. Rutinitas sepele yang membuatnya merasa aman dan nyaman.

Irina berbalik hendak menutup pintu kamar mandi dibelakangnya saat matanya kembali tertambat pada tempat tidur cream itu.

Kau tidak mungkin berbaring disana dalam kondisi basah kuyup, Irina. Kau tahu itu. Bagaimana kau akan tidur? Kau bahkan tidak memiliki pakaian lain.

Suara lain berbisik padanya. Yah yang itu juga benar. Irina ingin sekali tidur. Bukan, Irina butuh tidur. Tidur yang nyaman, lelap dan lama. Bertahun-tahun dia tidak pernah tergoda oleh tawaran kemewahan sebagai wanita simpanan dari pria hidung belang beristri yang bertemu dengannya saat dia bekerja, tapi sekarang dia sangat tergoda hanya karena sebuah tempat tidur. Tempat tidur menggoda dari pria penggoda.

Irina mendengus kesal. Salahkan saja Robert.

Lalu apa kau ingin mandi dengan etika yang benar, Irina?

Benarkah Irina ingin mandi seperti itu? Karena etika yang benar dalam urusan mandi melibatkan seluruh pakaian yang dilepaskan dari tubuh.

Bagaimana kalau Robert muncul?

Nah, ancaman Robert membuatnya bergidik merinding.

Lantas apa kau memilih tidur di lantai, Irina? Di lantai tepat disamping tempat tidur yang nyaman itu? Dengan seluruh rasa lelah dan pegal ditubuhmu? Oh... kakimu pasti akan sangat nyaman diatas sana.

Irina menggelengkan kepalanya. Sungguh sial. Betapa lucu kondisinya sekarang. Terdiam karena pertentangan batin dalam hatinya. Kenapa pula hatinya harus berdebat?

Yah, baiklah. Sekarang yang dia butuhkan hanya bersikap bijak. Bijak memutuskan mandi sesuai kebiasaan atau mandi beretika.

Irina termenung beberapa saat sebelum akhirnya melangkah menyerah, membuka pintu kamar dan berdiri menatap Aiden yang berbaring di sofa.

Merasa ada seseorang, Aiden langsung duduk begitu matanya terbuka dan melihat Irina berdiri kaku di depannya.

"Ada sesuatu?" tanya Aiden khawatir.

Irina terlihat bingung sesaat. "Aku.... Ehem. Tubuhku lengket karena terlalu banyak berkeringat. Jadi kupikir... mungkin aku bisa mandi dulu sebelum tidur."

Aiden hanya menatapnya heran. "Kau kesulitan menemukan kamar mandi di kamarku?" kata Aiden terkejut. "Kalau begitu kuberi tahu informasi pentingnya. Satu-satunya pintu berwarna cokelat tua di dalam sana adalah pintu kamar mandiku, Irina. Dan jaraknya hanya empat meter dari pintu kamar yang baru saja kau buka."

Irina menatapnya gelisah. Cara Irina menggigit bibirnya tanpa sadar itu menyedot seluruh perhatian Aiden. Hampir.

"Aku... aku biasa mandi dengan pakaian lengkap. Dan karena pakaian ini merupakan bentuk kebaikan hati dokter Candice, aku merasa tidak enak untuk mengembalikannya nanti dalam kondisi basah kuyup."

Aiden mengerutkan alisnya. Terkejut sekaligus heran dengan apa yang baru saja terucap dari bibir sensual gadis itu. Terlalu teralihkan, Aiden belum sadar Irina menatapnya waswas.

"Oke. Kau tahu, aku mengerti kalau kau menganggapku aneh. Tapi pernah satu kali, dulu, ada hantu mesum yang muncul saat aku mandi sesuai etika, lalu-"

"Ada Robert yang lain? Kapan?" tanya Aiden dengan rahang terkatup rapat nyaris tiba-tiba.

Irina bingung dengan reaksi Aiden. Apa? Dia marah? Marah karena istilahku? Atau marah karena ceritaku yang terdengar lebih mirip omong kosong?

Pikiran itu membuat darahnya mendidih. Menatap Aiden tajam, Irina berkata, "Yah. Itu saat aku masih kecil. Dan sejak itu aku pikir mandi dengan pakaian lengkap sangat tepat untuk keamanan batinku. Jadi sekarang aku berdiri disini, terlalu bingung untuk memutuskan apakah sebaiknya aku tidak mandi atau tetap menyelamatkan batinku seperti biasa dan sengaja membuat tempat tidurmu dan mungkin juga seluruh lantai kamarmu basah!"

Penjelasan Irina terdengar mirip tantangan di telinga Aiden. Jadi itu masalahnya? Gadis itu terlalu bingung untuk memutuskan barang pribadi siapa yang ingin di korbankannya, dokter Candice atau miliknya.

Aiden menunduk dan mendesah cukup keras. Dia kembali menatap Irina. Tapi kali ini ada rasa geli yang tersirat disana. "Oke."

Jawaban singkat Aiden membuat amarah Irina menguap. Baru saja dia bermaksud mempertanyakan maksud dari 'oke' tadi, tapi Aiden sudah merengkuh tangannya dan membimbingnya kembali ke dalam kamar. Dengan tangan yang lain, Aiden mengeluarkan sebuah kaos berlengan panjang dan celana training dari lemarinya.

"Pakai ini saja."

Irina menatap dua potong pakaian yang dipaksakan Aiden untuk digenggamnya.

"Ck. Kau pakai saja dulu. Bukankah kau ingin mnegembalikan pakaian dokter Candice secepatnya? Kau bisa pakai pakaianku dulu. Sementara."

Karena Irina hanya menatapnya tanpa ekspresi, Aiden bergerak mendorong gadis itu melewati pintu kamar mandi seraya berujar, "Kau mandilah. Dengan etika atau tidak, itu pilihanmu. Tapi sebaiknya kau membiarkan baju dokter Candice tetap kering kalau memang bermaksud mengembalikannya."

Irina masih belum menjawabnya. "Hanya berjaga-jaga saja, kalau seandainya teman lamamu itu muncul... yah, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku akan disini selagi kau mandi. Berteriaklah kalau terjadi sesuatu."

Seriously? Pria yang sukses selalu membuat detak jantungnya kacau itu akan menunggunya selagi mandi? Di sini? Di dalam kamar yang sama?

"Kau... percaya padaku?" kata Irina tidak percaya.

"Jadi kau bohong?"

"Tentu saja tidak," jawab Irina sambil menggeleng pelan. Apa Claire juga akan bersikap seperti Aiden kalau dia mengatakan alasan yang sebenarnya dari kebiasaan mandinya yang tidak sesuai etika itu?

Oh God. Claire.

Tiba-tiba Irina merasa lega mengingat bahwa Claire pasti bersedia mengantarkan beberapa pakaiannya. Ya, ya. Tentu saja. Claire terlalu baik hati untuk mengabaikannya. Jadi mungkin menggunakan pakaian Aiden sementara adalah pilihan terbaik. Keputusan paling bijak. Saat ini.

"Jadi kau tidak percaya kalau aku percaya?"

"Bukan begitu. Hanya saja aku tidak terbiasa mendapat respon seperti itu."

Hanya sepintas, Irina menangkap kesan sedih dalam tatapan Aiden. Tangan Irina sudah berada pada handle pintu saat Aiden bersuara lagi. "Ada hal lain yang perlu kau katakan? Atau kau lebih suka melemparkan kejutan seperti tadi malam dan barusan?"

Senyum kecil Irina tampak ragu-ragu. "Aku bahkan tidak bermaksud mengatakannya. Kau orang pertama yang tahu selain ibuku."

"Kenapa kau mengatakannya padaku, Irina?" gumam Aiden, sangat pelan hingga dia pikir Irina mungkin tidak mendengarnya.

Pintu itu berayun. Tepat sebelum tertutup sepenuhnya, Irina menatap Aiden dan berkata,"Karena kurasa aku bukan orang yang bijak."

Dan begitulah. Irina tetap melanjutkan kebiasaannya dan membuat keranjang pakaian Aiden selalu terisi pakaian basah setiap hari. Pada hari keduanya, Irina berpikir mungkin Aiden keberatan tapi setelah menanyakan hal tersebut, raut wajah datar Aiden membuatnya menyimpulkan bahwa dia bisa melanjutkan kepentingannya. Dan setelah tinggal selama tiga hari, tentu saja dengan keberadaan Aiden yang selalu menunggu di balik pintu kamar mandinya, Irina terlena dan mulai menganggap apartemen itulah rumahnya. Kini menggunakan pakaian Aiden setiap hari tidak lagi membuat Irina malu. Begitu juga dengan aroma tubuhnya yang sudah tiga hari ini menjadi sama dengan aroma Aiden.

Alih-alih merasa tidak nyaman, Irina justru menikmatinya. Di apartemennya dia selalu sendirian. Sekarang, dia bisa saja berpapasan dengan Hayden saat mengambil minuman di dapur atau bertemu Aiden saat pria itu memasuki kamarnya untuk mengambil beberapa pakaian ganti. Seperti pagi ini, tepat sebelum Hayden terburu-buru pergi setelah menerima telepon dari atasannya saat mereka sarapan bersama.

Irina bahkan belum menghabiskan sarapannya saat Hayden mengatakan bahwa dia belum diperbolehkan bekerja kembali. Tentu saja selama tiga hari terakhir bosnya memberinya izin libur. Awalnya Irina heran bosnya tiba-tiba berubah baik hati. Tetapi ucapan Hayden membuatnya mendengus maklum.

"Aku memintamu diberikan libur selama setidaknya lima hari untuk kepentingan penyelidikan. Aku mengatakannya pada Mr.Russo setelah memastikan dia melihat lencanaku."

Tentu saja! Mana mungkin bosnya itu tiba-tiba berubah pengertian. Bosnya tetap orang perhitungan yang memperhitungkan banyak hal. Termasuk pemenuhan jam kerjanya dalam sehari. Jadi ketika pagi ini Claire menghubunginya-melalui ponsel Aiden-dan mengatakan bahwa Mr.Russo merasa sudah waktunya dia kembali bekerja, Irina langsung tahu apa yang harus dia lakukan.

Kembali bekerja.

Menunda hari kerjanya berarti mengurangi jumlah angka di gaji bulanannya.

Claire mengatakan akan menjemputnya sambil membawa pakaian untuk Irina sebelum telepon terputus. Jadi satu-satunya hal yang akan dilakukannya sekarang adalah menghabiskan sarapannya selagi menunggu kedatangan sahabatnya itu.

Sayangnya, Aiden sepertinya berpikiran lain. Begitu dia tahu Irina bermaksud kembali bekerja, pria itu langsung berubah menjadi menyebalkan.

"Hayden bilang lima hari, Irina. Bagian mana yang tidak kau pahami?"

Irina menatapnya jengah. "Sekali terlambat lagi, dan aku akan dipecat. Tapi kalau aku tidak bekerja hari ini sesuai yang dia minta, aku pasti dipecat." Irina mengatakannya sambil menggertakkan gigi dan menekankan kata akan dan pasti.

"Bagaimana jika teman lamamu itu datang lagi ke café?"

"Claire akan menemaniku."

"Seharian penuh?"

"Mungkin. Kuharap begitu."

"Nah, kau sendiri tidak yakin."

"Lagipula masih ada Edward. Dia juga bisa menemaniku."

Aiden menatapnya tajam. "Siapa Edward?"

"Dia juga bekerja di café. Dia sering menemaniku pulang." Aiden menunduk. Kemudian saat kembali memandang Irina, dia berbicara dengan cara yang membuat Irina yakin pria itu tidak ingin menerima bantahan apapun. "Kau tidak akan kemanapun hari ini. Begitu juga dengan besok. Kau libur lima hari!"

Irina tidak lagi menahan amarahnya. Selama ini dia bebas menentukan pilihannya. Bijak ataupun tidak, dia selalu berusaha bertanggung jawab dalam setiap keputusan dalam hidupnya. Kenapa sekarang pria yang baru dijumpainya beberapa hari lalu ini seenaknya mengatur hidupnya?

"Kalau dengan tinggal disini berarti aku harus mengikuti semua kata-katamu, Aiden, maka terima kasih atas segalanya, karena aku akan pastikan hari ini adalah terakhirku disini. Kau pikir siapa dirimu? Kau tahu aku sungguh berterima kasih atas pertolonganmu selama ini. Tapi kau tidak bisa memperlakukanku seolah aku adalah milikmu yang bisa kau atur sesukamu."

"Kalau begitu aku hanya harus menjadikanmu milikku, kan?" Jawab Aiden sambil menyeringai memangkas jarak diantara mereka.

***

Sorry for the typos.

ghian7st

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience