Chapter 6

Mystery & Detective Series 591

"Ya sweetheart... Ini aku. Kau tahu, aku sudah sangat ingin menyentuhmu saat pertama kali melihatmu di luar toilet lantai empat belas tiga tahun lalu. Kau sungguh punya mata yang indah, sayang."

"Menyingkir dariku! Apa yang akan kau lakukan, hah?"

Rob menyeringai dan tiba-tiba Irina menyesal sudah bertanya. "Aku tidak akan meninggalkan dunia ini, Irina. Tidak selama kau masih ada disini. Kaulah keinginanku. Dan aku mendapatkanmu tepat seperti yang aku inginkan. Hangat, di tempat tidur. Kau akan menjadi milkku sepenuhnya malam ini."

Rob terkekeh menatapnya. Irina tidak tahu kapan dia mulai menangis, tetapi air matanya sudah membasahi kedua pipinya. Dia ingat terakhir kali menangis adalah saat ibunya meninggal sepuluh tahun yang lalu. Ibunya.

Tiba-tiba ingatan tentang ibunya membuatnya merasa lebih kuat. Seperti nasehat ibunya dulu, apapun yang akan diberikan hidup padanya, dia akan bertahan. Dia sudah bertahan selama ini menghadapi berbagai macam roh yang mendatanginya. Dia juga akan bertahan kali ini. Ya, itu dia.

Dengan keyakinan dan tekad yang luar biasa, Irina menghentakkan tubuhnya. Rob terlihat terkejut. Irina tidak membuang waktu. Dia langsung berlari keluar apartemen. Untuk pertama kalinya dia bersyukur mengikuti kata hatinya untuk membiarkan pintu apartemen tidak terkunci. Dia menghambur keluar, berlari cepat selagi mempertimbangkan antara lift atau tangga. Irina baru saja memutuskan akan berlari turun melalui tangga saat melihat pasangan Stan memasuki lift. Irina langsung menyusul tanpa berpikir. Dia berhasil memasuki lift sesaat sebelum pintu besi itu tertutup. Mr.Stan dan istrinya terkejut melihat penampilan Irina. Rambut berantakan, wajah basah, hanya mengenakan sweater tipis dengan celana pendek dan tanpa alas kaki. Napasnya terengah-engah. Irina menatap panik ke setiap sudut lift.

"Irina, apa terjadi sesuatu?" suara Mrs.Stan mengejutkannya. Usia Mrs.Stan beberapa tahun lebih muda dari usia ibunya, namun dia selalu memastikan penampilannya membuatnya terlihat seperti awal tiga puluhan.

Irina mendekat padanya. "Mrs.Stan, bisakah aku menggenggam tanganmu? Hanya sampai lobi."

Irina menatapnya putus asa. Debar jantungnya berdetak liar.

Mrs.Stan terlihat terkejut tapi dia menarik Irina mendekat tanpa berkata apa-apa. Irina memeluk lengan kiri Mrs.Stan dengan erat. Seakan memahami bahwa Irina baru saja mengalami sesuatu yang buruk, Mr. Stan bergeser ke belakang Irina, sehingga kini Irina berada diantara pasangan itu.

Irina benar-benar bersyukur. Dia nyaris menangis karena lega. Tapi kelegaan itu hanya sesaat karena pintu lift tiba-tiba terbuka. Mereka sudah tiba di lobi dalam sekejap.

"Kau mau kemana malam-malam begini, Irina?" Mrs.Stan bertanya lembut tapi sarat kecemasan.

"Aku... aku hanya tidak ingin berada disini malam ini."

"Kami bermaksud membeli sesuatu di minimarket di depan. Kau mau ikut?"

Irina mengangguk dan mengikuti mereka keluar gedung. Irina sadar, pasangan Stan akan kembali ke apartemennya setelah apapun yang mereka beli di minimarket itu. Irina memandang sekeliling. Sebelum ini dia merasa nyaman dengan keheningan. Betapa lucunya ide itu sekarang. Irina berharap dia berada di tempat yang ramai saat ini. Entah itu Rob atau hantu lainnnya tapi Irina akan merasa lebih tenang ketika Irina bersama seseorang saat mereka muncul.

Irina hampir mengikuti Mrs.Stan memasuki minimarket saat melihat Ben melintas di seberang. Kelihatannya Ben hendak menjalankan patroli rutinnya sebagai security disana.

"Paman Ben!" teriak Irina. Pria tua itu menoleh, melambaikan tangannya pada Irina.

Irina berbalik dan langsung berlari menghampiri paman Ben setelah mengucapkan terima kasih setulus hati pada pasangan Stan.

"Paman Ben, boleh aku menemanimu sebentar?" tanyanya terburu-buru. "Please?"

"Kenapa kau belum tidur dan malah berkeliaran? Ini sudah hampir tengah malam, Irina."

"Aku hanya ingin berjalan-jalan saja sebentar."

"Baiklah. Kuharap menemaniku patroli tidak akan melukai kakimu," ucap Ben sambil memandang kaki telanjangnya. Ben adalah satu diantara sedikit orang yang bersikap baik dan peduli padanya selain Claire dan pasangan Stan. Irina beberapa kali menemani Ben di tempat penjagaannya ketika dia tidak sedang patroli dan Irina sedang tidak bekerja. Ben pria tua yang baik hati dan ramah.

Irina hanya mengangguk menanggapi ucapan Ben dan kemudian berjalan bersisian dengannya. Sepasang mata hijaunya bergerak liar menatap sekeliling, mencoba menemukan sedikit saja bayangan Rob. Dia yakin Rob pasti akan muncul di hadapannya lagi malam ini. Irina hanya perlu bertahan sampai pagi tiba. Dan itu kira-kira 8 jam lagi.

Mereka baru saja berbelok melewati gedung apartemen Claire saat Ben menjawab panggilan melalui ponselnya. "Dimana kau bilang? Kau yakin? Yah baiklah. Aku segera kesana."

Ben menatapnya menyesal. "Maaf Irina, tapi aku harus kembali. Josh bilang ada beberapa orang polisi yang ingin bertemu denganku sekarang. Mereka sedang menungguku."

Irina memucat. Ben menyadarinya dan lantas bertanya,"Kau tak apa?"

"Tidak bisakah aku ikut denganmu paman Ben?"

Ben menggeleng terlihat menyesal. "Kurasa tidak. Para polisi itu pasti akan memintamu kembali ke apartemenmu setibanya disana. Kau mau kuantar kembali ke minimarket tadi? Mungkin Mr dan Mrs Stan masih disana."

"No, paman Ben. Aku benar-benar tidak ingin berada di apartemenku sekarang ini. Tidak juga di sekitarnya."

Ben mengangguk dan berbalik, melangkah kembali dengan tergesa-gesa. Irina menatap punggungnya yang menjauh dengan ragu-ragu. Apa sebaiknya aku tetap mengikuti paman Ben? Atau mencoba menginap di apartemen Mrs.Stan?

Irina mendongak, menatap salah satu jendela di lantai tiga dengan bunga lily di meja balkonnya. Gelap. Claire pasti belum pulang. Bagaimana ini?

Irina menggigit bibir bawahnya. Tindakan refleks saat dia cemas.

"Hello there, sweetheart..."

Irina terkesiap. Tanpa menolehpun Irina tahu Rob berada di dekatnya. Irina memaksa kedua kakinya melangkah lebar, berlari cepat dari sana. Tindakan yang sebenarnya dia tahu percuma. Tapi satu-satunya hal yang diinginkannya saat ini adalah berada ditempat lain bersama orang lain. Tempat yang ramai dan terang. Dan tempat itulah yang muncul di kepalanya.

Rumah Sakit Brigham.

Irina terus berlari sambil menunduk menatap jalan di hadapannya. Sesekali dia menatap kedepan untuk memastikan berapa jauh lagi jarak yang harus ditempuhnya. Telapak kakinya mulai terasa pedih karena gesekan dengan jalan. Suara degup jantungnya berpacu dengan tetesan keringat di wajahnya. Irina mengepalkan kedua tangannya begitu erat sampai terasa sakit. Dia kesulitan bernapas, tapi langkahnya tidak berhenti. Malah dia berusaha memaksakan dirinya berlari lebih cepat lagi. Dia tidak peduli bahkan jika besok pagi kakinya tidak bisa bergerak karena terlalu lelah.

Irina merasakan hawa dingin itu menyelimutinya. "Kau tahu kau tidak akan bisa lari dariku kan, sweetheart?"

Irina merasa ngeri mendengar Rob tertawa terkekeh di dekatnya. Irina menunduk dan langsung menyesalinya, karena kini dia dapat melihat kedua lengan Rob sedang memeluknya dari belakang. Bayangan Rob yang sedang memeluknya erat saat ini membuatnya histeris.

"Berhenti menyentuhku! Menyingkirlah dariku!!" teriak Irina sambil menangis. Irina dapat melihat persimpangan jalan tidak jauh di depannya. Belok kiri di persimpangan itu dan dia akan bisa melihat pohon maple rumah sakit Brigham.

Sedikit lagi. Sedikit lagi. Sedikit lagi.

Irina terus berlari ketakutan sambil merapalkan mantra 'sedikit lagi'nya.

"Sssshhh, Baby, jangan menangis. Berhentilah berlari dan tataplah aku. Kita bisa bersama lagi seperti dulu."

"Aku tidak ingin bersamamu. Menjauhlah dariku!!" teriak Irina sambil mengibaskan kedua tangannya berharap dapat menyingkirkan Rob. Tapi hal itu justru membuat keseimbangannya goyah dan Irina terjatuh.

Irina baru saja akan berlari kembali, mengabaikan seluruh rasa sakit dan lukanya saat melihat bayangan seseorang di persimpangan. Jarak Irina sudah dekat sehingga Irina dapat melihatnya. Dia berdiri dibawah lampu jalan, masih mengenakan kaos abu-abunya.

Irina berdiri. Melangkah tertatih dan saat menyadari bahwa pria itu menatap ke arahnya, Irina melakukan satu-satunya hal yang diinginkannya saat ini tanpa berpikir. Dia berlari dan langsung mendarat dalam pelukan pria itu. Irinya mendekapnya erat, memejamkan mata dan mendesahkan namanya penuh syukur.

"Aiden..."

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience