Bab. 2 Kesepakatan Harus Ditaati.
Karina mengangguk patuh.
"Aku punya adab, Nenek mengajariku sopan santun yang harus selalu aku praktekkan, walau pada bawahanku sendiri," ujar Andreawan menunjuk sofa, "Duduklah, minum dulu juice yang telah disediakan dan kuenya,"
"Terima kasih," tanpa menunggu Karina duduk di sofa.
Andreawan duduk di ujung kanan sofa dimana Karina duduk di ujung kiri.
"Minumlah," tunjuk Andreawan.
Karina menurut. Ia mengangkat gelas berisi juice jeruk yang terlihat segar. Lalu meneguknya tiga kali.
Andreawan mengangkat gelas bagiannya. Setelah tuntas juicenya ia letakkan di atas meja gelas kosong itu.
"Mau makan kue dulu?" Andreawan rupanya masih berbalik hati menawari Karina kue berbentuk martabak mungil.
Karina menggelengkan kepala, "Tak usah nanti saja,"
"Siap mendengar semuanya?"
Karina mengangguk.
"Baiklah,"
Karina tampak menyimak.
"Kita ini memang sudah suami istri," ujar Andreawan memulai ucapannya.
"Ya," sahut Karina.
"Hem aku suamimu, dan engkau istriku dalam hukum perkawinan kita,"
"Ya," angguk Karina.
"Jika kamu menikmati dan bahagia dalam pernikahan kita, aku tidak!"
Memang telak menyakitkan pengakuan itu bagi Karina. Tapi ia diajarkan untuk mendengarkan sampai tuntas ucapan lawan bicaranya, barulah membuka suaranya sendiri.
"Tentu kamu sudah tahu apa penyebabnya aku tak bahagia, karena kamu Karin bukan gadis pilihanku, bukan wanita idamanku, tapi baiklah demi janjiku pada Nenekku, demi warisan yang harus aku pertanggung jawabkan sebagai satu satunya penerus Herlambang, maka aku harus berbagi rumah dan berbagi kehidupan denganmu."
Karina berusaha lapang dada dengan ucapan Andreawan.
"Ah Nenek tak tahu jika cucunya hanya menurut di depannya saja.
"Ada batasan antara kita," ujar Andreawan, "Untuk sementara aku tak akan menyentuhmu. Tapi jangan sampai bocor pada Nenek. Tapi jika aku nanti berubah pikiran, tiba tiba menginginkannya harus kamu layani dan tak boleh menolak!"
"Jahat sekali kamu!" Tapi hanya diucapkan dalam hati saja. Sikap Karina tetap terlihat patuh.
"Kamu tidak boleh membatasi gerakku. Tidak boleh melarangku berhubungan dengan siapa pun, termasuk dengan wanita di luar Sana!" Lanjut Andreawan tak mau dibantah.
Karina sebenarnya marah dengan apa yang didengar dari mulut cucu dari perempuan tua yang sangat menyayanginya itu.
Kalau saja aku tak menghormati Neneknya yang menyayangiku sudah kutinggalkan rumah ini.
"Nah kamu boleh tidur di kamar utama ini, sedangkan aku bebas mau tidur dimana saja,"
Karina hanya mengangguk tanpa suara.
"Jangan harap malam ini kamu mendapatkan prioritas malam pertama dariku, mengerti?!"
"Ada bantahan?"
"Nggak Ada," tenang suara Karina.
"Satu lagi jangan pernah menampakkan muka Di hadapan teman temanku, kecuali aku yang memintanya,"
"Sudah cukup atau masih ada lagi?" Setelah bertanya begitu Karina menunduk saat Andreawan tampak terkejut oleh pertanyaannya itu, langsung menatap lekat.
"Oh ya lupa kamu berani padaku karena Nenek telah memilihmu, kan?"
Karina menggeleng."Aku hanya ingin mengingatkanmu jika masih ada yang tertinggal."
"Kamu benar," ujar Andreawan, "Kamu dilarang mengunci pintu kamar, karena walau Aku tidur di kamar lain di rumah ini, tetap aku ganti baju di sini. Menjaga para asisten rumah tangga tak curiga biar semua baju dan keperluanmu tetap di kamar ini,"
Tentu saja Andreawan khawatir jika para asisten tahu bisa bocor pada neneknya, bukankah mereka semua yang menempatkan sebagai asisten rumah tangga adalah neneknya?
"Cukup," ujar Andreawan lalu keluar dari kamar.
Sepeninggal Andreawan, Karina memindahkan pakaian serta keperluan lainnya dari tas dan koper ke lemari yang sudah tersedia untuk tempat pakaiannya.
Mandi dan istirahat enak kali, pikir Karina langsung masuk ke kamar mandi. Setelah mandi ia mengenakan daster dan menyisir rambutnya yang sebatas bahu, dengan gaya ikat satu dengan ikatan karet warna hitam.
Wajahnya hanya ia poles bedak tipis dan lipstic warna bibir. Sehingga sepintas is bagai tak memulas bibirnya dengan pewarna bibir.
Penampilannya memang sangat sederhana. Namun tetap terlihat cantik.
Andreawan masuk lagi ke kamar. Sekilas ia memandang Karina.
"Gadisbitu cantik juga sebenarnya," batinnya.
Kali ini Andreawan mau Mandi. Membuka kemeja melemparkannya ke tempat tidur seenaknya. Juga melepaskan celana panjangnya. Rupanya dibalik celana panjang Andreawan masih mengenakan celana pendek. Ia meraih celana panjang dan kemejanya di kasur lalu menuju kamar mandi.
Terdengar bunyi air disiram ke badan. Tak lama kemudian Andreawan keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuhnya dari perut ke lutut.
Karina langsung bersuara."Aku lupa tadi bertanya padamu apakah larangan mengurus semua keperluanmu, termasuk juga tak usah menyediakan pakaian bersih untukmu,"
"Ya, tak perlu biar aku mengurusnya sendiri," setelah itu Andreawan melewati Karina mengambil baju salin di lemari bagiannya. Setelah itu langsung keluar kamar.
Edan kenapa aku menyetujui pernikahan ini,? Karina menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
"Huh kalau saja bukan karena janji kedua orang tuaku pada Nenek yang sudah dianggap orang tua sendiri oleh Papa dan Mamaku Almarhum, tak sudih aku menikah dengan laki laki sombong itu!" Gerutunya, "Kalau tak kasihan pada Nenek sudah kubatalkan pernikahan ini saat pertama kali ia bicara seenaknya padaku tadi!"
Ponsel Karina berdering.
Dari pengacara orang tuanya.
Segera Karina menerima panggilan Hari Kusmara Sarjana Hukum.
"Halo Pak Kumara, ya ini Karin,"
"Nona Karina bisa kita bertemu sore ini,"
"Sore ini?"
"Ya,"
"Ada apa, ya, Pak,"
"Ada kabar gembira untuk Anda,"
"Kabar gembira?" Karina belum mengerti .
"Ya datanglah ke Gedung Jaya Sakti Anugrah ..."
"Jaya Sakti Anugrah?!" Karina terkejut. Ia tak asing lagi dengan nama itu, karena papanya yang memberi nama sewaktu dirinya masih kecil.
"Ya nanti saya ceritain," ujar Hari Kusmara Sarjana Hukum mengakhiri teleponnya.
Andreawan masuk tepat saat Karina mengakhiri percakapan di teleponnya.
"Kuharap kamu nggak ngadu ke Nenek tentang kesepakatan barusan," ujar Andreawan.
Karina menatap Andreawan, "Aku wanita terhormat yang menjaga amanah suami," ujarnya sengaja menempelkan kata suami.
Andreawan tertegun tapi sedetik kemudian ia sudah keluar lagi.
"Huh Nenek kok punya cucu saraf kayak gitu, sih?"
Tak lama kemudian terdengar seru Mobil. Karina melompat dari tempat tidur berlari ke jendela, menyibak tirai.
"Syukurlah dia pergi aku jadi leluasa keluar rumah,"
Karina menebak kira kira kabar apa yang akan diberikan oleh pengacara orang tuanya itu, mengingat perusahaan itu sudah jatuh ke orang lain.
"Ah sebaiknya tidur dulu sambil menunggu waktu bertemu Pak Hari," dan ternyata Karina tak bisa memejamkan matanya.
Saat bertemu dengan Hari Kusmara Sarjana Hukum, di Aula rapat Jaya Sakti Anugrah
"Ini," satu map diserahkan oleh Hari Kusmara pada Karina.
"Apa ini, Pak,"
"Bacalah,"
Air mata Karina langsung mengaliri pipinya membaca berkas yang dikeluarkan pengadilan.
"Selamat ya Karina sekarang Perusahaan orang tua Anda terbebas dari jerat hutang. Perusahaan itu kini kembali pada pemiliknya karena hutang yang dibebankan dulu itu tidak benar. Hanya ulah oknum jahat yang ingin menguasai perusahaan orang tua Anda,"
Bersambung
Share this novel