Chapter 8

Mystery & Detective Series 591

"Done."

Irina tersenyum. "Thank you, dokter Candice sudah memeriksaku. Terima kasih juga untuk baju dan sandal ini. Akan segera kukembalikan," kata Irina.

"Tidak perlu terburu-buru. Tugas sebagai dokter memang menuntutku untuk untuk mempersiapkan banyak hal. Termasuk membawa beberapa baju cadangan dan yang lainnya."

Irina tersenyum tulus.

"Aku benar-benar tidak menyangka akan melihatmu lagi setelah tadi pagi, Irina. Tentu saja bukan dalam kondisi seperti ini."

Wajah Irina memerah karena malu mengingat alasan yang diucapkannya saat dokter Candice menanyakan penyebab luka-lukanya. "Aku terjatuh saat berlari."

"Kau berlari ditengah malam?"

"Begitulah," Irina mengalihkan pandangannya menatap ke banyak hal di ruangan itu. Apapun, asal bukan pada dokter Candice. Oh ya, dan Aiden. Terutama Aiden.

"Apa kau atlet atau semacamnya? Dilihat dari lukamu saat terjatuh, pasti kau berlari dengan cepat. Sangat cepat, menurutku."

"Yah... ermm... oh itu... ah, aku melupakan sesuatu di café. Kau tahu café di seberang jalan di depan? Aku bekerja di sana. Aku bermaksud segera mengambilnya."

Great Irina. Kau sukses membuat dirimu terlihat makin aneh.

"Dengan berlari cepat pada tengah malam? Tanpa alas kaki?"

"Erm... aku punya kebiasaan berjalan-jalan disekitar apartemenku tanpa alas kaki. Aku mendengar dari salah seorang temanku, dia bilang sesekali berjalan tanpa alas kaki bagus untuk kesehatan syaraf kaki."

"Okaaayy, dan kau memutuskan ide bagus untuk melakukannya pada malam hari?"

"Mungkin?" alih-alih meyakinkan doketr Candice, Irina justru merasa seperti bertanya pada dirinya sendiri. Lirikannya kembali mengarah pada Aiden. Salah satu sudut bibir pria itu terangkat, membuat sebuah senyuman kecil dengan mata berbinar geli.

"Yah bagaimana kalau ada pria tampan yang potensial sebagai kekasih dan dia salah paham... ?"

Irina teringat dengan ucapan Claire kemarin dan tiba-tiba dia mengerti maksudnya sekarang.

Dokter Candice menatapnya heran sebentar kemudian menangani lukanya tanpa bertanya lagi. Dia tidak melepas tatapannya sejak memasuki ruangan dokter Candice. Irina hanya beberapa kali melirik pria itu melalui ekor matanya. Irina sadar, Aiden yang sejak tadi menatap serius pada luka-luka di kakinya tidak akan percaya alasan konyol yang dilontarkannya pada dokter Candice. Bahkan mungkin dokter cantik itupun sebenarnya tidak percaya pada alasannya tapi memilih mengabaikannya. Irina sungguh berharap Aiden melakukan hal yang sama.

"Aku sudah menuliskan resep untukmu. Kau bisa mengambilnya di apotek. Kuharap kau masih ingat letaknya."

"Yah tentu, Dok. Tadi pagi aku sudah kesana untuk mengambil vitaminku."

"Ehmm mungkin maksudmu kemarin pagi," ucap Dokter Candice sambil menatap jam tangannya. "Sebaiknya kau langsung pulang dan beristirahat, Irina. Aku permisi dulu, masih ada beberapa pasien yang harus aku periksa." Dokter Candice tersenyum ramah, memakai kembali jas putihnya dan melangkah ke pintu. Meninggalkan Irina dan Aiden berdua di ruangannya.

"Thank you, Aiden. Maaf sudah merepotkanmu."

"Aku suka kau merepotkanku."

Jawaban santai Aiden membuat wajah Irina merona. Detak jantungnya yang tiba-tiba berubah kacau juga tidak membantu.

Irina keluar ruangan lebih dulu, agak terburu-buru. Aiden segera menyusul dan berjalan disampingnya. Irina melirik sekilas dan bertatapan dengan dada bidang Aiden. Dia ingat bagaimana rasanya berada disana, dalam dekapan pria itu. Hangat dan nyaman. Irina merasa seperti menemukan tempatnya untuk pulang. Cara Aiden memeluknya membuatnya merasa aman dan tenang. Untuk sesaat, selama mereka berdiri dipersimpangan itu, Irina benar-benar melupakan Rob.

Aiden berdeham dan Irina lantas mengangkat wajahnya. Sepertinya dia menatap dada bidang itu terlalu lama. Senyum menawan terpasang di wajah Aiden.

"This feels... right." Irina baru sadar dengan apa yang dikatakannya tadi. Dan dia juga ingat Aiden tidak mengatakan apapun setelahnya.

Oh No. kau benar-benar kacau, Irina. Sambil mempercepat langkahnya, Irina merapalkan mantra itu dalam hati.

"Apoteknya tidak akan kemana-mana, Irina. Kau tidak perlu buru-buru," ucap Aiden, masih dengan senyum yang sama.

Irina tidak menggubrisnya, dia tetap melangkah cepat hingga kakinya terasa nyeri. Dia akan berurusan dengan kakinya nanti. Saat ini ada yang lebih penting, menyelamatkan harga dirinya dari rasa malu.

Setelah tiba disana, Irina mengacuhkan Aiden dan langsung menyerahkan resep doketr Candice pada petugas disana. Irina duduk di salah satu kursi panjang disana setelah dia menerima obat-obatannya. Dia sengaja menyibukkan diri dengan membaca keterangan dalam kertas kecil yang menempel di setiap botol obatnya mengenai komposisi yang terkandung dalam masing-masing obat itu. Selesai dengan satu botol, dia berganti dengan botol yang lain. Dia membacanya dengan begitu perlahan dan serius.

Whoa, apakah para apoteker wajib menghafal seluruh tulisan ini?

"Aku tahu kau tidak lupa aku masih disini, Irina."

Dan apakah setiap dokter harus menghafal seluruh nama-nama obat? Dalam bahasa yang hampir tiap katanya sulit untuk dieja?

"Dokter Candice jelas memintamu untuk segera pulang."

Apa para dokter di dunia ini memang punya daya ingat yang luar biasa? Yah, ada banyak jenis penyakit dengan obat yang berbeda-beda. Mereka pasti tidak kesulitan untuk menghafal dialog. Wait, ada berapa dokter yang beralih profesi sebagai aktor atau aktris?

Irina sudah sampai pada botol ketiga saat tiba-tiba Aiden duduk disampingnya.

"Kau sengaja?" ucap Aiden pelan namun jelas. Irina masih tidak menjawabnya. Dia lebih tertarik memperhatikan deretan tulisan kecil di botol hitam di tangan kanannya. Seorang pria tampan yang membuat detak jantungnya menjadi kacau setiap kali berdekatan saat ini sedang duduk tepat disampingnya, so... yah tentu saja botol itu lebih menarik. Botol itu benda paling menarik abad ini.

Irina terkesiap saat merasakan sentuhan tangan Aiden di dagunya. Sentuhan itu lembut tapi tegas, memaksanya untuk mengangkat wajahnya. Hijau menatap hazel. Wajah mereka kini hanya berjarak beberapa inci.

"Oke, mari kita coba lagi. Apa kau sengaja, Irina?"

"Aku... tidak paham maksudmu."

"Kau sengaja menghindariku. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah sebelum ini?" Aiden mengalihkan tatapannya kebelakang Irina, terlihat berpikir serius. "Kurasa tidak. Aku bahkan tidak banyak bicara sejak kau memelukku."

Kalimat Aiden sukses membuat Irina merona malu. Tangan Aiden masih menahan dagunya, membuatnya tidak bisa mengalihkan wajahnya. Berusaha menghindari mata hazel itu, dia menurunkan tatapannya. Wrong choice, karena kini dia justru menatap bibir Aiden. So kissable.

Aiden yang menyadari arah tatapan Irina hanya terdiam. Aiden juga menatap bibirnya. Dengan jarak sedekat itu, salah satu dari mereka hanya perlu bergerak sedikit saja agar bibir itu bersentuhan.

Irina menyadari Aiden bergerak, secara perlahan, semakin menunduk ke arahnya dan perut Irina berbunyi.
Wait, what? Itu sungguh perutku? Oh yeah, sure. Aku lupa makan malamku dan langsung tertidur. Great, Irina.

Irina berdeham. Tanpa sadar menggoyang-goyangkan botol kecil ditangannya. Dia tahu rasa malunya sudah sampai pada level yang tidak dapat diselamatkan lagi. Jadi dia tidak berusaha menutupinya. Hanya berusaha menguranginya. Sedikit. "Ehm... kurasa aku memang harus istirahat. Terima kasih sudah membantuku, Aiden. Kau... ehm, kau juga harus istirahat," ucapnya gugup.

"Aku bisa mengantarmu pulang."

Irina tertegun. Bayangan Robert kembali melintas dalam ingatannya. "Aku... eh... aku bisa pulang sendiri. Aku tinggal tidak jauh dari sini. Hanya lima belas menit," jawab Irina sambil menambahkan kalau aku bisa berlari seperti tadi dalam hatinya.

"Aku sudah sangat mengenal daerah disekitar sini. Jadi tidak masalah, aku akan pulang sendiri. Kau pulanglah," lanjut Irina saat Aiden memandangnya ragu.

Aiden hanya menatapnya dalam diam. Jadi Irina memutuskan sedikit berimprovisasi. Dia berdiri, mengucapkan terima kasih dan bye secara singkat lantas melangkah menuju pintu keluar. Dia berjalan cepat sambil menoleh menatap Aiden melalui bahunya. Pria itu masih duduk disana.

Irina mempercepat langkahnya. Bukannya kembali ke apartemen, dia justru berbelok ke sudut gedung rumah sakit, memilih berjalan memutar ke belakang rumah sakit. Dia benar-benar tidak bermaksud untuk pulang sebelum matahari terbit. Dia pernah mengantar salah satu pengunjung Black Russo yang tiba-tiba pingsan ke rumah sakit Brigham melalui pintu belakang. Irina masih ingat jalannya.

Dia bermaksud menunggu di rumah sakit itu, ditempat yang berbeda dengan Aiden. Setelah pagi datang dia akan pulang ke apartemen Claire. Semoga saja gadis itu sudah pulang.

Tiba-tiba seseorang menarik lengannya, membalik tubuhnya dan menekannya ke dinding.

Aiden memerangkap tubuhnya dengan kedua tangannya di kanan dan kiri. Irina membatalkan niatnya untuk memaki pria itu saat melihat kemarahan dalam sepasang mata hazelnya.

"Kenapa kau berbohong?" tanya Aiden tajam. Irina diam, bibirnya mengatup rapat.

"Kau berteriak tengah malam, berlari dari sesuatu dan menolak pulang. Kau berusaha berlari dari apa, Irina?"

"Aku... aku hanya tidak ingin pulang. Maksudku, belum. Aku belum bisa pulang sekarang."

"Apa yang terjadi?"

Irina menatap Aiden sedih. Haruskah dia jujur? Well yah, ada hantu gentayangan yang patah hati padaku dan bermaksud memperkosaku semalam.

Irina bisa bersikap jujur dan Aiden pasti akan mejauh darinya. Seperti yang lain. Irina tidak peduli dengan yang lain, tapi dia tidak ingin Aiden menjauhinya. Jadi... yah, dia lebih baik diam. Ibunya tidak pernah mengajarinya menjadi pembohong. Diam bukan berarti berbohong bukan? Tentu saja bukan. Dia hanya tidak mengatakan faktanya. Itu dua hal yang berbeda.

"Aku tidak bisa mengatakannya padamu. Yang jelas aku tidak ingin dan tidak bisa pulang sekarang. Jadi aku akan menunggu sampai pagi disini, lalu aku bisa bertemu Claire di café."

Aiden menjauh. "Kalau begitu aku akan menemanimu sampai pagi."

"Kau tidak perlu melakukannya." Bukan berarti Irina mengeluh atau keberatan.

"Tadi kau bilang tinggal di dekat sini? Dimana tepatnya?"

"Di apartemen Watson Hill."

Aiden menatapnya dengan pandangan aneh. Aiden melangkah maju, menggenggam tangannya kemudian melangkah menjauh dari area belakang rumah sakit itu.

"Aiden... aku sungguh tidak ingin pulang sekarang," ujar Irina keras kepala sambil berusaha menarik lepas tangannya.

Aiden justru mempererat genggaman tangan mereka. "Dokter Candice memintamu istirahat. Dan itulah yang akan kau lakukan. Kalau kau tidak ingin pulang, kau bisa istirahat di tempat lain. Tapi bukan di rumah sakit ataupun di café."

"Apa maksudmu? Kita akan kemana?"

"Ke apartemenku."

***

I'm sorry for the typos.

ghian7st

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience