Chapter 3

Mystery & Detective Series 591

"Tersangkanya mulai mengerucut."

Aiden hanya berdeham sambil mengunyah sandwichnya. Saat ini mereka sedang sarapan bersama di salah satu sudut café di depan rumah sakit Brigham, tempat perawatan Ms. Marlon. Polisi masih tampak berjaga cukup ketat.

"Ada berapa?"

"Tiga."

"Kukira akan lebih banyak."

"Untunglah tidak sesuai perkiraanmu."

"Tiga orang itu sudah diperiksa?"

"Sedang diperiksa oleh Rick."

"Aku tidak melihat Peter lagi sejak semalam. Apakah dia ikut memeriksa tersangka?"

"No. Dia sedang sibuk berusaha membuat dirinya terlihat menarik di depan dokter Candice."

"Aku harap dokter itu memiliki stock kesabaran diatas rata-rata. Terkadang Peter bisa keterlaluan. Kuharap kali ini dia berhasil tanpa perlu terlalu memaksakan dirinya."

"Menurutku Peter tidak akan mudah menyerah dengan yang satu ini."

"Oh ya?" Aiden menaikkan sebelah alisnya.

"Kau tahu, pertama kalinya Peter melihat dokter cantik itu di UGD saat mengantar Ms.Marlon, dia bereaksi seperti ngengat melihat api. Dia menatapnya nyaris tanpa mengalihkan perhatian. Dia bilang saat matanya menatap sosok dokter Candice dia merasakan jantungnya berdebar lebih cepat."

"Kalau begitu seharusnya dia juga mendaftarkan diri sebagai pasien di UGD itu."

"Maksudmu supaya dia punya kesempatan mendekati dokter Candice?"

"Bukan. Tentu saja supaya jantungnya diperiksa. Kalau tiba-tiba jantung itu berdetak lebih cepat mungkin ada yang salah dengan jantungnya."

"Kau tidak pernah tertarik dengan seseorang sampai jantungmu berdetak lebih cepat?"

"Mrs. Marlon juga pasti merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat dia sadar akan menjadi korban pembunuhan. Apa berarti dia tertarik dengan pembunuhnya?"

"Tidak juga. Yang jelas Peter kelihatannya serius dengan yang ini."

"Aku tidak yakin. Dia tidak terlalu menunjukkan niat kencan seriusnya pada dokter Candice. Dia harus benar-benar berusaha keras."

"Lucu sekali, Aiden. Terakhir kali aku ingat, justru kau yang tidak pernah berkencan. Kapan terakhir kali kau pergi dengan seorang wanita?"

Aiden tersedak kopi yang dia minum. What the hell!

"Kenapa kau tiba-tiba tertarik dengan urusan kencanku?"

"Aku bahkan tidak pernah melihatmu makan bersama seorang wanita."

"Kau kan tidak mengikutiku setiap waktu."

"Tidak adakah seseorang yang membuatmu tertarik, Aiden?"

Lily...

Aiden berdeham. Dia mulai merasa tidak nyaman duduk di kursinya sambil menghadapi tatapan tajam penuh selidik dari Hayden. Sesaat dia merasa memahami perasaan para tersangka yang harus menghabiskan berjam-jam di ruangan interogasi bersama Hayden. Diam-diam Aiden bersyukur karena dulu dia tidak perlu harus berhadapan dengan Hayden saat menjadi tersangka. Pria itu kadang bisa menyeramkan.

"Tidak ada satupun?"

Dan pantang menyerah.

Aiden hanya mengedikkan bahunya sambil melanjutkan melahap sandwichnya. Dia menatap ke segala arah selain pada Hayden. Dia tahu Hayden masih menatapnya spekulatif. Tapi dia bukan tersangka. Dia tahu Hayden tidak berhak membuatnya bicara. Dan dia lebih tahu bahwa Hayden tidak akan memaksanya membahas gadis itu lagi.

"Kau masih mengingatnya?"

Sekian tahun hidup bersama dengan Hayden, dirinya mengira sudah cukup paham orang seperti apa Hayden. Lihatlah betapa salahnya dia. Hah.

"Yah. Kau tak perlu menjawabnya. Kurasa kau memang masih mengingatnya. Pernahkah kau membayangkan akan seperti apa teman kecilmu itu sekarang?"

Aiden meletakkan sandwichnya pada nampan sarapannya dan meminum kopinya beberapa teguk sebelum akhirnya menyerah untuk bicara.

"Kurasa aku tidak akan pernah lupa padanya. Aku masih sering bermimpi melihatnya."

"Kau masih berkonsultasi dengan dokter Jo?"

"Kadang-kadang."

Aiden menatap keluar jendela. Dia memperhatikan daun-daun maple yang berserakan di tempat parkir rumah sakit Brigham.

"Hmm... Oke. Kurasa aku harus kembali memeriksa kondisi Ms.Marlon dan menghubungi Rick untuk mencari tahu perkembangan pemeriksaan para tersangka."

Hayden akhirnya melangkah keluar café setelah memandang Aiden beberapa saat dan merasa yakin bahwa dirinya diabaikan.

***

Aiden tersadar dari lamunannya. Bukan karena pintu café itu terbuka tiba-tiba hingga suaranya menarik perhatian pengunjung. Bukan karena seorang pria berdasi yang kini berdiri disamping kasir itu mengumpat cukup keras. Tapi karena kata-kata pria itu.

"Kau terlambat lagi hari ini, Irina!"

Irina? Aiden menoleh ke arah pintu.

Disana ada seorang gadis berdiri dengan canggung. Dia terlihat ragu dan tidak yakin sesaat sebelum akhirnya melangkah menghadap pria berdasi tadi.

"I'm sorry, Boss," ucapnya pelan.

"Apalagi alasan konyolmu kali ini? Membeli bunga lagi? Atau membeli kue ulang tahun? Apa lagi?"

Gadis yang dipanggil Irina itu hanya terdiam.

"Sekali lagi, Irina.. Hanya sekali lagi aku memberimu kesempatan. Setelah itu apapun alasanmu terlambat, kau tidak perlu kembali lagi ke sini untuk bekerja."

"Thanks, Boss," ucapnya ceria dengan tatapan terkejut.

Boss berdasi hitam itu lantas berbalik dan masuk melalui sebuah pintu bertuliskan 'Staff Only'. Irina segera bergeser ke kasir dan melepas jaket hitam yang dikenakannya.

Ada sesuatu yang dirasakan Aiden. Suatu perasaan asing. Perasaan itu perlahan berkembang mendominasi perasaan lainnya. Seakan sebelumnya perasaan itu tertidur dan kini terbangun karena gadis bernama Irina itu. Kakinya ingin melangkah kesana, menghampiri gadis itu. Dia menggigit bibirnya karena takut jika tiba-tiba bibirnya memanggil namanya. Otaknya seakan berhenti berfungsi. Yang dia lakukan hanya duduk di kursinya, tidak bergerak. Matanya menatap lekat setiap gerak-gerik Irina. Cara kedua kaki jenjangnya melangkah bergantian, caranya berdiri, caranya melepas jaket, caranya mengikat rambut dan caranya berbicara. Pemikiran itu mengganggunya.

"Thanks sudah menggantikanku, Claire."

"Ya, ya aku tahu kau punya hal-hal aneh yang kau kerjakan pada waktu yang tidak tepat. But seriously, Irina, Boss benar-benar akan memecatmu jika kau terlambat sekali lagi."

"Yah. Semoga lain kali aku punya kesempatan memilih, melakukan hal aneh atau datang tepat waktu dan tidak kehilangan pekerjaanku."

"Kau benar-benar harus berusaha. Ya sudah, aku harus membantu Boss menyiapkan laporan keuangan bulan lalu. Fokuslah bekerja. Jangan banyak berulah hari ini."

"Alright, Mom!" Irina tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya sambil mengikat rambut panjangnya ke belakang secara terburu-buru.

Ikatan rambutnya tidak rapi. Membuat beberapa helai jatuh membingkai wajah cantiknya. Aiden menahan diri untuk tetap duduk. Dia hanya mengizinkan dirinya untuk menatap saja. Ya, ya. Benar. Hanya menatap saja. Tidak lebih.

Tidak, dia tidak ingin menghampiri gadis itu, mengajaknya bicara dan menyematkan helaian rambut yang terjuntai itu kebelakang telinganya. Tentu saja tidak.

"Hei, aku bahkan lebih muda darimu. Berhenti memanggilku begitu. Bagaimana kalau ada yang salah paham?"

"Salah paham bagaimana?" kata Irina sambil tersenyum menatap Claire.

"Yah bagiamana kalau ada pria tampan yang potensial sebagai kekasih dan dia salah paham menganggapku sudah tua karena kau memanggilku 'Mom' ?"

"Memangnya ada yang akan salah paham padamu?"

"Hati-hati bicaramu, Nona. Kau sendiri juga payah soal urusan asmara. Yang jelas, aku tidak ingin pria seperti dia salah paham."

"Pria apa?"

"Pria di meja di sudut jendela ujung sana yang sejak tadi menatapmu," Claire berbisik pelan kemudian bergegas menemui Bossnya. Irina menoleh ke meja yang tadi ditunjuk Claire. Matanya bertatapan dengan sepasang mata berwarna hazel yang menatapnya tajam. Dia terkesiap ketika pria itu tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arahnya.

***

Hayden langsung mengerutkan alisnya saat Aiden berjalan menghampirinya dengan membawa satu kotak sandwich dan tiga gelas kopi.

"Aku yakin belum lama ini kau sarapan denganku, Aiden."

Ucapan Hayden membuat Rick ikut menatapnya. Aiden lantas memberikan satu gelas kopi untuknya.

"Aku tidak tahu ada apa, but thanks, man." Rick segera mencium dalam-dalam aroma kopi panasnya. "Yah. Paling tidak aku memang layak mendapatkan kopi setelah semalaman harus berada di ruang interogasi."

"Kalau begitu kau patut bersyukur Tuhan mengirimkan sesorang sepertiku setelah penderitaanmu semalam," ujar Aiden sambil mengalihkan wajahnya menghindari tatapan geli Hayden.

Aiden menanggapi ucapan Rick dengan tersenyum sewajarnya. Dia memang tidak sehebat Hayden dalam berpura-pura, tapi setidaknya kemampuan berbohongnya lebih baik daripada Rick. Pikirannya kacau mengingat kejadian di Café tadi.

Tuhan tahu bagaimana dia berusaha untuk tetap duduk di kursinya dan hanya menatap Irina. Dia berusaha memikirkan hal-hal lain yang menyenangkan. Hal-hal seperti memaksa Rick menelan saus pasta kental atau mengacau di kencan Peter dengan si dokter cantik -kalau dia berhasil mengajaknya kencan-, atau menghabiskan waktu dengan gadis di kasir depan. Shit.

Tepat ketika dia bermaksud memalingkan wajah untuk kembali mengagumi dedaunan maple yang tidak istemewa itu, Irina berbalik dan Aiden melakukan kesalahan dengan menatap langsung pada sepasang mata hijaunya yang indah.

That's it. Satu tatapan darinya, and I'm done.

Aiden berdiri dan dengan langkah mantap berjalan menuju kasir. Tatapan tajamnya membalas tatapan mata hijau Irina. Dia juga tidak melewatkan kesiap terkejut yang lolos dari bibir merahnya. Dia menyeringai kecil menyadari keberadaannya cukup mempengaruhi Irina.

"Kau ingin pesan apa?"

Bahkan pertanyaan sederhana itupun mengganggunya. Oh bukan, bukan pertanyaannya tapi suaranya. Dan tiba-tiba Aiden menyadari kebodohannya.

"Kau ingin pesan sesuatu?" Irina menatapnya penuh tanya.

"Hmm... ya. Sure."

"Oke" jawab Irina sambil tersenyum sambil menunggu Aiden meyebutkan pesanannya. Senyum itu menular pada Aiden. Dan hanya itu yang dia lakukan.

Tatapan penuh tanya Irina kini berubah menjadi kebingungan. Dia menoleh ke kanan dan kiri seakan mencari sesuatu yang tidak beres. Pandangannya kembali pada Aiden dengan kedua alis mengerut.

Double shit.

"Ah ya... Hmm, sandwich. Beef sandwich. Satu beef sandwich, please."

"Sure." Irina tersenyum kembali dan mulai menyentuh layar di depannya kemudian berbalik untuk menyiapkan sandwich. Lagi-lagi Aiden memperhatikan segala hal saat Irina bergerak. Bagaimana tangannya bergerak untuk membuat toast, bagaimana jemarinya melipat aluminium foil, bagaimana helaian rambutnya yang menjuntai bergerak mengikuti gerakan kepalanya, lalu bagaimana... Damn it. Pikirkan hal lain, Aiden.

Oke, karena tadi dia gagal memikirkan hal-hal yang menyenangkan, maka sekarang dia akan memikirkan hal-hal yang indah. Ferrari. Ah, ya benar. Memiliki Ferrari Lusso di halaman rumah jelas merupakan pemandangan yang indah. Bayangkan mobil itu berwarna hitam dan bagaimana kilau cahaya matahari yang terpantul dari mobil itu. Tapi dalam bayangannya tiba-tiba pintu mobil itu terbuka dan Irina melangkah keluar dari sana, melepaskan jaket hitamnya dan membiarkan rambut panjangnya tertiup angin. Kemudian...

"Ada yang lain?"

Holy Shit. Pikirannya benar-benar kacau. Mungkin seharusnya dialah yang berada di UGD dan meminta dokter Candice memeriksa kepalanya.

"Kopi."

"Gula atau cream?"

"Boleh aku dapat keduanya?"

"Sure." Sekali lagi Aiden menatap Iriana yang bergerak untuk menyeduh kopinya.

Jangan berpikir apapun, Aiden. Jangan berpikir apapun. Jangan berpikir apapun. Jangan berpikir apapun.

"Make it three, please," ucap Aiden tiba-tiba saat dia menyadari Irina lebih cepat menyiapkan kopi daripada saat membuat sandwichnya. Karena otak kacaunya sedang tidak dapat diandalkan, jadi dia hanya berharap semoga mulutnya tidak mengucapkan hal aneh. Sudah cukup jauh dia mempermalukan dirinya.

Dan dia tidak bermaksud menambahnya dengan bersikap jujur pada Hayden sekarang.

"So... karena kau hanya berdiri diam sejak tadi, aku anggap hanya segelas kopi inilah yang kudapat?" kata Rick sambil menelengkan kepalanya menatap kontak sandwich di tangan Aiden. "Tanpa sandwich?" lanjutnya.

Aiden baru akan menjawab 'tidak' pada Rick saat dia melihat Peter berbelok dari ujung lorong. Wajahnya menunjukkan kelelahan yang sama dengan Rick. Peter duduk di ujung kursi di kanan Hayden. Rick mencondongkan tubuhnya dan memandang Peter melewati Hayden.

"Wajahmu terlihat lebih mengerikan, Pete.." Rick kembali menyandarkan punggungnya pada kursi dan menyibukkan diri dengan kopi panasnya.

"Liza mengatakan sesuatu pagi ini saat dia terbangun," gumam Peter sambil menerawang.

"Liza?" Aiden yang baru sadar dari lamunannya tentang Irina tiba-tiba merasa tertarik dengan ucapan Peter.

"Liza... Elizabeth Marlon."

"Aahh... jadi itu nama Ms. Marlon."

"Apa yang dia katakan?" tanya Hayden.

Peter melepas jaket cokelatnya dan membiarkannya terkulai di kursi. "Dia bilang ibunya pernah terlihat dengan seorang pria disebuah restoran Italia kira-kira hampir dua minggu lalu."

"Perselingkuhan?"

"Kurasa bukan, Hayden. James Marlon dan Amy Marlon sudah bercerai empat tahun lalu. Saat itu Liza masih berusia lima belas tahun dan mereka tinggal di LA."

"Jadi dia melihat ibunya secara kebetulan dengan pria itu?"

"Tidak bisa disebut kebetulan."

Kini Aiden dan Rick ikut memandang Peter. "Liza mendapat email yang memberitahunya bahwa beberapa hari lagi ibunya akan melakukan sesuatu yang menarik. Orang itu memberikan tempat, waktu dan letak meja yang akan didatangi ibunya."

"Liza kesana?"

"Yah. Dia datang kesana dan melihatnya tepat seperti yang dijelaskan di email."

"Dia melihat pria itu?"

Peter mengangguk menjawab pertanyaan Hayden. Dia terdiam sesaat sebelum akhirnya melanjutkan.

"Dia mengaku tidak tahu siapa pria itu. Tapi saat aku minta dia menyebutkan ciri-cirinya, Liza terlihat ketakutan. Aku meninggalkannya sejenak untuk sarapan dan bermaksud menanyakannya kembali setelahnya."

Hayden lantas berdiri di ikuti oleh Rick. "Oke... Kau beristirahatlah Pete, aku yang akan menemui Ms.Marlon."

"I don't think so, Hayden."

Hayden dan Rick yang baru mulai melangkah berhenti mendengar kalimat tegas Peter. Aiden yang menatap Peter tiba-tiba terlihat gusar.

"Why, Pete?" tanya Rick.

Peter menghembuskan nafas panjangnya. Masih sambil menatap menerawang dia berujar, "Seorang perawat yang mengantarkan sarapannya pagi tadi mengucapkan bela sungkawa padanya atas kematian ibunya. Dia mencoba bersikap ramah dan tanpa sadar terlalu banyak bicara."

Kali ini Peter menoleh, menatap langsung pada Hayden. "Dia tahu kondisi ibunya. Dia histeris dan dokter Candice terpaksa memberinya penenang."

Tidak ada yang berbicara untuk beberapa waktu. Mereka berempat sibuk memikirkan informasi tadi.

"Kau sudah berbicara dengan perawat itu?" suara Rick mengembalikan focus mereka.

"Tentu saja. Aku baru saja selesai menanyainya sebelum kesini. Tidak ada yang aneh. Dia bilang dia hanya ingin membuat Liza merasa nyaman dengan mengajaknya bicara, terlebih setelah tiga hari ini dia berada di ruangan yang secara khusus hanya dikelilingi polisi. Dia mengira mungkin Liza perlu teman bicara. Tapi dia tidak tahu bahwa belum ada yang mengatakan padanya tentang kepala ibunya yang kini masih menjadi misteri."

"Dia pasti sangat terpukul." Rick terlihat sedih sambil menatap pintu kamar Liza Marlon di kejauhan.

"Aku ingin bertemu dengan perawat ini. Dimana dia, Pete?" tanya Hayden sambil melihat jam tangannya.

"Belok kanan di ujung lorong itu kemudian berbeloklah ke kiri. Dia ada di ruangan staff di dekat sana. Kau tidak akan kesulitan menemukan ruangan itu. Namanya Alicia Taylor."

"Oke." Hayden menepuk bahunya singkat kemudian melangkah menjauh.

"Kurasa aku akan pulang sebentar. Aku butuh tidur," ucap Rick sambil menguap. "See you later, guys."

Aiden duduk di samping Peter. Dia menyerahkan kotak sandwich dan segelas kopi panasnya. Peter tersenyum simpul. "Kadang aku lupa bahwa kau pandai menebak, Aiden." Peter meneguk kopinya kemudian melahap sandwich itu.

"Tentang apa?"

"Banyak hal."

"Seperti?"

"Seperti kenyataan bahwa aku kelaparan dan tidak sempat sarapan pagi ini."

Aiden lantas memandangnya. "Yah... mungkin aku punya insting polisi yang luar biasa."

"Entahlah. Aku sering merasa kau tahu banyak hal bahkan sebelum seseorang mengatakan apapun padamu. Kau bahkan bukan polisi."

Aiden hanya tersenyum samar. Dia mengalihkan pandangannya. Menatap orang-orang yang berlalu di koridor di hadapannya.

"Darimana asalnya ini?"

"Apa?" Aiden bertanya tanpa menoleh.

"Sandwich ini. Rasanya lezat. Sepertinya aku sudah menemukan menu sarapanku untuk besok. Dimana kau membelinya?"

"Kau bermaksud memakannya setiap hari untuk sarapan?" Ada sedikit perasaan tidak suka yang Aiden rasakan saat bayangan Peter sang penggoda wanita itu bertemu Irina setiap pagi untuk sekotak sandwich atau kopi. Atau keduanya.

"Aku bilang besok, bukan setiap hari."

"Aku bisa membantumu membelinya."

Kali ini Peter menoleh sambil memicingkan matanya. "Kenapa kau tiba-tiba baik hati padaku?"

"Baik hati adalah nama tengahku. Kau saja yang terlambat menyadarinya."

Peter berdiri, melangkah menuju kotak sampah di sudut ruangan di dekat pintu keluar. Setelah memastikan kotak sandwich dan gelas kopinya yang sudah kosong mendarat sempurna di kotak sampah itu, dia berbalik. Peter masih berdiri di dekat Aiden tetapi tidak memutuskan untuk duduk.

"Hei Aiden. Apa instingmu mengatakan sesuatu tentang Alicia Taylor?"

Aiden menggelang. "Aku tidak pernah mendengar namanya sebelum ini."

"Aku juga tidak pernah. Tapi insting polisiku mengatakan ada sesuatu."

"Apa yang dikatakan insting polisimu?"

"Wajahnya. Aku memang tidak tahu tentang dia ataupun namanya. Tapi aku merasa pernah melihat wajahnya sebelum ini. Aku hanya tidak yakin kapan dan dimana."

"Wajahnya mirip selebritis yang foto seksinya kau koleksi? Atau mungkin mirip salah satu one night stand-mu?"

Peter berdecak dan mencibir Aiden. Dia menendang kaki kanan Aiden. Bukan tendangan serius, tapi cukup membuat Aiden tersentak. Dia baru saja akan membalas Peter saat melihat Hayden berjalan tergesa-gesa ke arah mereka.

"Hey, man. Kau dapat sesuatu? Sudah kubilang kau tidak akan kesulitan menemukan ruangan staff itu." tanya Peter khawatir.

"Yah, ruangan itu memang mudah ditemukan. Sayangnya justru perawat yang kau maksud tadi yang tidak kutemukan."

"Tapi dia ada disana tadi. Belum berselang lama sejak aku meninggalkannya diruangan itu dan menemui kalian disini."

"Well... Aku bertanya pada perawat lain yang kebetulan berada diruangan itu. Coba tebak?"

"Aku tidak suka main tebakan. Kau cobalah, Aiden. Insting bukan polisi milikmu mungkin bisa membantu."

Aiden meringis mendengar komentar Peter. "So? Kenapa dengan perawat itu? Dia tiba-tiba menolak memberikan keterangan?"

"No, Aiden. Berdasarkan informasi yang aku dapat dari bagian administrasi kepegawaian rumah sakit ini, Alicia Taylor sedang dalam masa cuti melahirkan sejak sebulan lalu."

Peter dan Aiden tidak menutupi keterkejutannya. "Bagaimana mungkin? Dia menunjukkan tanda pengenalnya sebelum aku mulai bertanya padanya pagi ini. Dan dia kelihatan baik-baik saja, bukan seperti seseorang yang baru saja melahirkan. Dia sangat seksi dan terlihat siap melenggang di ajang pameran lingerie edisi terbaru Victoria's Secret," tegas Peter dengan wajah bingung.

"Kalau begitu kurasa kita bisa sepakat dalam satu hal." Hayden memandang Aiden dan Peter bergantian. "Wanita itu, perawat yang tadi kau temui, Pete... dia bukan Alicia Taylor."

"Shit." Peter mengusap wajahnya gusar.

"Sepertinya insting polisimu kali ini tepat, Pete. Cobalah kau ingat dimana kau melihatnya."

"Insting polisi?" Hayden menatap Aiden dengan kedua alis yang terangkat.

"Peter merasa pernah melihat wajahnya entah dimana."

Hayden memandang Peter sesaat. "Yah... pulanglah Pete. Kau pasti kelelahan berada di rumah sakit sejak kemarin. Istirahatlah sebentar, mungkin bisa membantu menyegarkan ingatanmu."

Peter mendesah pasrah. Dia berbalik menuju pintu keluar, menyetujui saran Hayden untuk beristirahat.

"Bagaimana dengan para tersangka?" tanya Aiden setelah Peter tidak terlihat lagi.

"Belum banyak perkembangan. Mereka bertiga sama-sama tidak memiliki alibi pada saat kematian Amy Marlon."

"Beritahu aku kalau ada perkembangan. Mungkin aku bisa membantu sesuatu."

Hayden duduk disamping Aiden. Dia menatap Aiden tajam dari samping. "Kau tahu, selama ini kau selalu membantu, Aiden. Kau bahkan bukan polisi, tapi aku selalu melibatkanmu."

"Aku tidak keberatan terlibat."

"Aku tidak ingin kau terlibat terlalu jauh."

Aiden terdiam. Dia paham kemana kalimat Hayden barusan mengarah. "Kejadian di Anne Marie itu hanya kebetulan. Aku tidak tahu salah satu dari mereka akan menikamku."

"Itu tidak akan terjadi lagi. Aku tidak akan melibatkanmu terlalu jauh seperti itu lagi. Terlalu beresiko."

Yah memang benar. Itu pertama kalinya Aiden terlibat terlalu jauh. Operasi semacam itu biasanya harus dilakukan oleh polisi terlatih, bukan warga sipil amatiran sepertinya. Sayangnya kepolisian Costa City sudah kehabisan waktu dan orang-orang di Anne Marie sudah mengenali wajah Hayden dan Rick serta beberapa polisi lainnya. Jadi ketika dia mengajukan diri, Marcus Quilan -Atasan Hayden sekaligus Kepala Polisi Costa City- langsung setuju. "Kurasa sebanding dengan yang kita dapat. Informasi tentang BA itu memberikan inspirasi baru bagi kepolisian Costa City untuk menentukan pergerakan yang tepat selanjutnya."

"Dengan meresikokan dirimu? No, Aiden. Itu tidak sebanding." Hayden mengucapkannya agak terlalu keras hingga menarik perhatian beberapa pengunjung di dekat mereka.

Aiden menyeringai menatpnya. "Berbicara tentang resiko yang harus aku terima, kau berhutang padaku Hayden," ucapnya sambil menyentuh lengan kiri Hayden dengan kepalan tangan kanannya.

"Aku tahu." Hayden berdiri dan melangkah menuju pintu keluar. Aiden merasa pria itu bermaksud menghindari topik balas budi, apappun bentuknya.

"Waahh... jadi wakil kepala polisi sekaligus bujangan paling diincar di kota ini bermaksud menghindar dari tanggung jawab?" sindir Aiden sambil menahan senyumnya. Hayden yang sudah hampir tiba di depan pintu keluar kemudian berbalik. "Aku tidak pernah lari dari tanggung jawab. Aku merasa kau akan meminta sesuatu yang tidak mudah, karena itu aku berimprovisasi memulai misi balas budiku lebih awal."

Aiden menatapnya sambil mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu, Hayden?"

"Dari semua tempat makan yang potensial di kota ini, menurutmu kenapa aku mengajakmu memilih sarapan sandwich di Café di seberang sana?" Hayden menjawab santai sambil menunjuk ke arah Café dengan gerakan kecil kepalanya.

Aiden menatapnya bingung. Namun begitu pemahaman itu merasuk ke kepalanya, sedetik kemudian dia menatap terkejut pada Hayden. Kalau yang ada di kepalanya benar, maka dia tidak akan salah mengartikan tatapan geli Hayden pagi ini saat melihatnya datang dengan membawa sandwich dan kopi tambahan. Hayden ingat dengan gadis itu? Irina?

"Ya, ya. I know. Your welcome, Aiden." Hayden meraih kenop pintu sambil menatap penuh arti pada Aiden, mendorongnya terbuka kemudian melanjutkan langkahnya keluar dengan cengiran lebar di wajahnya.

Shit!

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience