Chapter 9

Mystery & Detective Series 591

Sepasang mata cokelat Hayden bergerak dari Aiden ke Irina dan kembali lagi. Sudah beberapa menit berlalu namun tak satupun dari mereka yang bicara.

Irina mulai merasa tidak nyaman. Tentu saja seharusnya dia merasa begitu. Dia berada di apartemen Aiden sekarang. Ralat, apartemen Hayden dimana Aiden ikut tinggal disana. Setelah membawanya dengan sedikit memaksa, akhirnya Irina memilih pasrah mengikuti Aiden. Jadi begitulah dia terdampar disini. Irina beringsut duduk di bagian paling ujung salah satu sofa diruang tamu apartemen itu. Aiden duduk di sofa yang sama, dan Hayden duduk dihadapannya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Hayden berdeham.

"So... Kau akan menginap disini malam ini, Irina?" suara Hayden memecah keheningan.

"Aku tidak yakin." Suara Irina cukup pelan, bahkan bagi dirinya sendiri. Tapi suasana hening di apartemen itu membuat suaranya tetap tertangkap telinga Hayden.

"Tentu saja kau menginap disini. Bukannya kau bilang tidak bisa pulang ke apartemenmu?" ucap Aiden menatapnya tajam.

Hayden menoleh menatap Irina. "Dan kenapa kau tidak bisa pulang?"

"Aku tidak ingin sendirian disana."

Hayden menatapnya aneh dengan sebelah alisnya terangkat. "Memangnya sebelum ini kau tinggal dengan siapa disana?"

"Emm... tidak ada. Aku sudah tinggal sendirian sejak empat tahun lalu."

Hayden mendengus dan keheningan itu kembali.

"Mungkin lebih baik aku kembali ke rumah sakit. Aku akan menemui Claire di café."

"Hei... aku bukannya melarangmu berada disini," kata Hayden tenang. "Tapi... Look at this place!" Hayden membentangkan kedua tangannya sambil memandang ke sekeliling apartemennya sendiri. "Ini apartemen pria, Irina. Apartemen dua pria lajang yang belum lama kau kenal. Kau yakin akan baik-baik saja disini?"

"Apa seharusnya aku perlu bersikap hati-hati?" tanya Irina lirih sambil memicingkan mata memandang Hayden dan Aiden bergantian.

"Padaku? Tentu saja tidak, nona. Lencana polisiku bisa menjamin itu."

Irina sempat menangkap seringai kecil Aiden sebelum akhirnya pria itu merubah ekspresinya. Pandangan Irina bertahan beberapa saat, mengunci ekspresi datar Aiden. Pria itu tidak menatapnya. Irina menunduk. Irina tahu dia aman di apartemen itu. Meski baru mengenal Hayden karena insiden di Anne Marie, tapi Hayden sudah beberapa kali mengobrol dengannya. Tapi jelas tidak cukup dekat untuk membuatnya mengatakan alasan sesungguhnya dia lari dari tempat tinggalnya sendiri.

Aku akan mengatakannya hanya ketika aku sudah benar-benar tidak punya pilihan. Yah, oke. Aku hanya menunda mengatakannya saja. Itu bukan kebohongan kan, Ibu?

Ide untuk membohongi dua pria itu mengganggunya. Jika kondisi benar-benar mengharuskannya untuk berbohong, Irina pasti tidak ingin berbohong pada salah satu dari pria di dekatnya itu. Atau mungkin keduanya.

"Dia bisa tinggal dikamarku sementara." Suara Aiden membuyarkan lamunan Irina.

"Dan dimana kau akan tidur, gentleman?" tegus Hayden

"Di sofa. Sofa ini cukup nyaman."

"Syukurlah kau tidak menyebut apapun tentang kamarku."

"Aku lebih suka tidur dilantai daripada berbaring di tempat tidur yang sama tempat kau biasa menghabiskan malam bersama sederet wanitamu, Hayden."

"Aku sudah lama tidak begitu. Kau tahu itu, Aiden."

"Yah. Itu masih ranjang yang sama. Kalau kau bisa membawa wanita menginap, kenapa tidak denganku?"

"Karena Irina tidak sama dengan mereka, Aiden!""

"Anggap saja dia juga salah satu tamuku. Seperti tamu-tamu wanitamu itu."

"Ehem. Bisakah kalian tidak membicarakannya seolah aku tidak ada disini?" Irina menyela cepat, mengesampingkan perasaan tidak nyamannya.

"Justru hal ini karena kau ada disini, Irina," ucap Hayden tegas.

Irina membuka mulutnya untuk menjawab Hayden. Tapi sesuatu menghentikannya. Sebuah pigura besar membingkai foto Hayden berseragam digantung di samping lemari dibelakang Hayden. Tidak ada yang aneh dengan Hayden yang ada di foto itu. Dia terlihat tampan dan gagah dan luar biasa menawan tentu saja. Yang membuat Irina membeku adalah sosok di sebelah pigura itu. Robert.

"Irina, kau tak apa?" Wajah pucat Irina menyentak perhatian Hayden. Spontan dia menoleh kebelakang. Tidak ada yang aneh.

Suara Hayden terdengar samar-samar ditelinganya. Mata hijaunya membelalak ketakutan, lidahnya kelu dan keringat dingin mulai membasahi peluhnya. Irina merasakan tubuhnya bergetar pelan. Segala hal disekelilingnya saat ini seperti tidak berarti. Pandangannya mengunci bayangan yang tersenyum di hadapannya. Senyum yang baginya dulu terkesan ramah dan menyenangkan. Tapi efeknya kini justru mengerikan. Membuat tubuhnya seperti mati rasa ditelan ketakutan.

"Sudah kubilang kau tidak akan bisa lari dariku, sweetheart." Suara Robert menggema bagai ledakan. Tentu saja ledakan yang hanya di dengar olehnya. "Aku akan menunggumu. Aku sudah menunggumu selama hampir tiga tahun. Tidak masalah jika aku harus menunggu sedikit lagi agar bisa bersamamu. Lagipula kau tidak akan ditemani mereka selamanya. Waktunya akan datang saat mereka harus pergi dan kau akan sendirian. Seperti semalam," lanjut Robert sambil terkikik seperti gadis remaja yang baru saja mengobrol dengan kapten team basket sekolah pujaan hatinya.

"Irina?" kali ini Aiden yang bicara. Irina menutup matanya, menunduk. Seandainya Robert masih hidup, dia yakin Hayden akan menghajar pria itu. Dia juga bisa menamparnya berulang kali atau membanting pintu di depan wajahnya. Tapi tidak. Robert sudah meninggal dan keinginan terakhirnya adalah Irina.

Kebohongan apa yang harus disampaikannya untuk meloloskan diri kali ini? Oh tidak, baru beberapa saat lalu dia berpikiran untuk tidak berbohong pada Hayden dan Aiden. Lalu bagaimana? Irina sadar dia tidak akan pernah sungguh-sungguh aman selama Robert masih bebas berkeliaran. Dia butuh diyakinkan bahwa dia tidak akan sendiri sehingga dia mampu bertahan menghadapi Robert. Tapi apakah ada yang mempercayainya dengan kejujuran? Bukankah semua pria di masa lalu menganggapnya aneh dan menghindar? Oh Tuhan, Irina yakin dia tidak akan siap memunguti kepingan hatinya yang hancur kalau Aiden meninggalkannya juga.

Tapi apa Aiden sungguh akan meninggalkannya? Irina membuka mata, menatap wajah khawatir Aiden dan melihat ketulusan disana.

Is that worth it to fight? Fighting him?

Irina menutup matanya kembali, menghela nafas panjang. Irina menbuka matanya beberapa saat kemudian namun menghindari tatapan Hayden dan Aiden.

"Aku... aku bisa... melihat dan bicara dengan roh manusia yang sudah meninggal."

Beberapa menit berlalu tanpa ada suara apapun selain tarikan nafas mereka.

"Semalam... Aku lari... karena takut. Ada hantu yang berusaha menyerangku semalam."

That's it.

Dia sudah mengatakannya. Sekarang dia berusaha mempersiapkan hatinya untuk yang terburuk.

Tapi tidak ada yang bicara.

Ragu-ragu, Irina mengangkat wajahnya, memandang penuh tanya dan khawatir pada Aiden.

"Apa yang harus kulakukan? Kau ingin aku bagaimana?" ucap Aiden lembut. Telapak tangan kirinya menyentuh sebelah wajah Irina menenangkan.

Huh?

Irina menatap Aiden tanpa ekspresi.

"Kau percaya? Padaku?" bisik Irina. Aiden mengangguk.

"Kau sungguh benar-benar percaya?"

"Apa seharusnya aku tidak percaya?" Wajah Aiden terlihat bingung.

Irina hanya tersenyum, namun air matanya kembali mengalir. Bukan karena takut tapi karena rasa syukur. Untuk pertama kalinya ada seseorang yang percaya padanya, bukan mengutuknya atau mengatainya pembawa sial. Dan terutama dia bersyukur karena Aiden tidak menghindarinya.

Kedua tangan Aiden memegang wajah cantik Irina. Jemari tangan pria itu bergerak lembut menghapus jejak air mata di kedua pipinya. Irina memejamkan mata penuh kelegaan. "Thank you," ucap Irina lirih.

"Ehem!" Suara keras Hayden membuat Aiden menoleh.

"Kenapa kau tadi tampak terkejut Irina?" tanya Hayden sambil menatap sekeliling apartemennya.

Irina menghela nafas panjang sebelum menjawab lirih, "Dia disini."

"Siapa?" Hayden bertanya setelah mencondongkan tubuhnya ke arah Aiden.

"Hantu itu... hantu pria yang semalam ada di apartemenku."

Irina masih belum mengangkat wajahnya.

"Maksudmu dia eh hantu itu ada di... belakangku? Kau yakin?"

Meskipun tidak memandangnya tapi Irina tidak akan salah mengenali keraguan dalam pertanyaan Hayden, hal yang sudah dikenalinya sejak lama.

"Kau bilang dia menyerangmu? Apa yang dia lakukan?" kali ini Aiden yang bertanya.

"Dia... dia mengatakan aku harus menjadi miliknya malam ini. Katanya akulah keinginan terakhirnya." Irina mengatakannya lirih, berusaha mengabaikan tubuhnya yang gemetar. Dia tahu Robert masih ada disana, masih menatapnya. Tapi Irina menolak mengangkat wajahnya. Tatapannya masih terpaku pada dada bidang dibalut kaus abu-abu yang ada di hadapannya.

"Jadi kau mengenalnya?" tanya Aiden tenang.

"Dia temanku, dulu saat aku tinggal di Dallas. Kami bekerja di kantor yang sama. Sudah dua tahun kami tidak bertemu."

Hayden mendengus. "Lalu dia berubah menjadi hantu gentayangan yang menyerang teman lama yang sudah tidak ditemuinya selama dua tahun pada malam hari? Kau yakin tidak salah lihat atau sedang berhalusinasi, Irina?"

Irina melihat Aiden mengepalkan kedua tangannya menanggapi ucapan Hayden. Melirik Aiden sekilas, Irina melihat tatapan tajam pria itu.

Irina sudah terbiasa dengan sikap tidak percaya seperti yang ditunjukkan Hayden.

"Lima hari lalu dia muncul di café, saat aku selesai bekerja." Irina menghela nafas panjang lagi sebelum berujar, "Robert meninggal dalam sebuah kecelakaan. Dia bilang seorang pria botak menabrak mobilnya. Sejak saat itu dia selalu muncul di hadapanku. Tapi baru semalam dia... dia membuatku takut."

"Sweetheart, kau tidak perlu mengatakan apapun pada mereka. Terutama pada pria itu. Beraninya dia menyentuhmu," suara Robert terdengar marah. "Hmm... tentu saja aku bisa melakukan sesuatu padanya," Robert tertawa sinis. Panik, tubuh Irina tegang. Dia menatap sepasang mata hazel dihadapannya.

No, no, no... Robert tidak boleh melakukan apapun pada Aiden.

Irina berpaling menatap pigura itu kembali. Namun Robert sudah tidak disana. Irina mencengkram pergelangan tangan Aiden. "Robert akan melakukan sesuatu padamu, Aiden. Dia baru saja mengatakannya."

"Hey, Irina... tenanglah. Aku akan menemanimu dan kau bisa memberitahuku kalau dia muncul lagi."

"Tapi, dia-"

"Sssh, it's okay. Kau tidak sendirian." Kelembutan Aiden anehnya membuatnya merasa lebih tenang. Meski Irina tidak tahu apa yang bisa dan mampu dilakukan oleh Robert sekarang. Belum pernah seumur hidupnya dia menyaksikan hantu mencelakai manusia yang masih hidup.

"Aku benar-benar tidak tahu apa yang akan dia lakukan, Aiden. Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa hantu bisa melakukan hal buruk. Dan lagi Robert dulu pria yang baik."

"Mungkin kita bisa menemukan sesuatu dari kasus tabrakan yang menewaskannya." Dengan enggan Aiden membebaskan tangan kanannya dari cengkraman Irina lantas meraih ponsel dari kantong celananya. Irina hanya memandang diam menatap aplikasi google di ponsel Aiden. "Siapa namanya?"

"Ehm... Robert. Robert Romanov."

"Oke." Jemari Aiden bergerak lincah menuliskan nama itu pada ponselnya. Irina berpaling menatap Hayden. Pria itu belum berbicara sejak tadi.

"Aku tahu kau tidak percaya padaku. Aku tidak memintamu untuk percaya. Aku mengerti." Senyum tulus terpampang di wajah cantiknya.

Hayden baru akan membuka mulutnya untuk berkomentar saat ponselnya berbunyi. "Hei Marcus. Ada perkembangan? ... Oke. Jadi? ... Kau yakin? Orang-orangmu sudah memeriksanya dengan benar? Oke. Tentu. Hubungi aku lagi jika kau dapat hal baru."

Kalimat terakhir itu Hayden ucakan sambil memandang tajam pada Irina. Kedua alisnya berkerut, kebiasaan saat dia sedang berpikir.

"Ada sesuatu? Apa yang Marcus katakan, Hayden?" Aiden menatapnya spekulatif.

"Well... kurasa kau tidak perlu repot mencari tahu tentang teman lama Irina itu, Aiden."

"Kenapa?"

"Karena Marcus baru saja mengatakannya padaku," ucap Hayden singkat masih menatap Irina. "Kau tadi bilang dimana tempat tinggalmu?"

"Watson Hill."

"Hmm... jadi mungkin bukan kebetulan," gumam Hayden.

"Ada apa Hayden?" Aiden mulai kehilangan kesabaran karena diliputi penasaran.

Kali ini tatapan tajam Hayden singgah pada sepasang mata hazel di depannya. "Robert Romanov.... Dia adalah si pengemudi Mercedez merah yang tewas dilokasi kecelakaan setelah ditabrak mobil hitam yang diduga pelaku pembunuhan Amy."

***

Sorry for the typos.
If you want to read a chapter ahead, you can read it free on my (The Black Angel by ghian7st)

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience