Chapter 4

Mystery & Detective Series 591

Deg deg deg.

"Ada apa? Wajahmu terlihat pucat."

"Nothing. Aku hanya merasa jantungku berdebar lebih cepat." 

"Kalau kau merasa kurang sehat sebaiknya kau mengurus dirimu dulu. Kau tahu, ada rumah sakit di seberang kita."

"Yah, aku masih ingat soal itu. Tapi aku tidak bisa mengizinkan diriku menemui Boss untuk meminta izin ke dokter sedangkan pagi ini aku sudah terlambat."

"Dan begitu juga pagi minggu lalu dan minggu sebelumnya lagi."

"Yang itu aku juga masih ingat, Claire."

Claire mendesah. "Kau tahu, aku melihatmu keluar dari apartemenmu pagi-pagi hampir setiap hari. Aku bahkan belum menggosok gigi dan kaki seksimu itu sudah melangkah menyusuri jalanan. Tapi kau tetap datang terlambat. Apa yang kau lakukan, Irina? Apa kau punya pekerjaan lain di pagi hari?"

Claire mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Irina. Sentuhan itu sederhana, tapi membuat Irina merasa diperdulikan.

Irina mengenal Claire Summers tiga tahun lalu di Clark Victory, sebuah perusahaan agensi model di Dallas. Irina berniat melamar pekerjaan di kantor itu untuk posisi apapun. Kondisi ekonomi tidak mengizinkannya untuk melanjutkan riwayat pendidikannya hingga universitas. Dia sadar bahwa pada era seperti sekarang, bahkan posisi sebagai resepsionis sekalipun harus memenuhi kriteria yang cukup tinggi. Jadi dia tidak pernah membiarkan harapannya melambung. Pada akhirnya dia memang mendapatkan pekerjaan disana, sebagai cleaning service. Irina hidup seorang diri dengan keuangan terbatas dan kebutuhan hidup yang seakan tidak pernah habis. Dia tidak sering mengeluh dan tetap menjalani hidupnya dengan optimis.

Satu minggu setelah dia bekerja disana, pada suatu sore Claire memasuki toilet dengan mata merah dan penampilan berantakan. Irina tidak mengatakan apapun, memberikan waktu pada Claire untuk menyibukkan diri dengan apapun yang ada di kepalanya. Sungguh Irina hanya berniat berdiam diri berharap dirinya tembus pandang. Way to go, Irina.

"Kau punya tissue?" Irina terkejut mendengarnya. Sama sekali tidak menyangka gadis itu akan bicara padanya. Biasanya, oke sebenarnya semuanya, yah, semua wanita yang pernah ke toilet itu tidak pernah mengajaknya bicara. Mereka adalah para model atau karyawan agensi dengan penampilan menyerupai aktris Hollywood. Atau setidaknya para wanita itu jelas benar-benar mencoba terlihat seperti mereka. Sangat fashionable. Mereka hampir selalu mencibir penampilan Irina. Oke, tubuhnya cukup tinggi dan langsing. Kulit putihnya bersih dan lembut karena Irina merawatnya setiap hari. Bukan untuk ditunjukkan ke orang lain -ke pria-, tapi karena dia suka melakukannya. Dia tidak merasa dirinya cantik dan memang belum pernah ada yang menyebutnya cantik, selain ibunya. Tapi banyak orang yang memuji matanya. Warna hijaunya membuat banyak orang terpesona. Bahkan hari ini sudah ada lima pria yang menyebut matanya indah, satu security di pintu masuk, satu security di lantai empat belas tempatnya bekerja, dua orang office boy yang berpapasan dengannya dan seorang pria yang baru saja keluar dari toilet di seberang. Irina berniat bekerja dengan serius. Dia tidak merasa perlu memiliki teman disana, dan dia tidak berniat mengejar karir yang lebih bagus atau bahkan mencari kekasih. Tujuannya hanya mendapatkan uang untuk melanjutkan hidup. Dan seakan Tuhan menjawab keinginannnya karena sejak hari pertamanya bekerja, belum pernah ada yang bicara padanya selain security di pintu masuk. Irina terbiasa hidup dalam keheningan, jadi jelas dia terkejut ketika wanita itu mengatakan sesuatu padanya.

"Hmm... Yah, aku punya beberapa," Irina menjawab ragu. Tangannya bergerak perlahan ke dalam sling bag miliknya selama tiga tahun terakhir dan menemukan pouch kecil berwarna orange tua, membukanya dan meletakkan tissue di dekat wanita itu tanpa mengucapkan apapun.

"Thanks." Dia mengambilnya dan menggunakannnya untuk membersihkan sisa make up yang berantakan di wajahnya.

"Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Apa kau orang baru?"

Irina gugup. Dia berdeham untuk menutupinya. "Yah, sejak seminggu lalu."

"Pantas saja. Bagaimana hari kerjamu? Aku harap mereka tidak menyulitkanmu."

"Siapa?"

"Karyawan lain di sini, terutama para modelnya."

"Tidak terlalu," jawabnya sambil meringis. Wanita itu menatapnya sebentar, kemudian tersenyum.

"Aku Claire. Claire Summers."

Irina tersenyum ragu-ragu, merasa aneh dengan hal baru ini. "Irina, Irina Luiza."

"Well, terima kasih untuk tissuenya, Irina."

Claire tersenyum lagi kemudian melangkah keluar. Irina hanya menatap pintu yang sudah tertutup kembali. Dia wanita yang cantik. Kenapa dia menangis? Ini bahkan bukan jam istirahat.

Baru saja Irina memutuskan untuk menyimpan kembali tissue dan pouchnya, dia mendengar suara pria dilorong di luar toilet. Irina tahu apapun yang terjadi diluar sana bukan urusannya dan dia juga tidak berniat terlibat. Namun saat melihat Claire menangis dan pria di depannya hanya berdiri saja, Irina merasa dia perlu berada disana. Entah untuk apa. Dia sendiri tidak mengerti kenapa. Tapi begitulah, yang terjadi selanjutnya dia membuka pintu toilet lebar-lebar dan bergerak ke sisi Claire.

"Siapa kau?" tanya pria itu begitu melihatnya.

"Bukan siapa-siapa," kata Irina santai.

"Pergilah! Kau mengganggu kami," ucap pria itu kasar.

Irina tidak menjauh. Dia meraih salah satu lengan Claire, memegangnya lembut. "Claire? Kau tak apa?"

"Sudah kubilang menyingkirlah. Ini bukan urusanmu!" pria itu mulai bersikap kasar.

Irina sudah terbiasa mendapatkan perlakuan seperti itu entah sejak kapan. Bukan masalah baginya untuk menerima perlakuan kasar lagi hari ini.

"No. Pergilah Andrew. Kurasa semuanya sudah jelas. Kau tidak perlu menemuiku lagi sekarang, setelah kau memutuskan untuk menikahi Angelina," suara Claire lemah namun tegas. Dia tidak menatap pria itu, hanya menundukkan kepalanya menatap lantai.

"Claire, sudah kubilang aku tidak punya pilihan."

Kali ini Claire mengangkat kepalanya, menatap langsung ke mata pria itu. "No, Andrew. Kau punya pilihan, dan kau memilihnya. Jadi sekarang kumohon, pergilah. Jangan mencariku lagi. Semoga kau berbahagia dengannya." Claire bergegas menarik tangan Irina, membawanya ke lift, dan menekan tombol dua puluh.

Mereka berada disebuah café outdoor yang berada di lantai dua puluh. Claire memilih meja di sudut terluar. Waktu sudah cukup sore, sehingga mereka bisa menatap pemandangan kota Dallas dari lantai dua puluh yang disinari cahaya matahari yang hampir tenggelam.

"It's beautiful."

"Yah. Sekalipun aku tidak pernah mengira bahwa sunset indah itu bisa dinikmati dari gedung ini." Irina menanggapi perkataan Claire tanpa mengalihkan pandangan dari kilauan cahaya di depannya.

"Dia kekasihku," kata-kata Claire setelah mereka terdiam cukup lama, membuat Irina menoleh. "Mantan kekasih," lanjutnya.

"Kami pergi ke universitas yang sama. Kegiatan yang sama, hobby yang sama. Yah, kau tahu. Kemudian kami mulai berpikir mungkin kami bisa mencobanya. Hubungan serius lebih dari sekedar teman."

Claire mendesah. "Keluargaku meninggal dalam kecelakaan pesawat enam tahun lalu. Aku tidak memiliki siapapun. Dan tanpa sadar aku menjadi begitu bergantung pada Andrew. Perhatiannya, keberadaannya, dan hal-hal lainnya."

Irina hanya menatap Claire dalam diam. "He's my first of everything. First friend, first kiss, first love and... first time," Claire berkata lirih dengan tatapan menerawang.

Irina menyadari air mata yang mengalir di kedua pipi Claire. Cahaya matahari membuat kedua pipinya terlihat berkilauan. "Dia putra Direktur disini. Tuhan tahu bagaimana aku berusaha agar mendapatkan pekerjaan disini. Bukan karena perusahaan ini mencetak model-model papan atas, tapi karena aku ingin bisa melihatnya setiap hari. Dan aku mengorbankan banyak hal untuk itu."

"What happened then?" pertama kali Irina berbicara setelah hanya berdiam diri menyaksikan air mata Claire.

"Ayahnya memintanya menikahi putri pemilik perusahaan lain, agar Clark Victory mendapatkan dukungan yang lebih besar."

"Dan dia setuju," ucap Irina. Dia sadar itu bukan pertanyaan. Dia hanya megaskan kembali apa yang sudah jelas dari kejadian di lorong toilet tadi.

Claire hanya mengangguk. Untuk sesaat mereka hanya terdiam dengan pikiran maisng-masing.

"Aku minta maaf."

Irina menoleh. "Untuk?"

"Mengganggu waktumu. Tidak seharusnya aku membawamu kesini. Kenapa kau tidak menolak?"

"Dan kehilangan kesempatan menikmati sunset indah ini?"

Claire tersenyum. "Kau bisa saja bersikap tidak mau tahu. Tapi kau keluar dari sana dan berdiri bersamaku. Kenapa?"

"Karena aku bisa memberimu tissue lagi?" jawab Irina.

Claire tertawa dan Irina tersenyum melihatnya. Tanpa sadar dia mengulurkan tangan, menggenggam tangan Claire dan berkata,"Segala hal dalam hidup ini terjadi karena suatu alasan. Bertahanlah dan hiduplah lebih lama agar kau bisa melihat alasan itu suatu hari nanti."

Claire meletakkan tangannya yang lain ke atas genggaman Irina. Sore itu mereka berbincang banyak hal layaknya dua orang yang lama tidak bertemu.

Seperti sore ini. Mereka berada disudut suatu Café, berbicang berdua. Bukan dengan pemandangan sunset kota Dallas dari lantai dua puluh, hanya tumpukan daun maple yang berguguran di area parkir rumah sakit di Costa City. Dan mereka bekerja di Café itu, bukan karyawan dan cleaning service di sebuah perusahaan mode.

Claire mengeratkan genggamannya melihat Irina yang sedari tadi memegang dadanya. "Kurasa kau harus benar-benar ke dokter, Irina."

"Yah. Kalau aku masih merasa aneh hingga malam ini, besok pagi aku pasti akan menyapamu sebelum ke rumah sakit."

Degup jantungnya berubah kacau sejak dia menatap sepasang mata hazel pagi tadi. Celakanya, hal itu tidak berubah hingga sore ini. Otaknya juga tidak berhenti mengulang kembali memori saat pria itu berdiri dan berjalan ke arahnya.

Irina bukan tidak menyadari tatapannya selama dia bergerak kesana kemari untuk menyiapkan sandwich dan kopi. Dia sengaja menghindari tatapannya. Caranya menatap membuat jantung Irina berdetak lebih kencang. Anehnya dia menganggap hal itu menyenangkan. Namun ketika hal itu berlangsung hingga sore ini, Irina mulai berpikir ada yang salah. Jadi dia memutuskan mengikuti saran Claire. Lagipula shift pagi besok bukan gilirannya. Dia punya waktu luang hingga jam makan siang.

***

"Kusarankan kau harus benar-benar memperhatikan jam makanmu, Ms. Luiza."

Irina menatap cemas dokter di hadapannya. "Jadi... aku sakit? Sungguh?"

Dokter itu tersenyum. "Kalau kau tidak merubah kebiasanmu dan memikirkan pola makanmu, aku yakin dirimu akan terpaksa harus menginap beberapa hari disini."

Irina menghembuskan nafas lega. Detak jantunya sudah baik-baik saja sejak semalam. Tapi Claire menghubunginya pagi ini dan tetap bersikeras untuk memaksanya ke dokter. Dan disinilah dia. Di ruangan salah satu dokter di rumah sakit Brigham yang ada di depan Café tempatnya bekerja.

Dokter itu menuliskan beberapa saran menu sehat serta vitamin pada selembar notes. "Terima kasih dokter Gilbert," kata Irina saat menerima notes tersebut.

"Candice... Kau bisa memanggilku Candice. Sudah sejak lama aku merasa nama Gilbert tidak cocok untukku."

Irina baru saja kan mengulangi ucapan terima kasihnya saat seorang perawat menemui dokter Candice dengan terburu-buru.

"Ada sesuatu, Anny?"

"Yah. Ms.Marlon, dokter... dia sudah sadar dan mulai histeris lagi."

Dokter Candice tampak terkejut. "Maaf Ms.Luiza, tapi aku harus segera menemui pasien yang ini," ujarnya segera menghambur keluar bersama perawat yang dipanggilnya Anny.

Irina segera menyusul keluar. Dia sempat melihat beberapa orang perawat mengikutinya ke sebuah ruangan pasien. Dia heran melihat beberapa pria dan seorang petugas polisi wanita berdiri di depan pintu ruangan itu.

Mungkin pasien itu tersangka atau saksi kasus tertentu. Irina mengecek jam tangannya. Sudah hampir jam makan siang.

Sebaiknya aku kembali sekarang. Setidaknya Mr.Russo bisa melihat bahwa sesekali aku bisa juga datang jauh lebih awal.

Irina sedang sibuk memilih menu makan siang dikepalanya saat melihat pria itu berjalan keluar dari mobil hitam yang terparkir disamping mobil patroli. Dia terlihat luar biasa seperti kemarin. Hari ini dia mengenakan jeans biru gelap dan kaos berwarna abu-abu muda. Irina berhenti melangkah.

Apa sebaiknya aku berjalan ke arah lain? Atau aku tetap lurus dan bersikap seakan tidak melihatnya?

Jeda beberapa saat dan akhirnya Irina berbalik berjalan ke arah lain setelah memutuskan bahwa berjalan lurus dan bersikap bagai orang asing rasanya kurang sopan. Baru beberapa langkah, suara seorang pria menghentikannya.

"Irina!"

Irina menoleh dan bertatapan dengan sepasang mata cokelat.

"Hai. Lama tidak melihatmu. Kau baik?"

"Hai, Mr.Hawthorne. I'm good."

"Panggil aku Hayden, please. Semua orang yang mengenalku memanggilku begitu."

Irina tersenyum. "Oke."

Hayden terlihat tampan dan gagah seperti saat pertama kali dia melihatnya. Seragam polisi yang dikenakannya hari ini menjadi terlihat seperti rancangan desainer ditubuhnya.

"Good. Apa yang kau lakukan disini?" tanya Hayden.

"Aku baru saja menemui salah seorang dokter." Irina meyakinkan dirinya untuk tetap memandang Hayden.

"Kau sakit?" suara pria yang lainnya terdengar cemas. Dan mata Irina mengkhianatinya dengan menoleh kesamping.

Deg!

Jantungnya kembali aneh saat matanya menatap mata hazel pria berkaos abu-abu itu.

"No. I'm... I'm good. Yeah... Really good."

Pria itu justru menatapnya dari atas kebawah seperti menilai sesuatu yang salah. Irina kembali merasa gugup.

"Irina, mengenai permintaanmu dulu itu. Aku minta maaf, aku belum bisa memberikan perkembangan. Agak sulit melacak keberadaan seseorang dengan kondisi seperti itu." Kalimat Hayden membuat otaknya berpikir kembali. Dengan cara yang semestinya. Bukan dengan membayangkan seperti apa penampilan pria itu dibalik kaos abu-abunya.

"Ah ya. Aku juga sudah memprediksinya. Kejadiannya sudah cukup lama, jadi aku berharap permintaanku tidak berlebihan."

"Aku tetap akan mencoba mencari tahu," kata Hayden sambil melemparkan senyum ramahnya. Senyum yang selalu dia tunjukkan untuk warga Costa City. "Aku harus segera masuk. Ada pasien yang harus kutemui. See you, Irina," ucap Hayden sambil menjauh.

"Wajahmu pucat. Kau yakin baik-baik saja?" Pria itu mengatakannya tepat setelah Hayden tidak terlihat.

"Yah. Kurasa begitu," jawab Irina sambil berusaha menyembunyikan kegugupannya.

"Kurasa tidak."

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Kau tidak bekerja hari ini? Maksudku... di Café."

Irina menatapnya heran dengan semua pertanyaannya. "Tidak pagi ini. Hari ini aku bertugas shift siang."

"Kalau begitu ayo."

Irina terkejut pria itu menarik lengannya dan membawanya masuk ke rumah sakit, lagi. Pria itu memaksa Irina duduk di salah satu kursi di koridor, kursi yang sama yang ditempati Aiden dan Peter kemarin. Dia lantas berjalan ke resepsionis dan menanyakan sesuatu kemudian berbalik dan duduk di sampingnya.

"Dokter Candice sedang memeriksa pasien. Tunggulah sebentar. Aku sudah meminta mereka mendaftarkan namamu."

Irina yang masih terkejut dengan semua kejadian itu hanya menunduk menatap sepatunya. "Kau kenal dokter Candice?" tanyanya masih tetap sambil menunduk.

"Yah. Dia dokter pasien yang penting bagi Hayden."

Irina mengingat kejadian tadi. "Maksudmu Ms. Marlon?"

Aiden menoleh menatapnya. "Kau kenal Ms.Marlon?"

"Tidak," jawab Irina sambil menggeleng. "Sudah kubilang aku baik-baik saja. Aku baru saja keluar dari ruangan dokter Candice sebelum bertemu denganmu, Sir. Seorang perawat mengatakan Ms.Marlon tiba-tiba histeris dan dia segera berlari kesana. Aku sempat melihat seorang polisi wanita di depan pintunya."

"Oh. Jadi kau sudah bertemu dokter Candice."

"Begitulah. Dan menurutnya aku baik-baik saja. Jadi kurasa aku akan kembali ke Café sekarang." Irina sudah berdiri dan hampir melangkah saat dokter Candice memanggilnya.

"Irina. Kupikir kau sudah pergi."

"Memang, tapi seseorang memaksaku kembali, dok."

Dokter Candice melihat Aiden di belakang Irina dan tersenyum. "Bukankah kau yang kemarin bersama dengan Mr.Hawthorne?"

Aiden menoleh, balas tersenyum kemudian mengangguk. "Aku tidak tahu kau mengenal Irina. Kalau begitu, tolong pastikan dia makan tepat waktu. Aku sungguh tidak ingin menemuinya sebagai salah satu pasien rawat inap di sini."

"Aku bisa melakukannya sendiri, Dok," sanggah Irina. Dia yakin wajahnya pasti sudah memerah karena menahan malu. Tunggu dulu, kenapa aku harus merasa malu? Aku bahkan tidak tahu siapa pria ini.

"Sure, Dok. Jadi dia benar tidak apa-apa? Dia dalam kondisi bisa bekerja?"

"Tentu. Tidak masalah." Dokter Candice bersikap santai seakan-akan Irina tidak ada disana. Tapi Irina pun tidak terlalu peduli, dia sedang sibuk mengesampingkan rasa malunya.

Irina terkesiap saat merasakan tangannya digenggam. Dia mengangkat wajahnya. Pria itu sedang menatapnya. "Kuantar ke Café."

Irina yang terkejut hanya mengangguk pelan. Mereka melangkah berdampingan tanpa bicara. Irina menatap tangannya. Hangat. Tangan besar pria itu menelan tangannya. Dia bahkan harus mendongak saat menatap pria itu. Irina cukup tinggi, tapi pria itu masih lebih tinggi. Saat berdampingan seperti ini, Irina menyadari dua hal. Pertama, dirinya hanya setinggi dagu pria itu. Kedua, dia berharap jarak dari rumah sakit ke Café tempatnya bekerja lebih jauh dari ini. Sayangnya jarak itu tidak bisa berubah hanya karena Irina menginginkannya.

Dia terkejut dengan perasaan tidak rela yang muncul dihatinya. Dan itu membuatnya takut. Mereka sudah tiba di bawah pohon maple di seberang Café. Pria itu menoleh, masih menggengggam tangannya. Irina merasakan tatapannya, tapi tidak berani mengangkat wajahnya.

"Aiden."

Huh? Irina mendongak perlahan. Pria itu tersenyum menyadari kebingungannya.

"Namaku Aiden. Aiden Hawthorne."

Hawthorne? Dia keluarga Hayden?

Senyuman Aiden makin lebar. "Kau heran? Kalau kau mengira aku keluarga Hayden... yah kau bisa menganggapnya begitu."

"Oke," Irina hanya menjawab pelan.

"Maaf atas sikapku waktu itu."

Irina kembali menatapnya. "Maksudmu?"

"Sikapku waktu itu. Di Anne Marie."

Irina mengangguk. Tatapannya beralih ke dada kiri Aiden. "Kau sudah tidak apa-apa?"

Segera setelah pertanyaan itu terlontar, Irina merasa bodoh. Penembakan di Anne Marie itu terjadi tiga bulan lalu. Jadi pasti Aiden sudah baik-baik saja. Bodoh!

"Aku baik-baik saja," Aiden menjawab singkat kemudian menarik tangannya untuk menyeberangi jalan menuju Café. Suasana Café cukup ramai, karena sudah menjelang jam makan siang.

"Aku akan masuk melalui pintu belakang."

Äiden menaikan sebelah alisnya. "Ada pintu lain di belakang?"

"Hanya untuk staff." Aiden membiarkan Irina menunjukkan jalannya. Area belakang Café dikelilingi oleh pepohonan yang cukup rindang meski tidak terlalu tinggi. Ranting-ranting lebat itu menjadikan jalan menuju pintu belakang Café menjadi tidak terlihat. Aiden melihat banyak ranting dan dedaunan kering di sepanjang jalan itu.

"Jalan ini mengerikan," kata Aiden sambil memandang sekeliling saat mereka tiba di depan sebuah pintu besi berwarna hitam.

"Tidak seberapa dibandingkan saat malam hari."

Aiden mengeratkan genggamannya. "Kau sering pulang melalui pintu belakang saat malam hari?"

"Pintu depan hanya bisa dikunci dari dalam. Jadi ya aku selalu pulang melalui pintu ini."

Mereka bertatapan sejenak. Irina terlalu bingung dengan perasaannya sekarang hingga tidak mengatakan apapun. Hanya menatap Aiden. Bahkan rasanya dia tidak keberatan berdiri sepanjang malam di sana hanya menatap Aiden.

"Kau tidak boleh terlambat. Dia hanya memberikan kesempatan sekali lagi kan?" ucap Aiden sambil melepaskan genggamannya. Irina melihat perasaan enggan di mata Aiden untuk sesaat sebelum pria itu mengalihkan pandangannya.

Irina berdeham. "Terima kasih, Aiden."

Irina baru saja akan berbalik saat merasakan tangan Aiden di wajahnya. Punggung tangannya menyentuh pipi kanan Irina dengan lembut.

"Jangan lupa saran dokter Candice," bisik Aiden. Mereka kembali bertatapan. Tanpa kata-kata.

Suara langkah sesorang yang mendekat membuat Aiden dan Irina menoleh bersamaan. Claire berjalan ke arah mereka dengan agak tergesa-gesa.

"Irina, Boss mencarimu... " ucapnya setelah cukup dekat. "Sekarang." Claire mengatakannya dengan pandangan menyesal seperti seorang Ibu yang harus menghentikan putrinya bermain terlalu lama.

"Thanks, Aiden," Irina mencoba mengatakannya senormal mungkin agar Claire tidak menyadari kegugupannya.

Aiden hanya mengangguk sambil tersenyum, mengucapkan 'bye' dan berbalik kembali ke rumah sakit.

"I want detail, Irina," kata Claire terlalu bersemangat.

Irina menggelengkan kepalanya dan langsung berbalik masuk menghindari Claire. Dia tahu Claire tidak akan melepaskannya penasarannya begitu saja. Tapi dia bisa menghadapinya nanti. Sekarang yang lebih dia butuhkan adalah sendirian. Dia ingin... bukan, dia butuh waktu untuk menenangkan pikirannya. Dan mungkin hatinya juga.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience