7. First Terror

Mystery & Detective Series 2795

Jasmine Desmarais, Si Psikopat Gila, akan melenyapkan setiap orang yang menghalangi langkahnya, dan menghancurkan setiap orang yang mengusik dirinya. Tak peduli itu musuh, teman, sahabat, bahkan keluarga.

Hatinya terlalu beku untuk mendengar untaian kata cinta, maaf, penyesalan, atau apalah. Yang ada di hatinya hanyalah..., bunuh, bunuh, bunuh! Hancurkan tubuh mereka, hancurkan organ mereka, buang otak mereka, dan giling di mesin penggiling!

"Aku tahu sesuatu!" Alec tersenyum lebar, Dominic mengangkat sebelah alisnya, seolah berkata 'Apa-yang-kau-tahu?' sambil mengelap pistolnya.

"Kau ingat kunjungan Jasmine terakhir kali di kantor? Ia berkata bahwa ia kenal dengan Black Rose, aku tentu sangat bingung. Aku mendapat kesimpulan bahwa..., Jasmine memiliki hubungan dengan Black Rose!" kata Alec yakin.

Dominic memutar bola mata malas, "tentu saja! Aku juga tahu jika seperti itu!" ujarnya datar. Alec mendengus, ia mengingat-ingat kata-kata Jasmine waktu itu.

Ia adalah salah satu, dari apa yang ia genggam.

Yang ia genggam...

Yang ia genggam?

Pistol? Pisau? Katana? Pedang? Samurai? Tombak? Rev-- tunggu! Yang Psikopat itu genggam adalah..., bunga! Ya, bunga mawar hitam sebagai simbol dirinya. Batin Alec.

"Ahh! Itu dia! Apa yang ia genggam, bunga! Aku harus menyelidiki ini." Alec berlagak seperti Sherlock Holmes. Dominic memperhatikan Alec dengan sudut bibir berkedut menahan tawa.

Bagaimana tidak, pemuda itu memakai topi dan langsung menjejalkan pipa rokok ke mulutnya. Meski ia bukan perokok, tapi ia bertingkah seolah ia adalah penikmat. "Uhmm-- apa kau berakting sebagai Sherlock?" sindir Dominic.

Alec menoleh, "ya, kali ini namaku adalah Walcius Holmes!" kata Alec serius. Tawa Dominic meledak, ia memegangi perutnya yang sakit akibat tertawa berlebihan. Tapi ia sadar, Alec mengatakan sesuatu.

"Bisa kau ulangi kata-katamu tadi?" tanya Dominic serius.

"Mulai sekarang namaku Walc--"

"bukan, bukan yang itu! Tapi, tentang Black Rose." kata Dominic.

"Ohh, yaa Jasmine berkata bahwa Black Rose adalah salah satu dari yang ia genggam." jawab Alec. Dominic tampak berpikir keras, apakah senjata? Atau..., bunga!

"Black Rose... Mungkinkah Daisy? Tulip? Lily? Atau Jas-- ah tidak mungkin." gumam Dominic.

***

Kilatan matanya terus berubah-ubah, hingga akhirnya ia menyunggingkan senyuman mengerikan.

Dinding itu semakin kokoh, gelap, dan pengap. Mengurungnya di dalam tempat tergelap, dipenuhi oleh dosa dan air mata.
Ingin ia berteriak memprotes pada dunia, namun ia sadar, ia bukanlah satu-satunya yang menderita.

Jutaan maaf tak akan mampu mengobati segala lukanya, jutaan maaf tak akan mengobati deritanya, dan jutaan maaf tak akan mengobati sakitnya.
Ia terlanjur terbakar api dendam...
Ia terlanjur tenggelam di lautan dosa...
Ia terlanjur terbelenggu dalam gelapnya dunia...

Dosa adalah darahnya...
Iblis adalah hatinya...
Membunuh adalah hobinya...
Takut adalah musuhnya...
Jasmine adalah..., dirinya...

Gadis itu menatap cermin, keringat bercucuran dari dahi dan pelipisnya.
"Jangan pernah kau muncul lagi!" teriaknya, namun pantulan dirinya dicermin tertawa keras, berbanding terbalik dengan si gadis yang diliputi amarah.

"Ouch Jasmine Serenity Desmarais-ku, tersiksa oleh masa lalu, huh?" ejek pantulan dirinya yang ada di cermin. Jasmine mengepalkan tangannya erat, pantulan dirinya di cermin semakin terkikik melihat reaksi Jasmine.

"Jangan pernah kau muncul lagi, bukankah dulu kita sudah membuat perjanjian?" tanya Jasmine tajam.

Pantulannya kembali tertawa penuh ejekan, "lalu membiarkanmu tenggelam dalam ingatan masa lalu kelam? Hey, aku ini dirimu, dan kau adalah aku." kata pantulannya di cermin.

"Aku tidak akan seperti itu!" dengus Jasmine. Pantulannya tertawa keras, jika tubuh Jasmine langsing namun sedikit kurus, pantulan dirinya di cermin memiliki tubuh sedikit berisi.

"Dengar Jasmine, jika sekali lagi kau lemah karena hal itu, maka kau akan kuhancurkan! Ingat pesan dariku, sampai bertemu dilain kesempatan." ancam pantulan itu lalu menghilang, digantikan dengan pantulan dirinya yang memakai pakaian formal.

"Ahh gadis singa itu muncul, sekarang giliranku. Hi, do you still remember me? Hahaha, kau tampak kacau. Mengerikan, dan yeahh menjijikan! Hapus semua perasaan bodohmu itu, ingat bahwa kau bukanlah Malaikat!" pantulannya memberikan tatapan nyalang pada Jasmine.

Jasmine menyipitkan matanya tak suka, ia mengambil sebuah vas lalu melemparkannya ke cermin hingga cermin itu hancur.
"Sialan!" makinya kasar.

Jasmine menatap pantulan wajahnya dicermin yang masih tersisa.
Mata hijaunya yang bening tampak sedikit memerah. "Menghancurkanku? Hahaha, mimpi saja kau!" geramnya.

Ia berdiri, dagunya terangkat. Jasmine berjalan angkuh keluar dari kamarnya yang tampak berantakan.
"Kalela! Bersihkan kamarku!" teriak Jasmine. Seorang gadis yang umurnya dua tahun di bawah Jasmine datang dengan terburu-buru.

"B-baik, Nona." jawabnya.

Jasmine tersenyum puas, "bagus." sahutnya. Ia pergi meninggalkan Kalela yang merasa lega karena Jasmine segera pergi.

***

Aland meneguk segelas sampanye, matanya menatap tajam pada pria di hadapannya. "Cih, mengapa kau kembali?" tanya Aland sinis.

"Aku seorang dokter, aku punya kewajiban untuk menolong dan menyembuhkan." jawab si pria santai.

"Grantley, sebaiknya kau kembali saja ke Swiss, tempat asal mu." Aland menatap datar pada si pria, Grant.

"Aku ke sini untuk bertemu dengan Jasmine! Bukan denganmu!" ketus Grant tak suka. Aland tertawa keras, menertawai ucapan ketus Grant.

Tawa Aland terhenti dalam detik kelima, tatapannya dingin dan menusuk. "Jauhi Jasmine! Atau semua keluargamu akan melihat kepalamu tergantung di pintu rumah ibumu!" ancam Aland lalu pergi.

"Terserah saja! Aku seorang dokter! Dan aku akan melaksanakan tugas yang diberikan kepada seorang dokter!" teriak Grant saat Aland belum terlalu jauh.

Langkah Aland terhenti, ia menoleh ke kiri sedikit, matanya melirik ke bawah. Seulas senyum licik tercetak di bibirnya. Namun ia tak ada niatan untuk membalas perkataan Grant. Aland kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan Grant sendirian yang diliputi kekesalan.

"Tugasku bukan hanya sekedar Dokter saja, Calandez! Pekerjaanku lebih dari satu," Grant menatap kepergian Aland dengan sebuah senyum miring.
Grant bangkit dari duduknya, ia berjalan ke luar.

Jasmine menuliskan sebaris kalimat, senyuman tak pernah lepas dari bibirnya. Matanya berkilat merah, lalu ia tertawa keras.
"Bagaimana jika dimulai dari..., satu." ucapnya dengan senyuman horor.

Ia merobek kertas, lalu menuliskan kalimat baru.

11 18 I 8 Cancer 8 August.
-Guess Who^^-

Senyumannya semakin melebar, ia berdiri. "Kita mulai saja," ujarnya.
K, sapaan dari sisi lain Jasmine yang sekarang sedang mengambil alih. K berjalan keluar dari ruangannya, ia berpapasan dengan Aland.

"Jasmine, tunggu!" seru Aland, K menoleh dengan tatapan angkuh.
Tatapan itu membuat Aland bingung, tatapan yang sama sekali tak dikenalnya, karena gadis di hadapannya tampak memberikan tatapan penilaian pada Aland.

Berbeda terbalik saat pertama ia muncul, tepatnya saat ia bertemu dengan Alejandro.
"Kau siapa?" tanya K dengan angkuh. Aland semakin bingung, ia memilih bungkam, K yang tidak mendapat jawaban pun segera pergi.

Malam harinya, sekelompok remaja sedang berkumpul. Salah satu dari mereka memakai jubah hitam dam topeng. "Jadi, kau akan bersembunyi di belakang pohon, lalu kau akan mengagetkan setiap orang yang lewat. Kau paham, kan Veronica?" tanya seorang pemuda.

"Tentu saja Jack," jawab temannya yang memakai jubah dan topeng.
Jack tersenyum puas, ia bersama tiga temannya yang lain mempersiapkan handycam untuk merekam moment kejahilan mereka.

Jack dan ketiga temannya berjalan ke arah belakang pohon yang berbeda dengan pohon tempat persembunyian Veronica. Veronica bersembunyi, Jack dan ketiga temannya yang lain ikut bersembunyi menunggu korban kejahilan pertama.

Seorang wanita berjalan, gelap dan sunyi menjadi pelengkap malam kejahilan para remaja itu.
Veronica keluar dari tempat persembunyiannya, di tangannya ada sebuah pisau palsu, si wanita itu berteriak ketakutan sambil berlari menjauhi Veronica.

Jack dan ketiga temannya, serta Veronica tertawa terbahak karena kejahilan mereka berhasil.
Mereka terus melakukan itu hingga pukul 00.17 am, "bagaimana jika kita lanjutkan besok? Aku sangat mengantuk." usul Veronica.

"Tunggu satu orang lagi, okay?" tanya Jack. Veronica tampak berpikir, tapi kemudian ia mengangguk. Ia kembali ke tempat persembunyiannya, diikuti Jack yang juga ikut bersembunyi.

Sekitar 10 menit mereka menunggu, akhirnya seorang wanita cantik lewat. Jack tersenyum saat melihat Veronica kembali melakukan hal sama, mendekati si wanita, mengangkat pisau, lalu menusukkannya ke perut si wanita.

Tunggu! Tusuk? Tusuk?! Bukankah itu pisau palsu?
Jack melihat pemandangan mengerikan, ia melihat Veronica yang terus menusukkan pisau ke tubuh wanita cantik--yang tak sempat berteriak-- itu dengan brutal.

Terakhir, ia melihat Veronica menusuk mata si wanita dan menariknya keluar. Jack dan ketiga temannya langsung muntah. Setelah si wanita mati, Veronica menghampiri tempat persembunyian Jack.

"Apa kau gila, Nic?! Kau membunuhnya!" teriak Jack, Veronica membuka topengnya. Alangkah terkejutnya Jack, saat melihat wajah asing dibalik topeng itu.

"S-siapa kau?! Di mana Veronica?!" tanya Jack gemetaran.

"Setelah kuperhatikan, permainan jahilmu sangat seru. Jadi aku ingin ikut bermain, dan temanmu sedang tidur di sana." tunjuk si orang misterius ke arah pohon tempat Veronica bersembunyi.

Jack menggeleng pelan, ia berusaha menyerang si orang misterius.
Orang itu membuka jubahnya, tampak seorang gadis berambut coklat terang dengan mata biru.

"Kau! Kau membunuh Veronica!" jerit seorang gadis lain.

"Aku punya nama lohh, kau bisa memanggilku, K. Dan soal Veronica, dia terlalu banyak menggerutu, dan itu menyebalkan!" kata K.

Mereka bertiga--Jack, Ben, Joe-- melawan K. Sedangkan si gadis satu lagi berusaha menelepon polisi.
"Uhh dia sangat menjengkelkan!" geram K pelan, sambil menatap sinis pada si gadis.

K mengambil sebuah ranting yang lumayan panjang, lalu berlari cepat ke arah si gadis dan menusukkan ranting itu ke ulu hati si gadis.
"Uhuk!"

"Diana!" Ben menyerukan nama si gadis, sementara K tersenyum puas melihat darah yang mengalir deras dari bekas tusukan di ulu hati Diana.

"Sialan kau!" jerit Ben, ia meninju rahang K dengan kuat, K terhuyung ke belakang. Ia sempat diam sejenak, namun tak lama terdengar tawa berderai yang berat.

K berjalan mendekat, ia menarik kerah kemeja Ben. "Lumayan..., sakit." kata K pelan, ia mencekik leher Ben dengan kuat. Ben berusaha melepaskan cekikan, namun ia tak sanggup.

Pasokan udara di paru-parunya semakin menipis, Jack mengambil ranting dan berusaha menusuk K. Namun ranting itu terpotong karena pedang kecil milik K.
Perkelahian kembali terjadi, K melawan tiga pemuda itu hingga ia berakhir menjadi sang pemenang.

***

Polisi, FBI, dan beberapa detektif swasta menatap ngeri pada penemuan mayat tiga pemuda, dan dua orang gadis. Pasalnya, mereka dibunuh dengan sangat mengerikan.
Dominic dan Alec datang, mereka melihat mayat itu.

Seketika makanan di perut mereka terasa ingin keluar.
"Astaga!" gumam Dominic. Ia berjalan menghampiri seorang polisi, lalu ia bertanya.

"Aku Dominic Janskin, agen FBI. Kapan kejadian ini terjadi?" tanya Dominic.

"Sekitar pukul 12 hingga pukul 1 dini hari. Korban bernama Jackson Develoth menelpon 911, sebelum ia meninggal. Dan Anda bisa lihat sendiri bahwa kematian mereka memiliki ciri khas dengan seorang pembunuh mengerikan yang dulu pernah muncul." kata polisi yang ditanya oleh Dominic.

Dominic tampak berpikir sejenak, kemudian matanya membulat.
"The Vertical? Benar, kan?" pekik Dominic. Si polisi mengangguk, ia menatap ngeri sekaligus iba pada mayat-mayat itu.

Tiba-tiba terdengar jeritan keras, seorang gadis berambut pirang, bermata biru menangis. Ia menghampiri tubuh Diana.
"Kakak!" raungnya. Dominic berusaha mencegah si gadis menyentuh tubuh Diana.

Dikhawatirkan sidik jari pada tangan gadis itu menempel pada tubuh Diana. Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, sebuah sarung tangan plastik. Ia mengenakannya lalu menggenggam tangan Diana.

Gadis itu mengusap tangan Diana sedikit keras, "nona, apa yang Anda lakukan?" tanya Dominic heran. Si gadis menoleh.

"Aku ingin membuat kakakku hangat, dia dingin!" jawabnya serak.

Dominic menggeleng, ia perlahan mendekati si gadis dan menariknya pergi. "Kau tidak boleh di sini." ucap Dominic. Si gadis meronta, tapi cekalan Dominic semakin kuat.

"Baiklah, aku pergi." ucap si gadis sambil tersenyum manis. Dominic merasa aneh dengan gadis itu. Tapi ia tak memikirkannya, ia melepaskan si gadis.

Si gadis pergi dengan mobilnya, "Tuan Dominic!" seru polisi tadi.

Dominic menoleh, "ada apa?" tanya nya.

"Tangan dari mayat Diana berbau lotion, dan tampak lembab!" kata polisi tersebut. Dominic segera menghampiri mayat Diana dan melihat tangan Diana yang merah dan lembab.

"Gadis yang menangis tadi adalah pembunuhnya." suara berat seseorang mengejutkan Dominic.

Sementara di tempat lain, gadis tadi melepas wig nya dan mengambil sesuatu dari matanya. Soft lens biru.
Senyuman miring terpatri di bibirnya, ia mencuci wajahnya. Makeup nya luntur, tampaklah wajah aslinya.

Jasmine, Athena, Lillian, Michelle, K, atau (Unknown)?
Yang jelas mata itu terus berkilat dengan berbagai warna.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience