Arka duduk di kursi belakang taksi dengan wajah pucat pasi, keringat dingin membasahi dahinya meski pendingin udara menyala. Matanya kosong menatap keluar jendela, kota sudah sepi, hanya ada cahaya lampu jalan yang samar-samar menyorot.
Setiap kali taksi berguncang melewati jalanan berlubang, perutnya terasa ditusuk, membuatnya meringis pelan. Dia menggenggam jaketnya erat, seakan kain tipis itu bisa melindunginya dari rasa takut yang semakin menggila.
Setibanya di dekat kampus, Arka meminta turun. Dia berjalan pelan ke arah tembok belakang kampus, berusaha tidak menimbulkan suara.
Nafasnya berat, lututnya lemah, namun rasa takut membuatnya terus melangkah. Jemarinya menggenggam kasar tembok dingin itu, berusaha mencari pijakan. Tubuhnya gemetar hebat, tapi dia memaksa.
“Satu kali lagi… ayo, Arka…” bisiknya pada diri sendiri dengan suara hampir tak terdengar.
Dengan tenaga yang hampir habis, dia memanjat. Tangannya licin oleh keringat, lututnya nyaris tergelincir, tapi dia tidak boleh jatuh. Jika ketahuan penjaga, habis sudah. Jantungnya berpacu kencang, seakan mahu meledak.
Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya dia berhasil melompat turun ke dalam kampus, jatuh dengan lutut terbentur lantai keras. Rasa nyeri menjalar, membuatnya mendesis.
Namun dia buru-buru bangun, menepuk-nepuk celananya, lalu melangkah cepat, mencuri masuk ke dalam bangunan.
Koridor kampus gelap dan lengang. Hanya cahaya bulan dari jendela yang menjadi saksi. Setiap bunyi langkahnya terasa menggaung, membuat bulu kuduknya berdiri.
Jantungnya tidak berhenti berdetak keras, seolah seluruh kampus bisa mendengarnya. Dia menelan ludah, tangannya dingin saat membuka pintu kelas.
Klik.
Suara kecil itu terasa begitu keras di telinganya. Arka menahan nafas, membuka pintu perlahan agar engselnya tidak berdecit. Begitu masuk, aroma debu dan kertas tua langsung menyergap.
Cahaya bulan masuk dari jendela, menorehkan bayangan panjang di lantai. Kelas itu tampak asing, menyeramkan saat malam.
Dengan cepat, dia berjalan ke meja Dimas. Matanya menyapu setiap permukaan, jemarinya menyelak kertas-kertas yang berserakan. Namun yang diminta Dimas tidak ditemukan.
Nafasnya semakin berat. Dengan tangan gemetar, Arka mengeluarkan ponselnya, menekan nomor Dimas.
Nada sambung berdering. Sekali. Dua kali. Lalu suara mekanis muncul.
“The number you dialed could not be reached.”
Arka menegang. Seakan bumi runtuh menimpa bahunya. Dia melihat jam di layar ponsel. Pukul 03.00 pagi. Nafasnya tercekat.
“Tiga pagi..?!” gumamnya. Panik mulai melingkupi dada. Dia harus segera pulang sebelum orang tuanya sadar.
Dia berbalik, namun langkahnya goyah. Dalam gelap, kakinya tersandung meja.
Brak!
Suara kayu berderak keras. Dari dalam meja, sebuah kertas jatuh terhempas. Arka buru-buru menunduk, mengambilnya dengan tangan gemetar. Saat matanya menangkap isi tulisan di kertas itu, tubuhnya langsung kaku.
Kertas itu berisi tuduhan, kalimat-kalimat yang bisa menghancurkan nama baiknya. Fitnah yang begitu kejam, begitu kotor.
Nafasnya terengah.....
“Apa-apaan ini…” suaranya parau.
Tangannya menggigil, kertas itu hampir terlepas dari genggamannya. Arka segera memeriksa meja lain. Jemarinya merobek, membuka, mencari. Semakin banyak kertas yang ditemukan, semakin nyeri dadanya terasa.
Hampir setiap meja memiliki lembaran yang sama. Bahkan meja dosen pun berisi kertas serupa.
Dunia seperti runtuh di depan matanya. Pandangan berputar. Keringat dingin semakin deras.
“Ini… ini semua ulah siapa...?” bisik Arka, suaranya pecah di udara.
Dia mulai mengumpulkan kertas itu dengan tergesa-gesa, napasnya memburu, tubuhnya bergetar hebat. Tangan gemetar, air matanya akhirnya jatuh, jatuh tanpa bisa dia tahan lagi. Ketakutan itu menelannya bulat-bulat.
Apa yang akan terjadi besok jika semua orang membaca ini? Nama baiknya, hidupnya, keluarganya—semua akan hancur.
Ponselnya diambil dengan tangan gemetar. Dengan napas terbata, dia mendail nomor Dimas. Sekali lagi.
“Angkat, sialan!! Ayuk… angkat la!!” teriaknya lirih penuh putus asa.
Tidak ada jawaban. Dadanya makin sesak. Perutnya kembali perih, rasa sakit yang menusuk, membuatnya terhuyung. Dia menekan perutnya, tubuhnya hampir jatuh menubruk meja.
Ting!
Suara notifikasi masuk. Arka terhenti. Napasnya tercekat. Jemarinya gemetar saat membuka layar.
Sebuah pesan misteri muncul.
Membuat darahnya berdesir, jantungnya berhenti sepersekian detik.
Share this novel