Waktu berjalan cepat. Hari berganti hari, minggu beralih menjadi bulan. Kehidupan keluarga Mahendra tetap terlihat sempurna di mata banyak orang.
Setiap kali mereka keluar bersama, orang-orang selalu menoleh, mengagumi keharmonisan yang jarang ditemui pada keluarga sekaya dan seterkenal mereka.
Dr. Adrian tetap menjadi ayah yang disegani. Meski dikenal tegas, ia sebenarnya memiliki hati yang hangat. Namun ada satu hal yang ia pegang teguh anak laki-laki harus kuat, tidak boleh manja, apalagi bergantung pada kasih sayang berlebihan.
Baginya, kelembutan hanya diberikan secukupnya. Sisanya, dunia akan mengajarkan anak-anaknya untuk berdiri tegak.
Helena, sebaliknya, selalu berusaha menutupi kekakuan itu dengan perhatian. Ia masih sering menghubungi Arvan yang berada di Eropa, menanyakan kabarnya, makanannya, dan apakah ia cukup tidur.
Namun belakangan, panggilan itu semakin jarang terjawab. Arvan terlalu sibuk dengan jadwal kuliah, tugas, dan aktivitas barunya di sana. Setiap kali berhasil tersambung, suaranya terdengar terburu-buru, meski ia selalu berusaha menyisipkan kalimat hangat,
“Aku baik-baik saja, Bu. Jangan khawatir.”
Helena akan menutup telepon dengan senyum lega, meski ada sedikit rasa kehilangan.
Arka, yang masih tinggal di rumah, tetap menjadi kebanggaan. Nilai-nilainya selalu sempurna, bahkan beberapa kali ia mendapat nilai seratus penuh yang membuat dosen-dosennya kagum.
Tidak ada yang lebih membanggakan bagi Helena dan Adrian selain mendengar nama putra sulung mereka disebut di aula kampus dengan tepuk tangan riuh.
Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang perlahan berubah.
Arka sering terlihat lelah, wajahnya pucat, matanya sedikit sayu. Kadang-kadang lengannya tertutup perban tipis, atau ada goresan merah di jari-jarinya. Saat ditanya, ia selalu menjawab ringan.
“Hanya jatuh waktu mengemas kelas, Bu.”
“Tersandung meja, Yah. Tidak parah kok.”
Jawaban-jawaban sederhana itu, ditambah dengan ekspresi tenangnya, cukup untuk meyakinkan orang tuanya. Lagipula, Arka bukan tipe anak yang suka mengeluh. Ia terbiasa menahan sendiri rasa sakitnya.
Adrian, dengan keyakinan bahwa anak laki-laki harus tangguh, memilih percaya begitu saja.
Helena, meski sesekali merasa ragu, akhirnya ikut terbuai. Selama Arka masih bisa tersenyum, ia menenangkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja.
Tapi di balik senyum itu, ada sesuatu yang perlahan padam.
Arka, yang biasanya hangat dan penuh semangat, mulai jarang berbicara. Ia lebih sering mengurung diri di kamar, hanya keluar untuk makan malam atau ketika diminta ayahnya.
Bahkan saat makan bersama, ia lebih banyak diam, hanya mendengarkan percakapan orang tuanya tanpa menambahkan komentar.
“Arka, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Helena suatu malam, saat melihat putranya hanya memainkan sendok tanpa benar-benar makan.
Arka tersenyum tipis, meski senyum itu tidak sampai ke matanya.
“Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit lelah.”
Jawaban itu membuat Helena ingin bertanya lebih jauh, tapi tatapan Adrian yang seolah berkata 'jangan terlalu dimanjakan” membuatnya menahan diri. Ia hanya bisa mengusap kepala anaknya sebentar sebelum kembali melanjutkan makan.
Dan malam itu, ketika semua orang sudah terlelap, Arka duduk sendirian di meja belajarnya. Boneka kecil bertuliskan nama Arka & Arvan tergeletak di sisi ranjang, hadiah yang sama persis seperti dulu ia berikan untuk adiknya kini terasa seperti pengingat akan ruang kosong di rumah ini.
Ia menatapnya lama, lalu menghela napas panjang. Entah sejak kapan, tetapi senyumnya kini lebih sering palsu daripada tulus.
Share this novel