Ep 1 Kehangatan yang teratur,

Drama Series 62

Pagi itu rumah besar bergaya klasik di sudut kota elit itu kembali dipenuhi cahaya mentari yang masuk melalui jendela-jendela kaca besar.

Aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti bakar memenuhi ruang makan. Semua terasa begitu rapi, seakan waktu sendiri tunduk pada keteraturan keluarga ini.

Dr. Adrian Mahendra, sang kepala keluarga, duduk dengan tenang sambil membuka lembaran surat kabar pagi. Wajahnya teduh, namun tegas. Nama Adrian Mahendra sudah lama menjadi legenda di dunia kedokteran.

Dialah dokter bedah yang pertama kali berhasil melakukan pemindahan otak—sebuah pencapaian yang membuat namanya diukir di buku sejarah kedokteran dunia.

Selain jabatan sebagai direktur rumah sakit swasta terbesar di negeri itu, dia juga dikenal dengan karismanya yang membuat orang segan sekaligus kagum.

Di sampingnya, Helena, sang istri, terlihat anggun meski hanya mengenakan gaun rumah sederhana berwarna pastel. Wajahnya masih menyimpan pesona seorang ratu kecantikan yang pernah menaklukkan panggung nasional bertahun-tahun lalu. Ia duduk dengan tegap,

Sesekali tersenyum hangat sambil menuangkan susu ke gelas kaca untuk anak-anaknya. Kerapihan dan ketelitian seakan menjadi darah daging baginya bahkan potongan buah di meja pun tertata simetris, seperti seni.

Dan di seberang meja, duduklah sepasang kembar yang menjadi kebanggaan keluarga itu Arka Alindra dan Arvan Aditya. Meski kembar identik, ada sesuatu yang membuat mereka berbeda di mata siapa pun yang mengenalnya.

Arka, si sulung, memiliki sorot mata tajam namun penuh kelembutan. Ia kuliah di universitas elite, tempat hanya anak-anak dari keluarga terpandang atau mereka yang luar biasa cerdas dapat diterima. Sementara itu, Arvan, adiknya, memiliki Mata yang lembut namun tajam, dan sikap yang lebih ceria.

Beberapa bulan terakhir ia menyiapkan keberangkatan ke luar negara untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas paling bergengsi di Eropa.

“Ayah ibu, aku sudah siapkan semua berkas untuk keberangkatan minggu depan,” kata Arvan sambil menahan rasa haru.

“Tapi… tetap saja rasanya berat meninggalkan rumah.”

Helena menatapnya dengan senyum penuh kasih, lalu mengusap lembut punggung tangan putranya.

“Sayang, bukan berarti kamu pergi meninggalkan kami. Kamu hanya terbang lebih jauh untuk mengejar mimpimu. Rumah ini akan selalu menunggumu pulang.”

Arka menepuk bahu kembarannya, tersenyum penuh arti.

“Kau tahu, Van, meski jauh, kita tetap akan selalu merasa dekat. Aku di sini, kau di sana, tapi tujuan kita sama membanggakan Ayah dan Ibu.”

Dr. Adrian yang sejak tadi hanya mendengar akhirnya menutup surat kabarnya, menatap kedua putranya dengan mata teduh.

“Kalian berdua adalah bukti kerja keras dan doa. Apa pun pilihan kalian nanti, Ayah percaya kalian akan tetap menjaga nama baik keluarga kita dengan prestasi.”

Keheningan sesaat menyelimuti meja makan itu. Tapi bukan keheningan dingin melainkan hening yang penuh dengan rasa syukur dan cinta.

Tawa kecil kemudian pecah ketika Helena memotong buah stroberi dan menyuapkannya kepada Arka, lalu sengaja pura-pura salah menyuapkannya ke mulut Arvan.

“Kembar ini, bahkan sampai Ibu pun sering salah,” ujarnya sambil tertawa.

Arvan menggoda,

“Mungkin karena Arka terlalu mirip sama aku, ya, Bu?”

“Bukan,” balas Helena sambil mengerling manja ke arah anak sulungnya.

“Karena kamu yang terlalu suka meniru kakakmu.”

Arka hanya menggeleng kecil sambil tertawa, sementara Dr. Adrian terkekeh pelan, merasakan kebahagiaan yang sederhana namun sempurna.

Bagi dunia luar, keluarga Mahendra adalah lambang kemewahan, keteraturan, dan prestasi yang tiada tanding. Namun bagi mereka sendiri, yang paling berharga bukanlah harta atau gelar, melainkan kehangatan yang terus mengikat mereka sebagai satu.

Pagi itu mungkin tampak biasa. Sarapan bersama, percakapan hangat, canda ringan. Tapi bagi siapa pun yang melihat, itulah potret keluarga idaman tempat cinta, tawa, dan doa berpadu menjadi satu.

Dan tanpa mereka sadari, kehangatan itu adalah fondasi yang akan diuji oleh waktu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience