2. Alter Ego—Liliana Parrish-Death Shadow

Mystery & Detective Series 2795

Debur ombak dan hembusan angin membuat matanya tertutup, menikmati. Hembusan angin menggerakkan helai-helai rambutnya dengan lembut. Aroma laut membuatnya tenang, ia membuka matanya, menatap ke arah laut dengan tatapan menerawang. Riuhnya deburan ombak membuat bibirnya sedikit melengkung ke atas. Tapi kemudian ia teringat akan sebuah kegelapan.

Senyumnya luntur perlahan, tergantikan oleh tatapan nyalang dan kebencian. Adakah orang di dunia ini yang bisa mengerti akan perasaannya? Adakah?! Seringkali pertanyaan itu berputar di kepalanya, membuatnya kadang merasa marah, sedih, takut, benci, dan tersakiti diwaktu yang bersamaan. Tapi ia tahu dengan jelas, bahwa, hanya ada kemarahan, dan kebencian dari semua orang, jika mereka tahu siapa ia sebenarnya.

Sebuah tangan terjulur dan menepuk bahunya, ia menoleh dengan tatapan dinginnya. Seperti biasa, dan selalu seperti itu, karena dia adalah..., Jasmine. Psikopat yang telah membunuh diusianya yang baru menginjak 13 tahun. Entah apa yang membuatnya bisa menjadi seperti ini, yang jelas, itu bukan sesuatu yang baik untuk diingat apalagi dikenang.

"Jasmine? Ada apa?" tanya seorang gadis yang umurnya di atas Jasmine, ia berusia 25 tahun. 
Jasmine menatapnya datar. 

"Menurutmu?" tanya Jasmine dengan dingin. Gadis itu menghela napasnya, ia tersenyum lembut pada Jasmine.

"Jangan lupa makan, aku memasakkan sesuatu untukmu." kata gadis itu, Jasmine hanya mengangguk. "Aku pergi dulu, aku sedang banyak tugas. Bye Jassie!" pamit gadis itu, Jasmine hanya mengangguk acuh. Ia tak berniat untuk membalas ucapan gadis itu, gadis itu tersenyum maklum lalu pergi meninggalkan Jasmine sendirian.

Jasmine menghela napas kemudian berdiri, Jasmine memutar tubuhnya dan berjalan menuju ruang makan. Suara langkah kakinya menggema, Jasmine masuk ke dalam ruangan yang dindingnya di cat merah dan hitam, sebuah lampu hias besar tergantung dengan indah. Terlihat sebuah meja makan memanjang dan kursi yang berderet rapi. Ruangan itu terkesan manis dan misterius.

"Hai Jasmine! Semakin hari kau semakin cantik saja, he he he." sapa seorang pria sambil terkikik. Jasmine menatapnya dingin dan enggan membalas sapaan pria itu.

"Hn," sahutnya malas. Pria itu kembali terkikik, entah apa yang lucu menurutnya. Ia selalu saja bertingkah aneh dan..., tak waras? Entahlah. Yang jelas, menurut Jasmine, pria itu jauh dari kata ’Waras’.

Jasmine duduk di kursi, ia menatap makanan yang terhidang dengan malas. Pria aneh itu kembali terkekeh, membuat Jasmine geram dan jengkel mendengar kekehannya. "Diamlah Aland! Kau seperti orang gila saja jika terus terkekeh seperti itu!" sentak Jasmine pada si pria, Aland.

"Whoa whoa whoaaahh, kau marah, huh?" ejek Aland dengan wajah menyebalkannya. Jasmine menggeram kesal, lalu seorang pelayan datang dan membawakan makanan. 

"Silahkan nona," kata pelayan tersebut sambil menunduk sopan.

Saat pelayan itu akan pergi, Jasmine memanggilnya. "Kau tahu aku adalah Black Rose bukan?" tanya Jasmine dingin. Pelayan itu meremas celemeknya pelan, ia memutar tubuhnya menghadap Jasmine.

Tatapan Jasmine begitu menusuk, pelayan itu gemetaran. "Jadi, bisakah kau memberikan rekordermu padaku? Sepertinya kau menyimpan banyak rekaman suaraku." tanya Jasmine, pelayan itu tersentak.

Ia perlahan mundur, Jasmine hanya mengangkat sebelah alisnya. 
"A-aku, tidak merekam apapun!" bantah pelayan itu, Jasmine tersenyum miring.

"Benarkah? Bukankah kau membawa rekorder super kecil yang kau selipkan dirambutmu, Agen Sherley?" tanya Jasmine dingin. Pelayan-yang sebenarnya Agen rahasia- itu terkejut, ia mengambil sesuatu dari balik celemeknya. Pistol.

Aland memperhatikan mereka dengan tangan disilangkan di depan dada dan senyum meremehkan pada Agen Sherley. 
"Kau ditangkap, Black Rose!" kata Agen Sherley. Jasmine semakin menunjukkan tatapan dinginnya. Tangannya mengambil sesuatu dari bawah meja makan.

Sebuah katana. "Sherley Roberts, Agen profesional yang ditugaskan untuk menangkap Black Rose, benar bukan?" tanya Jasmine sambil memainkan katana miliknya. Agen Sherley sedikit ketakutan, tapi ia tidak boleh menunjukkannya, ia harus berani menghadapi Jasmine.

"Kau telah membunuh lebih dari seratus orang! Kau harus dihukum, bahkan hukuman penjara seumur hidup belum sebanding untukmu!" desis Agen Sherley, Jasmine menunduk sekilas, keningnya mengerut.

Kemudian ia tersenyum, matanya berkilat hijau. "Benarkah? Jadi, hukuman apa yang pantas untukku?" tanya Jasmine datar. Agen Sherley mengeratkan pegangannya pada pistolnya, ia menatap berani pada Jasmine yang kini menatapnya dengan tatapan super dingin.

"Kau sudah salah masuk ke markasku, kau masuk ke dalam markas seorang... Iblis," kata Jasmine, ia menatap katana-nya dan mengelusnya.
Agen Sherley mengerutkan dahinya ketika mendengar nada bicara Jasmine yang berbeda, Jasmine kembali menatap Agen Sherley.

"Aku bukan Jasmine," kata ’Jasmine’. Kening Agen Sherley semakin berkerut, tanpa membuang waktu, ’Jasmine’ bergerak cepat dan menyabetkan katana-nya ke pinggang Agen Sherley, Agen Sherley terkejut. Ia menatap katana ’Jasmine’ yang berlumuran darah, kemudian menatap perutnya. Tak terlihat ada luka, tapi dari ekspresi Agen Sherley, terlihat jelas ia menahan sakit.

Sedetik kemudian, tubuhnya terbelah menjadi dua, dan ia terjatuh. 
"Aku bukan Jasmine, jangan salah mengenaliku." ucap ’Jasmine’. Aland terkikik sambil memegangi perutnya, ia kemudian meminum Whiskey miliknya.

"Diamlah Aland Grey!" bentak ’Jasmine’.

"Calm down, girl. Aku hanya merasa senang kau akhirnya muncul, dan sepertinya, aku sudah membawakan ’bingkisan’ selamat datang untukmu bukan?" canda Aland.

"Baiklah, Jasmine sedang tidur, dan kau adalah Liliana Parrish." kata Aland. Jasmine adalah penderita Alter Ego, ia mempunyai kepribadian ganda. Salah satunya adalah Liliana atau Lily, kepribadian yang baru saja muncul setelah tertidur lumayan lama.

Lily mengambil rekorder yang terselip dirambut Agen Sherley kemudian memasukkannya ke dalam perapian. Terdengar ledakan kecil setelah beberapa saat rekorder itu dibuang. Lily duduk dikursi kemudian memakan makan siangnya setelah menaruh katana-nya. Aland kembali terkikik, ia ikut makan siang setelah puas tertawa.

Lily selesai dengan makan siangnya, ia meminum Wine kemudian mengelap mulutnya denga dengan tissu. 
Lily berdiri dari duduknya, ia menatap mayat Agen Sherley yang tergenang oleh darahnya sendiri. "Kau mau ke mana Lily?" tanya Aland.

Lily menoleh dengan dingin. "Ke manapun aku pergi, it’s not of your bussiness, Aland." jawab Lily dingin.

 Aland terkekeh pelan, ia meneguk Whiskey miliknya yang tinggal setengah hingga tandas. "Ouch, begitu yaa? Lily selalu kasar, hmm tak apa. Kau boleh pergi, hihihihi." kikik Aland.

Lily keluar dari ruang makan, ia memanggil Alejandro, tak lama Alejandro datang. 
"Ada apa Nona?" tanya Alejandro, Lily menggerakan jari telunjuknya, Alejandro berjalan ke depan Lily. Alejandro meneliti tatapan dan raut wajah Nona-nya.

"Ahh, Nona Lily. Ada apa Nona?" tanya Alejandro sopan, Lily menatap Alejandro dengan datar. 

"Siapkan mobilku, aku akan pergi nanti malam." suruh Lily, Alejandro mengangguk patuh.

"Baik Nona," jawabnya.

 Waktu berlalu begitu cepat, Lily berjalan menuju kamarnya, sedangkan Alejandro pergi ke garasi mobil. Lily mengganti pakaiannya, sebuah jas berwarna biru gelap. Khas style-nya.

Setelah selesai, ia segera ke luar menuju garasi nya. Lily melihat Alejandro yang sedang berdiri di samping mobil Koenisegg Trevita sambil menunduk sopan. Lily masuk ke dalam mobil kemudian pergi ke suatu tempat. Sesekali ia melirik kearah kaca spion, ternyata ada sebuah Jeep hitam yang mengikuti mobil Lily. Seringaian kecil menghias wajahnya, diinjaknya pedal gas. Jeep hitam itupun sama-sama menambah kecepatan laju mobilnya.

"Hmm, bermain sedikit pada mereka." gumam Lily. Tiba-tiba ia mengerem mobilnya, mobil di belakangnya pun melakukan hal sama. Lily melirik ke jok di sampingnya, ada sebuah kapak besar di jok itu. Lily mengambilnya kemudian keluar dari mobil setelah memakai topengnya.

Dari Jeep hitam itu keluar beberapa pria berbadan kekar, jumlah mereka ada empat orang. Keempat pria itu memiliki sebuah tato yang sama, tato serigala bertanduk. Mereka adalah The Wolf Monster, mereka adalah Mafia terkejam dan tersadis setelah Butterfly Devil. Butterfly Devil adalah Mafia terbesar, terkejam, tersadis, dan paling ditakuti di dunia. Anggotanya hanya ada 500 orang, tapi, setiap anggota memiliki skill hebat. Salah satunya adalah, Jasmine.

Lily berjalan anggun menghampiri mereka, senyuman manis tapi penuh ancaman ia pasang. (Topeng yang ia pakai hanya menutupi mata dan hidung, mulut tidak.) 
"The Wolf Monster ehh?" sindir Lily, salah satu anggota TWM tertawa mengejek pada Lily.

"Kau yang telah membunuh salah satu anggota kami! Kau harus merasakan akibatnya, Jalang!" teriak anggota TMW yang berkepala botak. Lily tersenyum miring, ia mengayunkan kapaknya perlahan.

"One... Two... Three," Lily menghitung setiap ayunan kapaknya sambil menunduk, keempat pria bertubuh besar itu memperhatikan Lily dengan kening berkerut. Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh gadis di hadapan mereka itu?

"... Eight.. Nine... Ten," Lily melemparkan kapaknya ke arah pria berkepala botak. Kapak itu tepat menancap di kening si pria, ketiga temannya terbelalak kaget. Si pria botak memegangi kepalanya, tubuhnya limbung kemudian terjatuh dan mati. Lily kembali tersenyum miring.

Tiga pria yang masih terbelalak itu menatap tajam pada Lily, sedangkan Lily menatap mereka dengan datar. Salah satu pria berambut hitam mengeluarkan pisaunya lalu melemparkannya ke arah Lily, tapi dengan cepat Lily menghindar. "Meleset," ejek Lily.

Pria berambut hitam itu menggeram marah, ia mengambil pistol dari balik bajunya dan mengarahkannya ke Lily. Belum sempat pistol itu ditarik pelatuknya, jari tangan si pria terputus setelah terkena lemparan pisau Lily. "Hahaha, jarimu putus!" sorak Lily senang. Si pria bersurai hitam ini mengernyit saat merasakan perih dan sakit pada jarinya yang terputus.

Ia melihat ke arah jarinya, cairan kuning dan darah bercampur, daging dan kulit jari si pria membiru dan memucat. 
"R-racun," gumam si pria, darah mengalir dari hidungnya. Kedua temannya berusaha membantu, namun sebuah katana menebas kaki pria yang sedang keracunan itu.

Entah dari mana katana itu, yang jelas, katana itu berbeda dari milik Jasmine. Si pria berambut hitam kejang-kejang, dari matanya mengeluarkan darah. Tak lama kemudian ia mati. Lily bertepuk tangan heboh, tapi wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi.

Sisa pria berambut coklat dan berambut keriting, Lily berjalan cepat menuju mereka berdua, kedua pria itu menembakkan pistol mereka ke arah Lily, namun tak satupun peluru itu melukai kulit tubuh Lily. 
"Sto-akhh!" pria berambut coklat mengerang saat katana itu menusuk mulutnya. Lily mencabut katana-nya kemudian menusukkannya pada pria itu, tepat pada jantungnya.

Lily memutar katana-nya yang masih tertanam di dada si pria hingga dada si pria berlubang. Pria berambut keriting menendang Lily hingga Lily terlempar, tapi tak lama, Lily kembali bangkit dan menatap nyalang si pria. Si pria berambut keriting bergetar ketakutan, nyalinya ciut melihat tatapan bengis dari Lily. Sedangkan si pria berambut coklat sudah mati dengan jantung terkoyak.

Lily berlari ke arah pria berambut keriting kemudian menendang pria itu, pria itu terpelanting. Ia batuk, batuk darah. Lily mengambil borgol dari saku jas nya. Ia mendekati si pria yang bersandar di pohon dengan tatapan membunuh. Penerangan jalan yang redup menambah suasana yang semakin mencekam. Lily mendendang wajah si pria dengan lututnya, darah segar mengalir dari hidung si pria. Lily memborgol tangan si pria yang tak berdaya itu, kemudian ia berjalan ke mobilnya dan mengambil sebotol cairan berwarna emas.

Lily menyiramkannya ke si pria, kemudian ia mengambil korek, menyalakannya dan melemparnya ke tubuh si pria. Api berkobar membakar pakaian dan tubuh si pria, erangan kesakitan dan permohonan ampun tak membuat Lily merasa kasihan apalagi bersalah. 

Hanya satu yang ia rasakan, sebuah kesenangan dan kebanggaan telah menyiksa mereka. Jeritan si pria terhenti, Lily mengambil kapak nya, ia memotong tubuh si pria berkepala botak. Kemudan ia membuang kapak itu, tak perlu khawatir soal jejaknya, ia memakai sarung tangan untuk menutupi jejaknya.

Lily mengambil katana-nya kemudian memotong dada pria berambut coklat dan mencabut jantung si pria dan membuangnya. Dengan riang Lily berjalan ke arah mobilnya, seolah kejadian barusan itu tak pernah terjadi. Ia mengendarai mobilnya menuju tempat yang ingin ia tuju.

***

Liliana Daphne Parrish

Julukan : Death Shadow
Cara membunuh dan senjata :
Lily membunuh dengan cara memotong tubuh korbannya, menggunakan kapak dan katana. Ia suka melihat wajah ketakutan dan mendengar jeritan korbannya. Ia tak tahu apa itu ’Takut’, tapi ia suka melihat ekspresi itu. Seolah ekspresi itu adalah ekspresi yang membuat ia semakin bersemangat membunuh korbannya.

*** 

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience