8. C A R M E N

Mystery & Detective Series 2795

Setelah peristiwa pembunuhan yang dilakukan K tadi, polisi dan para detektif langsung memburu K, berusaha mencari pembunuh itu. Tapi mereka belum bisa menemukannya. Selain karena sulit dilacak, The Vertical juga selalu pandai dalam melakukan aksinya.

"Dominic!" panggil Alec, Dominic menoleh, ia melihat Alec yang sedang berlari ke arahnya. "Ada apa?" tanya Dominic, Alec mengatur napasnya, sebelum ia bicara.

"Look, aku menemukannya dan memotretnya." ia menunjukkan sebuah foto pada Dominic. Sebuah tulisan pada cermin, disebuah toilet umum. Tulisan yang ditulis dengan darah.

Let's play Hide And Seek,
The Vertical

Dominic menatap Alec, "di mana kau temukan ini?" tanya Dominic, memang dasar Alec orang yang suka bercanda, jadi ia menjawab dengan candaan.

"Aku 'kan sudah bilang, di toilet umum, Dominic." katanya.

"Letaknya," desis Dominic.

Alec tertawa, "nanti ku tunjukkan, pria tadi ingin bicara denganmu," kata Alec, ia menunjuk seorang pria berbadan tegap, yang sedang bersandar pada mobilnya.

"Siapa dia?" tanya Dominic.

Alec mengendikkan bahunya. "Mana kutahu, tapi ia ingin bicara privasi," sahut Alec. Dominic hanya mengangguk, ia menghampiri pria itu.

"Kau yang ingin bicara padaku?" tanya Dominic. Pria itu menoleh, kemudian mengangguk.

"Ya," jawabnya singkat. Dominic menaikkan sebelah alisnya, pria di hadapannya tampak asing.

"Apa yang ingin kau bicarakan? Kita bicara di kantorku saja," ujar Dominic, pria itu mengangguk. Mereka pun segera pergi ke kantor Dominic, Dominic mengunci pintu agar tak ada yang menyela pembicaraan mereka.

"Jadi, siapa kau?" tanya Dominic.

Mereka duduk berhadapan, si pria membuka kacamatanya, "kau dulu, siapa nama mu?" tanya pria itu.

"Dominic Halgert, pemimpin FBI kelompok A," jawab Dominic.

"Grantley, dokter," ah, rupanya pria itu adalah Grant. Dominic memincingkan matanya curiga, mengapa dokter itu ikut dalam permasalahan ini?

"Kau bilang, gadis tadi adalah pembunuhnya, bagaimana kau tahu?" tanya Dominic penuh selidik. Grant menyilankan kedua tangannya di depan dada.

"Aku kenal dia," jawab Grant.

Dominic tampak terkejut, "jangan main-main! Kami sed-"

"Aku bukanlah orang yang humoris, dan apa kau lihat gelagat kebohongan dariku?" potong Grant, Dominic memperhatikan raut wajah Grant, tapi tak menemukan kebohongan di sana.

Ia menghela napas, "kau mengenalnya?" tanya Dominic.

"Ya, sangat." jawab Grant.

"Siapa dia?" tanya Dominic.

"Dia adalah temanku," jawab Grant.

Dominic menatapnya tajam, "bisa kau beritahu di man-"

"Tidak, tidak ingin, dan tidak akan pernah aku beritahu tentangnya." potong Grant. Dominic menggebrak meja, ia mencengkram kerah kemeja Grant, ekspresinya tampak marah.

"Lalu, apa mau mu?!" sentak Dominic.

"Mau ku? Lepaskan cengkramanmu, dan menjauhlah." ujar Grant. Dominic berdecih, kemudian melepaskan cengkramannya dan menjauh.

"Satu hal yang harus kau tahu, kejahatan selalu memiliki alasan," ucap Grant lalu pamit pergi. Dominic mengusap wajahnya, ia sedikit menemukan titik terang. Sebisa mungkin, ia harus mencari tahu jawabannya dari Grant.

***

Jasmine tersenyum sangat manis, ia menatap cermin yang memantulkan wajahnya. Kemudian ia menunjukkan cengirannya, tampak tak seperti pembunuh sadis jika seperti itu. "Aku bangga akan diriku sendiri," gumamnya. Ia mengambil lipstik, kemudian mencoretkan sesuatu ke cermin.

Hi, Jasmine! How are you?

"Carmen memang yang terbaik!" ucap gadis itu, Carmen Si Menyebalkan. Di antara kepribadian Jasmine yang lainnya, Carmen adalah yang paling menyebalkan. Kepribadian yang muncul setahun lalu, jadi sebenarnya, kepribadian Jasmine itu ada berapa?

Oke baiklah, kita bahas soal ini.
-Jasmine Serenity Desmarais
Si dingin yang pandai sekali membaca pikiran, selalu berhasil melawan musuhnya. Selalu menahan K dan The Unknown, agar tidak mengambil alih tubuhnya. Julukan ; Black Rose

Oh ya, penderita Alter Ego itu bukanlah orang yang kerasukan, maksudnya adalah, si penderita ini memiliki kepribadian lain, yang berbeda dengan kepribadian aslinya. Ini terjadi karena trauma masa lalu, kecelakaan yang menyebabkan ketakutan, rasa cemas, trauma mendalam. Sehingga mengubah kepribadiannya. Bisa juga karena trauma penyiksaan. (Kalo ada yang salah, kurang, atau kurang jelas. Cari aja sono, di Google)

-Lilianne Daphne Parrish
Si Pendendam, Lily biasanya sering menghabiskan waktu dengan kapak kesayangannya. Ia sering mengunjungi rumah-rumah, dan mengetuk kaca kamar pemilik rumah tersebut dengan kaca. Dan di tangan kirinya terdapat sebuah kepala. Julukan ; Death Shadow

-Athena Kristy Peronel
Si Ramah, dari semua kepribadian Jasmine, yang paling ramah adalah Athena. Buktinya, ia memiliki banyak sahabat, yang juga merangkap sebagai cadangan korbannya. Keramahan bukan berarti tak memiliki tujuan, baginya. Julukan ; Grey Hoodie

-Michelle Aldith Sergeant
Si Sempurna, bakatnya ada dalam bermain piano. Selalu ingin segalanya sempurna, penampilan sempurna, permainan sempurna, dan pembunuhan sempurna. Julukan ; Devil Knight

-K
Si Periang yang mematikan, ia paling anti jika namanya disebut. Cukup dengan K saja ia dipanggil. Jika seseorang memanggil namanya, maka ia akan mengamuk. K adalah gadis periang, namun sangat mengerikan. Teror yang disebarnya, terlalu sadis. Jangan menilai seseorang hanya dari tampilan luarnya saja, yang indah bukan berarti tak berbelati. Julukan ; The Vertical

-The Unknown
Si Pemarah, jangan suka bermain dengan api. Jika tak ingin terbakar. Jangan juga bermain dengannya, jika tak ingin terbunuh. Kepribadian laki-laki, ciri khas nya adalah, kemeja hitam. Julukan ; UNKNOWN PSYCHOPATH

-Carmen Olivia Flannery
Si menyebalkan, selalu membuat kerusuhan. Dibalik sifat menyebalkannya, jangan kira dia tidak berbahaya. Tidak mungkin predikat "pembunuh" tidak melekat padanya. Hanya saja, Carmen jarang sekali muncul. Julukan ; ....

"Hiyaooo!" teriak Carmen kegirangan, ia kemudian mengambil pisau dari laci meja, kemudian ia mengukir namanya di atas meja. "C-A-R-M-E-N," ejanya, Carmen tersenyum senang.

Kemudian menyimpan pisau itu di bawah selimut. Setelahnya, ia keluar dari kamar. "Aku bebaaaassss!" jerit Carmen kegirangan, Aland mendengar suara yang sangat ia kenal. Ia melongokkan kepalanya dari pintu, kemudian memutar bola mata.

"Jangan berisik, Carmen!" tegur Aland.

Carmen menoleh, senyumannya mengembang, "haaaiii Aland!" sapa Carmen, Aland mendengus, ia menutup pintu ruangannya. Carmen mencebikkan bibirnya, ia dengan riang membuka pintu ruangan Aland.

Terlihat Aland sedang duduk, dan dipangkuannya ada seorang wanita seksi. Carmen mendelik, ia membuang muka ketika mendengar decakan yang dihasilkan dari kedua bibir manusia itu. "Aihh ini sama saja aku menonton video porno!" gumam Carmen kesal.

Tanpa aba-aba, Carmen segera keluar dari ruangan itu. Ia mengomel tentang kelakuan Aland, tanpa sengaja, Carmen berpapasan dengan Alejandro. "Kau Aleejah, bukan?" tanya Carmen, Alejandro mengangguk. Ia meneliti gaya berpakaian Carmen yang serba pink, jas pink, high heels pink, tapi yang berbeda adalah mini dress hitam.

"Carmen, sejak kapan?" tanya Alejandro.

Carmen tersenyum lebar, ia berputar kemudian menatap Alejandro, "kemarin," jawabnya.

"Atau semalam ya?" pikir Carmen.

Alejandro terkekeh, "baiklah, ke mana kau akan pergi?" tanya Alejandro.

"Bersenang-senang, menghamburkan uang, dan yaa kau tahu lah," kekeh Carmen. Alejandro tersenyum, ia merasa hatinya menghangat melihat keceriaan Carmen. "Haaii, Aleejah! Do you hear me? I'm talking to you, Ale." tanya Carmen, ia melambaikan tangannya di depan wajah Alejandro.

"Maafkan aku, Carmen. Kau bicara apa?" tanya Alejandro.

Carmen memutar bola mata, "bisakah kau mengantar sekaligus menemaniku? Aku malas membawa kendaraan," tanya Carmen.

"Tentu saja, Carmen." jawab Alejandro, Carmen tersenyum gembira kemudian berjalan meninggalkan Alejandro, tapi sebelum benar-benar pergi, ia menoleh ke belakang.

"Ganti pakaianmu dengan pakaian santai. Jangan pakai jas hitam membosankan seperti itu!" suruh Carmen, Alejandro kebingungan, namun ia mengangguk.

Carmen menepuk dahinya, ia lupa membawa tas nya. Kemudian ia berlari ke kamarnya, dan mengambil tas nya. Carmen membuka lemari besar yang berisi pakaian, ia melihat brankas yang berjajar rapi. Ada 7 brankas di dalamnya, setiap brankasnya memiliki nama yang berbeda.

Carmen membuka brankas yang bertuliskan namanya, ia mengetikkan password brankas nya. Kemudian mengambil sejumlah uang tunai, kartu kredit, dan beberapa pisau yang dimasukkan ke dalam tas. Ia mengunci brankas nya, kemudian keluar dari kamarnya.

Ia berjalan menuju parkiran, menghampiri Alejandro yang berdiri di depan mobil sport. "Aku tidak ingin naik mobil, lebih baik motor." ujar Carmen, lagi-lagi Alejandro hanya bisa mengangguk. Ia menyiapkan motor yang akan mereka pakai, Alejandro memberikan helm kepada Carmen.

"Goooo!" seru Carmen, setelah ia sudah berada di atas motor, duduk di belakang Alejandro. Alejandro merasa jantungnya berdebar, namun ia harus bersikap sopan. Alejandro melajukan motornya, sedangkan Carmen, ia memeluk Alejandro dengan erat.

"Aku sangat menyukai kebebasan, kau tahu itu, Ale?!" teriak Carmen senang.

Alejandro tersenyum lembut, "tentu Carmen!" ia balas berteriak, karena jika tidak berteriak, maka tak akan terdengar.

"Kita ke Bill's Club, Ale!" teriak Carmen lagi, Alejandro hanya mengangguk, ia kemudian menambah laju motornya, sehingga membuat Carmen mengeratkan pelukannya. Tak lama, mereka sampai di Club.

Carmen menyerahkan kartu membernya, mereka pun segera masuk ke dalam Club, musik berdentum keras, membuat Carmen kegirangan bukan main. Apalagi ketika melihat jajaran minuman beralkohol. "Ale, aku sangat bahagia!" teriak Carmen senang.

"Kau bahagia, aku pun bahagia," sahut Alejandro pelan. Ia tersenyum menatap wajah bahagia Carmen. Jasmine..., betapa Alejandro menyukai gadis itu. Terlihat berwibawa dan tegas, namun juga beringas.

Carmen menghampiri bartender, kemudian memesan vodka, ia meminumnya hingga tandas, kemudian menaruh gelasnya ke atas meja, "tambahkan lagi, aku ingin berdansa!" ucap Carmen pada bartender itu, yang dibalas anggukan.

Carmen menarik tangan Alejandro, menuju lantai dansa. Mereka larut dalam tarian dan minuman. Carmen mengalungkan tangannya ke leher Alejandro, Alejandro melingkarkan tangannya ke pinggang Carmen. Tubuh keduanya saling menempel, "bukankah begini lebih baik?" racau Carmen. Alejandro mengangguk, mereka sama-sama mabuk berat, Alejandro menatap Carmen secara intens.

Perlahan wajahnya mendekat, semakin dekat, hingga...
"Aku tahu kau ingin menciumku," kata Carmen lalu tertawa, Alejandro mengerjapkan matanya, ia memundurkan wajahnya.

"Kenapa? Ayo, cium aku!" seru Carmen, rupanya kepribadian satu ini, selain menyebalkan, ia juga agresif dan sedikit nakal. Alejandro tersenyum, ia kembali memajukan wajahnya, kemudian mencium lembut bibir Carmen.

Carmen menikmatinya, tapi tidak dengan mata yang berkilat hijau itu. Ia tampak tak menyukainya, namun ia tidak bisa mengambil alih kesadaran. Alejandro menggendong Carmen ala bridal, membawanya ke sebuah ruangan, sebuah kamar. Alejandro mengunci pintu kamar, kemudian membaringkan Carmen di ranjang.

Mereka kembali berciuman, "Carmen bajingan!" Carmen dapat mendengar makian yang menggema dikepalanya, ia mengerang kesakitan saat mendengar lebih banyak suara.

Alejandro menatap Carmen dengan panik, "Carmen! Ada apa?!" tanya Alejandro panik, Carmen tak menjawabnya, ia mendorong tubuh Alejandro yang menindihnya, kemudian berlari ke toilet.

Carmen mengunci pintu toilet, mengabaikan Alejandro yang terus memanggilnya. Carmen tertawa ketika melihat pantulan The Unknown, kepribadian pria itu tampak mengenakan jas hitam yang press body, dengan kemeja putih, dasi hitam, dan membawa bunga mawar merah.

"Hi, Cliffton," sapa Carmen dingin.

Cliff, si kepribadian laki-laki, yang menjadi musuh utama Carmen semenjak kemunculannya."Carmen, huh?" Cliff tersenyum meremehkan.

"Kenapa?" tanya Carmen menantang.

"Kemunculan kedua, kenapa tak musnah saja?" sinis Cliff. Carmen tak mempedulikannya, ia melempar cermin dengan vas, hingga cermin itu hancur berantakan. Alejandro yang mendengar pecahan kaca semakin panik, ia berusaha mendobrak pintu, tapi sulit, karena ia sedang mabuk.

Carmen tersenyum manis, menatap wajahnya dipantulan kaca yang masih tersisa. "Carmen tidak ingin diganggu," katanya pelan, ia mengibaskan rambutnya, kemudian keluar dari toilet.

Ia mengerutkan keningnya melihat Alejandro, "ada apa?" tanya Carmen, Alejandro dengan cepat memeluk Carmen.

Namun Carmen mendorong tubuh Alejandro, "ingat posisimu," bisiknya.

Alejandro menghela napas, "sebelum kau bertanya, aku akan jawab, bahwa aku baik-baik saja. Dan ayo kita pulang!" Carmen berseru riang diakhir kalimat. Alejandro mengangguk, ia segera mengambil kunci motor. Dan Carmen membawa tasnya, mereka pergi keluar dari kamar. Carmen tersenyum saat pria-pria tampan menyapanya dengan godaan.

Seorang pria mendekat ke arah Carmen, "kau, Carmen?" tanya pria itu, Carmen mengangguk, ia berusaha mengingat wajah pria di hadapannya.

"Nathaniel? Niel?!" pekiknya ketika ingat pria di hadapannya.

Niel mengangguk, bibirnya melengkungkan senyuman manis, "apa kabarmu?" tanya Niel.

Carmen tersenyum, "baik, buktinya aku bisa ke sini." jawab Carmen.

"Bagaimana kabar Lucas?" tanya Niel.

Senyuman Carmen meluntur, "baik, bersama bibi Margareth." jawabnya datar.

Niel menunduk, "boleh kutemui dia? Aku merindukannya, sungguh." mohon Niel, Carmen tampak berpikir, kemudian ia mengangguk.

"Ya, asal kau tak memberikannya segala yang mengandung strawberi, Lucas punya alergi," ujar Carmen.

"Aku tahu," sahut Niel.

Tiba-tiba seorang wanita berpakaian seksi datang, ia bergelayut manja di lengan Niel. "Siapa kau?" tanya wanita itu tajam pada Carmen, Carmen tersenyum.

"Carmen Flannery," jawabnya.

Wanita itu berdecak, "Niel, satu hal yang kau harus jaga, jangan biarkan Jasmine tahu, bahwa kau akan mengunjungi Lucas, kau tahu bagaimana dia." kata Carmen.

Niel tersenyum lembut, "tentu saja, Carmen." kata Niel. Wanita itu semakin tak suka melihat Niel tersenyum lembut pada Carmen, senyuman yang tak pernah ia dapatkan. Wanita itu menyambar wine yang ada di atas meja, dan menyiramkannya ke wajah Carmen.

"Dasar wanita penggoda!" sinisnya.

"Aku? Haha, sejak kapan?" tanya Carmen geli.

"Kau menggoda pacarku!" sentak wanita itu.

Carmen terkekeh, "bagaimana mungkin, aku bukan orang seperti itu, benarkan Niel, Ale?" tanya Carmen.

"Tentu," jawab kedua pria itu. Si wanita menggeram, ia dengan cepat menampar pipi Carmen dengan keras.

Carmen tersenyum, ia menatap wanita itu. "Tamparanmu sangat keras," ucapnya. Ia mendekati wanita itu, kemudian berbisik di telinga si wanita.

"Coba, tanya pada pacarmu itu, apa pekerjaanku, selain menggoda seperti katamu tadi," bisiknya.

"Setelah kau tahu, apa kau masih berani bertingkah bodoh seperti tadi, kita lihat." lanjut Carmen dingin. Ia memundurkan wajahnya, kemudian menatap wanita itu dengan senyuman manis.

"Memang kau pikir, kau siapa?!" bentak si wanita.

Niel menampar wajah wanita itu, "jangan berteriak padanya, Brielle!" Niel membentak si wanita.

Brielle menatap Niel dengan tidak percaya, mereka berdebat. "Lihat, nanti wanita itu akan berdrama," bisik Carmen pada Alejandro. Alejandro tertawa kecil mendengar bisikan Carmen.

Tiba-tiba mata Carmen berkilat hijau, Carmen berteriak kesakitan. Ia memegangi kepalanya, Niel dan Alejandro segera memegangi lengan Carmen. "Aaaaaa! Ini menyakitkan!" jeritnya. Matanya terpejam, kemudian terbuka, seiring terhentinya jeritannya.

Matanya berkilat hijau, Carmen menghempas tangan Alejandro dan Niel. Brielle menatap benci ke arah Carmen, "dasar wanita bajingan! Kau bajingan Carmen!" amuk Brielle.

"Carmen? Aku bukan Carmen,"

Gadis itu melirik jas yang ia kenakan, kemudian melepaskannya dengan jijik. "Pink? Gadis pink itu muncul? Lain kali, akan kubakar pakaiannya. Biru selalu lebih baik," Alejandro mengangguk saja, enggan untuk berurusan dengan gadis pemarah itu.

"Ya Nona Lily, Carmen muncul." kata Alejandro, Brielle menatapnya bingung. Lily menoleh ke arah Niel, matanya menatap tajam pria itu.

"Mengapa kau masih di sini?" tanya Lily.

"Aku ha-" saat Niel akan menjawab, Lily pergi meninggalkan mereka.

"Lilianne!" panggil Niel keras, ketika hendak mengejar Lily, tangannya dicekal oleh Alejandro, Niel menoleh dengan tatapan tajamnya. "Lepas, Alejandro!" tekannya.

"Jangan ganggu dia, kau tahu apa akibatnya jika kau-"

"Lalu kenapa? Ia ingin membunuhku? Aku siap!" potong Niel kesal.

Alejandro tetap tak melepaskan cekalannya, "ada apa ini?!" tanya Brielle emosi, ia tak mengerti apa yang sedang terjadi.

Alejandro melepaskan cekalannya, kemudian menyusul Lily. Ia melihat Lily sedang berjalan menuju parkiran, "Nona!" panggil Alejandro, Lily menghentikan langkahnya. Namun tak menoleh pada Alejandro.

"Anda tidak membawa mobil, tadi saya dan Carmen mengendarai motor." jelas Alejandro, Lily tak menyahut, ia menunggu Alejandro yang sedang mengambil motor.

***

Keesokan harinya, Lily masih mengambil alih tubuh. Dering ponselnya membuat Lily menoleh. Ia mengangkat panggilan di ponselnya. "Ya?" sapa Lily.

"I need your help, please come,"

"Ya," jawab Lily, lalu ia memutuskan sambungan. Lily merias wajahnya, kemudian mengikat rambutnya. Ia menyiapkan beberapa pisau, belati, dan pistol di dalam tas nya. Lalu ia keluar dari kamarnya.

"Alejandro!" panggil Lily, Alejandro datang dengan tergesa. "Ada apa Nona?" tanya Alejandro.

"Cari wanita yang bersama Niel kemarin, bunuh, dan bawa mayatnya ke hadapanku." perintah Lily, Alejandro mengangguk. Lily kemudian pergi, ia mengendarai mobilnya.

30 menit perjalanan, akhirnya Lily sampai di sebuah cafe. Ia mencari orang yang meneleponnya, Lily menemukannya, ketika ia ingin menghampirinya, kepalanya berdenyut sakit, matanya berkilat. Ia menunduk menahan sakit, kemudian kembali mendongak dengan cengiran.

"Seenaknya saja gadis avatar itu muncul! Carmen kan belum puas bermain!" ia mencebikkan bibirnya. Apa yang Lily lakukan, Carmen juga dapat merasakannya. Jadi ia tahu tujuan Lily ke sini. Ia segera menghampiri orang yang menelepon Lily. Carmen duduk di hadapan orang itu.

"Kau pembunuh bayaran 'kan? Ahh, aku Yvonne, aku butuh jasa mu." ucap Yvonne. Carmen mengangguk, ia tersenyum lebar.

"Tentu," jawab Carmen.

"Bunuh wanita ini! Dia adalah sainganku, dan aku membencinya!" bisik Yvonne, ia menunjukkan foto seorang wanita.

Carmen terkikik geli, "mana uangnya?" tanya Carmen. Yvonne menatap Carmen ragu, benarkah gadis itu adalah pembunuh? Apa temannya berbohong dengan memberikan nomor telepon palsu?

"Uangnyaaa," Carmen mencolek lengan Yvonne, Yvonne kemudian memberikan segepok uang.

"Jika hasilnya bagus, akan kutambahkan." kata Yvonne. Carmen bersorak senang, ia kemudian memasukkan uang itu ke dalam tas nya.

"Kau akan lihat hasilnya," ujar Carmen, ia segera pergi.

***

Di suatu tempat, seorang wanita sedang melakukan pemotretan. Carmen menatap foto yang berada ditangannya. Lalu menatap wanita yang sedang pemotretan. Cengiran tampak pada wajah cantik itu, tapi sedetik kemudian, cengirannya terganti oleh raut bingung.

"Hee? Sepertinya wanita ini tidak asing," gumam Carmen, ia berusaha mengingatnya, namun gagal. Carmen melihat ke arah si wanita, wanita itu sudah selesai pemotretan.

Baru saja Carmen hendak menghampiri wanita itu, seseorang menepuk bahunya, Carmen menoleh. "Hei, Jasmine! Apa kabar?" sapa seorang wanita cantik.

"Ah, aku baik. Dan kau?" tanya Carmen, dalam hati ia menggerutu karena ia dipanggil Jasmine.

Wanita itu tertawa, "aku baik. Ah kau tampak cantik," puji wanita itu. Carmen tersenyum senang, ia sangat menyukai pujian.

"Ah terima kasih, aku memang cantik!" ujarnya.

Wanita itu terkekeh, ia menarik tangan Carmen, "ikut aku sebentar," ajaknya. Carmen mengikuti wanita itu. Ah, jika saja dia korbanku, sudah ku siksa. Gerutu Carmen dalam hati.

Mereka sampai disebuah ruangan, Carmen melihat sekeliling ruangan itu, terdapat banyak foto. Salah satunya adalah wanita yang menariknya, dan calon korbannya. Dan terdapat nama mereka juga. Ellaine adalah yang menarik tangannya, sedangkan Leah adalah calon korbannya. Carmen tersenyum senang, membayangkan darah wanita bernama Leah itu membasahi lengannya, kemudian jeritan kesakitan dari wan-

"Jasmine?" panggil Ellaine.

Carmen menoleh, "ada apa?" tanya Carmen. Ellaine memutar bola matanya, rupanya sahabatnya ini tak mendengarkan apa yang ia bicarakan.

"Kau tak mendengarku. Aku bertanya, kau dan Leah pergi ke mana saat pesta ulang tahunku? Dan kenapa kalian berada di rumah sakit?" tanya Ellaine.

Mana kutahu! Aku bukan Jasmine! Dengus Carmen dalam hati.

"Ah, kami pergi ke rumahku, dan makan-makan. Lalu pada saat akan pulang, kami tanpa sengaja menabrak mobil orang lain. Orang itu marah, kemudian menyakiti Leah. Dan kami pergi ke rumah sakit karena Leah terluka." alibi Carmen. Setidaknya itulah yang ia ingat dari sepenggal ingatannya.

Ellaine tampak terkejut, "benarkah?! Lalu bagaimana dengan orang yang menyakiti Leah?" tanya Ellaine khawatir.

Carmen tersenyum, "entahlah, yang jelas, dia pergi setelahnya." jawab Carmen.

Ellaine tampak berpikir sejenak, ia menghela napas pelan. "Luka yang didapatkan Leah, sangat mengerikan. Ia cukup tangguh menahan rasa sakitnya." kata Ellaine.

"Aku tahu," sahut Carmen. Ia tampak sangat tenang, seolah-olah hal tersebut adalah masalah kecil. Carmen tak peduli dengan apa yang terjadi pada Leah, yang ia pikirkan adalah bagaimana caranya untuk menyingkirkan Leah.

"Dan apa kau tahu, sejak kejadian itu, Leah menjadi pendiam. Tidak lagi banyak bicara seperti sebelumnya, itu membuatku khawatir." lanjut Ellaine.

Carmen hanya mengangguk menanggapinya, "boleh aku bertemu dengannya?" tanya Carmen, Ellaine mengangguk. Kemudian ia mengantar Carmen menuju tempat Leah. Carmen tersenyum senang, kali ini ia dibebaskan untuk bersenang-senang.

Matanya tampak berbinar ketika melihat calon korbannya, "coba kau hampiri dia," ujar Ellaine. Carmen tak menjawab, namun ia menghampiri Leah yang sedang melamun.

"Hai, Leah!" sapa Carmen, Leah menoleh dan tersentak ketika melihat Carmen, matanya membulat.

Ada kilat ketakutan di matanya, "J-asmine?" sebutnya nyaris berbisik, Carmen hanya tersenyum, namun terlihat dengan jelas bahwa tatapannya mengandung ancaman yang tidak disadari oleh Leah.

"Aku hanya ingin bicara denganmu, bisa?" tanya Carmen. Leah seperti enggan, namun dengan terpaksa ia menuruti keinginan sahabatnya. Karena dalam hati ia percaya bahwa Jasmine tidak akan membunuhnya.

"Aku tidak akan menyakitimu, tenang saja." bisik Carmen.

Leah tersenyum tipis, ia mengangguk. Kemudian mereka pergi ke sebuah gudang tua, "kau berjanji tidak akan menyakitiku, lalu, mengapa kita pergi kemari?" tanya Leah bingung.

"Aku ingin bersahabat denganmu," kata Carmen. Kening Leah berkerut heran, bukankah mereka sudah bersahabat?

Leah menatap wajah di hadapannya, "bukankah kita sudah bersahabat?" tanya Leah.

"Tidak, belum. Aku tak mengenalmu," jawab Carmen.

Leah tertawa, ia menepuk bahu Carmen, "Jasmine, kau lucu sekali. Kita sud--"

"Jasmine? Aku bukan Jasmine!" potong Carmen ketus.

"Jika kau bukan Jas--"

"Carmen, namaku adalah Carmen. Kau sudah tahu fakta bahwa Jasmine menderita Alter Ego," potong Carmen, Leah meneguk ludahnya dengan susah.

"Kau berjanji tidak akan menyakitiku, Carmen!" kata Leah.

"Aku? Berjanji? Apa aku sudah mengatakannya?" tanya Carmen remeh.

Leah mengambil balok kayu, Carmen hanya menatapnya. "Jangan mendekat, atau kupukul kau!" ancam Leah. Carmen tergelak, merasa bahwa tindakan Leah adalah hal yang lucu.

"Aku ingin bersahabat denganmu, apakah kau mau? Apa kau memiliki teman?" tanya Carmen dengan tatapan penuh harap.

"TIDAK! AKU TIDAK INGIN, DAN TIDAK SUDI BERTEMAN DENGANMU!" jerit Leah, Carmen menunduk sedih, kemudian terisak pelan. Leah kebingungan, mengapa Carmen menangis?

"Kata kunci salah! Hihii," kikik Carmen, ia mengusap air matanya, kemudian tersenyum jenaka. "Kuberi kau pilihan, dibunuh atau bunuh diri?" tawar Carmen, Leah menatapnya tajam.

"Tidak kedua-duanya! Biadab kau!" maki Leah.

Carmen berdecak iba, "kau sangat kasar Leah, kata-katamu menusuk hatiku," kata Carmen sedih, namun Leah tak lagi percaya dengan kesedihan gadis itu. Ia tahu, Carmen adalah seorang manipulator yang licik.
Carmen berjalan ke arah meja yang berada di sudut ruangan. Leah berusaha kabur, namun langkahnya terhenti saat mendengar suara letusan pistol. "Aku belum mengijinkanmu pergi, Leah!" seru Carmen.

"Let me go, Carmen! You are insane!" teriak Leah marah, Carmen menahan tawanya, ia mengambil sebuah cambuk, kemudian melecutkannya ke lantai.

"Suaranya nyaring, apalagi jika menyentuh kulit." ucap Carmen. Leah melangkah mundur, keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Ia berlari ke arah pintu, mencoba untuk kabur, namun pintu itu terkunci. "Kuncinya ada padaku, kalau mau, ambil saja." kata Carmen, ia mengancungkan sebuah kunci. Leah mulai ketakutan, apakah ini akan menjadi akhir hidupnya?

Carmen berjalan mendekat, dan Leah mundur menjauh. Carmen memutar cambuknya, hendak melecutkannya ke arah Leah, namun terhenti ketika mendengar teriakan. "Leah!" suara Ellaine. Carmen memutar bola mata, Leah menggedor pintu sambil berteriak minta tolong.

Carmen mengambil pemukul baseball, kemudian memukulkannya ke tengkuk Leah, dan Leah pingsan seketika. Carmen kemudian menyeret tubuh Leah, dan mendudukkannya dikursi, lalu mengikat Leah. Carmen berjalan ke arah pintu dan membuka kuncinya, lalu segera bersembunyi.

"Leah! Kau di mana?!" teriak Ellaine, ia berjalan dalam remangnya cahaya, mencoba mencari sahabatnya. "Leah!" panggil Ellaine sekali lagi, namun tak ada jawaban. Ellaine membuka pintu sebuah ruangan, ia terpekik ketika melihat Leah yang terikat.

"Leah!" seru Ellaine, ia langsung menghampiri Leah. Berusaha untuk melepaskan ikatan tali, namun ia kesulitan. Terdengar suara tepukan tangan, Ellaine menoleh ke belakang. Ia terkejut melihat Carmen. "Jasmine?" bisiknya.

"Aku bukan Jasmine! Aku Carmen!" dengus Carmen.

Kening Ellaine berkerut bingung, "mengapa kau--Leah? Ah-mengapa Leah terikat?" tanya Ellaine bingung.

"Ia terikat, karena aku yang mengikatnya," jawab Carmen dengan santai. Ellaine membulatkan matanya, ia menatap Carmen dengan terkejut.

"Tapi, mengapa?" tanya Ellaine kaget.

"Karena dari awal, dia adalah targetku. Jasmine itu terlalu bodoh untuk melaksanakan tugasnya, terganggu oleh masa lalu menyedihkan. Yang membuatnya seperti idiot, hahahahaa." ejek Carmen.

"Dan kau harus tahu bahwa, dilihat dari segi manapun, aku dan Jasmine itu berbeda." lanjut Carmen. Ia berjalan mendekat ke arah Ellaine, dan Ellaine menjauh. "Mengapa menjauh? Aku tidak menggigit kok," ucap Carmen lalu terkekeh.

Ia mengambil electric gun dari saku jasnya, kemudian menembakkannya ke Ellaine, membuat Ellaine tersetrum dan pingsan. Selanjutnya, Carmen mengikat tubuh Ellaine pada kursi, seperti yang ia lakukan sebelumnya pada Leah. "Menyenangkan!" sorak Carmen.

Ia menelepon seseorang, dan menyuruh orang tersebut untuk datang. Tak lama, orang itu datang. "Hai, Stefan!" sapa Carmen.

Stefan tersenyum, "hai, Carmen!" balasnya.

Carmen menunjuk ke arah Ellaine, "buka semua pakaiannya, kemudian gantung ia secara terbalik, jangan lupa, renggangkan kedua kakinya," suruh Carmen, Stefan mengangguk, ia kemudian melakukan apa yang diperintahkan oleh Carmen.

Setelah itu, Carmen mengambil air dingin dan menyipratkannya ke wajah Ellaine dan Leah, hingga mereka terbangun. "Hello, mainan!" sapa Carmen dengan semangat. Ellaine berusaha melepaskan ikatannya, namun ia tak bisa.

"Carmen! Lepaskan aku!" teriak Ellaine, Carmen menggeleng menolak, ia kemudian mengambil sebuah gunting.

"Tadinya, targetku adalah Leah. Tapi kemudian kau datang, dan membuat keributan. Jadi, bukankah lebih seru, buy 1, get 1 free?" kekeh Carmen.

Carmen berjalan mendekat ke arah Ellaine, ia menatap Leah yang tak sanggup berkata apa-apa, Carmen mengacungkan guntingnya tinggi-tinggi, kemudian menusukkannya ke dada Ellaine. "Aaaaaaaaa!" jeritan Ellaine menggema.

Leah menangis ketakutan, "Jasmine? Bukankah kita adalah sahabat?" tanya Leah, Carmen menoleh, ia menatap Leah dengan ejekan.

"Sahabat? Apa itu? Dan hey, namaku Carmen!" ketusnya.

"Dengar, Jasmine sedang tertidur. Dan kau harus tahu bahwa, tidak ada hubungan yang lebih istimewa antara pelaku dan korban," ujar Carmen.

"Orang tuanya saja ia bunuh, apalagi kalian, yang mengaku sahabat." lanjut Carmen sambil memutar bola mata dengan malas. Leah menangis pelan, Carmen mendengus dengan risih. Ia tak menyukai suara tangisan, tapi ia bahagia karena tangisan itu adalah wujud dari ketakutan korbannya.

Carmen berjalan mendekat ke arah Leah, "banyak yang meremehkan pembunuh sepertiku, hanya karena menurut mereka, sikap dan pekerjaanku tak sesuai, tapi, mereka salah menilaiku." kata Carmen dengan ekspresi terlukanya, sungguh menipu.

"Ketika kutunjukkan rasa sakit pada mereka, mereka diam, dan menatapku seolah aku ini adalah monster. Apa kau juga ingin kutunjukkan hal yang sama?" tanya Carmen, ia memainkan gunting ditangannya. Kemudian tersenyum manis, digenggamnya gunting itu kuat-kuat.

"Begini saja, sebelum aku membunuhmu, bagaimana kalau kita bermain bersama dengan Ellaine." itu bukanlah pertanyaan, namun sebuah pernyataan. Carmen kembali mendekat ke arah Ellaine yang sedang meringis kesakitan. Ia menggunting rambut Ellaine, hingga pendek. Kemudian menaruh gunting itu di atas meja, dan mengambil sebilah pisau yang sangat tajam. "Leah, lihat ini!" seru Carmen dengan keras.

Leah menoleh, ia menangis ketakutan, "jangan sakiti siapapun, kumohon," lirihnya. Carmen kembali menunjukkan senyuman manisnya. Ia menggoreskan pisau itu ke pipi Ellaine, membuat Ellaine menjerit keras, Leah menutup matanya erat.

"Steve! Turunkan sedikit gantungannya! Hingga sejajar denganku." teriak Carmen, gantungan Ellaine diturunkan sedikit, Carmen menoleh ke arah Leah yang masih memejamkan matanya, ia menendang kepala Leah dengan pelan, "tidak ada yang menyuruhmu menutup mata," ujarnya datar ketika Leah sudah membuka matanya.

Carmen mengarahkan pisaunya ke arah kaki Ellaine, kemudian menusukkannya, dan menariknya hingga paha. Ellaine kembali menjerit, Carmen menendang kepala Ellaine dengan kuat, darah mengucur deras dari luka di kaki Ellaine, tangan Carmen bergerak menyentuh luka itu, kemudian membuka lukanya agar semakin lebar dan menariknya. Jeritan Ellaine semakin menjadi, Leah menangis dan terus memohon agar Carmen menghentikan perbuatannya. Namun, seorang pembunuh tidak akan peduli dengan permohonan korbannya, malah ia akan semakin bersemangat.

"Kau tampak menyedihkan, Carmen!" teriak Leah.

Carmen menoleh, ia tersenyum, "aku? Menyedihkan? Aku memang menyedihkan, tidak maukah kau membuatku bahagia?" tanya Carmen dengan ekspresi memohon.

Leah meludah ke arah Carmen, "aku tidak akan sudi!" sentaknya.

Carmen menunjukkan ekspresi dingin, ia kembali menarik kulit kaki Ellaine, hingga hanya terlihat daging berlumuran darah saja. Ellaine sudah tak sanggup berteriak karena tenaganya habis, dengan kata lain, ia sedang sekarat. Carmen kembali memainkan pisaunya, kemudian tersenyum iblis, ia memotong payudara Ellaine, kemudian membuangnya sembarangan. Leah menjerit melihatnya, terlebih saat Carmen menusukkan pisau itu ke perut Ellaine dan mengoyaknya. Ellaine mati dengan mata terbuka, tanpa payudara, kaki yang dikuliti, dan perut koyak, dengan organ dalam yang acak-acakan.

Leah merasa perutnya seakan dikocok kuat melihat pemandangan mengerikan itu, ia memuntahkan makanan yang berada di perutnya. Carmen menuliskan sesuatu dipunggung Ellaine dengan pisaunya. Setelah itu ia beralih ke Leah, berbisik dengan lirih, penuh ancaman.
"Bahkan yang terlihat seperti malaikat, bisa jadi ia adalah penjahat."

Carmen melakukan hal yang sama kepada Leah, seperti yang dilakukannya kepada Ellaine, sebelum membunuh korbannya. Yaitu memotong rambut Leah hingga pendek. Carmen menatap mata Leah, kemudian ia mengambil pisau dan mengiris kelopak mata Leah, jeritan keras terdengar dari mulut Leah. Carmen tersenyum senang, matanya berbinar, menunjukkan keantusiasan. Ia berjalan ke arah meja yang penuh dengan senjata, kemudian mengambil gergaji mesin dan menyalakannya, Leah sangat ketakutan, Carmen berjalan mendekat.

Carmen mengangkat gergaji mesin itu, kemudian mengarahkannya di antara kedua kaki Leah, dan mulai membelah tubuh Leah, teriakan keras kembali keluar dari mulut Leah. Potongan-potongan kecil dari tubuh Leah dan darah bercipratan ke mana-mana. Carmen menghentikan kegiatannya, saat gergaji itu menyentuh sesuatu yang keras. Sebuah tulang. Carmen menatap wajah Leah, darah keluar dari mulutnya. Senyuman dingin terpatri dibibirnya, ia sangat puas.

Carmen membawa sebuah perangkap beruang, ia menjepitkannya ke leher Leah, dan menguncinya. Kemudian ia menarik dengan kuat rantai perangkap itu, hingga kepala Leah terputus. Wajah Carmen terciprat oleh darah Leah saat kepala Leah terputus.

Carmen melihat kepala Leah yang menggelinding jauh, ia mengambil ponselnya, tangannya bergerak menekan sesuatu di sana. Carmen menghubungi Yvonne, dan memintanya untuk bertemu di cafe tempat mereka bertemu.

***

Carmen mencari keberadaan Yvonne, ia tersenyum, "hai!" sapanya. Yvonne tak menjawab, wanita angkuh itu menyilangkan kedua tangannya. Carmen duduk di hadapan Yvonne, "tugasku selesai, uang tambahan yang kau janjikan, berikan padaku!" Carmen mengulurkan tangannya.

Yvonne menatap Carmen dengan tatapan tidak percayanya, "lihat di internet, beritanya sudah menyebar, karena aku menghubungi polisi sebelum datang kemari," ujar Carmen.

Yvonne segera membuka ponselnya, kemudian mencari berita itu. Ia tersenyum puas saat berita pembunuhan itu memang benar-benar terjadi, "boleh juga kemampuanmu," kata Yvonne.

"Tentu saja, Carmen yang terbaik!" sahut Carmen. Yvonne berdecih sinis, ia melemparkan segepok uang ke arah Carmen. Kemudian ia kembali membaca berita tentang pembunuhan itu, matanya membaca dengan teliti, terlebih ketika ia melihat sebuah foto di sana. Sebuah foto yang sangat mengganggu. Foto punggung berlumuran darah yang bertuliskan sesuatu.

"Tunggu aku, uangmu kunikmati, penderitaanmu juga pasti. Kupastikan, tak ada yang dapat menolongmu,"

Keringat Yvonne bercucuran, matanya menatap Carmen dengan tatapan memohon. Namun yang ditatap malah menunjukkan cengirannya.

Carmen melangkahkan kakinya keluar dari cafe, ia tersenyum kemudian tertawa. Namun tawanya terhenti ketika kepalanya berdenyut nyeri, manik matanya berkilat. Tatapan matanya sedingin es, dingin membekukan. Jasmine is back.

Ia melihat mobil polisi yang melaju cepat ke arah timur. Jasmine berjalan cepat menyebrangi jalan, namun tiba-tiba, sebuah mobil melaju kencang ke arahnya dan menabrak Jasmine.

Semua orang berhenti beraktivitas, mereka menatap terkejut peristiwa yang baru saja terjadi. Jasmine meringis kesakitan, si penabrak langsung keluar dari mobilnya. Ia menghampiri Jasmine. "Nona! Apa kau baik-baik saja?!" tanya nya panik.

Jasmine tak menjawab, namun dalam hati ia memaki dengan kasar. Apakah orang itu begitu bodoh, sehingga mengajukan pertanyaan bodoh seperti itu?

Jasmine memegang kepalanya yang berdenyut sakit akibat benturan. Ia merasakan darah mengalir di sana. Kemudian perlahan kesadarannya hilang, membuat orang-orang heboh. Si penabrak segera membawa tubuh Jasmine, menuju rumah sakit.

Sesampainya ia di rumah sakit, ia segera berteriak memanggil dokter. "Cepat! Ia harus segera mendapat pertolongan!" teriaknya, para suster membawa bangkar pasien, dan menidurkan Jasmine di atasnya.

Mereka membawa Jasmine ke UGD, untuk mengobati Jasmine. Si penabrak mengacak rambutnya dengan kesal, khawatir, dan juga bersalah. "Tuan David? Mengapa Anda ada di sini?" tanya seorang pria berjas dokter.

"Ah, direktur Sam, aku menabrak seorang wanita. Ah iya, aku harus mengurus administrasinya. Kalau begitu, aku permisi dulu." ujar David, si penabrak.

Ia berlari dengan cepat, "Tuan! Tap-- ahh percuma saja, ia tak akan dengar." kata direktur Sam, lalu ia masuk ke salah satu ruangan. David melihat ponsel Jasmine yang tadi ia bawa saat Jasmine menjatuhkannya.

Ponselnya menggunakan kode pengaman, sehingga ia kesulitan untuk menghubungi kerabat Jasmine. "Sialan! Bagaiman--" dering ponsel Jasmine membuat makiannya terhenti.
"Ini dia!" pekiknya. David membaca ID Caller penelepon. Tertera nama seorang pria di sana, Alejandro. Dengan cepat David menjawab panggilan itu.

"Nona Jasmine--"

"Aku David, pergilah ke rumah sakit Hazel, pemilik ponsel ini kecelakaan! Dan ak--" ucapan David terhenti ketika sambungan telepon terputus. David mendengus, ia mengantongi ponsel Jasmine, kemudian segera melakukan pembayaran administrasi. Dan kembali ke ruangan Jasmine, setelah Jasmine sudah dipindahkan ke ruang rawat.

Beberapa saat ia menunggu, pintu ruangan terbuka. Tiga pria tegap berjas hitam datang, "aku Alejandro, apa yang terjadi?!" tanya Alejandro sambil mencengkram kerah kemeja David.

"Slow down, dude! It was an accident," kata David. Alejandro mendengus, ia melepaskan cengkramannya, kemudian menatap Jasmine yang kepala dan tangannya diperban. "Aku tak sengaja menabraknya, tiba-tiba saja ia berlari untuk menyeberang. Jadi aku tak sempat mengerem." jelas David.

Alejandro menatapnya tajam, kemudian ia beralih ke kedua pria yang datang bersamanya. "Berjagalah di depan ruangan, Theo, kau hubungi Mas--ah Aland, bilang padanya bahwa Nona Jasmine terluka. Dan kau Charlos, hubungi Albert dan Johan, perketat penjagaan!" perintah Alejandro.

"Baik, Tuan!" jawab mereka serempak. Kening David berkerut, penjagaan? Apa Jasmine itu orang penting? Alejandro mendekat ke arah Jasmine, ia menggenggam tangan Jasmine.

"Nona, sadarlah." bisiknya khawatir.

"Dia kekasihmu? Dia sedang kritis," tanya David, Alejandro menoleh ke arah David dengan tatapam dingin.

"Apa urusanmu? Kau tak berhak untuk tahu," sinis Alejandro.

David mendelik mendengar nada sinis Alejandro, ketika hendak menyahuti ucapan Alejandro, pria bernama Theo masuk. "Aku sudah menghubunginya, ia baru bisa datang lusa karena sedang 'berlibur' dan bersenang-senang dengan hobinya." lapor Theo.

Alejandro hanya mengangguk, ia melirik David lewat sudut matanya, "gantilah pakaianmu dengan pakaian sehari-hari, suruh Charlos, Albert, dan Johan melakukan hal sama." suruh Alejandro. Theo mengangguk, ia menunduk hormat kemudian keluar dari ruangan.

"Kau bisa pergi," ujar Alejandro pada David, David memutar bola matanya, namun ia menurut. "Aku akan kembali lagi besok," ucapnya kemudian pergi.

Di luar, sebuah senyuman menghiasi wajah David, ketika mengingat wajah Jasmine. Sementara di dalam, Alejandro menelepon seseorang. "Perketat penjagaan, akan ada penyerangan oleh musuh," ujarnya.

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience