Chapter 5

Mystery & Detective Series 591

Klik.

Irina baru saja menekan saklar salah satu lampu di Café saat bayangan itu muncul. Irina tidak terkejut, dia sudah menyadari kehadirannya sejak Claire pulang dua jam lalu.

"Kau sudah selesai, sweetheart?"

Suara itu bagi orang lain mungkin akan terdengar menyeramkan. Tapi bagi Irina justru terdengar menjengkelkan.

"Kupikir kau tidak akan kembali lagi, Robert." Irina menekan saklar lain dan kini café itu hanya diterangi oleh lampu jalan yang menembus ke balik dinding kaca café, membuat seluruh ruangan menjadi temaram. Irina melangkah menuju ruang kerja. Ruangan itu tidak luas, hanya berupa beberapa kubikel tempat meja kerja Mr.Russo, bosnya, dan beberapa lemari besar untuk penyimpanan dokumen dan loker barang-barang pribadi. Claire mendapatkan satu meja di ruangan itu dan Irina melihatnya sekilas saat akan bergerak menuju ruangan belakang. Tumpukan tagihan dan lembaran kertas yang diduga Irina merupakan coretan catatan belanja Café tergeletak diatasnya. Sebenarnya Claire merupakan seorang akuntan disana, namun Mr.Russo memintanya menjadi pelayan juga saat Café sedang ramai. Efisiensi, begitulah pria berperut buncit itu menyebutnya. Claire sendiri tidak keberatan karena pendapatannya menjadi sedikit bertambah. Dan sejak Irina bergabung disana, Claire lebih sering menjadi pelayan saat harus menggantikan Irina atau saat Irina terlambat. Seperti kemarin.

Irina mengulurkan tangan, membuka lokernya dan mengenakan jaket hitam yang selalu dipakainya selama musim gugur ini. Dia ada disana saat Irina menghempaskan pintu lokernya.

"Apa lagi maumu? Bukankah semuanya sudah kulakukan? Kenapa kau masih disini?" tanya Irina sambil membungkuk untuk mengenakan ankle bootnya.

"Entahlah. Mungkin karena aku masih ingin bersamamu."

Irina meliriknya namun tidak mengatakan apapun. Dia kemudian berdiri, membuka pintu besi didepannya dan memasang alarm seperti rutinitasnya setiap kali dia pulang malam.

Irina berjalan menyusuri jalan kecil yang diapit pepohonan rindang. "Jalan ini mengerikan."

Irina tersenyum mengingat Aiden yang siang tadi mengantarnya, menyusuri jalan yang sama. Perasaannya menghangat. Bukan karena jaket hitamnya, tapi karena mengingat bagaimana Aiden menggenggam tangannya. Ingatan tentang sentuhan tangan Aiden di pipinya membuat senyumnya semakin lebar. Dia menunduk menyembunyikan senyumnya dan melangkah sambil mengamati dedaunan kering dibawahnya. Meski sudah memasuki musim gugur, namun cuaca cukup lembab sehingga ankle bootnya meninggalkan motif tertentu pada tanah di bawahnya.

"Kenapa kau tersenyum?" pria itu bertanya tiba-tiba.

Irina masih menunduk. Dia melihat bagaimana tanah dibawahnya sedikit tertekan saat dia melangkah namun tanah disebelahnya tidak berubah. Irina mendesah panjang.

Haaah... Yah. Dia tidak bisa meninggalkan jejak kakinya.

"Aku hanya ingin tersenyum."

"Karena pria itu? Pria yang tadi siang mengantarmu?"

Kepala Irina bergerak menatap pria itu. Wajah pria itu pucat, pandangannya tanpa ekspresi dan auranya dingin. Yah, bukan pemandangan yang menyenangkan untuk dilihat. Terlebih saat malam hari dan sendirian seperti sekarang. Tapi Irina pernah melihat yang lebih buruk. Hantu di depannya itu setidaknya masih mengerti bersikap sopan. Atau setidaknya begitulah anggapan Irina.

"Apalagi yang kau inginkan? Aku sudah menyerahkan dokumen asuransi jiwa milikmu pada adikmu kemarin. Aku bahkan sampai harus terlambat bekerja."

"Yah. Dan bosmu berteriak padamu. Aku melihatnya."

"Terima kasih kalau begitu. Semuanya berkat dirimu!"

Irina menghentakkan kakinya berusaha meninggalkan hantu itu meski tahu usahanya sia-sia. Merekalah yang memutuskan kapan meniggalkanmu, bukan sebaliknya. Irina sudah tahu itu sejak dia bisa mengingatnya saat kecil.

Irina menatap sekilas pada area parkir rumah sakit Brigham. Malam ini ada dua mobil patroli disana, namun mobil Hayden tidak terlihat. Irina melanjutkan langkahnya sambil mendesah kecewa. Apa yang kau harapkan, Irina? Tidak mungkin Aiden menunggumu. Kau hanya kebetulan ada di lorong yang sama dengannya saat terjadi tragedi di Anne Marie.

"Akhir-akhir ini mendapatkan pekerjaan terasa lebih sulit dibanding tiga tahun lalu. Aku tidak ingin kau dipecat begitu saja."

"Terima kasih lagi untuk pengertianmu. Kalau kau memang sungguh paham, tolong jangan mencariku lagi. Keinginan terakhirmu sudah kulakukan. Aku yakin adikmu akan menggunakan uang asuransi kematianmu dengan bijak. Dia terlihat seperti gadis yang baik."

"Dia memang gadis yang baik, Irina."

"Kalau begitu kau bisa pergi."

"Kau tidak suka aku disini? Bukankah dulu kita sering makan siang bersama?"

Robert Romanov, seorang pria keturunan Rusia berusia pertengahan dua puluhan. Irina mengenalnya saat bekerja di Clark Victory tiga tahun lalu. Gosip mengenai Andrew dan Claire merebak cukup cepat disana. Robert termasuk salah satu karyawan yang penasaran mengenai gosip yang menyeret nama calon pewaris Clark Victory. Cukup penasaran hingga dia sengaja mengunjungi Irina di lantai empat belas. Sampai sekarangpun Irina tidak pernah tahu bagaimana Robert menyadari kedekatannya dengan Claire. Dan Irina tidak pernah bertanya.

Semula memang karena gosip itu, namun Robert tetap menemuinya bahkan setelah gosip itu tidak lagi menjadi bahan perbincangan. Mereka berteman, kalau memang beberapa kali acara makan siang bersama yang terjadi secara kebetulan bisa dikategorikan sebagai pertemanan.

Hampir satu tahun setelahnya, Irina dan Claire memutuskan berhenti dari Clark Victory dan mencoba peruntungan sebagai staff wedding organizer di Dallas. Takdir berpihak, dan mereka mulai memantapkan karir dan keuangannya perlahan. Bahkan sampai saat itupun, Robert masih menemuinya. Kadang bertiga bersama Claire, namun lebih sering berdua. "Aku merasa tidak lama lagi akan menyusun rencana untuk pernikahanmu, Mrs.Romanov." Irina ingat Claire sering menggodanya begitu. Dan bukannya tersipu, Irina justru merasa terganggu.

Oke, dia belum pernah dekat dengan pria manapun sebelumnya. Percayalah, pernah ada pria yang benar-benar mendekatinya. Tapi semuanya tiba-tiba menghilang tanpa kabar atau berubah sikap menjadi orang asing setelah menyadari keanehan Irina. Yah, Irina mampu melihat dan berbicara dengan roh-roh orang yang sudah meninggal.

Dia tidak mengerti bagaimana cara kerjanya, tapi banyak roh-roh yang datang padanya entah untuk memintanya melakukan sesuatu atau sekadar mengajaknya bicara. Mereka datang padanya pada waktu-waktu yang tidak terduga.

Salah satunya pernah menemuinya saat Irina kecil sedang berendam di kamar mandi dirumah lamanya di Los Angeles. Sejak saat itu dia memiliki kebiasaan baru, mandi tanpa melepas pakaiannya.

Hampir seluruh tetangganya mengatakan dia mendapat kutukan. Sebagian lainnya mengatakan dia pembawa sial. Seluruh ibu yang tinggal di gedung apartemen yang sama memastikan anak mereka menjauhi Irina. Bahkan kasir minimarket di depan gedung apartemennya enggan bertatap muka dengannya. Jadi begitulah kehidupan penuh keheningannya dimulai. Dan dengan dia bekerja di dekat rumah sakit -dimana hampir setiap hari selalu ada yang meninggal- tidak banyak merubah hal itu.

Saat dia kecil, beberapa roh anak-anak yang meninggal sering bermain dengannya. Seiring berjalannya waktu dan perubahan usianya, tidak banyak lagi roh-roh kecil itu yang muncul menemuinya. Mereka kadang bisa sangat mengganggu, namun juga terlihat menyenangkan layaknya anak-anak manusia yang bermain penuh tawa.

Bayangkan betapa terkejutnya dia saat seminggu yang lalu tiba-tiba melihat Robert Romanov muncul di Black Russo, Café tempatnya bekerja. Bukan lagi sebagai teman lama yang menginginkan makan siang bersama.

"Sudah hampir satu tahun berlalu sejak terakhir kali kita bertemu, Rob."

"Tidak juga, Irina. Aku merasa kita baru saja bertemu satu minggu yang lalu."

"Karena kau memang menemuiku satu minggu lalu."

Irina sudah tiba di kompleks apartemen tempatnya tinggal. Kompleks itu memiliki empat gedung. Setiap gedung memiliki dua puluh lantai dengan empat unit apartemen di masing-masing lantainya. Tidak mewah dan tidak terlalu luas. Asalkan layak disebut rumah, bagi Irina sudah cukup. Bonus tambahannya adalah jarak apartemennya ke Black Russo hanya tiga puluh menit berjalan kaki.

Irina baru saja melewati gedung apartemen Claire. Gedung apartemennya sendiri berada tepat di belakangnya. Claire masih sering memintanya tinggal bersama. Selain untuk berhemat, menyadari ada seseorang dirumah saat pulang membuatnya merasa memiliki keluarga sungguhan. Begitu kata Claire. Tentu saja Irina sangat menginginkannya. Tapi perasaan khawatir dianggap aneh oleh Claire membuatnya bertahan tinggal seorang diri. Setidaknya saat dia berteriak terkejut karena kemunculan hantu lain saat mandi atau tidur, Claire tidak akan ada disana.

Irina menengadah menatap salah satu balkon apartemen di lantai tiga. Balkon kamar Claire. Balkon itu memiliki sepasang kursi kayu dan sebuah meja kecil, tempat favorit mereka saat menghabiskan sore bersama. Irina tersenyum menatap vas bunga lily putih di meja. Dia membelinya dua hari lalu saat seorang hantu wanita muda, pasien di rumah sakit Brigham yang meninggal karena kanker yang dideritanya dua tahun terakhir, memintanya membelikan bunga mawar putih untuk diserahkan ke orang tuanya. Dia bilang menyukai bunga itu dan menginginkannya untuk pemakamannya. Di toko bunga itulah, Irina melihat lily putih itu. Dia memutuskan untuk membelinya dan memberikannya pada Claire.

Bunga lily selalu berhasil mengingatkannya pada mendiang ibunya.

Irina menatap sedih bunga di balkon Claire. Kemudian dia kembali berjalan menuju gedung apartemennya sendiri. Suasana malam itu sunyi, sama seperti malam-malam lainnya. Belum terlalu malam, namun banyak toko dan minimarket yang telah terpasang tanda 'TUTUP' dipintunya. Paling tidak dia tidak perlu khawatir ada tetangga yang memergokinya bicara seorang diri.

"Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu, Irina."

Irina mendesah. "Rob, kau tahu sekarang tidak sama lagi. Kau sudah tidak punya waktu."

Tiba-tiba Robert terlihat marah. "Apa karena dia? Karena pria yang bersamamu siang tadi?"

Irina menatapnya sedih. "Kenapa kau datang sekarang? Kita sudah tidak bertemu lagi selama lebih dari satu tahun, Rob."

"Kau salah, Irina. Kita bertemu beberapa waktu lalu. Kau hanya tidak melihatku."

Mendengar itu Irina hanya terdiam. Mungkin Rob sudah melihatku sejak awal minggu lalu sebelum akhirnya benar-benar muncul di hadapanku.

Irina kembali melanjutkan langkahnya. Apartemennya terletak di lantai lima. Dia menatap pantulan bayangannya pada pintu lift, kebiasaannya yang baru dia sadari sekarang. Dulu dia juga selalu melakukannya saat bekerja di lantai empat belas. Saat itu dia bisa memperhatikan orang lain yang sedang berbisik atau orang yang menatapnya atau bahkan yang tidak peduli sama sekali. Irina pernah memperhatikan bagaimana penampilan Rob saat mereka berada dalam satu lift bersama. Bagaimana cara Rob mengajaknya bicara atau bagaimana pria itu berusaha terlihat mendominasi suasana. Meski saat ini Rob bersamanya, tapi pantulan dirinya pada pintu lift mengatakan sebaliknya. Irina sedih menyadari fakta itu. Fakta bahwa dia tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk memperhatikan Rob melalui pantulan pintu lift.

Ding.

Pintu lift terbuka dan Irina disambut oleh lorong sunyi dengan pencahayaan redup. Seperti malam sebelumnya. Saat berjalan menuju pintu apartemennya, dia mendengar suara televisi dan gelak tawa dari apartemen Mr. Stan. Irina tersenyum lirih, sadar bahwa saat pintu apartemennya terbuka suasananya sangat berbeda dengan apartemen Mr.Stan.

Tidak ada keluarga.

Tidak ada tawa.

Irina langsung melangkah menuju kamarnya setelah menutup pintu apartemennya. Irina memastikan apartemennya terkunci hanya ketika dia berada diluar. Ironis, dia merasa lebih aman saat berada di apartemen dengan pintu yang tidak terkunci. Dia selalu merasa akan ada waktu dimana dia perlu lari secepatnya. Entah untuk apa. Tapi Irina tetap melakukannya karena hal itu memberinya ketenangan. Sedikit.

Irina membuka jendela kamarnya. Dia bisa melihat balkon kamar Claire dari sana, tersenyum sedih saat memandang bunga lily itu.

Irina tidak begitu ingat masa kecilnya di Los Angeles. Dia juga tidak ingat apapun tentang ayahnya. Tapi dia ingat saat setelah pindah ke Dallas ketika berusia sepuluh tahun, dia tinggal di sebuah rumah sederhana di perbatasan kota. Tidak banyak orang yang tinggal di sekitarnya. Irina ingat dia sering bermain di hutan dekat rumahnya. Hutan itu menyeramkan tapi juga menggoda, menawarkan banyak hal untuk diketahui. Semula Irina hanya bermaksud melihatnya sebentar, bukan untuk mencari tahu seluk beluk hutan itu, hanya ingin berada di sana sejenak. Rasa penasarannya tinggi, tapi Irina tahu arti kata bahaya. Jadi dia hanya akan mengintip hutan itu sebentar, kemudian kembali ke rumahnya. Dan disanalah dia pertama kali melihat bunga itu. Putih dan cantik. Bunga itu terlihat begitu indah diantara tanaman liar yang tumbuh disana. Irina ingin membawanya pulang, tapi tidak tega memotongnya. Itulah yang membuatnya terus kembali ke hutan itu.

Petualangan kecilnya itu harus berakhir ketika Ibunya melarangnya kembali ke hutan.

"Kenapa, Ibu? Aku suka kesana."

"Tempat itu berbahaya, Irina."

"Tapi aku sudah sering kesana. Dan aku baik-baik saja."

"Bukan berarti tempat itu tidak berbahaya. Kadang bahaya justru muncul disaat kita merasa semuanya baik-baik saja seperti biasa."

Irina terdiam menatap ibunya. "Tapi aku suka disana..." ucapnya lirih.

"Apa yang kau sukai disana?"

"Ada sesuatu yang cantik disana."

Ibunya wanita yang lembut. Irina merasakan tangan ibunya di pipinya. Tangan itu terasa kasar akibat kerja keras yang harus dilakukan ibunya setiap hari sebagai karyawan gudang di salah satu pabrik pakaian di Dallas. "Oke, Irina. Tunjukkan pada ibu apa yang kau sukai disana. Tapi hanya sekali ini saja."

Irina yang terlalu senang segera menggandeng tangan ibunya, membawanya ke hutan itu. Tidak terlalu jauh, mereka hanya perlu berjalan beberapa menit.

"Ibu, lihatlah. Bukankah bunga itu cantik?" ucap Irina sambil tersenyum. Ya Irina memang mudah tersenyum karena hal-hal yang sederhana.

"Jadi itu yang membuatmu selalu ke hutan ini?" tanya ibunya terkejut. Irina hanya mengangguk.

Ibunya mendesah, kemudian berkata lembut, "Irina, ibu akan sering membelikanmu bunga itu. Tapi berjanjilah kau tidak akan kembali lagi kemari. Tempat ini berbahaya."

"Sungguh? Ibu akan membelikanku bunga itu? Jadi aku bisa melihatnya dirumah?"

"Ya. Tentu saja," jawab ibunya tersenyum.

Sejak itu beberapa kali dalam sebulan ibunya akan pulang kerumah sambil membawa beberapa tangkai bunga lily putih. Irina selalu meletakkan bunga itu di kamarnya.

"Bunga ini tetap cantik meski berada di dalam vas. Aku merasa bunga ini bahkan lebih cantik dariku," ujar Irina di suatu sore.

Ibunya menoleh. "Kau cantik, Irina. Kau dan bunga lily itu memiliki kecantikan yang berbeda. Kau tidak bisa disamakan dengan bunga lily," kata ibunya sambil memandangnya heran.

"Lily? Jadi bunga ini adalah bunga lily?"

"Yah. Kenapa?"

Irina menggeleng. "Aku merasa bunga ini punya nama yang lebih mudah diucapkan. Annika bilang namaku jelek," ucap Irina sedih.

"Annika?" ibunya terkejut. "Annika putri Mr.Quill yang tinggal di ujung blok itu?"

Irina mengangguk. "Iya, ibu. Dia bilang namaku jelek karena sulit di ucapkan."

Ibunya tersenyum lembut tapi matanya menatap penuh kesedihan. "Irina, ingatlah ini baik-baik. Tidak ada seorangpun yang berhak merendahkanmu, namamu atau apapun. Kau adalah kau. Jangan pedulikan apa yang mereka katakan. Pikirkanlah hal yang membuatmu bahagia, lakukanlah hal yang menyenangkan. Biarkan mereka mengatakan apapun, memikirkan apapun. Tapi jangan biarkan itu mempengaruhimu, nak."

"Lalu kenapa mereka selalu menggangguku, Ibu? Kenapa mereka bersikap buruk padaku."

"Irina..., segala hal di dunia ini terjadi karena suatu alasan. Mungkin suatu hari nanti kita bisa memiliki kesempatan untuk mengetahui alasan itu. Hidup tidak pernah mudah, tapi bertahanlah dan ikuti kata hatimu maka suatu hari nanti kau akan cukup kuat untuk mencari tahu alasan itu."

Irina memeluk ibunya. "Aku suka lily, ibu."

Ibunya mendekapnya erat sambil mengelus kepalanya. "Kau mau ibu memanggilmu Lily?"

Irina lantas mendongak. "Bolehkah?"

"Tentu. Kau bisa memilih nama apapun yang kau suka."

"Kalau begitu Lily saja. Aku suka Lily. Mulai sekarang aku akan mengatakan namaku Lily jika ada yang bertanya," jawab Irina sambil tersenyum lebar. Ibunya mengangguk dan tersenyum. Malam itu mereka makan malam bersama kemudian Irina terlelap dalam dekapan ibunya.

Pandangan matanya mengabur. Irina mengerjapkan matanya, berusaha menghalau air mata yang akan meluncur. Hatinya hancur menatap tempat tidurnya yang kosong. Dia akan tertidur sendirian malam ini. Seperti malam-malam sebelumnya selama sepuluh tahun terakhir. Tidak ada lagi kecupan selamat tidur. Tidak ada lagi dekapan hangat ibunya.

Irina yakin dia belum terlelap terlalu lama saat merasa sesuatu menindih tubuhnya. Sesuatu yang dingin. Irina ingat dia sudah menutup jendela kamarnya tadi. Perlahan dia mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangannya. Seketika matanya membelalak ketakutan. Rob ada disana, menindih tubuhnya. Kedua tangannya berada di dada Irina, seakan mencoba menyentuh payudaranya. Wajah Rob yang berada beberapa inci diatasnya bergerak turun ketika menyadari mata Irina terbuka.

"Harusnya kulakukan ini sejak dulu. Atau sejak bulan lalu saat aku melihatmu keluar dari café itu di malam hari. Kau tidak tahu kan berapa lama aku melihatmu? Mengikutimu hampir setiap hari. Tapi kau justru mengatakan bahwa aku baru datang sekarang! Saat pria botak itu menabrak mobilku, satu-satunya hal kusesali hanyalah bahwa kau belum menjadi milikku. Betapa beruntungnya aku saat mengetahui ternyata kau bisa melihatku."

Irina terkejut. Dia merasakan hawa dingin bergerak dari pahanya perlahan menuju perut ratanya, menyentuh kulitnya yang terbuka karena sweater yang dikenakannya tersingkap.

"Rob!" teriak Irina. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya menjauh. Tapi Rob yang menindih tubuhnya terasa membebaninya. Seakan tubuh Rob benar-benar sedang berada diatasnya, mengurung tubuh langsingnya. Irina ketakutan menyadari hal itu. Mungkinkah? Mungkinkah roh orang yang sudah mati bisa melakukan pemerkosaan?

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience