Chapter 3: Mitochondria Malfunction (Part I)

Crime Series 225

Mitochondria Malfunction
Part I
----------------------------------------

Cibodas, Indonesia

...Jadi hari ini kita akan memasak cumi bumbu... ATM diringkus oleh Mabes Polri di kediamannya Tangerang. Polisi menemukan bukti uang tunai sebesar... Saya tidak pernah melakukan hal seperti itu Safira. Kenapa kau merasa... Aksi kejar–kejaran di tempat wisata Gardens By The Bay menyebabkan para wisatawan panik dan berhamburan... Ini sangat lucu ya pemirsa, lihat nih permukaannya lembut jadi masih aman untuk anak kecil...

Lisa duduk dengan santai di ruang keluarga sambil memencet–mencet tombol remote tv sedangkan Martinus duduk di belakangnya melihat apa yang sedang dia lakukan. Sesekali dia melihat ke dapur dimana ibu Satria masih menyiapkan sarapan untuk mereka. Sudah pasti suasana Cibodas yang dingin dan sejuk membuat nafsu makan Martinus semakin bertambah.

"Lisa, kau ini lihat apa kok ganti–ganti channel terus. Saya ini sudah lapar jangan dibuat pusing."

Lisa menoleh ke arah Martinus sambil menunjukkan mata sinisnya. Martinus pun terdiam kaku lalu segera pergi menghampiri Bu Mira di dapur.

"Apa... ini. Tas...nya bagus. Keren..." Lisa meniru perkataan seseorang di televisi.

"Lisa ayo sini makan dulu. Nanti dilanjutkan lihat tv-nya." Seru Bu Mira yang dibantu Martinus membawa nasi dan lauk pauk.

Dia segera mematikan televisinya lalu menghampiri mereka di meja makan. Dia duduk disamping Bu Mira yang sedang memberikan nasi ke piringnya. Martinus yang terlanjur kelaparan memperhatikan terus tangannya Bu Mira, berharap diperlakukan seperti Lisa.

"Ibu, saya kok tidak dikasih nasi..."

"Udah, ambil sendiri. Punya tangan kan?" sahut Bu Mira sambil tersenyum.

Di luar rumah, terdengar suara mobil menghampiri rumah yang bergaya tahun sembilan puluhan itu. Seseorang membuka pintu rumah dan ternyata Mr. Killain yang datang sambil menanggalkan jaket parasite dan topinya lalu duduk di sebelah Martinus.

"Sudah seminggu Satria tidak muncul. Berita yang ada di Surabaya ternyata ulah mereka."

"Terus Satria?" Tanya Martinus.

"Pegunungan Alaska. Satu–satunya tempat yang aku ketahui berada disana tapi belum tahu persis sebelah mana. Tempat itu berada di daerah yang berdekatan dengan Arctic Circle. Satria pasti berada disana."

"Apa hubungannya dengan Arctic Circle?"

"Midnight Sun. Arctic Cirle dan Antartica Cirle adalah dua dari lima ujung bumi yang saling berkaitan. Hanya saja saat ini Midnight Sun berada di Antartika. Lalu apa yang dia perbuat di Alaska?" Mr. Killain bertanya pada dirinya sendiri.

"Menghidupkan mayat?"

"Trevor ahli di bidang sains dimana orang–orang saat ini menyebutnya mitos dan legenda. Satria adalah satu–satunya tujuannya saat ini. Dia dianggap sebagai sumber kehidupan oleh Trevor sehingga digunakan untuk tujuan yang lebih menakutkan dari apapun. Dan kau pasti tak ingin melihatnya jika hal itu terjadi."

"Pasport kan sudah diurus, kalian harus pergi secepatnya. Ibu takut kalau Satria kenapa–napa." Sahut Bu Mira.

"Keadaan sudah tidak memungkinkan. Tapi aku janji akan membawa pulang anakmu, Mira." Dia lalu melihat Lisa. "Keadaannya bagaimana? Masih mimpi buruk?"

"Tadi malam dia menggigau lagi tapi tak separah sebelumnya. Hanya beberapa barang yang retak."

"Beberapa hari lagi keahliannya akan terlihat jelas. Bisa saja dia seperti...Eh... Clairvoyant orang sekarang menyebutnya."

"Seperti lucid dream?" tanya Martinus.

"Lucid dream, precognitive dream. Intinya dia sadar berada di dalam mimpi dan setiap bangun dia selalu mengatakan Al."

"Alaska. Saya kira dia menyebut nama artis, hehehe."

"Dia sudah tahu kita harus kemana. Jadi..." Killain menepuk bahu Martinus. "Persiapkan tubuhmu karena disana sungguh akan menguras tenagamu."

••••

Arctic Village
Alaska, USA

Sore hari, di suhu yang diam–diam mengancam nyawa setiap orang yang bersinggah di daerah kekuasaannya. Menipu semua orang dengan sihir aurora indahnya, sehingga orang–orang akan tenggelam ke dalam kegelapan yang tersamar oleh siluet pegunungan. Hipotermia akan menyerang masuk melalui jari–jari, merambat dari telapak sampai ke paru–paru. Hanya harapan yang tetap utuh menunggu inangnya hidup kembali. Martinus berharap bisa menemukan sahabatnya di pegunungan itu. Dia merasa aman bersama Mr. Killain dan Lisa karena bukan orang biasa seperti dirinya. Mereka punya kekuatan untuk melawan mayat hidup itu dan Martinus hanya bisa mengandalkan tubuh kekarnya. Itu pun hanya saat berada di iklim tropis.

Daerahnya dikelilingi danau–danau dan dibelah oleh sungai Yukon yang meliuk–liuk. Dari arah pegunungan, pohon–pohon yang menjulang tinggi sudah berbaris menyambut kedatangan mereka. Airport yang hanya berupa landasan itu terlihat jelas dari atas saat pesawat kecil dengan nomor N45362 itu berputar untuk mengatur posisi sebelum turun ke runway.

"Uncle, dimana tempatnya belajar mengemudi pesawat seperti ini?"

"Really?" kata Mr. Killain dengan muka serius.

Memang itu bukan pertanyaan yang tepat disaat mereka sudah tiba di tempat pencarian. Wajahnya sedikit serius memikirkan rencana yang akan dia gunakan untuk mencari keberadaan Satria.

"Trevor pernah mengatakan padaku jika dia ingin membangun tempat untuk membuat mesin barunya."

"Untuk mayat itu?" Kata Martinus.

"Bisa jadi. Bisa jadi yang lain." Dia segera berdiri lalu keluar dari pesawat diikuti oleh Martinus dan Lisa. "Jadi kau harus siap jika ada hal yang tidak terpikirkan oleh kita. Hei Mr. Pilot, thanks."

Mereka turun dari pesawat itu lalu disambut oleh truk Chevrolet biru dan dua orang lainnya membawa snowmobile yang dibagian belakangnya disambung tempat barang. Dari truk itu keluarlah seorang pria indian dengan jaket woolnya sedang melihat Mr. Killain.

"Hello Sir. Namaku Etu." Dia mengulurkan tangannya.

"Hai. Ini Martin dan Elizabeth." Katanya sambil mengarahkan tangannya ke dua pemuda itu.

"Oh Hei. Aku akan mengantarkan kalian ke kontainer. Disana putriku sedang membersihkan tempatnya."

"Great." Kata Mr. Killain sambil tersenyum. Mereka pun berangkat dengan truk biru itu.

"Bagaimana cuacanya?" dia melanjutkan.

"Beberapa tahun ini lebih ekstrim. Para hunter sedikit kesulitan melakukan aktivitasnya karena badai yang hampir datang setiap jam."

"Aku dan mahasiswaku akan melakukan penelitian disini. Beberapa informasi darimu mungkin akan sangat membantu kami." Dia melihat kursi belakang dimana Martinus sudah tertidur pulas serta Lisa yang menikmati pemandangan diluar mobil. Keadaan diluar cukup sepi akibat suhu yang lebih rendah dari biasanya.

"Ya, tentu. Cuaca seperti ini tak akan menghentikanmu bukan?" Mr. Etu tersenyum.

"Yeah. You know."

Mereka pun sampai di kontainer berwarna merah. Warnanya yang pudar menandakan pernah dihuni oleh wisatawan lain. Didepan pintu sudah ada perempuan indian yang sedang duduk di snowmobile sedang menunggu mereka. Dan mereka pun keluar dari truk.

"Sudah siuman?" sindir Mr. Killain ke Martinus.

"Aku butuh penyesuaian diri. Benar kan? Hei Uncle..."

"Ini putriku, Abequa. Dia akan kesini besok pagi untuk melihat kalian." Kata Mr. Etu.

"Hai, aku Martin." Dia langsung menyodorkan tangannya. "Ini paman Killain dan... Eliza."

"Bagus. Kita langsung saja masuk ke dalam karena masih banyak yang harus kita lakukan." Sahut Mr. Killain.

"Ya, anginnya semakin kencang." Kata Mr. Etu.

"Terima kasih, nanti aku akan mengabarimu lagi."

Mr. Killan dan Lisa masuk ke dalam diikuti Martinus sementara Mr. Etu dan putrinya pergi dengan truk tadi meninggalkan mereka bertiga. Di dalam kontainer terdapat ruang utama ditengah yang berisikan sofa, beberapa cabinet dan meja tv. Di sebelah kiri terdapat satu kamar tidur dan kamar mandi. Di sebelah kanannya digunakan untuk ruang penyimpanan. Ruang–ruangnya terlihat sudah lama tidak dipakai. Hanya kamar tidur saja yang terlihat sedikit classy. Mereka menaruh tasnya disana.

"Kau tahu kan kita sedang apa disini? Tolong jangan melakukan hal bodoh."

"Ya, aku tahu. Kau sedikit menyamarkan namaku dan Lisa. Bahkan tidak terlihat samar sama sekali. Martin dan Elizabeth? Really?"

Mr. Killain kembali ke ruang tengah lalu duduk di sofa dengan santai. "Nanti aku akan ke kabinnya Etu melihat peta lokasi pegunungan Arktik. Kau disini bersama Lisa."

"Tapi aku juga ingin melihatnya."

"Nanti akan ku bawa semua yang kita perlukan kesini. Kau bisa mempelajarinya."

"Bukan itu maksudku. Kau tahu kan ada gadis..."

Tanpa memperhatikan perkataan Martinus, Mr. Killain pergi ke dapur kecil di sebelah kamar tidur mengambil makanan yang dibuat oleh Abequa dibantu oleh Lisa untuk membawanya ke ruang tengah. Mereka pun menyantapnya.

••••

"Baiklah. Sudah jam tujuh malam. Aku tinggal dulu." Mr. Killain mengambil jaket kulitnya lalu membuka pintu perlahan–lahan karena angin yang lumayan kencang. Suara snowmobilenya terdengar keras mengingat tempatnya yang sunyi dan suara kendaraan itu lama–lama menghilang dari kejauhan. Martinus sedang duduk melihat acara tv yang membosankan baginya sedangkan Lisa asik menghangatkan badannya di kamar mandi.

Tak lama kemudian Martinus mendengar suara dari luar lalu melihatnya dari jendela. Di luar beberapa orang sedang kesusahan memindahkan beberapa kotak dari truk mereka karena angin yang begitu kencang. Martinus membuka pintu berniat membantu mereka. Tiba–tiba pintu itu terbuka dengan keras terkena angin sehingga menghempaskan dirinya. Dia pun berusaha berdiri lalu menutup pintu itu dari luar.

"Apa kau baik–baik saja?!" kata seorang wanita diantara mereka.

"Its oke! Aku tak mengira anginnya sampai seperti ini. Ada yang bisa kubantu?"

"Bantu sebelah sini. Kita kekurangan orang." Sahut pria yang berambut pirang di sebelah kanannya.

Martinus menghampirinya lalu membantu mendorong sebuah kotak besar dengan alat angkut dan sled dibawahnya. Pria yang lebih besar keluar dari kontainer mereka membawa tali webbing.

"Gospell. Ikatkan dengan ini."

"Tahan sebentar." Kata pria pirang yang bernama Gospell itu.

"Entah apa yang sedang terjadi. Dari arah pegunungan ada kilatan berwarna hijau dan keunguan."

"Dimana?"

"Itu." Wanita itu menunjuk ke arah kirinya. "Orang–orang menyebutnya Dawn of The North tapi yang ini lebih gila."

Memang terlihat samar–samar karena tertutup badai salju. Hanya dari kejauhan kerlipan hijau menyambar membentuk siluet pegunungan yang begitu gelap. Martinus tercekam melihatnya. Tanpa sadar tali tadi sudah terikat dan kotak itu didorongnya bersama-sama.

••••

Setelah di dalam kontainer, Martinus membasuh mukanya dengan air keran. Tak lama kemudian terdengar suara snowmobile Mr. Killain mendekat.

"Kalian baik–baik saja?" dari luar Mr. Killain berteriak kepada mereka.

"Katakan terima kasihku kepada temanmu karena sudah membantu." Suara pria besar tadi terdengar dari kejauhan.

"Sepertinya telah terjadi pertempuran disini, huh? Hehe."

Mr. Killain membuka pintu yang terkunci lalu mengetuknya. Martinus segera membukanya.

"Huh. Mau tidak mau kita harus berangkat dengan kondisi seperti ini."

"Tenaga saya habis. Tidur dulu bisa kah?"

"Apa kubilang, kid."

Dia melempar sebuah kotak berisikan peta dan beberapa katalog ke meja depan sofa kemudian keluar menuju kendaraannya lagi dan dia kembali membawa tas besar.

"Lihat lingkaran merah itu. Itu Arctic Cirle. Dan titik disampingnya itu tempat yang akan kita datangi."

Martinus mendekatkan wajahnya ke peta. "Koordinatnya. Ini curam sekali. Bagaimana kau tahu tempatnya disini?"

"Etu dan timnya telah menyusuri lokasi terjadinya aurora yang cukup aneh."

"Kerlipan hijau dan ungu itu. Orang–orang di sebelah menunjukkannya padaku. Lalu tas itu?"

"Aku meminjam peralatannya dan beberapa pakaian buat kita. Dimana Lisa?"

"Mungkin tidur."

••••

Martinus masih betah membaringkan badannya sambil memakai selimut tebal. Disampingnya, Mr. Killain membolak–balikkan crampoon sepatu untuk untuk memeriksa. Lalu dia menebas–nebas tiga jaket parka yang tergantung di dinding. Beberapa tali dihitungnya untuk mengira–ngira ketinggian disana.

"Martin, bangun!" Mr. Killain menepuk–nepuk pipi pemuda itu lalu melihat pintu kamar yang dibuka Lisa. Dengan segera Martinus terbangun lalu pergi membasuh muka.

"Oke. Pakai jaket parka itu lalu bawa tas ini satu–satu."

Cuaca diluar sedikit tenang dan berkabut serta anginnya tidak sekencang tadi malam. Killain menutup pintu kontainer lalu menghampiri dua pemuda itu di snowmobile.

"Kau bisa memakainya? Teknisnya cukup mudah seperti motor."

Martinus menyalakan mesinnya kemudian diikuti Mr. Killain yang membonceng Lisa. Sesekali dia melihat Martinus yang sedang memeriksa kendaraannya.

Mereka pun melaju kencang di sepanjang perjalanan melewati kabut tebal. Hanya terlihat lampu depan kendaraan itu serta beberapa lampu kabin dan kantor kecil dari kejauhan. Keadaan disana cukup sepi di pagi hari. Bahkan cukup mudah untuk mencuri pesawat yang mereka pakai saat mendarat. Setelah mencapai belasan meter dari airport mereka berhenti.

"Ada apa?" kata Martinus.

"Kita turun disini."

"Tapi airport masih beberapa meter lagi."

"Kita sedang menghilangkan jejak. Apa yang kau pikirkan?"

Dua snowmobile itu dihadapkan ke sungai lalu Mr. Killain mengegasnya dan tenggelamlah kendaraan itu. Mereka bertiga mengusap–usap kakinya untuk menghilangkan bekas kendaraan lalu segera pergi ke perbatasan airport. Di dalam pesawat, Mr. Killain menutup pintunya lalu menuju kokpit.

"Pasang sabuk kalian." Dia menyalakan mesinnya. Pesawat itu berjalan sedikit cepat di runway lalu terbang meninggalkan desa kecil itu.

"Lokasinya berada di timur laut dari sini."

"Berapa kilometer?"

"Ehh... Aku tidak tahu cara membacanya."

"Tarik sudutnya dari desa tadi ke lokasi."

"Terus? Bagaimana?"

Mr. Killain melihat ke peta. "Sudah, letakkan. Dengan melihatnya saja aku sudah tahu." Dia melihat ke belakang. "Apa kau baik–baik saja disana?"

Lisa menganggukkan kepalanya. "Sedikit dingin."

"Sedikit? Ini sudah keterlaluan dinginnya. Kubantu peluk bolehkah?" kata Martinus yang kemudian menatap Mr. Killain.

Lisa menjulurkan lidahnya dengan muka kesal. Sekitar 10 menit mereka berada di langit. Lisa pun menoleh ke jendela.

"Sudah dekat."

"Sebelah mana?" tanya Mr. Killain.

Lisa mencopot sabuknya dan menghampiri mereka. "Itu." Dia menunjuk ke arah kiri.

Disana terlihat sebuah cahaya dibalik kabut yang lebih tebal. Cahayanya berwarna hijau, merah, dan ungu yang menyatu dan memanjang ke atas langit mengenai ujung atmosfer lalu membelok jauh tak berujung. Bahkan menembus lautan arktik ke benua lain.

"Dawn of The North. Begitu indah." Kata Martinus.

"Indah yang mematikan. Aurora adalah partikel bermuatan ion dari matahari lalu bergesekan dengan medan magnet bumi."

"Berarti ini normal?"

"Lihatlah bentuk cahayanya seperti buatan. Bedakan dengan yang kau lihat di beberapa foto. Jelas ini dibentuk dengan sesuatu. Tunggu. Atau dia..."

Mr. Killain dengan segera menurunkan pesawat sampai sedikit menukik. Dia mencari tempat yang memungkinkan untuk mendarat. Disisi perbukitan yang curam terdapat dataran kecil, hanya saja terlalu beresiko untuk mendarat.

"Atau apa?" tanya Martinus sambil mencari sesuatu untuk pegangan.

"Ini yang aku khawatirkan. Kau akan tahu sendiri nanti."

Pesawat itu mendarat di dataran yang kasar. Beberapa meter di depan sudah ada jurang yang menanti mereka. Roda pesawat pun tidak bisa menandingi bebatuan di sepanjang pendaratan. Lisa yang dari tadi berdiri berusaha kembali ke tempat duduk lalu memasang sabuk pengamannya. Braakkk...!

••••

"Hei Martin. Bangun."

"Eh. Apa tubuhku masih utuh?" Martinus melihat tubuhnya.

"Kamu baik–baik saja. Ayo keluar."

Mr. Killain menggendong Lisa keluar dari pesawat yang separuhnya menyerong di atas jurang. Martinus pelan–pelan mengikutinya. Sesaat kemudian Lisa berusaha berdiri.

"Kau baik–baik saja?" kata Mr. Killain.

“Ya.”

Setelah itu mereka membawa tasnya masing–masing lalu segera menyusuri tebing–tebing di depan mereka ditemani aurora yang cahayanya memantul ke segala arah. Sesekali radiasi plasma keluar dari lautan mengenai aurora.

"Jadi itu yang dilihat orang–orang selama ini." Kata Martinus.

"Trevor sudah sampai sejauh ini. Kita harus cepat–cepat. Jika tidak, temanmu... Apa kau tahu jika dia adalah..."

Medannya sungguh curam dan diselimuti salju yang tebalnya melebihi mata kaki. Mereka memanjat sebuah tebing dimana di atasnya terdapat pintu masuk seperti gua yang berbentuk kotak.

"Aku tak bisa dengan cara seperti ini." Kata Mr. Killain.

"Apa maksudmu?"

"Tunggu disini."

Mr. Killain melepaskan talinya kemudian melompat–lompat menuju ke atas untuk memasang handdrill untuk menarik Martinus dan Lisa agar cepat sampai ke atas.

"Lucu, manusia sekarang lebih primitif. Di jamanku sudah ada alat panjat yang otomatis. Bahkan tidak perlu memanjat seperti ini." Kata Mr. Killain. Dua pemuda itu hanya diam mendengarnya menggumam.

"Kau lihat dinding itu?"

"Yang mana?"

"Lihat dengan cermat. Itu medan magnet."

"Ya. Bagaimana kita bisa masuk?"

"Kita tunggu dulu. Jika saja kekuatan Lisa sudah ada. Tunggu, ada sesuatu yang datang."

Tiba–tiba gelombang plasma yang besar menyebar melewati mereka. Mereka pun terhempas namun masih bisa memegang permukaan batu agar tak terjatuh.

"Lisa...!"

Martinus memegang tangan Lisa yang terpeleset. Tubuhnya sedikit bereaksi ketika terkena plasma tadi dan Mr. Killain pun menolongnya.

"Sini, raih pundakku. Martin, pergilah ke atas."

Dinding magnet tadi hilang akibat gelombang plasma dan mereka pun masuk ke dalam. Tempatnya seperti hangar pesawat tapi tak ada satu pun kendaraan terbang atau yang lainnya. Mereka membuka beberapa pintu untuk mencari Satria namun tak menemukan satu orang pun disana.

"Dimana semuanya?" kata Martinus.

"Mereka tidak sedang membuat mayat hidup. Ke elevator. Kita ke atas." Mereka pun masuk ke elevator dan menuju ke lantai paling atas.

"Uncle, bagaimana jika ada yang seram?"

Mr, Killain menoleh ke Martinus. "Apa yang kau takutkan?"

"Bagamana jika mereka menciptakan Suanggi."

"Apa itu?"

"Hantu pemakan manusia. Di Papua dia berkeliaran kemana–mana."

"Jika kau tak ikut keluar, aku yang akan memakanmu!" tegas Mr. Killain dengan muka datar.

Saat pintu terbuka, tiba–tiba mereka disambut oleh dua orang berseragam hitam. Mr. Killain melawan mereka dengan mudah lalu menghampiri beberapa orang lainnya. Martinus pun mengambil senjata yang tergeletak di depannya lalu mengajak Lisa menghampiri Mr. Killain.

Di level lantai yang lebih tinggi, terlihat Satria yang terikat di sebuah mesin dan kabel–kabel besar menancap di kepalanya. Di depannya, Mr. Trevor sedang melakukan pengaturan di layar kecil yang dia bawa dan juga ada seseorang yang sedang melihat–lihat Satria. Bapak Bambang? Martinus mengernyitkan dahi. Dia pelan–pelan menghampiri Pak Bambang yang segera pergi dari Satria.

"Bapak Bambang!?" teriak Martinus.

"Martinus?" katanya sambil menoleh.

"Bapak sadar sama yang bapak lakuin?"

"Ngapain kamu disini? Ini bukan urusanmu. Pulanglah!"

"Eii.. Kau dicuci otak sama bule itu. Sa kira bapak orangnya baik."

"Ahh... maaf Martinus, saya tidak punya waktu untuk bimbingan tugas akhir."

"Hei.. saya sudah lulus bapak. Bapak ini main–main dengan saya. Heii..."

Pak Bambang pergi dari ruangan itu diganti dengan satu orang berpakaian hitam yang segera mendekati Martinus. Dengan cepat Martinus menekan senjata riffle yang dia bawa berniat menembak namun tembakannya menjadi tak terkendali dan mengarah ke atas sehingga senjata itu dia lempar ke samping. Mereka pun bertarung dengan tangan kosong.

Killain dan Lisa segera menghampiri Satria. Disana mereka melihat Mr. Trevor yang sedang memandangi lautan dengan aurora buatannya.
"Trevor...! Apa yang kau perbuat? Ini gila...! Ini tidak seperti perjanjian kita dulu."

"Killain, lihatlah… Rencanaku selalu berhasil… Dan ini satu–satunya cara untuk menghancurkan mereka!"

"Please, hentikan! Kita punya cara yang lebih baik. Dunia tak akan pernah damai jika seperti ini."

"Dunia tak akan pernah damai sampai mereka binasa, Killain. Dan kita adalah orang yang satu, ingatlah itu. Berapa lama jika harus menunggu pemuda ini menjadi Dewa seutuhnya? Sekarang saksikanlah kekuatan apa yang bersembunyi di tubuh pemuda ini.”

Mr. Trevor menekan tombol di layar mejanya diikuti suara yang menggema yang berasal dari arah lautan. Mr. Killain berjalan menghampiri jendela untuk melihat laut itu. Martinus yang telah mengalahkan orang tadi membalikkan badannya melihat ke laut.

"Lisa...! Awas...!"

Mr. Killain berlari menuju Lisa yang berada di dekat Satria. Dia menariknya menjauh dan listrik pun memenuhi tubuh Satria yang gemetaran. Partikel plasma yang berupa butiran–butiran kecil keluar dari tubuh Satria lalu masuk kembali. Suara dari lautan semakin keras seperti gesekan lempeng bumi. Air laut membelah membentuk lingkaran. Kemudian sinar plasma yang sangat besar dan hebat keluar dari ujung utara bumi itu menuju ke langit. Sinarnya yang berwarna hijau dan merah menerangi seluruh wilayah dan tempat mereka berdiri. Sinar itu menabrak atmosfer kemudian menyebar ke segala arah mengenai aurora membentuk radiasi yang sangat besar. Lebih besar dari bom nuklir. Radiasinya datang mengenai mereka. Hanya Lisa yang terhempas jatuh.

"Lisa...!" Martinus menghampirinya.

Satu pesawat muncul di atas mereka berempat. Sayapnya melengkung dan berwarna keemasan. Tiga orang dari pesawat itu melompat turun ke hadapan mereka.

"Itu yang kau cari bukan? Iron Troopers. Hasil eksperimen terakhirku."

Mr. Trevor masuk ke dalam pesawatnya lalu pergi. Mr. Killain maju berniat melawan mereka bertiga. Salah satu dari mereka mencoba mendekati Martinus. Martinus pun bersiap menembaknya dengan senjata tadi.

Tiba–tiba Lisa berdiri. Matanya berpendar cahaya keunguan menatap mereka yang sedang bertarung. Entah sadar atau tidak dia mengatakan mantra dengan bahasa yang tidak dimengerti. Tak disangka tiga mayat itu diam kemudian meledak. Mr. Killain pun terjatuh. Tubuh tiga mayat itu tercecer memenuhi ruangan. Metal yang bercampur dengan daging serta cairan kental dari tubuh itu berhamburan kemana–mana. Mr. Killain dan Martinus pun saling berpandangan. Tak lama kemudian gelombang kedua datang mematikan semua daya listrik yang ada di bangunan itu.

"Lisa, kamu sadar?" kata Martinus.

"Itu mantra nordik kuno." Sahut Mr. Killain sambil melepaskan Satria dari mesin itu. Tubuhnya pucat dan tatapannya kosong.

"Kenapa dia tidak membawa Satria?" tanya Martinus.

"Dia sudah tidak diperlukan lagi. Badai magnet ini telah membuka pintu masuk ke bawah bumi."

"Ada apa disana?"

"Aku tak tahu. Kita harus cepat pergi. Otaknya akan berhenti berfungsi jika tidak segera ditangani."

Mereka turun menggunakan tangga darurat lalu keluar dari bangunan itu. Mr. Killain menggendong Satria turun ke bawah diikuti oleh Martinus dan Lisa. Setelah melewati tebing, mereka berlari menuju pesawat.

Salah satu sayap pesawat itu ditarik oleh Mr. Killain sehinggi posisinya kembali ke dataran seutuhnya. Sedangkan Lisa tiba–tiba mencoba menghidupkan pesawat itu dengan kekuatannya. Dan mereka pun segera pergi.

©2019 Mizuno
The Ambition

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience