Suara jahatnya disambut tawa pecah teman-temannya.
"HAHA! Gila gak sih? Dimas nyuruh dia makan makanan yang sudah diinjak!"
teriak Geo sambil menepuk bahu Bayu. Bayu ikut terkekeh, menutup mulutnya dengan tangan seolah menahan tawa tapi jelas menikmati penderitaan Arka.
"Kesian banget anak itu... hahah. Kalau aku jadi Arka sih, mending nurut aja. Daripada dipukul lagi, kan?"
Fadli, yang dari tadi sibuk dengan telefon bimbitnya, mengangkat kamera dan mula menggunakannya.
"Woi, liat nih, gue rekam biar jadi kenangan! Nanti boleh kita tonton bareng, ngakak sangat pasti!"
sambil katanya fokus merekam wajah Arka yang penuh ketakutan. Arka menunduk. Pandangannya tertuju pada roti yang kini sudah tidak lebih daripada gumpalan kotoran.
Air matanya mula menggenang, jatuh menitis satu per satu di pipinya yang sudah kotor oleh debu dan darah tipis. Suasana makin panas ketika Dimas mengangkat suaranya lagi.
“Arka… apa kau tidak dengar aku?” katanya sambil menendang roti yang sudah remuk itu lebih dekat ke tubuh Arka.
"Ayo dimakan. Ini sangat lezat dan bergizi, hahahaha!" Tawa Dimas pecah,
Diikuti oleh tawa puas teman-temannya. Mereka seperti kumpulan binatang liar yang sedang menyaksikan mangsa direndahkan tanpa ampun. Arka terdiam. Tangannya gemetar, tubuhnya menggigil hebat.
Dia tahu kalau melawan, hukumannya akan jauh lebih kejam. Dimas bukan hanya ketua kelas, dia juga anak yang selalu dikagumi Guru-guru kerana pencitraannya yang baik pandai menolong, pintar, ramah di depan umum.
Tak ada yang tahu, di balik wajah manis itu, dia adalah binatang bertopeng manusia. Suara tawa makin menggema, menusuk telinga. Arka perlahan-lahan meraih roti kotor itu dengan tangan gemetarnya.
Dia menutup matanya rapat-rapat, air matanya jatuh semakin deras. Dengan terpaksa, dia membuka mulutnya, masukkan serpihan roti yang sudah bercampur tanah, debu, dan bekas tapak kasut Dimas.
“I-ini… maafkan aku…” suaranya parau, penuh tangis. Rian dan Bayu semakin keras ketawanya.
"HAHAHA! Astaga, dia benaran di makan! Gila, kasihan banget! Liat mukanya, anjir!"
Fadli merekam lebih dekat, memastikan ekspresi tangisan Arka terekam jelas.
“Mantap! Ini bisa jadi bahan ketawa kita setahun, bro!”
Dimas berdiri tegak, menyilangkan tangan di dadanya. Matanya penuh kepuasan melihat Arka menelan setiap gigitan. Dia tak peduli betapa jijik atau sakitnya perasaan orang lain.
Setelah puas, Dimas menunduk sekali lagi, suaranya berubah menjadi ancaman dingin.
"Ingat, Arka. Pastikan tidak ada tomat setelah ini. Kalau sampai ada lagi... aku janji kau akan menyesal. mengerti?"
Arka hanya mampu menjawab cepat dengan mata yang basah, mulutnya masih terasa pahit bercampur debu. Dimas lalu berbalik. Dengan langkah sombong, dia berjalan keluar gudang sambil tertawa puas,
Diikuti Rian, Bayu, dan Fadli yang masih sibuk bercakap tentang betapa lucunya kejadian itu. Suara tawa mereka memudar seiring langkah menjauh, meninggalkan Arka sendirian di ruangan yang menghangat dan dingin itu. Arka terduduk kaku.
Tubuhnya bergetar, air matanya terus mengalir. Hatinya sakit, bukan hanya kerana dipaksa makan roti kotor itu, tapi kerana rasa hina dan tak berdaya yang menusuk sampai ke dalam jiwanya.
Di ruang itu, Arka hanya boleh memeluk lututnya sendiri, berharap tidak ada seorang pun yang tahu kerana kalau ada, siapa pun tak akan percaya.
Share this novel