Ep 7 Aku yang terkurung

Drama Series 62

Anak-anak lain yang kebetulan berada di toilet kampus buru-buru keluar setelah mendengar suara Arka yang sedang muntah. Suara itu menggema, bercampur dengan bau asam yang menusuk hidung.

Mereka saling berpandangan, wajah-wajah mereka menyiratkan kegelisahan namun tak satu pun berani mendekat. Semua orang tahu, kalau Arka sampai muntah begini, pasti itu ulah Dimas lagi. Tapi mereka memilih berdiam diri.

“Sudahlah… jangan ikut campur,” bisik salah satu mahasiswa sambil menarik lengan temannya.

“Kalau kita sok nolong, nanti giliran kita yang kena.”

Yang lain hanya mengangguk cepat, menundukkan kepala. Mereka tahu Dimas dan anak-anak buahnya kejam, dan tak ada yang mau menjadi korban berikutnya.

Di sudut toilet itu, Arka terduduk lesu. Kedua tangannya yang gemetar memegangi perutnya. Tubuhnya sudah terlalu lemah. Wajahnya pucat, matanya sayu, napasnya pendek-pendek.

Dia berusaha menenangkan dirinya, tapi rasa sakit dari perutnya tak juga hilang. Sejak kemarin, perutnya terus saja melilit, mungkin kerana makanan kotor itu. Tapi Arka menggigit bibirnya sendiri, menahan semua keluhan.

“Aku harus kuat… aku harus,” gumamnya lirih. Dia tahu, jika sampai orang tuanya tahu, apalagi ayahnya, semuanya akan kacau.

Ayahnya pasti marah besar, dan itu akan menyusahkan mereka semua. Dia tak ingin keluarganya terbebani kerana dirinya.

Arka menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dalam kesunyian yang hanya diisi isakannya, tiba-tiba hatinya menjerit rindu. Rindu pada satu-satunya orang yang selalu menguatkannya tanpa syarat.

Arvan.

Tangannya bergetar saat meraih ponselnya. Dengan sisa tenaga, dia membuka daftar kontak dan menekan nomor kembarannya. Sambil menunggu nada sambung, Arka mengusap wajahnya, berusaha memperbaiki nada suaranya agar terdengar biasa.

Panggilan tersambung. Suara ceria yang begitu familiar langsung terdengar dari ujung sana.

“Arka!”

Suara itu. Hangat. Riang. Membuat dadanya semakin sesak.

“Yaa… Van. Bagaimana khabarmu?” tanya Arka, suaranya bergetar tapi berusaha terdengar tenang.

Arvan tertawa kecil di seberang sana.

“Aku? Aku tentu saja baik-baik saja! Hei, kau tahu nggak… aku hampir mati kedinginan di sini, hahaha! Astaga, saljunya keterlaluan. Aku bahkan sampai tidur pakai tiga lapis jaket. Kau pasti ngakak kalau lihat aku sekarang.”

Arka tersenyum kecil, tapi senyum itu tenggelam bersama air mata yang mulai jatuh tanpa bisa ia tahan.

“Kau sedang apa? Bagaimana denganmu di sana?” suara Arvan terdengar tulus, penuh semangat.

Arka membuka mulutnya, ingin menjawab, namun kata-kata itu tersangkut di kerongkongan. Suaranya tertahan, hanya air mata yang jatuh makin deras.

“Aku…” suaranya patah, lalu terhenti.

Di ujung sana, Arvan tiba-tiba terdiam. Telinganya peka, dia mendengar isak pelan.

"Huukk, hiks"

“Hei… Arka? Kau menangis?!” nada suara Arvan berubah, khawatir bercampur panik.

Arka buru-buru mengusap wajahnya dengan punggung tangan.

“Ti-tidak. Aku baik-baik saja. Hanya… hanya aku merindukanmu.”

Suara Arvan meninggi, ketakutan jelas dalam nada bicaranya.

"Huuuukk,! hiks"

“Ka?! Kenapa denganmu? Apa ada yang salah di sana? Hei… KENAPA KAU NANGIS SEKERAS ITU?! Jangan bikin aku takut!”

Isakan Arka pecah makin kuat. Dia menutup mulutnya, menahan suara tangis agar tidak terlalu terdengar, tapi sia-sia. Di seberang, Arvan bisa mendengar segalanya.

“Aku baik-baik saja, Van… sungguh. Sudah kubilang, aku hanya merindukanmu.”

“Benarkah?” suara Arvan kali ini lebih pelan, tapi penuh keraguan. Dia tidak percaya begitu saja.

Arka menggenggam ponselnya erat, seakan jika ia melepaskan, ia akan kehilangan satu-satunya pegangan yang tersisa. Air matanya jatuh tanpa henti. Tidak lama setelah mereka berbicara,

"Aku harus pergi sekarang, Menelefonmu aku jadi sedikit lega,

“Van… jaga dirimu baik-baik, ya.”

Tanpa memberi kesempatan Arvan bertanya lebih jauh, Arka segera menekan tombol untuk menamatkan panggilan. Layar ponselnya kembali gelap, meninggalkan keheningan yang menyesakkan dada.

Arka terduduk diam, hanya suara tangis yang masih pecah dari bibirnya. Tubuhnya bergetar hebat, namun dia memeluk ponsel itu erat-erat, seolah berharap suara Arvan tadi masih bisa menghangatkan hatinya yang dingin.

Di sisi lain, jauh di negeri orang, Arvan terdiam menatap ponselnya yang baru saja terputus. Hatinya diliputi kegelisahan. Senyumnya hilang, berganti dengan rasa takut yang tak bisa ia mengerti.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience