Chapter 7: The Project (Part II)

Crime Series 225

The Project
Part II
----------------------------------------

Keadaannya sungguh sunyi dan kaku. Angin bersiul sangat kencang melewati telinga mereka walau sudah ditutupi. Mereka berjalan mengikuti kemana Lisa pergi.

“Apa kau bisa merasakannya?” Tanya Haura ke Lisa.

“Aku sedang mencarinya.”

“Bagaimana caramu melakukan itu?” Tanya Oleg.

“Bisakah kalian berhenti bertanya? Aku sedang konsentrasi.”

“Maaf, salahku. Bagaimana dirimu? Martin, kan?”

“Aku tak tahu, bisa berada di tempat dimana banyak orang membicarakannya. Antara senang dan takut.”

“Ya, banyak keanehan disini dan kita sedang mencarinya. Hehe…”

“Berhenti. Ada sesuatu di depan.” Seru Lisa. Mereka pun berhenti berjalan dan melihat sekitar.

Oleg melihat keadaan dengan teropong. “Sembunyi!” Dia mendorong yang lain untuk segera sembunyi di balik gundukan es. Mereka berjajar tengkurap sambil melihat area sekitar.

“Kau dengar itu?!” Kata Martinus.

“Aku bisa melihatnya tapi aku tak berani lebih dekat lagi.”

“Ada apa?” Tanya Haura.

“Aku tak berani melihat. Salah satu dari mereka bisa merasakan kehadiranku.”

“Aku mendengarnya. Tapi sedikit tersamarkan oleh suara angin.” Oleg melihat–lihat sekitar dengan teropong. “Ada sesuatu di sebelah kiri kita! Pindah posisi!”

“Really? Bagaimana bisa tentara hebat salah dalam mengatur posisi sembunyi?!” Seru Martinus.

Mereka memindahkan tubuh kearah kiri sehingga terlihat menyerong. Oleg berada di depan sebelah kiri. Paling belakang sendiri Martinus di sisi kanan.

“Dengar, apakah itu suara lagu?” Tanya Haura.

••••

“Ardan, periksa sebelah kiri.” Kata Alex sementara dia ke kanan bersama Mr. Killain dan Satria.

Di dalam dome itu terdapat kontainer merah yang sepertinya untuk tempat tinggal. Alex membuka pintu kontainer sebelah kanan sementara Ardan membuka pintu lainnya. Mr. Killain dan Satria mengikuti Alex masuk ke dalam. Ruangannya diisi rak rak penyimpanan dan bekal para staff stasiun.

“Tak ada orang.” Kata Alex.

“Apa kita boleh mengambilnya sedikit?” Tanya Satria sambil melihat–lihat beberapa makanan pabrikan.

“Jangan. Kita tak tahu itu terkontaminasi atau tidak. Meskipun kau ‘manusia hebat’.” Sahut Alex. Mereka pun keluar dari kontainer.

“Menemukan sesuatu?”

“Kau harus melihat ini.” Kata Ardan di pintu kontainer satunya.

Mereka bertiga mengikuti Ardan masuk. Ardan membuka plastik yang menutup tubuh aneh dengan panjang sekitar tiga meter.

“Kau tahu apa ini?” kata Ardan.

“Ini tubuh genetik Vegan. Bagaimana bisa ada disini?” Kata Mr. Killain terheran.

“Siapa Vegan?” Sahut Alex.

“Salah satu ras awal yang ada di bumi. Dari mana orang Amerika mendapatkan tubuh ini tanpa riset? Jika mereka bekerja sama dengan Trevor, maka Trevor pasti…”

“Apa?” Sahut Satria dengan serius.

“Trevor ingin menyerang para Agarthan.”

“Tunggu, jelaskan apa yang terjadi disini?” Sahut Alex.

“Tempat persembunyian orang–orang Agarthan berada di lingkar Antartika, jika aku tak salah. Dan Trevor telah meledakkan perisai pembatas mereka dengan dunia luar.”

“Badai itu?” Tanya Satria.

“Ya, badai itu menghancurkan perisai yang sudah dibuat oleh mereka di awal peradaban.”

“Ini omong kosong.” Sahut Ardan.

“Percaya atau tidak. Mereka luar biasa bahaya. Itulah kenapa aku tidak menceritakan semuanya padamu, Satria.”

“Aku tak perduli siapapun mereka, selama mereka mengancam nyawaku, aku akan membunuhnya.” Kata Ardan.

••••

Sungguh indah suara itu. Paduan harmoni yang lebih daripada sebuah orkestra yang pernah dibuat oleh manusia. Alunannya membuat pola gelombang yang tertata sehingga melahirkan sebuah alunan merdu yang kemudian digunakan oleh ras cahaya sebagai bahasa mereka. Ras dimana para dewa lahir pertama kali lalu membuat peradaban awal di muka bumi ini. Hanya saja bahasa nan indah itu sangatlah menyakitkan jika didengar oleh manusia saat ini.

“Pergiiii…!!!” Seru Lisa.

Tiga orang bersamanya kesakitan mendengar suara itu. Mata mereka memerah dan air liur keluar bagai racun mematikan. Hanya Haura yang hidungnya mengeluarkan darah. Lisa berusaha menghentikan suara itu agar tidak masuk ke dalam kepala mereka bertiga yang berusaha berlari. Sesekali suara itu hilang lalu muncul kembali.

••••

Sebuah cahaya dari luar melewati pintu masuk dome. Mereka bergegas sembunyi di sisi pintu sambil mengangkat senjata. Alex memberi aba–aba ke Ardan untuk maju bersama. Mereka berdua melangkah perlahan dengan senjata mengarah ke depan. Satria dan Mr. Killain mengikuti mereka.

“Lho! Apinya…” Satria terheran.

“Ssttt…” Seru Alex.

Api yang menyelimuti stasiun itu sudah tidak ada. Namun sebuah cahaya dari atas menyorotinya. Alex tak bisa melihat apapun di langit lalu dia segera mengambil teropong miliknya.

“Ada sesuatu yang besar di atas. Menghilang.”

“Cahayanya hilang.” Seru Satria.

“Kita lewat belakang.”

Mereka mengendap–endap memutari bangunan itu lewat sisi kiri. Mereka menerobos pilar–pilarnya lalu sampai di tengahnya.

“Tak ada suara apapun.” Kata Alex. Mereka hanya mengintip jendela atas dari kejauhan mulai dari sisi kiri sampai ke kanan.

“Apa harus ke depan?”

“Oke, kita kesana. Ardan, kau berjaga–jaga di sini.”

Mereka berjalan memutar dari sisi kanan. Senjata mereka tetap mengarah ke depan. Sesaat akan sampai di tengah–tengah bangunan tiba–tiba Alex berhenti dan menurunkan senjata.

“Ada apa?” Tanya Satria.

“Kita ketahuan.” Sahut Mr. Killain.

Satria menoleh ke kiri. Cahaya tadi berganti menyoroti mereka kemudian mengecil sehingga memperlihatkan pesawat aneh yang melayang di depan mereka. Jauh di belakang pesawat itu terdapat benda melayang yang cukup besar. Bentuknya segi enam yang memiliki dua sudut yang saling berlawanan dan di tengah–tengahnya terdapat lingkaran seperti roda yang memutar horisontal.

••••

Vienna International Centre
Vienna, Austria

“…Masyarakat kebingungan dan menderita karena kekuatan yang mereka hadapi. Inilah tugas kita sebagai pemimpin untuk merespon penderitaan mereka dengan segala cara…” PM Perancis berpidato di depan para delegasi.

Jauh di luar ruang sidang, Pak Soenaryo yang baru datang tadi malam sedang duduk bersama empat orang menikmati segelas kopi di cafetaria. Beberapa pertemuan yang seharusnya menjadi jam istirahat terus dilakukan oleh sejumlah negara. Namun tidak dengan Pak Soenaryo. Dia tetap mengikuti kebiasaan kerjanya untuk menyempatkan istirahat selama satu jam.

“…Fokus pada pertahanan global. Lah dari dulu kita ngapain?” Sindirnya sambil cekikikan bersama teman–temannya.

“Mungkin karena isu perang di Suriah pak. Gak ada habis–habisnya.” Kata salah satu pejabat pertahanan.

“Ya tau sendiri biang keladinya siapa. Pasti mereka lagi.” Sahut seorang lain sambil melirik ke seluruh ruangan.

“Ngomong soal perang, gimana kabar yang katanya makhluk asing itu?” Tanya seorang yang lain.

“Orangku masih menyelidiki. Kemarin kan sudah saya bahas sama panglima.”

“Iya, kabarnya sih mau disiapkan tim khusus.” Sahut pejabat itu.

“Sebentar.” Pak Soenaryo berdiri sambil mengangkat telepon. “Halo… ada kabar?”

Dia berjalan menelusuri koridor sambil tergesah–gesah. Dia membisikkan sesuatu dari belakang seorang pria yang merupakan agennya lalu pria itu pergi bersama beberapa rekannya. Akhirnya terjadi juga. Dia bergumam sambil mondar–mandir di koridor kecil memikirkan sesuatu. Telepon genggam diangkatnya.

“Riri, kamu aja yang pergi kesana. Hati–hati, jangan sampai ketangkep kayak Bayu yang sok jadi pahlawan. Saya awasi terus sasaran kita.”

Agen muda tadi terburu–buru membuka pintu ruangan. “Pak, target keluar.”

“Kemana dia?”

“Kayaknya enggak lewat gerbang utama pak.”

Agen itu memimpin arah melewati koridor gedung C lalu masuk ke dalam plaza. Disana Mr. Trevor dan rombongannya dihadang oleh para wartawan. Mereka berdua pun segera mendahuluinya untuk keluar dari gedung. Mereka berjalan menyusuri sisi kiri bangunan dan masuk ke mobil untuk bergabung dengan para agen lainnya.

“Apa kau penyidik yang mereka kirim?” Tanya Pak Soenaryo kepada orang Austria yang duduk di sebelah pengemudi.

“Yes, sir. Negaraku tak ingin ada badan asing yang lalu lalang di luar otoritasnya. Tanpa ijin.”

“Ya aku tahu pasti orang–orangmu berkata seperti itu. Siapa namamu?”

“Philipp, sir.”

“Oke, Philipp. Buatlah dirimu senyaman mungkin. Yauda, yang lain suruh siap–siap.”

Tiga mobil datang ke pintu depan plaza. Mr. Trevor dan beberapa penjaganya segera masuk dan pergi. Mereka pun mengikutinya. Pihak Austria tak ingin gegabah menangkap Mr. Trevor jika belum ada bukti yang nyata. Sedangkan Pak Soenaryo tak ingin memperlihatkan video dan berkas–berkas yang didapatkan oleh Bayu karena pihak Austria akan menganggap Indonesia telah menghayal. Itulah kenapa mereka mengirim Philipp untuk mencari tahu.

••••

Di ruangan yang gelap dan cukup luas untuk dimasuki oleh belasan orang, mereka berdua bertelanjang dada dengan tangan yang dirantai tergantung ke langit–langit. Hanya ada satu lampu yang menyorot ke arah mereka. Beberapa pukulan dari tongkat listrik menghantam perut mereka. Ada tiga penjaga di ruangan itu. Penjaga berpakaian serba hitam yang sama saat Bayu lihat di Tazmania. Satu pukulan lagi mengenai perut Bayu.

“Percayalah. Dengan memukulku berkali–kali kalian akan semakin kelelahan. Jika sedang istirahat, makanlah yang banyak.” Katanya sambil tersenyum.

Penjaga itu malah memukulnya lagi. Sesaat kemudian, pintu ruang yang terbuat dari besi itu terbuka. Dua penjaga masuk diikuti seseorang berpakaian rapi lalu menghampiri mereka berdua.

“Aku melihatmu di pabrik itu.” Kata Ivan.

“Aku terkesan ingatanmu masih sehat setelah mendapat sengatan listrik berkali–kali.”

“Saya tahu aksen anda. Anda harus malu dengan diri anda sendiri.” Kata Bayu.

“Kenapa saya harus malu? Saya mengabdi sama yang seharusnya diabdi.”

“Sama alien itu?”

“Hehehe. Ternyata kamu masih belum tahu apa–apa tentang mereka. Emang dari kemarin kamu ngapain masuk ke markas Tazmania sama ngeledakin pabrik kami kalau gak tahu apa yang kamu cari? Hah?”

“Seluruh negara bakal menghentikan anda. Aku yakin anda yang membawa anak itu ke Singapura.”

“Ya, itu aku. Dia itu mahasiswaku yang cukup cerdas sampai aku sadar dialah yang mereka cari. Aku memberikan rekomendasi padanya buat ngerjain skripsi tentang spektrum autism dan viola, dia terpancing.”

“Tolong, bisakah kalian berbicara bahasa Inggris?” Sahut Ivan.

••••

“Aku tak tahu. Dia termasuk orang kepercayaan di lingkungan WHO, kenapa bisa melakukan kejahatan seperti ini. Jika dia terbukti bersalah, maka kredibilitas seluruh orang di jajarannya akan diragukan. Kau tahu kan dampaknya pada UN?” Kata Philipp.

“Ya, aku tahu. Amerika dan sekutunya akan menjadikannya sebagai bahan ejekan.”

“Apakah itu sindiran, Mr. Soenaryo?” Sahut Philipp sambil tersenyum.

“Harus memikirkan kejadian terburuk agar kita tidak terkejut saat mengalaminya nanti. Itulah yang membuat kita bisa bertahan hidup sampai sekarang. Walau oleh sebuah negara sekalipun.”

Tidak hanya itu yang mereka perkirakan. Mereka juga harus bisa bertahan dengan cuaca dingin dan bersalju untuk menyesuaikan diri. Setelah keluar dari kota Vienna, mereka menuju ke jalan tol lalu masuk ke sisi selatan Jerman kemudian masuk lagi ke Austria melalui kota Innsbruck.

“Tunggu, ini jalur ke Liechtenstein.” Kata Philipp. “Apakah mereka…”

“Sepertinya ada penjaga perbatasan.”

“Pelankan mobilnya.” Seru Pak Soenaryo.

Dari kejauhan, terlihat penjaga itu menghentikan satu mobil saat sedang melewatinya. Lalu mobil itu memutar balik dan pergi dengan cepat.

“Sejak kapan kerajaan Liechtenstein punya tentara lagi? Bahkan lebih menyeramkan dari tentara kami.”

“Tunggu.” Kata Pak Soenaryo. “Pakaiannya sama seperti penjaga Bio Titans. Suruh yang lain berhenti. Kita terus aja. Kita lihat reaksi mereka.”

Dua mobil pergi ke arah lain untuk mencari pemberhentian. Satu mobil yang dinaiki oleh Pak Soenaryo dan Philipp mendekat ke para penjaga itu. Semua komunikasi mereka sembunyikan untuk menghilangkan kecurigaan para penjaga. Saat beberapa meter dari perbatasan, para penjaga sudah menanti mereka dengan senjata lengkap. Mereka pun dihentikan si pengemudi membuka kaca jendela.

“Tolong identitasnya.” Kata penjaga itu dengan mulut yang ditutupi oleh masker hitam sehingga suaranya terdengar dari elektronik.

Dengan gugup pengemudi itu menoleh ke Philipp. Philipp memberikan kartu identitasnya.

“Kita dari lembaga asuransi untuk pangeran Hans.” Kata Philipp.

“Aku ingin identitas si pengemudi. Berikan padaku.” Seru penjaga itu.

“Aku hanya pengemudi, kenapa kau ingin identitasku?”

“Berikan kartu identitasmu!” Seru penjaga itu lagi.

“Hei...! jika kau tak ingin kami masuk, maka biarkan kami pergi.” Kata Pak Soenaryo.

“Tak ada yang pergi sampai aku tahu identitas pengemudi ini.” Seru penjaga itu. Temannya pun mendekat karena mendengar keributan.

“Ada apa?”

“Mereka adalah agen.”

“Agen apa? Semuanya keluar!”

Melihat mereka berempat hanya diam saja, penjaga itu menggebrak–gebrak mobilnya.

“Kau dengar aku? Keluar!” Seru penjaga itu.

Mereka keluar perlahan–lahan sambil mengangkat kedua tangan lalu membalikkan badan ke mobil. Dua penjaga itu memeriksa tubuh mereka. Tiba–tiba pemeriksaan itu berakhir dengan temuan pistol di saku Philipp.

“Siapa kau?!” Seru si penjaga dengan menekan kepala Philipp ke mobil dan tangan kanannya menodongkan pistol ke arah Pak Soenaryo. Sedangkan penjaga satunya menodongkan senjata laras panjang ke si pengemudi dan agen muda tadi.

Tiba–tiba suara sirine polisi terdengar dari kejauhan. Lalu beberapa agen yang berhenti tadi keluar dan melontarkan tembakan ke dua penjaga itu. Sontak pandangan dua penjaga itu teralihkan dan Philipp serta agen muda tadi menyerang dengan pukulan. Pak Soenaryo membuka pintu mobil untuk mengambil pistolnya lalu ditembakkan pistol itu ke arah dua penjaga.

Seorang penjaga lain masuk menghampiri orang Indonesia itu dan membisikkan sesuatu. Tak lama kemudian, suara langkah yang banyak mendekati ruangan mereka lalu langkahnya melambat saat memasuki ruangan. Mereka berdua menoleh untuk melihat siapa yang berjalan di belakangnya sampai orang itu berada di depan mereka.

“Sudah kuduga.” Kata Ivan.

“Well… well… well… dua tikus pembuat onar telah tertangkap. Di jamanku, ukuran tikus sebesar setengah ukuran kalian. Dan sekarang aku tak menyangka mereka bisa berubah menjadi manusia.”

“Jadi kau manusia abadi itu?” Kata Ivan.

“Sungguh aku merendahkan derajatku sendiri untuk mau berbicara dengan manusia biasa seperti kalian. Apa yang kalian ketahui tentang diriku dan pasukanku?”

“Kau adalah monster.” Sahut Bayu.

Mr. Trevor tersenyum. “Apa? Karena telah melakukan eksperimen terhadap kaum kalian? Mereka orang mati. Apa yang kau lakukan terhadap mereka kecuali mengubur jasadnya?”

“Anak itu. Apa yang kau lakukan padanya? Kau menciptakan pasukan darinya.”

“Ada sesuatu yang besar di dunia ini di luar pemahaman kalian. Jika anak itu tidak melarikan diri, sekarang dia akan berada di depan kalian dan membuat kalian menyesal dengan apa yang sudah kalian cari. Oh, atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar mencari anak itu. Kau kehilangan seseorang. Seseorang yang sudah lama kubunuh.”

“Kau membunuh temanku. Di Afganistan.”

“Jadi itu kamu!? Dia salah satu dari pasukan Al-Sinan yang berhasil lolos.” Sahut orang Indonesia itu.

“Dan kau ingin membalas dendam? Hahaha kau sunggu menyedihkan. Ataukah meneruskan misimu? Ingatlah, pasukanmu sudah mati oleh para Taliban. Kau cukup cermat bisa mengetahui mereka adalah orang–orangku dulu.”

“Old Man From The Mountains. Kau salah satu mata–mata yang bergabung dengan Mujahiddin. Rival dari Assassin.” Sahut Ivan.

“Kau bekerjasama dengan sekertaris CIA untuk membentuk Taliban.” Kata Bayu.

“Apa kau tidak sadar darimana aku merekrut para tentara ini? Kau begitu bodoh jika mengira itu adalah misi suci untuk menyelamatkan bangsa Arab. Lihatlah badut–badut di konferensi itu. Kau pikir mereka berusaha menyelamatkan dunia? Mereka hanya berusaha menyelamatkan diri dari dunia itu sendiri.”

“Really? 9/11, serangan di WTC itu ulahmu bukan?”

“Ya. Aku harus membuat mereka percaya jika Taliban pelakunya. Aku ingin mereka kalah karena membelot padaku.”

“Dengan membunuh orang–orang tidak berdosa. Kau orang yang tidak menghargai artinya hidup…!”

“Jangan ceramahi aku tentang hidup!!!” Seru Mr. Trevor yang dengan cepat berada di depan Bayu lalu mencekik lehernya sampai ke atas. “Aku hidup lebih lama darimu! Aku melihat lebih banyak kehidupan! Dan ini bukanlah tentang menyelamatkan hidup, ini tentang menyelamatkan warisan dan siapa yang memegangnya.”

Mr. Trevor menurunkan Bayu. “Tanyakan pada teman Russiamu ini. Kenapa dia ditugaskan untuk mencari tahu keberadaanku? Apakah dia tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemimpinnya – Uni Soviet saat itu – sebelum Taliban kubentuk.”

“Kau percaya dia?” Kata Ivan.

“Dia berkata benar.”

“Fuck kebenaran! Dia sedang mengadu domba kita.”

“Apa itu sebabnya kau mencuri serum dariku?”

“Sayangnya itu adalah serumku dan kalian mencurinya. Sekarang dimana kalian sembunyikan?”

“Serumnya terjatuh saat robot besarmu mengejarku.” Kata Bayu.

Ivan memandang Bayu dengan kecewa. Satu tentara datang menghampiri Mr. Trevor.

“My Lord, ada kegaduhan di luar.”

“Akhir mereka tahu juga. Bawa mereka! Inilah waktunya.”

••••

Mobil–mobil mereka beserta beberapa mobil polisi melaju cepat menuju istana Vaduz yang terletak di atas bukit. Pak Soenaryo, Philipp, dan lainnya sangat gelisah karena kemungkinan akan kehilangan jejak mereka.

“Suruh yang lain menyebar ke kota lain! Jika dia pergi dengan pesawat, kemungkinan perang dunia ketiga akan terjadi.” Seru Pak Soenaryo.

Philipp menghubungi seseorang di walkie-talkienya. Lalu telepon genggamnya berbunyi. “Ada kondisi darurat, sir. Kemungkinan keluarga kerajaan Leichtenstein disekap oleh teroris. Bukan, sir. Ini lebih dari perkiraanmu. Tolong kirimkan militer federal. Tapi… shitt!”

“Ada apa?”

“Mereka tidak percaya.”

“Mereka tahu kejadian ini akan berdampak pada keamanan gedung VIC. Bahkan keamanan kota Vienna itu sendiri.” Pak Soenaryo segera mengambil ponselnya.

“Halo. Tolong hubungkan ke Pak Wanggai. Pak, maaf mengganggu. Ini keadaan darurat. Ya, benar. Suruh rombongan keluar dari Austria lewat jalur darat sama laut. Carikan alasan, Pak Presiden pasti mendukung. Saya masih dalam perjalanan ke Vaduz dan mungkin tidak bisa ikut kalian. Ya, terima kasih.”

Tiba–tiba si pengemudi memberhentikan mobilnya secara mendadak. Mobil–mobil di belakangnya pun ikut berhenti mendadak.

“Ada apa?” Sahut Pak Soenaryo.

Tepat di jalan persimpangan puluhan meter di depan mereka, terlihat sekelompok tentara yang berpakaian hitam dan bermasker seperti penjaga yang mereka jatuhkan tadi. Para tentara itu tahu dan segera menghampiri mereka yang sedang cepat–cepat memutar balik. Sontak tentara itu menembaki mereka dengan senapan laras panjang.

“Sialan! Kita tidak siap untuk kontak dengan mereka. Tentara bersenjata lengkap dengan kendaraan tempur melawan agen berbaju kantoran dengan mobil sedan. Bagaimana bisa federasimu acuh terhadap kejadian seperti ini!”

“Aku tak tahu! Damn…! Negara terdamai di dunia tiba–tiba menjadi sangat bahaya hanya dalam satu malam. Ini mimpi buruk.”

Dengan kendaraan tempur, para tentara itu terus mengejar dan menembaki mereka. Mereka pun membalasnya walau tembakan mereka sia–sia. Satu mobil polisi meledak. Beberapa mobil mencoba menghindar.

Telepon berdering di saku Philipp. “Ya? Bantuan militer? Ya, sir. Ya, kita diserang. Kita mencoba pergi, tapi dua kendaraan monster sedang mengejar. Tolong cepatlah.”

“Apa mereka datang?” Tanya Pak Soenaryo.

“Ya, mereka merespon.”

Suara ledakan mobil terdengar di sebelah mereka. Satu mobil hitam yang dikendarai agen Pak Soenaryo meledak dan terbakar.

“Sialan!” Dia mengeluarkan tubuhnya ke jendela. Sasarannya tentara yang memegang mesin serbu di atas kendaraan tempur itu.

“Hei…! Pak, jangan!” Seru agen muda itu.

Philipp melihat ke belakang. “Sir, jangan lakukan itu!”

Pak Soenaryo memfokuskan sasarannya lalu segera menarik pelatuknya. Tembakannya memantul ke mesin itu. Tentara itu menembakinya namun tidak terkena. Dia menarik pelatuknya sekali lagi dan tertembaklah tentara itu tepat di leher. Dia pun segera masuk ke dalam mobil menghembuskan nafas panjang.

Keluar dari perbatasan, kendaraan tempur itu masih mengejar mereka. Dua kendaraan tempur melaju kencang mengejar dua mobil sendan hitam dan satu mobil polisi federal. Tepat di depan mereka, satu pesawat datang melewati mereka.

“Itu pesawat pengintai. Sebentar lagi mereka datang.” Kata Philipp.

Tiba–tiba terdengar ledakan dari kejauhan di belakang mereka. Mereka segera menoleh ke belakang.

“Itu pesawat tadi!” Kata si agen dengan muka tak percaya.

Para tentara itu terus menembaki mereka sampai mengenai salah satu mobil polisi sehingga terbakar dan terguling. Kendaraan besar itu menabraknya ke samping.

Dari kejauhan terdapat kendaraan tentara federal yang membentuk dua baris menuju mereka. Si pengemudi itu segera menancapkan gas agar cepat–cepat melewatinya. Ada delapan kendaraan yang sudah siap–siap melontarkan peluru. Dengan jarak sekitar lima puluh meter, mereka menembaki dua kendaraan besar itu.

“Hei…! Kita masih berada disini! Kenapa mereka menembaki kita!” Seru Pak Soenaryo.

Satu kendaraan besar di belakang mereka meledak dengan dahsyatnya. Sesaat mereka berada dekat dengan tentara federal, kendaraan besar kedua milik Trevor meledak. Mereka dan kendaraan tentara itu menghentikan lajunya.

Pak Soenaryo keluar dan segera menghampiri mereka. Satu tentara keluar menghampirinya.

“Apa yang kau pikirkan?!”

“Kita tak bisa membiarkan mereka masuk ke dalam wilayah kita, sir.” Kata komandan tentara itu.

“Dengan merelakan kita terbunuh?! Baiklah, aku harus ikut denganmu. Ada salah satu agenku yang ditawan oleh Trevor atau siapapun dia.”

“Bagaimana bisa kau tahu jika agenmu ada disana?”

“Aku sudah menyelidiki mereka cukup lama.”

“Tapi kau tidak bisa ikut. Disana adalah wilayah berbahaya.”

“Ya, aku tahu dan sudah mengalaminya barusan. Lihatlah aku.”

“Tolong pergilah dari sini.”

“Aku harus ikut denganmu atau negaraku tak akan berkompromi…”

Tiba–tiba terdengar suara yang cukup keras dari arah Vaduz. Langit seakan terbelah di atas bukit dimana istana itu berada. Benda seukuran gedung tiba–tiba muncul dan melayang di atas bukit itu. Pak Soenaryo yang lainnya terperangah tanpa kata melihat benda besar itu. Tubuhnya semakin kaku seolah–olah dirinya sudah mati sebelum berperang.

“Ya Tuhan. Jika kau ingin ikut, Mr. Soenaryo. Dengan senang hati bergabunglah bersama kami.”

©2019 Mizuno
The Ambition

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience