Chapter 1

Mystery & Detective Series 591

Tik tik tik.

Lorong itu sangat sunyi hingga suara detik jarum jam terdengar dengan begitu jelas. Detik demi detik berlalu seakan berpacu dengan degup jantungnya sendiri. Pria itu tidak bergerak. Tepatnya, mencoba untuk tidak bergerak. Dia khawatir gerakan sedikit saja akan mengacaukan sandiwaranya. Bahkan untuk bernafas pun dia menahan diri dengan hati-hati. Perlahan dia mengamati keadaan melalui ekor matanya.

Suasana lorong cukup gelap, namun dia masih dapat melihat samar-samar jumlah mereka berkat pantulan cahaya dari celah pintu ruangan di ujung lorong. Enam orang. Bahkan dengan kondisinya saat ini, dia yakin hanya perlu dua orang dari mereka untuk mengirimnya ke kamar mayat. Maka dimulailah sandiwaranya, terkapar dilantai tak bergerak berharap cukup menyerupai orang-orang yang tergeletak tak sadarkan diri disebelahnya. Dia sendiri tidak yakin mereka pingsan atau mati. Dia tidak menyia-nyiakan waktunya untuk memastikan atau sekadar menebak.

"Ada yang tersisa?" salah satu dari mereka tiba-tiba bersuara.

"Aku yakin tidak ada. Semuanya done" jawab salah satu pria kurus yang berada di ujung sesaat setelah memeriksa tubuh-tubuh yang tergeletak sepanjang Lorong. Tubuh-tubuh yang beberapa jam lalu menikmati hentakan musik dan berpesta seakan hidupnya bergantung pada itu. Mereka tidak menyadari atau mungkin tidak mau tahu dengan hal lainnya selain alkohol yang malam ini bisa mereka nikmati secara bebas, musik yang bisa membuat telinga berdengung hingga besok pagi, serta tubuh-tubuh pria dan wanita yang saling menempel. Saat orang-orang berbaju hitam itu menginvasi club, mereka sudah benar-benar tidak peduli.

"Great. Hei Alex, sudah kau urus CCTV nya?"

"Easy," jawab seorang wanita.

Spontan dia melirik ke arah suara. Dia tau orang-orang ini. Dia tau bagaimana mereka akan bergerak, metode mereka dalam menyerang dan keahlian mereka dalam dua hal tersebut. Karena pemahamannya itulah dia dikirim untuk memastikan kedatangan mereka ke club. Informan bosnya selalu memberikan kabar yang tepat. Tapi sepertinya informan itu lupa untuk menyebutkan bahwa malam ini mereka akan membawa wanita untuk ikut dalam aksinya. Bisa dibilang aksi mereka malam ini merupakan moment langka. Mereka tidak pernah membiarkan seorang wanita terlibat secara langsung. Pasti ada sesuatu dengan wanita ini. Karena itulah matanya masih melirik tajam berusaha menemukan wanita tadi. Dan disana, di ujung lorong disamping si pria kurus, dia melihat siluet tubuh wanita yang berlekuk ditempat-tempat yang tepat.

Damn, she's hot.

Pandangannya perlahan naik menuju wajahnya, bibirnya, dan terakhir matanya. Wanita itu menatap tepat ke arahnya. Dia mengumpat dalam hati dan secara naluri langsung menutup mata, cukup lama sampai dia yakin mereka sudah meninggalkan club.

Perlahan dia membuka matanya sambil berupaya untuk duduk. Dia bersandar pada dinding dibelakangnya saat tangan kanannya terulur ke saku celananya untuk meraih sebuah earplug.

"Aiden, jawablah kalau kau dengar," suara teriakan Hayden bukanlah hal pertama yang ingin dia dengar meskipun hanya melalui sambungan earphone.

"Kau bisa membunuhku dengan teriakanmu, Hayden."

"Damn you, Aiden! Lain kali jawablah kalau kau masih hidup."

Aiden mendengus. Kaki kirinya seperti lumpuh dan dada kirinya luar biasa nyeri. Dia yakin orang-orang tadi sukses meninggalkan lebam disana. Darah masih mengalir dari pelipis kirinya. Napasnya memburu menahan sakit disekujur tubuhnya. "Hayden... kalau kau tidak segera mengeluarkanku dari sini, rasanya aku memang tidak akan pernah bisa menjawabmu lagi selamanya."

"Kami dalam perjalanan ke sana. Tidak jauh lagi dari Anne Marie. Ada ambulance juga. Bersabarlah sebentar."

Aiden baru saja akan mengutuk temannya ketika pintu toilet wanita terbuka perlahan. Refleks, Aiden mengeluarkan pisau kecil dari sepatu kanannya. Bukan pilihan terbaik memang, tapi dengan kondisinya saat ini, besi kecil mengkilap tersebut terasa seperti pedang samurai. Napasnya langsung berubah teratur, efek latihan selama bertahun-tahun.

"Just get out." Aiden menunggu penuh antisipasi. Dia sungguh tercengang ketika seorang gadis menampakkan diri dari balik pintu toilet. Untuk sesaat tidak ada yang bersuara.

"Are you alive?" suara lembut gadis itu memecah keheningan.

"Tidak. Aku baru saja mati dan kau sedang berbicara dengan rohku," ucap Aiden sambil mendengus.

Gadis itu tertegun, mengamatinya dengan tatapan aneh sesaat lantas mendesah lega. Sosok mungilnya terlihat ketakutan. "Boleh aku duduk di sebelahmu?" ucapnya.

"No."

"Tapi aku mau duduk disana." Gadis itu bergerak perlahan melewati tubuh-tubuh tak bergerak di depannya seakan takut membangunkan mereka. Aiden merasa tingkahnya agak lucu mengingat menurutnya mereka tidak akan terbangun lagi. Tapi dia tidak berkomentar.

Aiden bergeming ditempatnya. Berusaha mengikuti pembicaraan Hayden dengan orang-orangnya yang kini terdengar kurang jelas. Tubuh bagian kirinya mulai mati rasa dan kepalanya mulai terasa berat. Pandangannya menjadi buram dan keringat dingin sudah membuat kaus Armani favoritnya yang sengaja dia kenakan untuk operasi malam ini menjadi basah. Well, sedikit. Sisanya kemungkinan besar adalah karena darahnya sendiri. Hayden sungguh berhutang banyak padanya kali ini. Dan dia berencana menagih pembayaran hutang tersebut dengan cara yang paling berkesan. Berkesan bagi Aiden, mimpi buruk bagi Hayden. Dalam bayangan Aiden, tembok di hadapannya kini berubah menjadi Hayden dan dia bahkan sudah merasa sulit menahan diri untuk tidak melemparkan pisau kecil di genggamannya ke tembok sialan itu. Sampai sesuatu menyentuh lengan kanannya. Sesuatu yang lembut dan mungil.

"Irina..."

Aiden melirik tangan gadis itu yang terulur ke arahnya.

Really?

Disinilah dia, duduk di lorong toilet club malam Anne Marie yang paling tersohor di Costa City dengan setengah badannya mati rasa, duduk terkapar diantara manusia lain yang belum jelas hidup atau mati dengan satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanyalah berharap Hayden datang lebih cepat, dan oh ya jangan lupakan kunang-kunang aneh itu yang mulai mengganggu pandangannya. Dan gadis itu mengulurkan tangannya seakan-akan mereka dua orang asing di pantai yang sedang berlibur dan berkenalan secara normal di suatu sore sambil menikmati sunset. Hah! Bagaimana bisa?

Tepat seperti itulah yang akan dia katakan. Tapi kata-katanya tidak sempat terucap ketika matanya menatap sepasang mata hijau yang menawan dengan bulu mata indah, hidung mancung diapit tulang pipi tinggi dengan bibir mungil kemerahan.

She's a beauty.

Aiden tertegun. Sepasang mata hijau indah itu menatapnya ragu-ragu. Aiden melihat kecemasan, ketakutan dan keteduhan disana. Tatapan itu memicu perasaan aneh dalam dirinya. Perasaan rindu, khawatir dan takut. Bukan, bukan takut pada gadis itu. Bahkan dengan kondisinya sekarangpun dia masih cukup mampu melukai seorang gadis. Aiden tidak mengerti kenapa dia merasa takut ketika menatapnya. Takut sesuatu yang buruk menimpa gadis itu.

Kenapa aku tiba-tiba merasa protektif melihatnya? Damn it!

Pasti karena luka-lukanya. Ya, ya. Aiden yakin bahwa luka dikepala dan dada kirinya yang menyebabkan perasaannya jadi aneh. Dia hanya seorang gadis anonim, for God sake. Dan Aiden bukan orang suci yang baru kali ini berdekatan dengan seorang wanita. Hell, dia bahkan sudah cukup berpengalaman dengan banyak wanita. Dan pengalamannya melibatkan hal-hal yang lebih dari sekedar berjabat tangan.

Irina menarik kembali tangannya perlahan tanpa mengalihkan tatapannya. Dia hampir mengucapkan sesuatu saat pintu ruangan di ujung lorong terbuka. Aiden langsung menoleh dengan sikap waspada.

Beberapa pria berseragam polisi berhamburan memenuhi lorong. Salah satu diantaranya menyeruak, berusaha berdiri paling depan. Atau lebih tepatnya, berusaha mencapai Aiden lebih dulu dari yang lain.

Tubuh tegang Aiden rileks seketika. Pria itu bersimpuh di sisi kiri Aiden dan pandangannya gusar menatap sekujur tubuh Aiden.

"Shit! Kenapa kau tak bilang bahwa mereka melukaimu, Aiden?""

"Stop talking, Hayden. I'm not dying... Not yet."

"HEY PETER! BANTU AKU DAN CEPAT MINTA RICK SIAPKAN AMBULANCE DI DEPAN!"

"Kau tidak perlu berteriak di dekatku.. Aku bosan dengan teriakanmu," ucap Aiden pelan. Aiden meringis saat Hayden menyelipkan lengan kanannya untuk mengangkat tubuh Aiden. Salah satu polisi yang dengan seragam bertuliskan Peter Johnson di dada kanannya berusaha mengangkat Aiden dari sisi lainnya.

"AAARGHH.." teriakan Aiden menggema sepanjang lorong membuat aktivitas para polisi yang berupaya mengevakuasi pengunjung club lainnya yang ada di lorong itu menjadi terhenti. Mereka menyingkir nyaris bersamaan, memberikan akses jalan bagi Hayden dan Peter.

Aiden berusaha menekan luka di dada kirinya namun lengan Hayden dan Peter yang menyangga tubuhnya membuat kedua tangannya terkunci. Rasanya seperti ada sesuatu yang terus mendesak keluar dari dadanya dengan rasa nyeri dan ngilu yang luar biasa. Dia tidak menyadari saat Hayden dan Peter mulai melangkah. Yang dia tahu hanyalah bahwa pintu di ujung lorong itu semakin dekat dan orang-orang -Polisi- disana menatapnya ngeri. Aiden mulai berpikir untuk menyerah. Setidaknya Hayden sudah bersamanya. Dia berpikir mungkin memang sebaiknya dia menyerah.

Menyerah pada lukanya.

Menyerah pada keadaan.

Menyerah pada takdir. Sekali lagi.

Lalu dia merasakannya. Sesuatu menyentuh dadanya. Bukan, sesuatu itu menekan lukanya menghalangi darah yang terus keluar. Sesuatu yang terasa lembut dan nyaman. Aiden menunduk dan tatapannya bertemu dengan sepasang mata hijau. Mata itu tampak khawatir namun penuh tekad.

Please stay alive.

Aiden mendengarnya tepat sebelum kegelapan itu datang dan dia menyambutnya dengan sukarela.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience