Di kamar luas bergaya modern itu, Arvan tampak sibuk mengisi koper besar dengan pakaian, buku, dan beberapa perlengkapan yang harus ia bawa ke Eropa. Lagu kesukaannya mengalun pelan dari ponsel yang ia letakkan di atas meja belajar.
Sesekali ia ikut bernyanyi sambil menggoyangkan bahunya, penuh keceriaan seperti anak kecil yang sedang bersiap untuk perjalanan panjang pertamanya.
Arvan memang tak bisa menahan rasa campur aduk antara gembira, gugup, sekaligus berat hati. Pergi jauh dari rumah berarti meninggalkan orang tua dan kakak laki-laki yang selama ini selalu menjadi sandarannya.
Arka bukan hanya seorang kakak. Bagi Arvan, Arka adalah sosok teladan, penguat, dan sahabat paling setia.
Saking asyiknya bernyanyi, Arvan tidak mendengar ketukan pintu yang lembut. Hingga tiba-tiba sebuah tepukan ringan mendarat di pundaknya.
“Hei…” suara Arka yang dalam dan lembut membuat Arvan refleks terlonjak kaget. Ia menoleh cepat dengan mata melebar.
“Ka…! Kapan kau masuk?!” serunya dengan wajah setengah panik.
Arka hanya tersenyum kecil. Dengan santai, ia menarik kursi di dekat meja dan duduk, menatap adiknya yang masih tampak salah tingkah.
“Dari tadi aku mengetuk, tapi kau sibuk bernyanyi. Suaramu lumayan juga, Van,” ucapnya menggoda.
Arvan mendengus sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
“Astaga, aku benar-benar kaget. Jangan lakukan itu lagi, Ka.”
Tanpa menjawab, Arka merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berbalut kertas cokelat sederhana, lalu meletakkannya di meja. Senyum hangatnya membuat Arvan langsung tertegun.
“Apa ini…? Kau memberikannya padaku?” tanya Arvan sambil meraih kotak itu, seolah tak percaya.
Arka hanya mengangguk, tetap tersenyum.
“Yang benar saja?! Ka… ya ampun! Aku sudah lama ingin ini!” seru Arvan antusias begitu membuka bungkusan itu.
Matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. Ia tertawa nakal dan buru-buru mendekap hadiah itu.
Arka tertawa melihat ekspresi adiknya.
“Aku memberimu hadiah Natal.” Suaranya tenang, seakan kalimat itu tak berarti apa-apa padahal bagi Arvan justru terasa sangat dalam.
“Hei, yang benar saja. Aku kira ini hadiah perpisahan karena aku bakal pergi jauh,”
balas Arvan cepat. Ia kemudian merebahkan tubuh di ranjang sambil mengangkat tinggi hadiah itu, memandanginya penuh rasa syukur.
“Yah… meski sebenarnya aku tidak ingin pergi,” lanjutnya dengan nada lirih.
Arka bangkit dari kursinya dan ikut merebahkan diri di samping adiknya. Ia menatap langit-langit sebentar, lalu berkata dengan suara pelan tapi penuh keyakinan,
“Tidak bisa begitu, Van. Ayah dan Ibu sudah melakukan yang terbaik untuk kita. Kita harus membalasnya dengan berusaha sekuat tenaga. Kau juga harus jadi kebanggaan mereka, seperti selama ini.”
Arvan menghela napas, lalu menoleh ke arah kakaknya.
“Ya, aku tahu itu… Tapi, Arka, kenapa kau tidak ikut saja denganku? Kita bisa belajar bersama di sana. Bukankah itu akan lebih menyenangkan?”
Arka mengalihkan pandangan, menatap adiknya dengan senyum tipis.
“Hei, apa kau gila? Aku sudah hampir mencapai impianku di sini. Masa kau mau aku melepasnya begitu saja?” Ia terkekeh pelan.
“Lagipula, kalau aku ikut, siapa yang akan menemani Ayah dan Ibu? Kau pergi, aku pergi, nanti mereka benar-benar kesepian.”
Arvan terdiam sesaat, lalu mendengus kesal.
"Hei, hei… katakan saja kau tidak mau aku di sini.” Ia melipat tangan di dada, pura-pura merajuk.
Arka langsung tertawa lepas.
“Hahaha! Kenapa kau bisa tahu? Kalau kau pergi, aku bisa mendapat kasih sayang Ayah dan Ibu sebanyak yang aku mau!” candanya sambil menepuk bahu adiknya.
“APA?!” Arvan langsung menyerang, menggelitik sisi tubuh Arka tanpa ampun.
“HAHA! Berhenti! Gila, kau ini!” teriak Arka sambil berusaha menahan tawanya.
“Tidak akan aku maafkan! Ayo sini!” balas Arvan sambil terus menggelitiknya.
Tawa mereka pecah, memenuhi kamar itu dengan suara hangat yang tulus. Dua kakak-adik kembar itu beradu canda seperti anak kecil, seakan melupakan bahwa beberapa hari lagi jarak ribuan kilometer akan memisahkan mereka.
Di antara tawa itu, ada rasa haru yang tak terucap. Arvan begitu menyayangi kakaknya, dan Arka tak pernah berhenti menjaga adiknya.
Hadiah kecil yang berpindah tangan malam itu bukan sekadar barang, melainkan simbol janji diam-diam: bahwa jarak tidak akan pernah bisa memutuskan ikatan mereka.
Share this novel