Chapter 2: The Cure (Part II)

Crime Series 225

The Cure
Part II
----------------------------------------

Kampus A UNAIR
Surabaya, Indonesia

"...Kita sebagai mahasiswa kedokteran yang berdedikasi tinggi harus..." Sementara seorang mahasiswa masih dalam orasinya, Martinus berdiri dibelakang panggung menunggu gilirannya untuk melanjutkan pembicaraan temannya. Hilangnya mantan ketua BEM di kampus kedokteran membuat tanda tanya besar kepada para mahasiswa setelah adanya kerjasama dengan WHO. Jantung Martinus berdebar-bedar meyakinkan niat yang biasa dia lakukan disaat terjadi sesuatu di lingkungan kampusnya. Tiba–tiba saku kemejanya bergetar, dia pun segera mengangkat panggilan teleponnya.

"Halo, siapa? Ha?! Knight?! Ko ku cari kemana-mana tak ada. Dari Sabang sampai Sorong rumah saya pun tak ada. Apa? Luar kota sama ibu? Oke-oke tapi ada apa? Ini saya mau orasi gara-gara kamu kirim email. Terus gimana. Apa? Taulah. Kenapa harus bawa dia. Ee... jangan kau nikah lari ya. Oh tidaklah, ya mungkin senggol-senggol sedikit tak apa. Hehehe... Oke siap komandan."

Setelah menutup teleponnya, Martinus melihat–lihat sekitar sambil mudur pelan-pelan memisah dari teman–teman senior lainnya yang sedang bersenda gurau. Kemudian dia berjalan cepat menuju tempat parkir lalu menghampiri mobilnya yang berwarna merah.

"...Dialah yang selalu mendukung kegiatan kita. Martinus Kossay...!" Tepuk tangan dari para mahasiswa mendominasi keramaian di sekitaran jalan Dr.Moestopo. Sementara itu, beberapa orang sedang mencari Martinus yang tiba–tiba saja menghilang. Dari kejauhan Martinus datang sambil membuka jendela mobilnya. Dia melewati samping kerumunan mahasiswa itu sementara mereka melihat Martinus yang akan pergi meninggalkan orasi yang dibuatnya.

"Sebentar, saya ada urusan. Yang lain suruh pidato dulu." Kata Martinus sambil menunjuk-nunjuk. Lalu dia menjalankan mobilnya lewat genangan air sehingga membasahi beberapa mahasiswa.

••••

"Iya sebentar..." Suara seorang wanita tua yang segera membuka pintu rumahnya.

"Ibu, saya dapat kabar dari Satria. Dia kata suruh pergi ke luar kota. Nanti dia jemput disana."

"Sebentar Martinus, ngomong pelan-pelan. Jadi Satria tadi ngabarin kamu? Terus disuruh pergi ke luar kota?"

"Iya ibu. Katanya ke bandung. Sama mengajak perempuan yang ada di rehabilitasi."

"Rehabilitasi? Anak yang dirawat Satria? Kalau enggak salah namanya Lisa. Biar ibu yang bicara sama orang tuanya nanti. Sebentar, kamu tunggu di sini dulu. Tak siap–siap."

Ibu itu kembali masuk untuk membawa beberapa barang sedangkan Martinus menunggu di depan pintu. Tak lama kemudian mereka segera pergi.

••••

Pusat Terapi dan Rehabilitasi Autisme
Surabaya, Indonesia

Martinus dan Ibu itu masuk ke sebuah bangunan besar yang hampir mirip rumah tinggal di jalan Dharmahusada. Mereka menuju perempuan yang berada di meja resepsionis.

"Permisi mbak, ada anak yang bernama Lisa?"

"Ada bu, untuk keperluannya?"

"Saya Dokter Mira spesialis anak, mau menjemput Lisa sekalian mau bicara sama orang tua angkatnya. Setahu saya."

"Kebetulan orang tuanya sedang balik ke Bali. Biar pengajar sini yang mengantarkan."

Martinus sedikit lega karena gelar ibu Satria bisa membantu mereka membawa Lisa pergi. Kemudian seorang perempuan lain datang mengantarkan Bu Mira menuju ruang tidur Lisa di pojok sebelah kiri. Pintunya sedikit keras karena engselnya sedikit macet. Bahkan kusennya sudah rapu di beberapa bagian, tidak seperti pintu-pintu kayu lain yang mengkilap.

"Terima kasih." Kata Dokter Mira. Pegawai tadi menutup pintu. "Namamu Lisa ya. Ini ibunya Satria yang sering datang kesini. Lisa mau nggak kalau diajak jalan-jalan? Nanti bisa ketemu Satria."

Lisa melihatnya dengan muka polos lalu mengangguk. Rambutnya sedikit kecokelatan dan lurus melewati bahunya, tidak seperti dulu yang masih berantakan saat Satria datang tiap minggu untuk memeriksa. Kemudian Dokter Mira memasukkan pakaian Lisa dan memeriksa lemari dan laci untuk mencari berkas serta identitasnya.

Martinus duduk di ruang tunggu sambil melihat-lihat suasana ruangan. Di luar jendela dia melihat seorang pria berambut kecokelatan di depan sedang berbicara di telepon dan beberapa kali mengintip ke dalam. Lalu Martinus menoleh ke para pegawai jika ada yang kenal dengan pria ini tapi tak ada yang menghampirinya. Dan sekilas melihat Dokter Mira datang menggandeng Lisa.

"Mama sayangee... ini bidadari macam mana kok ada di tempat seperti ini."

Wajah Lisa agak kusam dengan tatapannya yang tajam. Meskipun begitu, wajahnya membuat Martinus terpesona melihatnya. Dokter Lisa terus berjalan keluar sambil menegaskan wajahnya ke Martinus agar segera mengikutinya. Saat diluar, Martinus menoleh ke kanan kiri mencari pria asing tadi yang tiba–tiba menghilang entah kemana.

"Ibu, tadi saya lihat ada orang bule jalan kesana kemari."

"Berarti kita harus cepat pergi, itu orang luar. Sepertinya mau mengambil Lisa, sama seperti yang dilakuin ke Satria."

"Terus kenapa mereka mengambil darah Satria? Buat percobaan kah?"

"Iya. Ibu kenal salah satu dari mereka. Dia lebih baik daripada pemimpinnya."

"Bagaimana ibu tahu kalau dia baik?"

"Ceritanya panjang, nanti kalau ketemu pasti dia akan cerita. Udah sore lho, keburu telat keretanya."

••••

Di Stasiun Gubeng Lama, mereka membeli tiket go show dan langsung menuju kereta tujuan Stasiun Bandung. Dokter Mira dan Lisa memesan tiket dahulu. Sedangkan Martinus menunggu orang lain dahulu baru membeli tiket untuknya.

"Gimana? Jauh nggak tempat dudukmu?"

Martinus melihat tiketnya lalu melihat tiket Dokter Mira dan Lisa. "Dekat bu. Selisih beberapa baris."

Mereka harus duduk terpisah agar Martinus bisa memukul lawan dari belakang jika sewaktu-waktu ada orang jahat datang menghampiri Lisa.

••••

Bandung, Indonesia

Pukul 07.50 kereta datang di Stasiun Bandung Kota. Seperti biasa suasana stasiunnya sangat ramai karena banyak para wisatawan yang datang untuk menggelar acara tahun baru di kota ini. Sedangkan mereka bertiga harus bersembunyi dari keberadaan yang akan berakibat buruk pada jiwa mereka. Lisa berada di tengah-tengah Martinus dan Dokter Mira. Dia memegang tangan Dokter Mira yang berada di belakang.

"Kenapa berhenti Nus?"

"Itu bule tadi yang melihat kesana kemari." Bisik Martinus.

"Kita belok kiri aja."

Mereka belok ke kiri menuju pinggiran tembok lalu melewati celah-celah keramaian untuk bersembunyi. Sementara orang itu menoleh-noleh sedang mencari mereka. Dan saat dia tahu, mereka bertiga berlari menuju pintu keluar diikuti orang itu yang segera mengejar dari kejauhan.

Di pedestrian dimana mereka sudah jauh dari stasiun, Martinus sesekali melihat ke jalan raya sambil memeriksa handphonenya. Sesaat kemudian orang itu keluar sambil menghubungi seseorang dan berlari mengejar mereka bertiga. Tak lama kemudian satu mobil datang menghampiri mereka.

••••

"Masnya bisa cepat? kalau tidak saya menyetir ini."

Martinus tidak bisa menahan kekhawatirannya. Sedangkan Dokter Mira duduk diam di kursi belakang memojok ke kiri sambil memeluk Lisa.

Tak jauh dari pusat kota, mobil jeep hitam datang menabrak mobil mereka dari belakang. Keadaan jalan yang sedikit ramai tidak menghentikan mereka melaju kencang namun berusaha melewati beberapa mobil dengan aman. Sedangkan mobil jeep tadi tetap dibelakang tidak perduli jika harus menyenggol dan merusak kendaraan lain untuk menghentikan mobil mereka.

Sampai di pinggiran kota, salah satu dari mereka menembak dengan senapan serbu. Sontak Martinus dan yang lainnya menundukkan kepala berusaha berlindung. Namun saat Martinus menoleh ke sopir, ternyata dia sudah tergeletak terkena tembakan. Mobil yang sebelumnya berjalan lurus tiba-tiba membelok ke kanan dan terguling beberapa meter.

Mobil jeep itu berhenti di pinggir kiri jalan. Tiga orang berpakaian serba hitam keluar menghampiri mereka dan satunya lagi menunggu di kursi kemudi. Mereka pun mulai mengitari mobil mereka lalu dua dari mereka berusaha membuka pintu untuk membawa Lisa pergi. Satunya lagi berjaga–jaga.

"Sedang apa kalian? Mau kubantu?" seorang pria paruh baya tiba–tiba datang di samping orang yang sedang sibuk menarik Lisa dipintu mobil. Lalu dia menendang pintu itu dan orang itu terjepit tengkurap. Temannya yang lain memukul kepala pria itu, lalu dibalasnya dengan membenturkan kepalanya ke kepala orang itu sampai tergeletak. Pengemudi jeep di seberang jalan pun tergesah-gesah mencari pistolnya namun pria itu menembaknya terlebih dahulu. Kemudian pistol ditodongkan ke satu orang lagi. Satu suara tembakan itu terdengar cukup keras di sekitar jalanan.

••••

Disepanjang perjalanan, suasananya cukup tenang di dalam mobil. Martinus pun sadar dari pingsannya karena mendengar suara musik klasik yang ada di radio. Dia sontak kaget dan sadar telah berada di dalam mobil yang berbeda. "Wow wow... easy boy." Kata pria paruh baya itu. Martinus kaget melihat sopirnya hidup kembali dengan wajah yang berbeda. Lalu dia melihat ke belakang dimana Dokter Mira dan Lisa tergeletak dengan kepala dan tubuh yang lecet-lecet.

"Kau berbicara bahasa Indonesia?"

"Ya. Saya sudah lama tinggal di sini."

"Siapa orang bule tadi? Anda teman punya mereka?"

Orang itu tertawa kecil. "Saya tidak menyangka bertemu dengan orang Papua. Hanya ingin bertanya, apa semuanya berlogat seperti itu?"

"Yes. Lalu kenapa? Apakah orang barat selalu membuat keributan seperti ini? Tidak peduli dimana dia berada. Bahkan perkataan sekalipun."

"Kau bisa berbahasa Inggris ternyata. Cukup mengesankan. Mereka adalah orang-orang pengecut. Bekerja di dalam bayang-bayang. Bahkan di pemerintah sekalipun. Oh... ngomong-ngomong namaku Killain."

"Martinus Kossay. Yang di belakang itu Lisa dan Dok...."

"Ya aku kenal Dokter Mira dan suaminya. Kami berteman cukup lama."

"Jadi kau adalah orang yang dia ceritakan itu? Apa kau kenal dengan pemimpin organisasi yang menculik Satria?"

"Ya. Pemimpinnya adalah seorang visioner yang memakai segala cara untuk mencapai tujuannya. Hanya saja caranya sedikit halus. Seperti apa yang saya katakan tadi, bekerja dalam bayangan."

••••

Perbincangan mereka pun cukup lama sampai membawa mereka ke rumah sakit Al Islam. Dokter Mira dibawa ke ruang UGD oleh beberapa suster diikuti Martinus. Di mobil, Killain mengambil darah venanya dengan tabung vakum yang menancap pada jarum lalu tabung vakum itu disuntikkan ke tangan Lisa. Lisa sedikit membuka mata melihat seseorang di depannya.

"Kau akan baik-baik saja." Kata Killain sambil tersenyum. "Tenangkan dirimu sejenak sampai benar–benar sadar.”

Saat mereka berdua masuk ke ruang pasien, Dokter Mira sudah siuman dan sedang berbicara dengan Martinus.

"Killain, kau tidak menua sedikitpun sejak kita terakhir bertemu. Keadaan yang telah kita prediksi sudah terjadi."

"Aku tahu. Dimana Satria sekarang?"

"Dia berkata jika akan datang kesini." Sahut Martius. "Sekarang dia pergi kembali ke Surabaya mencari serum buatannya untuk Lisa. Oh, satu lagi. Dia mengirim video dan beberapa file. Ini lihatlah." Martinus memberikan handphonenya ke Killain.

Killain melihat sekilas video itu. "Jika Satria sudah melihat video ini, dia tak mungkin berada di Surabaya saat ini. Jika pun Satria sudah pergi, orang–orang itu tak akan membiarkannya begitu saja."

"Lalu kita harus bagaimana?" Tanya Martinus.

"Kita tunggu saja jika dia berhasil sampai kesini. Jika tidak, kita cari dia ke sebuah tempat. Tapi melihat keadaan yang seperti ini kita harus mempersiapkan diri dahulu."

••••

Beberapa hari sudah berlalu. Mr. Killain dan Lisa berada di rumah tua yang masih terawat di daerah Cibodas. Mereka menunggu Martinus dan Dokter Mira yang masih dalam perjalanan pulang.
“Oke Lisa, kau tahu apa yang saya katakan?” kata Mr. Killain. Lisa hanya diam melihatnya lalu kembali melihat tv.

“Ini…” Dia memberikan beberapa buku cerita ke Lisa. “Kamu harus bisa berbicara.Untuk saat ini membaca.”

Mr. Killain tahu harus merangsang otak perempuan itu agar bisa berkembang dan mengaktifkan beberapa hormon di otaknya untuk mengetahui kemampuan apa yang dia miliki. Setiap hari Lisa menghabiskan waktunya untuk melihat tv dan menonton film agar mengerti ucapan dan emosi seseorang saat sedang berbicara.

••••

Surabaya, Indonesia

Sebuah mobil silver keluar dari Pelabuhan Teluk Lamong menuju Surabaya Pusat. Ternyata Pak Imron memberi tumpangan Satria untuk kembali ke rumahnya.

“Maaf pak kalau harus nunut begini.”

“Sebenarnya jika ada penumpang ilegal harus diturunkan ke pelabuhan terdekat. Tapi pas saya melihat kamu yang penuh darah kayak gitu kan jarang terjadi. Jadi inget anak saya juga kalau sampai begitu gimana?”

“Iya pak. Bapak tinggal di daerah mana?”

“Di Petemon. Istri anak disana semua. Kamu kerja apa masih kuliah?”

“Barusan lulus kuliah pak. Ambil kedokteran. Nah baru inget saya, setelah selesai kuliah diajak kerjasama sama orang tapi jadinya begini.”

“Orang siapa?”

••••

Mereka berhenti di depan gapura dimana Satria tinggal. Dia pun turun dari mobil lalu bapak itu membuka jendelanya.

“Lain kali kamu harus hati–hati. Meskipun prosedurnya benar, jika mereka berniat jahat, semuanya akan percuma.”

Satria berjalan menuju rumahnya saat mobil Pak Imron menjauh dari gapura itu. Setelah sampai, dia melihat keadaan rumahnya yang sudah sepi. Ibu sudah pergi. Pikirnya. Setelah bersih–bersih badan, dia mengambil tasnya lalu pergi membawa motor matiknya yang sudah kembali dari Rumah Sakit Darmo saat dia dan Mr. Trevor meneliti darahnya. Lalu dia pergi ke rumah sakit itu untuk mencari petunjuk.

Keadaan jalan raya sudah ramai di siang hari. Mungkin karena banyaknya penduduk luar yang terus berdatangan ke Surabaya untuk menikmati malam tahun baru. Dia pun mengendarai motornya dengan santai mengingat kejadian di Singapura yang mengancam nyawanya saat itu. Halusinasi yang sering menghantuinya hilang entah kemana.

••••

Di Rumah Sakit Darmo, Satria mencari ruangan yang dia, Pak Bambang, dan Mr. Trevor gunakan saat itu. Pak Bambang! Dimana orang itu? Satria bertanya–tanya tentang keadaannya. Apakah menjadi korban atau memang bekerjasama dengan Mr. Trevor. Lorong demi lorong dia lalui. Di area belakang, dia melihat beberapa kamar yang digunakan sebagai tempat menginap para dokter. Dia segera menghampiri sebuah bangunan yang sudah berumur ratusan tahun itu. Dia mengintip isi ruangan satu per satu, sesekali dia melihat ke belakang melihat keadaan sekitar untuk berjaga–jaga jika ada yang lewat. Di dalam hanya ada tempat tidur, nakas dan lemari. Memang itu adalah tempat para dokter untuk beristirahat. Dia melanjutkan pencariannya sampai ada ruang yang kosong. Ruang itu seperti baru saja dibersihkan dan sedikit berbau alkohol. Saat salah satu pegawai lewat, Satria menghampirinya.

“Permisi mas. Ruangan yang pojok kiri itu kok kosong ya?”

“Itu habis diberesin mas. Masnya yang kapan lalu kesini ya?”

“Yang buat penelitian?”

“Iya kan. Wong saya juga bantu–bantu masa masnya enggak inget.”

Satria berpikir sesaat untuk mengingat–ingat kejadian saat itu tapi tak satu pun dia dapatkan.

“Masnya tau sample–samplenya dibawa kemana?”

Orang itu mengernyitkan dahi. “Di rumah Sakit Husada Utama kalau enggak salah. Iya di sana mas soalnya mereka punya teknologi penyimpanan yang lebih modern. Pinjaman dari kampusnya mas.”

“Yauda saya kesana dulu. Terima kasih.”

Satria segera berjalan menuju tempat parkir. Saat sampai disana, dua orang yang terlihat berbeda sedang melihatnya beberapa kali. Satunya memakai setelan jas berwarna hitam, satunya lagi memakai jaket hitam. Satria mencoba berpikir sambil melempar–lempar kunci sepeda motornya ke atas. Dia melihat seberang jalan yang sudah dipenuhi tenda–tenda untuk acara malam tahun baru. Kemudian dia melirik ke arah mereka. Saat mereka lengah, Satria berjalan cepat menuju pagar samping dan memanjatnya kemudian berjalan cepat menjauhi rumah sakit. Dua orang tadi melihatnya lalu mengikuti dari kejauhan. Ada sesuatu yang familiar dari mereka berdua. Mereka tiba–tiba memakai penutup wajah yaitu penutup mata hitam yang besar dan masker.

Mereka berjalan melewati perempatan jalan yang besar. Satria lebih dulu menyeberang. Saat kedua orang itu akan menyeberang, lampu hijau menyala. Mereka pun terjebak ditengah–tengah jalan kembar sambil melihat Satria yang berlari menjauh. Salah satu dari mereka akan mengeluarkan pistol namun dicegah oleh temannya. Tanpa berpikir panjang dua orang itu memaksa menyeberang jalanan yang ramai lalu berlari mengejar Satria.

Langit yang berwarna kuning keemasan hampir diselimuti oleh gelapnya tahun naga yang akan datang beberapa jam lagi. Entah apa yang ada dibenak semua orang yang beramai–ramai menyambut kedatangannya. Satria yang baru pulih dari masa hibernasi harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari. Dai sedikit terhentak mendengar suara kembang api dari kejauhan. Suara itu merembak dari arah manapun sehingga terlihat menakutkan baginya seolah–olah itu tembakan dari rocket launcher yang mengarah padanya.

Dua orang itu masih terlihat dari kejauhan. Beberapa orang melihat mereka untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Satria pun beberapa kali menabrak orang yang sedang berjalan di pedestrian depan Tunjungan Plaza. Dua orang itu juga menjatuhkan beberapa orang karena menghalangi jalan mereka untuk berlari. Tiba–tiba sebuah mobil hitam datang dari seberang jalan dengan kencang. Lajunya cepat lalu menerabas pedestrian tepat di depan Satria. Beberapa orang dengan pakaian serba hitam keluar dan berusaha menangkap Satria. Satria pun berhenti dan terpaksa melawan mereka. Mereka keluar satu per satu. Wajahnya memakai penutup yang sama seperti dua orang tadi. Satu orang dari arah kiri berusaha menjatuhkannya. Dengan cepat Satria menampis tangan kanan orang itu lalu memukul wajahnya. Dari arah kanan, seseorang yang lain menendangnya namun diblok oleh tangan Satria. Orang dari kiri tadi merangkul Satria dari belakang. Seseorang lainnya memukul perutnya. Satria pun mengangkat tubuhnya lalu menendang orang di depannya dan menyikut orang yang merangkulnya dari belakang. Tak disangka beberapa orang lainnya memukulnya bertubi-tubi dengan tongkat. Tongkat itu mengeluarkan sengatan listrik. Tak lama kemudian suara helikopter Blackhawk datang mendekati Satria yang sedang dikeroyok oleh orang–orang misterius itu. Banyak orang melihatnya dan beberapa polisi yang berada di kejauhan segera menghampiri mereka. Namun dengan cepat mereka masuk ke dalam mobil dan pergi sedangkan Satria diangkat ke atas masuk ke dalam helikopter.

Di dalam helikopter Satria terbaring lelah dan kesakitan setelah dipukuli berkali–kali. Tangannya diikat oleh sesuatu berbentuk segi enam berbahan aluminium. Dia memejamkan mata dan berusaha memfokuskan tenaganya. Tiba–tiba dia ke depan lalu menarik swashplate kendali helikopter. Sontak dua penjaga di sebelahnya menariknya ke belakang. Satria pun tertarik sementara tangannya masih memegang tuas sehingga helikopter pun memutar ke atas sampai terbalik lalu terjun ke bawah. Bagian landing skids helikopter hampir menyerempet kaca gedung Tunjungan Plaza. Orang–orang di bawahnya pun berhamburan menghindari helikopter yang akan jatuh itu. Leher satria diapit oleh lengan salah satu penjaga itu. Tuas kontrol pun dilepasnya sehingga si pilot bisa menyeimbangkan helikopternya kembali namun Satria berganti menyerang pilot itu. Kepala si pilot di tekannya ke belakang sehingga menutupi penglihatan. Tangan kanannya berusaha melepaskan tangan Satria sehingga kontrol yang dipegangnya tidak terkendali. Helikopter yang sudah seimbang kembali berubah menukik ke kanan dan kiri sampai menuntunnya ke pinggiran gedung plaza. Kaca–kaca gedung itu pecah dan berhamburan ke bawah terkena baling–baling helikopter. Helikopter itu memutar menuju ke gedung sebelahnya. Di bawah, beberapa mobil polisi datang untuk menetralkan jalanan dan mengevakuasi orang–orang di sekitar.

Helikopter itu sudah berada di rooftop gedung Tunjungan Plaza sedang terbang tak terkendali. Tiba–tiba rotor belakang helikopter itu menabrak salah satu menara sehingga jatuh terguling di atas gedung yang tertinggi. Kembang api yang meledak dimana–mana serta gerimis telah menyamarkan suara helikopter yang jatuh itu. Satria berusaha keluar namun ditarik oleh salah satu penjaga yang masih hidup. Satria pun menendangnya sampai pingsan lalu merangkak keluar. Dia berjalan pontang–panting menjauhi helikopter. Dari arah kirinya sebuah helikopter polisi datang untuk menghentikan mereka. Tiba–tiba roket meluncur cepat mengenai helikopter polisi itu dan meledak jatuh ke bawah. Tak disangka roket itu berasal dari helikopter lain yang datang menghampirinya. Bentuknya berbeda, sedikit berkelas dengan warna hitam dan strip emas yang mengkilat. Seseorang membuka pintu helikopter itu. Satria memfokuskan pengelihatannya ke atas. Itu Mr. Trevor! Mr. Trevor yang sudah berada di luar pintu segera melompat dari helikopter yang masih terbang di atas. Sekarang dia berjarak beberapa meter dari Satria.

“Satria!” Mr. Trevor mengeraskan suaranya.

“Siapa kau sebenarnya. Kau adalah pelaku dibalik semua ini!” Sahut Satria.

“Please, dengarkan aku dulu. Kau adalah orang spesial diantara semua makhluk hidup di bumi ini. Kau memiliki takdir yang berbeda.”

“Tidak. Kau yang membuatku berbeda. Aku bisa saja membantu mereka tanpa harus mengikuti percobaan aneh mu.”

“Maksudmu perempuan itu? Kau bisa berbuat lebih dari ini, Satria. Untuk dunia yang lebih baik. Orang–orang autismu hanyalah sebagian kecil dari besarnya masalah yang akan datang di bumi ini. Dan sekarang tidak ada waktu lagi.”

“Kau hanya membuat peperanganmu sendiri. Bahkan itu tak akan pernah terjadi.”

“Baiklah jika itu yang kau yakini.”

Mr. Trevor melihat ke helikopternya lalu seseorang melompat ke bawah menggetarkan atap gedung. Dia seperti salah satu orang yang ada di video. Dia hidup! Satria menjadi sedikit was–was. Wajah orang itu datar. Bagian tubuhnya ada yang berbahan metal dan terdapat garis–garis seperti otot yang berpendar berwarna biru. Retinanya juga berwarna biru. Tubuhnya ditutupi sesuatu yang berwarna silver dengan pola garis–garis melengkung menyesuaikan tubuhnya. Tak lama kemudian dia berlari cepat menghampiri Satria. Satria yang sudah memasang kuda–kuda pun percuma karena terkena serangan terlebih dahulu sampai terpental ke belakang mengenai pipa besi.

“Lihatlah hasil ciptaanku! Thanks to your blood!”

Satria pun bangkit. Dia sedikit kesal dengan ucapan Mr. Trevor. Dia segera berlari menyerang Mr. Trevor namun dihadang oleh mayat hidup itu. Satria mau tidak mau harus berhadapan dengannya. Cuk, ini gak adil! Satria menggumam dan berusaha menguatkan tubuhnya. Dia menyerang orang itu dengan tangannya. Orang itu hanya menggunakan tangan kanannya untuk menampis pukulan–pukulan Satria. Tangannya yang keras bisa saja meremukkan tulang–tulang Satria dengan sekejap. Orang ini hidup karena darahku. Mana mungkin aku kalah darinya. Satria berusaha meyakinkan dirinya. Orang itu memukul keras ke arah Satria. Sebuah gelombang cahaya keluar dari pergelangan tangan besinya. Satria terpental namun masih bisa berdiri menyeimbangkan tubuhnya.

Satria berusaha memusatkan tenaganya. Tiba–tiba puing–puing beton dan helikopter bergetar terkena energinya. Dia berlari lebih cepat daripada sebelumnya. Orang itu pun juga mengikuti. Mereka berdua bertarung saling memukul, hanya saja Satria lebih lihai karena teknik bela diri silatnya. Pukulan maut mengenai wajah orang itu lalu jatuh terguling beberapa meter di depannya. Dia tidak sabar untuk segera memukul Mr. Trevor yang hanya berdiri melihatnya bertarung. Dia berlari kemudian melompat untuk memukul Mr. Trevor dari atas. Mr. Trevor menghindar dengan mudah dan pukulan Satria pun percuma. Satria melanjutkan pukulannya hanya saja sedikit kesusahan melawan Mr. Trevor. Dari samping, mayat hidup itu bangkit dan datang ikut menyerang Satria. Satria harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk melawan mereka berdua yang kekuatannya jauh melebihi dirinya. Tiba–tiba tangan Mr. Trevor memukul Satria yang juga menangkis pukulan itu dengan tangan. Satria pun mundur beberapa meter ke belakang.

“Teknik bela dirimu cukup bagus. Tapi kau tidak dilatih untuk berada di medan perang sepertiku. Prinsip hidupmu pun terlalu sederhana. Bahkan cukup setara dengan orang rendahan sekalipun!”

Mr. Trevor berlari menyerangnya. Dia menarik rambut Satria lalu menendang perutnya. Tangannya menyasar ke pipi kanan Satria dengan keras sampai terjatuh. Kemudian dia memegang baju Satria dan mengangkat badannya tinggi–tinggi.

“Lihat betapa bodohnya keturunan–keturunan sang Raja. Apa yang sudah diajarkan oleh Nuh selama dalam pengasingannya?” Mr. Trevor melepaskan genggamannya dan Satria jatuh tengkurap.

“Bawa pemuda ini ke dalam.”

©2019 Mizuno
The Ambition

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience