Chapter 6: The Project (Part I)

Crime Series 225

The Project
Part I
----------------------------------------

“Aku harus melakukan ini, boy! Atau kau harus bergabung denganku!” Kata manusia terkejam itu. Pengelihatannya sedikit buram untuk melihat wajah orang itu dari dekat.

“Tidak! Setelah apa yang kau lakukan padaku.” Tubuhnya tidak bisa bergerak karena terkena medan magnet di samping kiri dan kanannya.

“Ini adalah pengorbanan untuk dunia yang lebih baik, Satria. Karena kesalahanmu sendiri…”

Suaranya menggema di telinga Satria, masuk ke otak melalui saraf auditori lalu meremukkannya. Wajahnya mengeluarkan keringat darah. Keringat itu berubah menjadi kurucan yang mengalir membasahi bajunya. “Enggak..! Enggak kayak gini! Aahhhkk…!” Darahnya mengalir deras melelehkan mukanya berlanjut ke kepala dan leher.

“Hei! Hei! Tenang… tenang… it’s okay. Kau hanya bermimpi.” Mr. Killain memegang bahu Satria. Satria bangun dengan nafas terengah–engah. Tiba–tiba Lisa datang berlari menghampiri mereka.

“Ada apa?” Kata Lisa.

“Trauma menjelma menjadi mimpi buruk.” Sahut Mr. Killain.

“Kau ingin bantuan?”

“Jangan. Kamu gak bakal sanggup ngelihat mimpiku.” Kata Satria.

“Apapun mimpimu itu, kau harus bisa melawannya.” Kata Mr. Killain.

“Ya. Aku harus berlatih lebih keras lagi.” Satria bangun dan duduk di pinggir tempat tidur.

“Akan ku ambilkan kopi untuk kalian.”

••••

Kompleks Kesatrian Soekarno - Hatta
Jakarta, Indonesia

“Rencana ini mereka sebut Proyek Vegan.” Kata Letjen. Soenaryo memimpin rapat yang tidak terlalu formal itu.

“Mereka membangun jaringan di beberapa negara, salah satunya bernama Bio Titans yang mengatasnamakan WHO sebagai penanggung jawab mereka. satunya lagi Ouranus Energy. Perusahaan–perusahaan itu membuat teknologi, yang datanya dihilangkan oleh salah satu agen kita saat bertugas, untuk membuat pasukan super…”

Di ruang itu hanya ada Kepala Deputi III, dan VI saja serta salah satu staff mereka. Mereka diperlihatkan semua data yang tersisa yang diperoleh Bayu. Dan ditampilkan di layar besar.

“…Dan terdapat satu nama yang jelas meskipun ada satu lagi yang terduga. Yaitu Edward Solomon, direktur baru CIA. Saya ingin Salim yang mencari informasinya, cari tahu semua transaksinya selama dua tahun terakhir, tempat–tempat dia berkunjung, dan siapa saja bawahannya. Yang lain tahu harus bagaimana dan saya akan kabari Kepala Deputi lainnya.”

Mereka menutup rapat singkatnya dan melakukan tugasnya masing–masing. Bayu menghampiri Salim, salah satu agen di bidang kontra intelejen yang harus beralih sementara ke bidang luar negeri.

“Hati–hati kalau bertemu Iron Troopers atau tentara mereka.”

“Informasi aneh tadi sudah cukup menakuti orang–orang.” Kata Salim sambil tersenyum lebar. “Tenang aja, aku tahu prosedurnya.”

Setelah Salim pergi, dia menghampiri seorang wanita yang cukup mempesona dari beberapa staff wanita disana.

“Riri, sudah disiapin?”

“Cuma ini?” Kata Riri dengan menunjukkan koper hitam.

“Cuma itu.” Balas Bayu sambil tersenyum menggoda.

“Semua yang kamu butuhin ada di dalam dirimu, Bee.” Katanya sambil tersenyum pula. “Jangan melukai dirimu sendiri, negara ini masih butuh kamu. Dunia butuh kamu.”

••••

Ganewa, Switzerland

Beberapa mobil melaju cepat di sepanjang jalanan bersalju menuju Cartigny. Suhu yang mencapai 2.5 derajat celsius itu memanas dengan datangnya segerombolan mobil hitam yang mencoba menghindar dari kejaran satu mobil silver. Dua mobil berjenis sedan, satu jenis van berada di tengah serta dua jenis SUV merusak suasana kota yang tenang dengan tembakan brutalnya yang mengarah ke Bayu yang sedang mengejar mereka. Dia mengetuk layar ponselnya yang berdering.

“Ada apa?” Kata Riri di ponselnya.

“Aku ketahuan.”

“Terus?”

“Aku harus ngejar mereka biar informasinya gak hilang. Lebih–lebih ngehangusin gudangnya.”

“Hei, kamu tahu yang bakal kamu lakuin itu seperti gimana? Suasana di konferensi sudah memanas, jangan dibuat lebih. Kalau pak Soenaryo telepon, aku harus ngomong gimana?”

“Sebagai analis, kamu tahu sendiri kan jawabannya. Dia dimana?”

Dengan sigap Bayu menghindari tembakan dari depan. Saat mereka terlihat mengganti amunisi, dia mempercepat mobilnya sampai ke samping mobil SUV itu untuk melemparkan dua bom kecil di bawahnya lalu menyalipnya.

“Ada pertemuan di Mabes TNI, mereka minta kerjasama. Lokasimu?”

“Menuju Cartigny. Disana ada gudang vaksin di samping sungai Rhone. Itu milik Bio Titans.”

Salah satu orang dari mobil SUV itu mengeluarkan senjata RPG. Saat akan meluncurkan rudal, mobilnya meledak ke samping kemudian rudal itu melesat melewati Bayu dan meledak di tengah jalan.

“Suara apa itu?!”

“Kucing.”

“Hm… rudal. Ya, aku melacakmu. Di depan ada jalan pintas.”

Mobil–mobil itu membelok ke kiri sementara Bayu melambatkan mobilnya sejenak lalu terus ke depan menerabas beberapa tanaman liar.

“Good job, Riri. Kamu ngerusak mobilnya.” Bayu tersenyum. “Di depan ada jurang.”

“Belok kanan.” Sahut Riri.

Setelah melihat–lihat sekitar, Bayu tahu apa yang direncanakan Riri. Dia belok ke kanan, turun melewati pepohonan kering berwarna cokelat kemerahan. Warna silver pada mobil merefleksikan pepohonan itu seperti kaca sehingga menyamarkan posisinya. Dia segera keluar dari mobil dan berlari ke pinggir jalan membawa pelontar kabel fiber lalu menembakkannya sehingga membentang di tengah jalan.

Tak lama kemudian sekumpulan mobil itu datang dengan cepat. Bayu pun bersembunyi di balik pohon bersiap–siap menodongkan pistol. Saat mereka mendekat, mobil SUV itu sadar jika di depannya terpasang jebakan lalu berusaha menikung ke kiri. Terlanjur lajunya terlalu cepat, sisi kanannya mengenai kabel dan terangkatlah mobil itu lalu terbalik beberapa meter ke depan diikuti mobil di belakangnya. Satu mobil berhenti mendadak dan selamat dari jebakan itu.

“Berhasil?” Tanya Riri di headset yang terpasang di telinganya.

“Satu target berusaha kabur.”

Bayu berjalan cepat menuju mobil sedan yang berusaha pergi itu dan menembak kaca bagian kemudi beberapa kali sampai menembus. Satu orang berusaha keluar dari pintu penumpang namun Bayu menembaknya. Dia pun memeriksa dalamnya jika masih ada yang hidup.

Dia menuju van yang sudah penyok di pinggir jalan. Satu orang masih hidup di dalamnya lalu ditembaknya. Dia mengambil kotak plastik berisi tabung–tabung kecil. Tabung kecil itu berisi cairan kuning dan gumpalan–gumpalan merah yang mengendap di dalamnya. Kemudian dibawanya ke mobil.

Dengan mobilnya, dia mengawasi kegiatan gudang itu dari pepohonan. Satu mobil SUV bergerak cepat meninggalkan gudang yang kemungkinan tahu jika telah terjadi serangan di tengah–tengah perjalanan. Tanpa perduli, Bayu berjalan masuk meninggalkan mobilnya yang tersamar di pepohonan.

Bangunannya seperti gudang pada umumnya yang berstruktur baja, hanya saja terdapat satu cerobong besar di bagian belakangnya. Beberapa truk juga terlihat berjajar di samping bangunan untuk mengangkut kotak–kotak vaksin yang sedang diangkat oleh satu dua pekerja. Dan Bayu menghampirinya. Saat pekerja itu masuk ke dalam, dia meletakkan micro-bomb seukuran kelereng di tiap truk lalu masuk mengikuti pekerja itu.

“Kamu yakin mau ngelakuin ini?” Kata Riri.

“Aku harus.”

Dia bersembunyi dibalik kotak–kotak besar untuk menghindari pengelihatan para penjaga. Di belakang ruang utama terdapat kantor kepala gudang yang mungkin menyimpan beberapa data. Setelah meletakkan bom di tiap kolom baja sebelah kanan, dia segera menuju ruang kepala gudang itu melewati tangga putar. Di balik tangga itu satu penjaga tergeletak tanpa sebab sehingga mengherankan Bayu. Dia pun naik sambil menodongkan pistolnya kemudian membuka pintu kantor itu dengan cepat.

“Turunkan pistolmu!” Seru Bayu ke seseorang yang juga menodongkan pistolnya. “Kau kirim kemana serum–serum itu. Tazmania?”

“Lucu jika seorang kepala gudang menanyakan hal seperti itu.” Katanya sambil tersenyum kecut. Perawakannya tinggi, berambut pirang lebih ke warna putih, dan memiliki hidung mancung yang khas.

Bayu mematikan komunikasinya dengan Riri. “Jika bukan pemimpinnya lalu siapa kau?”

“Dan kau?”

Bayu melihat layar di belakang pria itu. “Kau mencuri datanya. Agen SVR, huh?”

“Dan kau? Malaysia? Singapura? Aku tahu tahu aksenmu. Indonesia.”

Mereka berdua mengangkat dan mengunci pistolnya secara bersamaan. Bayu menutup pintu dan menghampiri layar itu.

“Apa yang membawamu kesini?” Kata agen SVR itu.

“Koloni. Kau?”

“Doomsday.”

Pandangan Bayu pindah ke agen itu mendengar perkataannya.

“Aku pergi ke maskas organisasi rahasia itu di Alaska. Tempat asal mulanya badai magnet terjadi.” Agen SVR itu meneruskan. “Disana terdapat beberapa tabung untuk membuat manusia super tapi sepertinya ditinggalkan.”

“Namanya Cyborgian. Mereka menggunakan serum ini untuk menghidupkannya.”

“Cyborgian? Jadi para orang mati ini dihidupkan kembali untuk membuat koloni?”

“Ya. Dan serum ini dibuat dari campuran bakteri dan darah seorang pemuda. Kau tahu kejadian di Singapura?”

“Tentu saja tahu. Jadi ini saling berkaitan.” Agen itu mengernyitkan dahinya. “Saat aku di Atlanta, aku melihat peta Antartika yang sedikit terlihat berbeda. Di tengah–tengahnya terdapat seperti lubang yang diameternya cukup besar.”

“Mereka akan melakukan invasi! Tapi ke siapa?” Bayu membuka salah satu file di layar. “Apa petanya seperti ini?”

“Ya. Simpan data itu lalu kita pergi mengambil serumnya.” Seru agen Rusia itu.

Mereka berdua pun turun. “Hei…!” Salah satu penjaga tahu keberadaan mereka lalu menembakinya. Bayu sedikit kewalahan daripada agen itu karena setelan jas yang dipakainya sedikit menghambat pergerakan. Mereka berdua membalas tembakannya dan segera turun menuju sebuah ruang yang sedikit redup di belakang kantor. Alarm pun berbunyi cukup keras. Beberapa penjaga datang menembaki mereka dengan senjata laras panjang. Di ruangan itu Bayu melihat satu orang asia dengan pakaian lab pergi dari tempatnya. Satu dua penjaga yang melindungi orang itu dilumpuhkannya dengan cepat namun orang itu sudah pergi.

“Ini tempat penyatuannya! Asapnya menuju ke atas. Ke cerobong.” Agen itu segera mengambil foto sedang Bayu mengelilingi ruangan untuk meletakkan bom kecilnya.

“Kau ingin meledakkan tempat ini?”

“Ya. Ini harus dihentikan. Dimana serum utamanya?”

“Disana.”

Bayu menghampiri sebuah meja yang ditempati orang Asia tadi dan mengambil serum itu. Sambil menembaki para penjaga, mereka keluar melalui pintu samping dimana Bayu pertama masuk tadi. Setelah keluar, truk–truk tadi sudah berada di kejauhan dan mereka terpaksa melarikan diri.

Saat pergi menggunakan mobil silver, mobil SUV yang keluar tadi datang mengejarnya. Bayu memberikan detonator micro-bomb miliknya ke agen Rusia itu.

“Menyelamatkan dunia, huh.” Kata agen Rusia itu lalu menekan tombolnya.

Gudang itu meledak hebat, cerobong besarnya roboh dan hancur seketika. Mobil yang mengejar mereka pun berhenti setelah mendengar ledakan itu. Dari kejauhan juga terdengar suara ledakan yang sepertinya dari truk–truk tadi.

Bayu melihat agen itu. “Apa?” Kata si agen.

“Nama…”

“Ivan.”

“Aku Bayu. Kita harus pergi dari kota ini.”

“Dan Lyon adalah tempat yang terbaik untuk pergi.” Sahut Ivan.

••••

Lyon, France

Mendung mendominasi di kota Gastronomi yang tenang itu. Suasana jalannya sedikit sepi sebagai kota terbesar kedua di Perancis. Mereka memilih apartemen yang dekat dengan sungai Rhone dan berada di wilayah pinggiran kota tua. Mereka menempati kamar paling atas sehingga terlihat menara–menara katedral yang berdiri kokoh sejak dua abad silam.

“Aku akan memberikan datanya ke pusat.” Kata Ivan.

“Nanti aku pinjam laptopmu.” Lalu Bayu menelepon seseorang. “Riri, gimana kabarnya Salim?”

“Kamu dimana Bee? Ada hubungannya sama orang CIA?”

“Bukan, para tentara ini kebanyakan tanggal kematiaannya sama. Tempat kematiannya seperti dibuat–buat terus sepertinya mereka sukarelawan. Kalau gak ada kaitannya sama orang itu, kenapa dia di Tazmania?”

“Orang–orang ini sungguh menjalankan perannya dengan sangat baik.” Kata Ivan.

“Dunia belum berakhir dan kita harus cepat bertindak.”

“Ini pakailah.” Ivan meletakkan laptopnya ke tempat tidur. “Aku pergi sebentar.”

Bayu memakai laptopnya untuk masuk ke situs dinasnya. Dia mengirim file tadi yang sudah terenkripsi ke Riri untuk diselidiki. Cari tahu tentang Blood X, anak itu, dan sekertaris CIA. Serta selidiki peta Antartika ini. Aku akan kirimkan serumnya lewat KBRI. Dia menulis catatan di pesannya. Saat memikirkan sesuatu, dia sadar serum itu tidak ada di meja depannya. Dia menoleh ke pintu sesaat lalu segera keluar. Dia mencari jejak Ivan di beberapa lorong yang sepi. Ada sebuah pintu yang sedikit terbuka di pojok. Pintu belakang! Dia berlari masuk dan memperhatikan suara kaki Ivan yang terdengar dari atas. Dia pun segera naik dengan cepat. Dari kejauhan suara pintu terbuka dengan keras.

Bayu pun membuka pintunya. Dia melihat bayangan dari atap lalu memanjat ke atas bangunan mengikuti bayangan itu. Dari kejauhan, Ivan berlari dari satu bangunan ke bangunan lain dan dia pun segera mengejarnya. Atapnya terbuat dari tanah liat yang sudah tua dan berusaha menahan pijakan mereka berdua yang saling mengejar. Terlihat sinar matahari menembus awan mendung menerangi Hotel De Vile dari kejauhan dimana Ivan sedang menuju kesana. Bayu tahu setelah Ivan sampai disana, dia akan hilang dari keramaian. Dia pun mempercepat larinya dan mengambil arah lain.

“Hei…!” Seru Bayu. Dia berada belasan meter dari Ivan. Ivan pun tidak memperdulikannya. “Aku tak percaya kau melakukan ini!” Kata Bayu.

Jaraknya sudah selisih satu bangunan dari Ivan. Dia berada di sisi kanannya. “Maafkan aku. Ini bukan soal pribadi, temanku.” Kata Ivan.

“Kita baru saja bertemu!” Bayu melompat ke bangunan sampingnya dimana Ivan berlari di atasnya. “Dan aku harus melakukan ini untuk kebaikan bersama.” Dia mengepalkan tangannya untuk segera menghantam Ivan. Ivan melambatkan larinya lalu membalikan badan untuk memukul Bayu. Pukulan demi pukulan mengenai tubuh mereka yang sudah kelelahan. Bayu berusaha merampas serum yang ada di tas kecil milik Ivan yang tentu saja dicegah olehnya. Mereka terus berkelahi dengan Hotel De Vile yang melatar belakangi mereka.

“Ini bukanlah perkelahian yang sesungguhnya, Bayu. Ini percuma.”

“Maka kita harus melakukannya bersama atau berika serum itu padaku.”

Ivan terkecoh dengan pukulan palsu Bayu sehingga dia bisa merampas serum itu. Ivan berubah mengejar Bayu yang berlari ke arah apartemennya yang sudah terlalu jauh.

Di tengah pengejaran, Bayu sadar jika langit di depannya terlihat sedikit aneh. Sambil berlari, sekali–kali dia melihat ke atas untuk memastikannya. Ada sesuatu yang samar yang pernah dia lihat sebelumnya. Dia berhenti sejenak sementara Ivan berada belasan meter di belakangnya.

“Berikan serumnya padaku!” Seru Ivan.

“Tunggu.” Kata Bayu sambil melihat awan di depannya.

“Ada apa?” Ivan pun berhenti berlari.

Bayu melangkah ke belakang pelan–pelan sedangkan Ivan terheran melihatnya berubah seperti anak kecil yang sedang dihadang oleh seekor anjing. Langkah Bayu sedikit lebih cepat. “Lari…!!!” Seru Bayu yang berlari mengarah ke Ivan. Ivan pun sedikit was–was dengan ketidaktahuannya.

“Oh shiittt! Apa itu?!” Seru Ivan sambil berlari ke belakang.

Tiga Cyborgian berukuran besar turun dari benda samar itu beserta satu pesawat Iron Eagle mengejar mereka berdua. Para Cyborgian itu berlari dan melompat–lompat merusak atap bangunan sehingga reruntuhannya jatuh di sepanjang jalan.

“Aku tak menduga hal ini bisa terjadi!” Seru Bayu.

“Apakah itu Cyborgian?”

“Tentu saja. Lihatlah bentuk mereka.”

Satu Cyborgian mengejar dari belakang. Lainnya berada di samping mereka berusaha untuk mengepung. Langkahnya cukup lebar untuk berlari lalu segera menghentikan Bayu dan Ivan. Dan mereka berdua berada di tengah–tengah para Cyborgian sekarang.

“Apa yang kita lakukan sekarang?” Kata Ivan.

“Melihat keadaan yang seperti ini. Menyerah.”

••••

Dawson City
Yukon Teritorial, Canada

“Oke Lisa, apa yang kau lihat?” Kata Mr. Killain yang duduk bersila di depan Lisa.

“Aku bisa menjangkau jarak yang sangat jauh.”

“Bagus. Fokuskan.”

“Geraknya semakin cepat. A..aku tak bisa.” Seru Lisa sedikit gelisah.

“Tenangkan dirimu.”

“Pandanganku mengarah ke lautan. Ada dataran es. Mereka saling membunuh.” Lisa mengernyitkan dahi sementara pengelihatannya melambat.

“Mereka berperang?” Tanya Satria dengan wajah serius.

“Tetap bersamaku. Kau pasti bisa.”

“Aku… aahhh!” Lisa mengibaskan kepala untuk keluar dari mata batinnya. Nafasnya pun terengah–engah.

“It’s oke, It’s oke.” Mr. Killain menenangkannya.
“Satu orang berdiri dari tempat duduknya yang paling tinggi.”

“Itu singgasana. Bagaimana orangnya?”

“Badannya besar. Terus memakai jubah hitam keemasan.”

“Siapa itu?” Tanya Satria lagi.

“Itu… itulah yang harus kita ketahui. Bisa jadi si alien itu.” Kata Mr. Killain.

Sebuah mobil van datang di depan kabin mereka. Satu orang keluar menuju belakang mobil dan mengeluarkan beberapa kotak makanan lalu menghampiri kabin. Martinus segera membuka pintu.

“Akhirnya. Terima kasih.” Kata Martinus kepada si pengantar itu yang kemudian kembali ke mobil.
“Kau membeli makanan?” Tanya Mr. Killain sedikit terkejut.

“Ya, aku lapar. Kita lapar, ya kan?”

“Ya, dengan menyuruh orang kesini. Bagaimana jika dia curiga?”

“Sesekali tak apa kan.” Sahut Satria.

“Mungkin kita bisa beri kata sedang berlibur.”

“Terserah. Kita manusia super, ya kan?” Kata Mr. Killain sambil tersenyum sinis.

“Uncle, itu sindiran.” Sahut Martinus.

Mereka membuka sekotak pizza dan empat taco. Mr. Killain melihat Martinus sambil menggeleng–geleng kepala.

“Kau mencuri uangku dan membayar mereka lebih. Itu kekuatanmu, Martin.” Mr. Killain lalu mengangkat bahunya ke arah Satria.

“Jadi kita perjelas disini. Aku punya energi bumi di dalam tubuhku dan Lisa bisa melihat segalanya. Bahkan masa depan.” Kata Satria.

“Kau memiliki energi yang diperlukan semesta untuk mengatur kehidupan. Itulah kenapa kau masih hidup meskipun energi di dalam tubuhmu dikeluarkan habis–habisan.”

“Seperti baterai?” Sahut Martinus.

“Ya, semacam itu. Sedangkan Dia, Dia tak bisa menggerakkan benda mati kecuali di dalamnya terdapat sistem yang bekerja seperti mengaktifkan pesawat saat kita pergi dari Alaska.”

“Jangan lupa dia sudah meledakkan tiga manusia robot sekaligus.” Kata Martinus.

“Serius?!” Tanya Satria.

“Dan dia memiliki mata non fisik yang bisa melihat segalanya dari benda halus sampai bisa melihat beberapa peristiwa. Ada suatu kelenjar di otak telah mengaktifkan kemampuannya.”

“Sebenarnya aku punya banyak pertanyaan, tapi satu lagi. Apakah orang dengan gejala autisme di dunia ini, kau tahu. Bisa seperti dia?”

“Tidak semuanya. Ada anomali pada otak para penyandang yang disebabkan oleh energi plasma bumi dan itu terlalu rumit untuk kalian pahami. Kau ingin aku menceritakannya juga?”

“Ini terlalu banyak. Lebih baik aku tahu sebatas ilmu kedokteran saja.” Kata Satria.

“Kau adalah kunci dan sumber dari semuanya. Mereka membutuhkanmu untuk membuat tentara, dalam kasus ini, Iron Troopers. Mereka juga mencegahmu untuk membuat tentara sendiri dari orang–orang autis yang untungnya tidak kau lakukan. Kau satu–satunya keturunan yang memiliki kemampuan energi, itulah yang diinginkannya dan aku mencoba menyelamatkanmu.”

“Dia bilang aku keturunan terbodoh yang pernah dia temui.”

“Dia berkata begitu? Wow… karena keturunan yang lain tahu lebih dahulu jika seseorang akan mendatangi mereka. Tapi tetap, Trevor membunuh mereka semua.”

“Sekarang aku tahu kenapa temanmu Trevor membuat koloni dengan darah Satria.” Sahut Martinus.

“Dia membutuhkan pasukan lebih untuk menakhlukan bumi ini dan dia bukan temanku. Kau boleh kuat, Satria. Namun tanpa tongkat itu kau bukanlah apa–apa.”

“Kenapa kita tidak mencari tongkatnya saja?” Kata Satria.

“Atau buatlah koloni saat ini juga! Satria, ini ide cemerlang toh?” Sahut Martinus.

“Kamu mau ngebunuh aku gitu?”

“Tak ada waktu untuk itu, bahkan ide konyolmu itu, Martin. Aku yakin koloni itu sudah bersiap–siap untuk melakukan invansi.”

“Lalu apa yang kita lakukan? Kita tidak bisa membunuh mereka semua.”

“Pertama–tama kita harus mencegah mereka agar tidak membuat markas di Antartika karena mereka sudah meratakan lingkar Antartika. Nanti dini hari kita berangkat sementara Trevor masih berada di Vienna. Lihatlah.”

Mereka melihat televisi dimana Mr. Trevor berada di antara para delegasi dan saling berjabat tangan.

••••

Mobil SUV sewaan itu berjalan dengan tenang membelah kota kecil Dawson. Beberapa bar masih ramai di sudut–sudut kota dengan segala kesenangannya. Saat berada di titik awal jalan raya Klondike, mobil itu meningkatkan lajunya menuju Bandara Kota Dawson yang terletak sekitar 13 kilometer ke timur.

Mereka masuk ke dalam bandara menyembunyikan muka agar tidak menimbulkan kecurigaan. Beberapa orang juga menunggu keberangkatan pesawat menuju Vancouver. Mr. Killain menghampiri petugas informasi untuk memberitahu keberangkatannya sedangkan tiga pemuda itu duduk di ruang tunggu.

“Knight, Aku takut dia tipu kita. Omongannya tidak dimasuk akal, ya kan?” Bisik Martinus.

“Mungkin dia ada benarnya. Tapi yang ngeganggu pikiranku itu dia keluar dari tubuh Trevor, sebaik–baiknya dia, dia dan Trevor pasti punya pemikiran yang sama.”

“Ada maksud kah? Lihat aja itu jenggotnya tipis tapi berantakan macam tuna wisma.”

“Gimanapun juga kita masih butuh dia. Menurutmu gimana Lis?”

“Mm… ada yang disembunyikan. Kalau masuk ke memorinya, dia tahu.”

Mr. Killain menghampiri mereka. “Oke, kita berangkat. Ada masalah?”

Para pemuda itu langsung berdiri. Mereka segera mengikuti Mr. Killain menuju pesawat.

“Permisi, sir.” Kata seorang petugas wanita. “Mohon maaf jika nanti ada gangguan karena seluruh sistem penerbangan masih dalam proses pemulihan. Tapi kita tetap memantaunya dari sini.”

“Oh, ya aku tahu. Badai aneh membuat dunia kacau kan? Hehe. Ayo anak–anak kita pergi. Jangan membuat kekacauan disini.” Kata Mr. Killain sambil tersenyum lebar.

••••

Melbourne, Australia

Matahari hampir tenggelam seolah–olah tidak ingin bertemu dengan mereka. Satria dan yang lainnya telah sampai di Bandara Internasional Melbourne dan disambut oleh seorang pria berambut tipis dengan celana cokelat khas tentara dan berkaos hitam.

“Berapa yang ikut?” Tanya Mr. Killain.

“Hanya empat orang.”

Mr. Killain mendadak berhenti. “Empat?”

“Ya. Kau mau satu peleton? Kau bilang sendiri kan agar tidak terlalu mencolok.”

Mereka dibawa ke sisi bandara menuju ke salah satu hangar yang kecil. Disana sudah tersedia pesawat untuk mengangkut mereka menuju Antartika. Mereka pun bertemu tiga orang lainnya. Pria tadi berjalan lebih dulu menghampiri krunya.

“Ini Ardan, Oleg, ini Haura, dia menggantikan kakak laki–lakinya, dan saya sendiri Alex, pemimpinnya.”

“Sebenarnya saya yang memimpin kelompok ini karena yang membayar mereka.” Kata Mr. Killain.

“Ya, terserah.”

“Oh, ini Lisa, Martin, dan Satria, pemuda itu.”

“Jadi kau pemuda mutan itu.” Kata Haura.

“Kau harus berhati–hati, kid. Jangan sampai terbunuh atau dunia ini akan terbakar.” Kata pria paling tua dari kelompok itu, Ardan.

“Jadi apa selanjutnya?” Kata Satria.

“Ini adalah peta Antartika yang kami lihat di Alaska. Detailnya hampir sama dengan peta buatan Piri Reis pada abad ke 15 tapi ini lebih detail.” Alex menjelaskan.

“Tunggu, kalian pergi kesana?” Tanya Martinus.

“Aku menghubungi mereka setibanya di Dawson.” Mr. Killain menambahkan.

“Disana aku bertemu dengan agen SVR yang juga mencari peta ini. Ada perlawanan namun kami bisa mendapatkannya.” Kata Alex.

“Kalian yakin ini petanya? Lihatlah ada binatang seperti harimau, pepohonan, dan pemukiman.” Satria memandangi peta itu dari dekat.

“Es menutupi mereka semua. Mari kita jadikan ke gambar grafis. Kita samakan dengan garis lintang saat ini.” Alex menekan beberapa tombol komputer. “Seperti itu.”

“Baiklah. Disana kita akan melihat keadaan di koordinat 90 derajat. Sebagian mencari keberadaan Iron Troopers.” Kata Mr. Killain.

“Oke, sampai disini saja. Perlengkapan tinggal mengangkutnya ke pesawat. Dan kalian bertiga bebas sekarang.” Kata Alex.

Mereka berpencar melakukan urusannya masing–masing. Mr. Killain mengajak para pemuda itu menuju ruang kantor.

“Ini ruangan untuk kalian. Akan ku tinggal.”

Satria langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa dan Martinus duduk di kursi kerja layaknya bos besar. Lisa hanya diam di depan pintu melihat seisi ruangan. Lampunya tidak terlalu terang seperti ruang kantor biasanya. Dia melepaskan tasnya ke lantai lalu meletakkan tubuhnya di sisi Satria. Satria yang tidak nyaman menoleh kearah Martinus. Martinus hanya menunjukkan jempolnya sebagai tanda tidak masalah dengan mereka berdua.

••••

Suara bising dari pesawat sudah memenuhi hangar mereka. Satria dan Lisa berlari kecil menuju pesawat dimana yang lainnya sudah ada disana.

Pesawat berkelas bisnis itu keluar dari sarangnya lalu memposisikan lajunya di apron. VH-RLX. Clear to take off. Runway 25. Suara dari ATC memberikan komando. “Clear to take off. Runway 25.” Oleg membalasnya ganti.

Mereka terus berputar di dalam pikirannya masing–masing. Mulut mereka tertutup rapat. Hanya sepasang mata yang saling memandang. Lisa memegang tangan Satria erat–erat. Sedangkan Martinus selalu melihat Haura yang duduk di sebelah Mr. Killain.

“Jangan melihatku seperti itu.” Kata Haura.

“Apa yang membuatmu ikut ekspedisi ini?” Tanya Martinus.

“Duniaku sudah hancur dan tak akan kubiarkan hancur lebih parah lagi.” Kata perempuan Afganistan itu.

Martinus menatapnya dengan wajah tak percaya. Dia kembali dalam diamnya sambil memegang sabuk pengamannya. Tubuh kakunya semakin tak bisa digerakkan saat melewati laut menuju Antartika. Badan pesawat tiba–tiba bergetar menahan angin kencang. Suhu yang semakin dingin menambah ketegangan mereka semua. Mereka diam cukup lama. Entah karena kedinginan atau tak ada kata apapun untuk menjelaskan tujuan mereka. Hanya ada warna putih di luar pesawat. Dan semakin sunyi saat mendekati pusat Antartika.

“Sir.” Panggil Alex.

“Ada apa?”

“Lihatlah api itu. Sepertinya ledakannya cukup parah.”

Mr. Killain melepaskan pengamannya. “Tak mungkin Iron Troopers sudah menyerang. Apakah sudah mendekati Lingkar Antartika?”

“Ya. Sekitar beberapa ratus mil dari tempat tujuan.”

“Seluruh properti di area itu terbakar.” Sahut Oleg.
Satria yang penasaran segera melepaskan sabuk pengamannya lalu ke depan. Lainnya hanya melihat–lihat keadaan lewat jendela.

“Ada pesawat terbakar. Properti lain juga hancur. Apa Amerika tidak melakukan protocol apapun?” Oleg melanjutkan.

“Oke. Kita cari tempat untuk mendarat. Persiapkan diri kalian.” Alex menyuruh mereka.

Mr. Killain dan Satria kembali ke posisi duduknya. Ardan menggosok–gosok machine gun-nya agar lebih mantap. Tiba–tiba pesawat itu bergetar lebih kuat saat mendarat.

“Aduuh mama… bagaimana bisa aku ikut perang begini. Perang saudara di Papua saja sudah seram.”

Satria sedikit ketawa mendengar perkataan sahabatnya. Lalu dia merenung sejenak memikirkan bahwa sudah sejauh ini dia dan teman–temannya pergi dari rumah. Pergi dari kehidupan normalnya. Dia yakin karir kedokterannya sudah tak bisa ditolong lagi dan sahabatnya juga merelakan karirnya demi pemuda bodoh sepertinya.

Setelah mendarat, Alex meninggalkan kokpit lalu membuka pintu pesawat. Dia mengeluarkan kepalanya untuk melihat sekitar.

“Sempurna. Ardan.” panggil Alex untuk keluar lebih dulu.

Ardan keluar dari pesawat itu. Langkah kakinya berat dan kuat seperti sudah mempunyai banyak pengalaman di medan perang. Haura dan Mr. Killain mengikutinya. Sesaat kemudian tiga pemuda itu keluar satu per satu diikuti Alex dan Oleg yang masih memasang crampoon di sepatunya.

“Seluruh negara akan semakin gempar dengan kejadian ini.” Kata Ardan.

“Kita bagi menjadi dua tim.” Kata Mr. Killain. “Martinus, Oleg dan Haura menemani Lisa untuk mencari sumber ledakan. Yang lain ke stasiun itu denganku. Lisa, kau tahu yang harus dilakukan.” Lisa hanya mengangguk.

Mereka pun berpencar. Ardan berjalan ke depan diikuti Alex. Pesawatnya berada beberapa ratus meter dari stasiun yang terbakar itu.

“Ini adalah stasiun terjauh yang telah mereka buat. Lingkar Antartika beberapa mil menuju kesana.” Kata Alex sambil menunjuk ke arah kanannya.

“Hei…! Ada orang tergeletak.” Seru Satria. Mereka segera siaga dan bersama–sama berjalan perlahan menghampiri orang itu. Mr. Killain berada di depan.

“Tubuhnya sudah tak berupa.”

Orang itu mati dalam keadaan terbakar dan es membekukannya. Disekelilingnya berceceran darah yang menyatu dengan es.

“Ada yang lain di stasiun. Ardan, kau yang di depan.” Kata Alex.

Ardan berjalan lebih dulu mendekati stasiun berbentuk persegi panjang itu. Stasiun itu dibangun di atas pilar sehingga tidak menempel di tanah. Dinding luarnya menggunakan panel silver hanya saja sudah hangus terbakar.

Alex menjaga dari belakang. Jalan mereka sedikit lebih cepat saat berada di beberapa meter dari stasiun. Ardan berhenti berjalan.

“Sepertinya tak ada tempat untuk masuk ke dalam. Semuanya hangus.”

Alex melihat ke sebelah kirinya. “Domenya masih utuh. Kita pergi kesana, mungkin ada sesuatu.”

©2019 Mizuno
The Ambition

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience