Chapter 1: The Cure (Part I)

Crime Series 225

The Cure
Part I
----------------------------------------

Surabaya 'Present'

Kegaduhan terdengar terus menerus di langit disertai hujan deras yang mengguyur kota Surabaya. Satria yang sudah bersiap–siap dari tadi harus menunggu hujan sedikit reda untuk pergi ke kampusnya.

"Sudah kalau mau berangkat yo pakai jas hujan aja. Jangan kalah sebelum perang. Yang penting hati–hati."

"Enggeh bu."

Dia merelakan tubuhnya basah untuk mengambil jas hujan batman dari jok sepedanya lalu kembali ke teras. Dia memakai jas hujan berwarna hijau tua itu lalu keluar menuju motor matiknya. "Bu, aku berangkat, assalamualaikum." Satria pergi sebelum ibunya mengucapkan salam balik.

••••

Kampus A UNAIR
Surabaya, Indonesia

Suara kaki menggema di sepanjang koridor yang sepi dan lembab. Hanya ada beberapa mahasiswa yang terlihat dari kejauhan. Tepat di depan pintu ruang dosen, satu lampu berusaha hidup. Satria membuka pintu itu. Pintu yang sebagian mahasiswa anggap sebagai gerbang neraka itu ganggangnya berat dan berbunyi. Terlihat wanita berkerudung abu–abu sedang asik menulis sesuatu.

"Permisi." Satria sedikit mendekat. "Maaf bu, ngelihat Pak Bambang gak bu?"

Wanita itu menoleh. Wajahnya muram dan matanya sedikit kelelahan. "Tadi disini mas, terus keluar gak tau kemana."

"Oh iya, yauda bu permisi."

Wanita itu kembali memandangi seni tulisannya tanpa memperhatikan Satria yang menutup pintu. Kemudian dia menuju Laboratorium.

"Lho sendirian pak?"

"Iya ini lagi beresin barangnya anak–anak. Udah selesai analisamu?"

"Udah pak ini tinggal sampelnya aja. Terus ke tempat rehabilitasi sama Pak Bambang tapi orangnya gak ada."

"Oh ya dia masih ada kuliah di kampus lain."

"Duh lupa lagi dia."

Dosen pembimbing itu sedikit tertawa melihat kebiasaan Pak Bambang yang sering lupa karena jadwalnya padat. Wajah Satria berubah lesu karena harus menunggu Pak Bambang lagi sementara dia harus cepat–cepat mengumpulkan tugas akhir dan mengikuti Koas.

Satria mendekatkan tabung yang berisi cairan biru muda tepat kematanya. Dia harus menyatukan cairan itu dengan cairan lain menggunakan mesin shaker.

"SPG-II?"

"Iya pak. Tapi yang ini kadarnya lebih rendah soalnya sasarannya bukan skizofernia."

"Buat penyandang autis kalau pakai itu berarti treatment biologi dong?"

"Soalnya saya lebih meneliti otak si penyandang... Aduh!"

Ada sepucuk benda tajam berada di samping mesin shaker yang diam–diam menusuk jarinya sehingga darahnya menetes kemana–mana. Dia mengambil kain untuk membersihkan lantainya lalu beralih membersihkan meja.

"Sampelnya! Mati aku kemasukan darah."

Dia melihat sekeliling ruangan. Botol–botol berisi sampel tadi ditutupnya lalu mesin shaker dinyalakan. Dosen pembimbing tadi datang membawa pel lantai dan membersihkan darah yang masih tersisa. Sedangkan Satria hanya terdiam menyembunyikan kekawatirannya. Sesaat setelah mesin itu berhenti, dia langsung menulis botol itu dengan spidol dan membawanya pergi.

"Aku pergi dulu pak."

••••

Matahari hampir terlihat seperti mengintip apa yang dilakukan Satria. Genangan air di beberapa bagian jalan menenggelamkan sepatu yang tak diperdulikannya. Dia juga tidak perduli dengan sampel eksperimennya.

"Hei my man." Seorang pemuda memanggilnya.
Satria terus berjalan melewati pemuda berkulit hitam yang duduk dan memanggilnya tadi. Dia membuka kulkas dan mengambil sebotol teh lalu duduk di samping pemuda tadi. Pemuda itu terus melihat Satria yang menenggak sebotol teh sampai habis.

"Kenapa mukamu?"

"Pusing bro. Lemes aku."

"Ya udahlah. Ko punya cewek emang gitu Satria. Tuh ada yang ngelihat kamu. Atau mungkin ngelihat aku ya. Hahaha."

"Badanmu boleh besar. tapi muka sama otak masih bagusan akulah." Satria membela diri.

"Di papua, orang seperti saya tak ada. Ibarat bunga itu langka."

"Raflesia Arnoldi? Hahaha."

Mereka terus beradu mulut tanpa arah pembicaraan yang jelas. Satria semakin tak tahu perasaan apa yang dimilikinya sekarang. Entah senang atau semakin jengkel dengan tingkah kocak pemuda berkulit hitam itu. Tiba–tiba seorang perempuan berkerudung mendekat dengan muka yang sedikit memerah.

"Maaf mas. Mas Satria ya?"

"Iya dek. Ada apa ya?"

"Kata Pak Bambang tadi besok masnya disuruh langsung ke tempatnya aja."

"Oh iya makasih dek." Satria melebarkan bibirnya ke samping namun tertutup rapat. Perempuan itu langsung pergi dengan cepat. Dan kegelisahan Satria pun semakin menjadi–jadi.

••••

Pusat Terapi dan Rehabilitasi Autisme
Surabaya, Indonesia

"Gimana pak?" tanya Satria sambil menaruh tas selempangnya ke kursi panjang. "Sebentar." Pak Bambang berjalan menuju ruang lain. Kemudian dia keluar dengan seorang wanita berkepala empat lalu berjalan menghampiri Satria.

"Ini bu, mahasiswa yang akan melakukan treatmentnya nanti. Sat, ini orang tua pasiennya bu Ida Ayu." Kata Pak Bambang. Satria pun menyalaminya.

Satria dan Pak Bambang berada di ruang terapi menunggu ibu itu membawa anaknya. Ibu itu tiba–tiba datang "Dok mohon maaf anaknya susah diajak keluar. Lagi mainan soalnya.”

"Oh gakpapa bu. Kita saja yang kesana."

Mereka bertiga segera menuju ke ruang tidur anak itu. Disana terlihatlah seorang perempuan yang sedang bermain puzzle. Menariknya, puzzlenya tidak disambung melainkan ditumpuk membentuk segitiga sama sisi.

"Ini namanya Lisa." Ibu itu tersenyum sambil membelai rambut anaknya. Satria terperangah melihat perempuan itu. Perawakannya seperti perempuan normal. Dia mengira–ngira umur Lisa yang mungkin lebih muda dua tahun dari dia. Lisa hanya terdiam menata puzzlenya tanpa melihat Satria dan Pak Bambang sedikitpun.

"Terus gimana Dok?"

"Kita ngasih suntikan aja, isinya vitamin dan mineral. Setelah beberapa hari kita cek lagi lewat terapi sonar. Kalo yang suntik ini kita nyebutnya Biomedical.”

“Terus yang obat cair?”

“Cairan ini akan meningkatkan gizi sama metabolisme si anak, meskipun gak semua anak bisa berhasil sama terapi ini. Ya kita doakan saja semoga berhasil. Mungkin memakan waktu sekitar dua belas minggu. Mana Sat."

Satria mencari botol eksperimennya. Tangannya gemetaran. Entah karena kesalahannya saat di lab atau karena kecantikan perempuan itu. Ini pasti gak mungkin karena anak itu. Wong baru ketemu. Dia meyakinkan dirinya sendiri lalu memberikan sampel itu ke dosennya.

"Sudah kamu tes hasilnya di lab?"

"Sudah pak kemaren sama Pak Ahmad."

Dia harus berbohong demi menyelamatkan tugas akhirnya tanpa mempedulikan dampaknya bagi perempuan itu. Pak Bambang memutar botol kecil itu untuk melihat tulisan Satria. Lalu dia membuka tasnya dan mengeluarkan alat suntik. Lisa dituntun ke tempat tidur oleh ibunya. Lalu Pak Bambang memasukkan jarum suntik ke dalam botol itu dan menyedot cairan biru muda yang tak tahu pasti akan berpengaruh pada Lisa atau tidak. Satria terdiam kaku melihat dosennya menyuntik Lisa. Dahinya sudah dibasahi keringat dingin. Aku seorang pembunuh! Aku seorang pembunuh! Pikirnya ketakutan.

••••

Kampus A UNAIR
Surabaya, Indonesia

Satria duduk di kantin bersama pemuda Papua yang kapan lalu bersamanya. "Hahaha... Kamu mau Nus dikempit sama dia?"

"Ah dia cuma banyak lemak saja. Kalau aku beda. Nih otot ku besar." Pemuda papua itu memperlihatkan tangannya yang gempal. "Tapi bagaimana kalau kamu bantu? Kamu kan pintar silat." Lanjut temannya yang bernama Martinus itu. Satria hanya meliriknya.

"Eh gimana kemarin? Sepertinya aman-aman saja. Pak Bambang tidak marah kah?"

"Pak Bambang gak tahu Nus. Apalagi dia cantik."

"Maksudnya cantik? Aku tanya pasien yang kamu kasih obat itu lho."

"Iya pasiennya cewek. Umurnya gak jauh beda dari kita. Ya mungkin seumuran adik kelas kita lah."

"Sayang sekali ya padahal cantik. Bagaimana cantiknya? Kapan–kapan ajak ya."

Tiba–tiba seorang perempuan datang mendekat. Rambutnya lurus sedikit menyentuh bahu. "Mas, dipanggil Pak Bambang di kantor." Satria dan Martinus saling bertatap muka.

Satria masuk ke dalam ruang dosen lalu mendekat ke Pak Bambang yang sedang kipas-kipas menggunakan kertas tugas mahasiswanya. Jantung Satria semakin berdetak kencang saat melihat pakaian Pak Bambang sedikit lusuh dan wajahnya sedikit serius. Wajah Satria menggelap berusaha sembunyi dari hadapan Pak Bambang.

"Satria, Cuma mau ngasih kabar aja yang di tempat rehabilitasi. Ada sedikit perubahan sama perilaku Lisa."

Pertanyaan pun keluar dari pikiran Satria namun kata–kata itu berhenti diujung bibirnya. "Dia sedikit merespon saat dipanggil namanya. Dia juga bisa mengontrol mimik wajahnya. Ya meskipun gak langsung berubah. Terus kamu teliti sampelnya lagi buat mencatat komposisinya. Nanti saya minta datamu ya buat penelitian saya juga."

"Iya pak."

"Yasudah. Terus minggu depan kita juga masih harus melakukan treatment lagi sama dia."

Satria keluar dengan wajah kaku. Dia tenggelam ke dalam pikirannya. Kok bisa sampelnya cepat bereaksi? Dia bergelut dengan pikirannya sampai berada di depan pintu ruang lab. Dia lupa ingin melakukan apa di ruangan itu.

"Satria, kamu sudah lihat hasil sampelmu? Disini ada protein baru yang menyatu sama Dopamin tapi gak tahu kok ada semacam DNA juga."

Satria berjalan cepat menuju sampelnya. Dia melihat monitor yang menunjukkan gambar dari mikroscop elektron milik laboratorium. Pak Ahmad melihatnya dari belakang.

"Kadar protein meningkat. Jadi proses produksi ATP juga meningkat. Protein sebanyak ini bisa berpengaruh banyak sama sel-sel saraf. Kemungkinan sampel ini bisa memperbaiki stres oksidatif, ATP, NADH, sama NADHP juga." Lanjut Pak Ahmad.

"Iya pak. Pak Bambang tadi juga ngomong gitu. Dia bilang kalau pasien yang aku tangani juga ngalamin perubahan." Satria melanjutkan penelitiannya di mikroskop itu.

••••

Tiga Minggu Kemudian

Satria kembali lagi ke laboratorium membawa botol sample darahnya Lisa. Treatment selama hampir satu bulan ini berhasil dia lakukan. Dia mengamati struktur sel dari darah Lisa.

“Hasil darahnya menunjukkan kalau proteinnya bermutasi. Protein ini akan membantu transfer data antar sel otak melalui saraf Synapse.” Jelas Satria ke Martinus.

"Yakin protein ini dari darahmu?." Martinus mengintip ke monitor.

"Sssstt... jangan keras–keras ntar yang lain tahu! Jadi transfer data antar sel otak bakal meningkat sehingga terjadi mutasi genetik dan akan meningkatkan kecerdasan nonverbal. Sedangkan kondisi Imunopatobiologis tiap anak autis itu beda–beda. Jadi jika mereka berevolusi berarti mereka punya keahlian yang berbeda–beda juga Nus!"

Martinus melongo mendengar perkataan Satria. "Mana darahmu! Kasih ke aku. Aku pengen mukul Roni."

Satria segera menghapus data dan berkas yang berhubungan dengan darahnya tersebut. "Kok bisa sih semuanya dari darahku. Kalau diproduksi massal bisa mati aku kehabisan darah."

"Ya untuk kebaikan orang–orang lah Sat. Seperti aku gini pasti butuh asupan karena aku anak rantau."

"Bodoh dipelihara."

“Hai Sat.” Sapa salah satu teman perempuannya.

“Ya, Nin?”

“Nanti kamu sibuk?”

“Mmm... Enggak. Kenapa?”

“Ada beberapa artikel yang mau tak tanyain. Mungkin kamu bisa bantu. Sekali–sekali sambil nongkrong gitu.”

••••

Dua Bulan Kemudian

...Seorang mahasiswa dari Universitas Airlangga Surabaya telah menciptakan obat untuk penanganan penyandang spektrum autisme. Temuan ini didukung oleh pemerintah dan WHO sampai pada titik dimana mereka akan merencanakan produksi massal. Saat ini pihak universitas masih melakukan pengujian lebih dalam tentang kandungan dari obat ini. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Sekertaris PBB Trevor Goodwings saat konferensi press kamis kemarin. “Yes, kami masih mengerjakannya. Cepat atau lambat obat ini akan kita produksi untuk orang–orang di seluruh dunia. Kami sudah berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia tentang hal ini, dan juga Universitas Airlangga. Satria adalah pemuda cerdas. Sehingga kita sebagai organisasi dunia harus memberikan fasilitas terbaik untuk pemuda–pemuda berbakat seperti dia…”

Departemen Fisiologi UNAIR
Surabaya, Indonesia

Beberapa mahasiswa berkumpul dengan para dosen, Trevor Goodwings, serta beberapa orang dari pemerintah dan WHO di aula sedang menyantap makanan yang sudah disediakan. Satria dan Martinus duduk satu meja beserta beberapa mahasiswa lainnya.

"Kenapa diem Sat? ini tuh acaramu. Seharusnya senenglah bisa sampai didatangi orang dari PBB."

"Enggak gitu Sindy. Di negara lain kan juga banyak temuan–temuan baru. Yang datang langsung kesana juga perwakilan dari PBB aja. Gak sampek sekertaris PBB kayak gini."

"Ya setidaknya kita bangga sekertaris PBB bisa datang." Sahut Martinus.

"Kalo dirayain sih oke. Tapi emang harus bangga? Nanti ada apa–apa dikit, bangga. Terus berbeda pendapat dikit rusuh. Apa negara ini terlalu sensitif kalo nyikapin segala hal?"

Bukan itu yang dipikirkan Satria dari tadi. Sosok wakil sekertaris PBB itu sedikit menyeramkan. Satria mengira–ngira tinggi badan orang itu sekitar dua meter lebih. Tubuhnya atletis seperti orang–orang barat lain dan kulitnya sedikit kecoklatan. Untuk ukuran pria paruh baya sepertinya cukup jarang terlihat. Mungkin itu yang dipikirkan semua orang di aula ini.

"Satria..." Dua orang dari kejauhan sedang menghampirinya. Salah satu dari mereka yang di depan melambaikan tangan. "Sat. Mr. Trevor mau bicara sama kamu." Pak Bambang dan Mr. Trevor berdiri di hadapan mereka. Mahasiswa yang lain hanya diam dengan pandangan lurus ke arah Mr. Trevor yang bertubuh besar. Lalu mereka bertiga berjalan menjauhi keramaian. Satria berada di belakang melihat sosok wakil sekertaris itu. Baju batik yang dipakai Mr. Trevor sedikit kekecilan.

"Satria. Tolong beritahu saya apa yang spesial dari obat ini? Its okay, saya hanya ingin tahu. Jika itu adalah darahmu maka aku harus melakukan penelitian lebih lanjut."

"Eehh... saya tidak tahu ada apa dengan darahku. Saat itu saya melakukan penyatuan. Kemudian saya tidak sengaja melukai tangan saya dan darahnya menetes kemana–mana."

"Jadi itu benar darahmu Sat?" Pak Bambang menambahi. Satria hanya menekukkan bahunya.

"Siapkan dirimu. Minggu depan kita akan melakukan penelitian."

"Ya. Saya akan menyiapkan tempatnya.Nanti saya kabari."

"Ya itu bagus. Kita harus melakukannya lebih cepat, Mr. Bambang."

••••

Suara Elektrokardiograf terdengar ditelinga Satria setelah ia sadar. Mata buramnya melihat seseorang yang mondar–mandir didalam ruangan itu lalu pergi. Ada sesuatu yang mencurigakan di ruangan itu. Sesuatu berwarna merah menyala dan mencolok. Dia mengernyitkan dahi, disana terlihat beberapa tabung penuh dengan cairan kental berwarna merah. Disamping tabung itu terdapat mesin yang sedang memindahkan botol–botol kecil berisikan cairan kuning dengan endapannya berwarna merah. Dia berganti melihat tubuhnya. Sedikit heran tubuhnya menjadi kurus karena seingatnya dia masih bisa menyaingi tubuh Martinus. Berapa abad aku disini? Pikirnya. Tangan kanannya terpasang jarum yang mengarah ke kantong infus. Didekat siku kanannya terpasang jarum infus kedua menuju tabung merah itu.

"Apa ini?" dia mencopot Abocath yang ada di siku kanannya lalu berusaha berdiri. Dia mengambil kantong infusnya. "Martos-10, pantas darahku diambil sebanyak ini."

Dia berusaha berjalan sambil menyeimbangkan badan lalu mendekat ke tabung besar itu. Dia termenung melihat darah itu sampai tiba-tiba datanglah sosok bayangan hitam muncul dari dalam tabung. "Aku adalah Rajamu!" Satria terjatuh melihat makhluk itu. Badannya besar dan kulitnya tebal membentuk seperti pakaian perang. Dia berusaha berdiri dan membuka mata lebar–lebar. Makhluk itu hilang.

Tunggu. Ini dimana? Satria memeriksa sekitar ruangan untuk mencari petunjuk. Bio Titans, aku tak pernah mendengar perusahaan ini. Pikirnya sambil melihat–lihat ruangan yang sedikit gelap. Dia mendekat ke sebuah komputer dan melihat beberapa folder bertuliskan proyek-proyek medis. Dia membuka folder HG yang berisikan beberapa video. Human_Genome_Experiment_1,2,... Dia menekan video itu. Tampak beberapa mayat pria dan wanita telanjang berdiri di dalam tabung dengan kepala yang ditutupi sebuah mesin. Ruangannya gelap dan hanya disinari cahaya neon yang berasal dari tabung-tabung itu. Seseorang dengan jas laboraturium datang membawa beberapa jet injector yaitu alat suntik tanpa jarum. Dia didampingi oleh seorang lagi yang memakai setelan jas abu-abu. Itu Mr. Trevor! Masing–masing Jet injector itu dipasangi satu botol serum bercahaya biru gelap lalu disuntikkan ke tubuh–tubuh itu dan tabung kriogenic pun menutup.

"Eksperimen kedua. Material Genetik telah diberikan God Serum tingkat lanjutan dengan dosis yang setara dengan pemberian antispikotik pada manusia biasa." Kata profesor itu di video.

Visual kamera berganti ke posisi tengah–tengah memperlihatkan seluruh tabung dimana enam tabung berjajar sampai ke belakang. Kacanya sedikit buram dan warna lampunya berubah menjadi keemasan. Aaaarrrggghh...! Mereka hidup dan menjerit kesakitan. Suaranya serak dan besar seperti lolongan monster yang sedang memanggil teman–temannya. Cahaya biru keluar disekujur tubuh mengikuti urat mereka.

Satria mematikan video itu lalu melihat folder lain. Di folder lain terdapat file identitas Satria dan Lisa. X Blood, Speciality have not been identified. Maksudnya? Dengan cepat Satria membuka emailnya untuk mengirim video dan file itu ke Martinus. Rahasia. Jangan beritahu yang lain. Dia menulis caption di emailnya. Badannya gemetaran saat mencoba berdiri dari kursi. Dia melihat–lihat sekitar sambil berpikir. Di sebelah kanannya dia melihat tabung tadi yang tingginya sekitar dua meter. Dia berpikir darah ini akan mengubah sudut pandang orang–orang jika diproduksi massal. Dia tak percaya leluconnya saat berada di Laboratorium menjadi kenyataan.

Dia membuka pintu ruangan perlahan–lahan agar tak ada orang yang tahu. Di pojok koridor terdapat box APAR dan sebuah kapak pemadam kebakaran kemudian dia berusaha berlari sempoyongan mengambil kapak itu. Kembali ke ruangan, dia memukul–mukul tabungnya yang terbuat dari polikarbonat dengan kapak. Sesaat kemudian permukaannya mulai retak kemudian dengan satu dua tebasan lagi maka pecahlah tabung besar itu dan darah tumpah membasahi seluruh lantai dan tubuh Satria dari kaki sampai ke pinggang.

Dia keluar dari ruangan menuju pintu darurat di lorong kiri. Tak lama kemudian dua penjaga bersenjata lengkap datang memeriksa ruangan itu. "Heii..!" mereka berlari mengejar Satria. Satria harus melewati beberapa anak tangga untuk sampai ke pintu terluar. Saat dibuka, dia kaget suasananya ramai. Di sekelilingnya berdiri pohon–pohon besar menjulang tinggi dengan jembatan melengkung sebagai penghubungnya. "Ini Supertrees." Kata Satria. Dia berada di Gardens By The Bay!

Matahari sudah menuju ke barat meninggalkan kota Singapura dan Satria yang berlari tanpa tujuan. Beberapa wisatawan sedikit takut karena melihat Satria yang berlumuran darah. Ada juga yang merekamnya dengan handphone. Satria melihat samar–samar para wisatawan itu. Tubuh mereka terlihat gelap dengan mata yang bercahaya. Tak disangka halusinasi telah menyelimutinya. Sementara dua penjaga tadi keluar mengejarnya. Pakaiannya hitam dengan masker yang lonjong dan vertikal. Tubuh mereka mengeluarkan kepulan asap hitam yang pekat. Entah apa yang merasuki mereka. Ini lebih menyeramkan dari iblis. Dia berlari diantara Supertrees bertelanjang kaki dengan darah yang menetes dari tubuhnya seperti zombie. Sesekali dia menabrak wisatawan yang sedang berjalan. Dari arah kirinya beberapa orang berpakaian sama berlari menuju Satria sehingga harus berlari ke arah lain melewati beberapa taman kecil.

Dari belakang, gerombolan penjaga tadi berpencar berniat mengempung Satria. Satu penjaga datang dari kanan menyodorkan pisau ke arah perutnya. Tahu jika akan ditusuk, dia menarik tangan si penjaga ke kiri sampai menyobek bajunya dan penjaga itu jatuh lalu dia meneruskan larinya. Sesampai di pinggir laut dia masuk ke salah satu taksi air. Dia menyalakan mesin dan membawanya pergi dari kejaran penjaga tadi. Satria mempercepat lajunya melewati Marina Bay untuk segera mencari perlindungan. Dari samping kanan, kapal polisi pantai mendekat dan menabrak taksi air itu. Satu dua tembakan melesat ke arahnya. Dia berusaha bangkit dan menarik tuas sekeras–kerasnya agar bisa terhindar dari kapal polisi itu. Saat berhasil lolos, dia melihat beberapa penjaga menyeramkan tadi keluar dari kapal menembakkan senjata serbunya.

Kapal polisi tadi masih mengejarnya dari kejauhan. Sesaat kemudian dia melihat kapal kargo Meratus Line berlayar meninggalkan kota Singapura. Itu kapal Indonesia. Satria membelokkan kapalnya ke arah dermaga dan meningkatkan kecepatan, lalu dia melompat ke laut. Dan taksi air itu melaju kencang sampai menabrak pinggiran pantai dan meledak.

••••

Meratus Line
Laut Jawa, Indonesia

"Heii...! Jon...! bawa dokumen PT. Green Goods ke kantor. Ada muatan yang belum dicatat..!" seseorang berteriak dari kejauhan lalu suara kakinya menuju ke ruang kantornya. Suara kakinya yang berat berjalan kesana kemari seperti sedang memantau sesuatu kemudian dia membuka pintu ruangan. Orang itu berperut buncit, nafasnya berat dan berjalan sambil memegang roti. Pintu pun ditutupnya lalu meletakkan topi proyeknya di atas nakas belakang pintu.

"Astaga!" orang itu terkejut dan segera mendekat perlahan–lahan.

"Please, tolong aku."

Pemuda itu mengangkat badannya yang penuh dengan darah kering. Orang gemuk itu segera membantunya untuk berdiri.

"Kamu orang Indonesia? Ada apa sama kamu?"

"Agak panjang kalo diceritain pak. Intinya aku ada di ruangan terus dikejar–kejar sama orang."

"Terus darah ini?"

"Darahku pak."

Orang itu tak percaya jika pemuda ini masih hidup dengan badan penuh dengan darahnya. Pemuda itu dituntun keluar melewati koridor. Beberapa pegawai yang lewat terkejut melihat pimpinannya membawa korban kecelakaan.

"Ini siapa pak kok tiba–tiba gini?"

"Sudah ayo bantu angkat ke kamar mandi."

Mereka dan satu pegawai menuntunnya menuju kamar mandi. Pemuda itu berusaha berjalan sendiri lalu mereka melepasnya.

"Kamu bersih–bersih dulu aja. Nanti tak pinjemin baju. Mar, pinjemin baju ke Rudi."

••••

Satria dan orang gemuk tadi berada di ruang makan yang menjadi satu dengan dapur. Beberapa pegawai yang lewat berhenti sebentar untuk melihat Satria.

"Sudah enakan?"

"Ya lumayan pak." Jawab pemuda itu sambil mengangguk.

Dia memakan seiris roti dari berbagai macam roti yang tersedia di meja makan. Sementara raut yang curiga sekaligus tidak percaya memenuhi wajah orang gemuk itu.

"Aku Pak Imron, salah satu pimpinan disini selain kapten kapal. Aku juga sudah bicara sama beliau kalau ada penumpang asing. Tapi gak masalah. Namamu siapa dan dari mana?"

"Saya Satria pak, dari Surabaya."

"Oh saya juga dari Surabaya. Terus kok bisa sampai di Singapura gimana ceritanya? Oh oke–oke aku ngerti." Pak Imron menoleh ke jendela sambil berpikir. "Nanti saya turunkan di pelabuhan. Mungkin dua hari lagi sampai."

"Disini bisa telepon gak pak?"

Angin berhebus kencang mengubah air menjadi ombak yang berusaha menghancurkan kapal besar yang melewati Laut Jawa itu. Satria terus membawa handphone sambil menekan–nekan layar, sesekali handphone itu didekatkan ke telinga kirinya. Dia sedikit khawatir terhadap orang–orang terdekatnya. Gimana kabarnya ibu, kabar Martinus, kabar Lisa.

"Halo, Nus.. Nus.. iki Satria. Kamu dimana? Hei... bilang sama ibuku kalo dia harus pergi ke luar kota, kalo bisa kamu juga ikut. Ke bandung aja, desaku. Udah nanti aja tak bilangin. Apa? Ngapain orasi? Eh, kamu tau tempat rehabilitasi yang biasa tak kunjungi? Iya, kamu kesana, gimana caranya supaya bisa bawa Lisa pergi dari sana.
Udah lakuin aja nanti aku kesana bawa obatnya Lisa. Awas ya kalo kamu ngapa–ngapain dia." Dia mematikan teleponnya lalu kembali ke dalam ruang makan.

©2019 Mizuno
The Ambition

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience