Ep 3 Perpisahan dibalik senyum

Drama Series 62

Hari yang ditunggu pun tiba. Bandara internasional pagi itu dipenuhi hiruk pikuk orang-orang dengan koper besar, suara pengumuman dari pengeras suara,

Dan langkah-langkah tergesa yang berlomba dengan waktu. Namun di sudut ruang tunggu, keluarga Mahendra berdiri bersama.

Arvan, dengan kemeja putih sederhana dan jaket hitam di tangannya, tampak lebih dewasa dari biasanya. Senyum di bibirnya berusaha menutupi kegugupan sekaligus kesedihan yang perlahan menyelinap. Ayahnya, Dr. Adrian, menepuk bahu putra bungsunya itu dengan lembut.

“Arvan, jangan lupa… bukan hanya ilmu yang penting, tapi juga sikap. Jaga dirimu, jangan tinggalkan apa yang telah kamu pelajari, jangan lupakan siapa dirimu. Kamu bawa nama keluarga ini, tapi lebih dari itu, kamu bawa namamu sendiri,”

Ucap sang ayah, suaranya tenang tapi penuh makna.

“Iya, Ayah…” balas Arvan, menunduk hormat. Ia merasakan genggaman tangan ayahnya begitu hangat, seperti selalu ada kekuatan yang mengalir setiap kali ayahnya berbicara.

Helena, sang ibu, memeluk Arvan erat-erat. Wangi parfum lembutnya mengingatkan Arvan pada setiap pagi yang penuh ketertiban di rumah.

“Nak… kamu bisa sejauh mana pun pergi, tapi hati Ibu selalu ikut bersamamu. Jangan pernah merasa sendiri, Jaga dirimu baik-baik ”

Arvan mengangguk, matanya sudah terasa panas. Namun di sela-sela itu, ia terus mencari sosok yang paling ia tunggu. Matanya menoleh ke sekeliling, mencari dengan cemas.

“Bu… ke mana Arka? Kok dia belum juga datang?” tanyanya dengan suara hampir putus asa.

Helena tersenyum menenangkan, meski matanya sedikit gugup.

“Sebentar lagi dia datang, sayang. Katanya ada urusan sebentar.”

Arvan mencoba menahan diri, tapi semakin dekat waktu keberangkatan diumumkan, semakin gelisah hatinya. Ia memeluk ayahnya lagi, memeluk ibunya sekali lagi, tapi tetap saja ada ruang kosong dalam dadanya. Apa kakaknya benar-benar tidak akan datang mengantarnya?

Namun tiba-tiba, suara yang sangat ia kenali menggema dari kejauhan.

“Van!! ARVAN!!!”

Arvan segera menoleh. Dan di antara kerumunan, Arka muncul sambil berlari kecil, wajahnya penuh senyum, keringat menetes di pelipis. Di tangannya ada sebuah tas berwarna cokelat.

“Ke mana saja kau! Aku kira kau nggak akan datang!” seru Arvan, setengah marah, setengah lega.

“Hehe… maaf, jalanan macet,” jawab Arka dengan tawa canggung. Ia lalu mengangkat tas itu.

“Ini untukmu.”

Arvan mendengus, menerima tas itu dengan ekspresi penasaran. Ia membuka dan menemukan boneka beruang kecil yang menggemaskan dengan bordiran nama Arka & Arvan di dada boneka itu. Di dalamnya juga ada sebuah not berkulit hitam elegan.

“Apa-apaan ini?” tanyanya sambil mengangkat boneka itu, wajahnya setengah tak percaya.

“Hadiah perpisahan dariku,” jawab Arka lembut.

Arvan tertawa kesal.

“Hanya karena hadiah ini, kau sampai terlambat datang?! Boneka begini… serius, Ka?” godanya sambil terkekeh.

Arka tersenyum, kali ini lebih lembut dari biasanya.

“Hei… aku membuatnya sampai larut malam, khusus untukmu. Kau pasti akan merindukanku nanti, dan saat itu boneka ini akan mengingatkanmu bahwa kita selalu bersama, meski jarak memisahkan.”

Arvan terdiam sejenak. Senyum nakalnya masih ada, tapi matanya mulai berkaca.

“Kau benar-benar gila, Ka…” katanya lirih, suaranya hampir pecah.

Helena hanya menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis haru. Sementara Dr. Adrian mengangguk perlahan, bangga sekaligus tersentuh melihat kedekatan dua anak laki-lakinya.

Ketika panggilan keberangkatan akhirnya terdengar, suasana menjadi semakin berat. Arvan menoleh ke arah ayah dan ibunya, memeluk mereka erat untuk terakhir kalinya. Helena tak bisa lagi menahan air mata. Dr. Adrian, meski berusaha tegar, matanya jelas berkilat basah.

Dan akhirnya, Arvan beralih ke kakaknya. Ia mendekat dan memeluk Arka dengan erat sekali, seakan enggan melepaskan.

“Jaga diri baik-baik, Van,” bisik Arka.

“Kau juga… jangan terlalu sibuk sampai lupa aku,” balas Arvan dengan suara bergetar.

Pelukan itu lama, begitu lama sampai keduanya hampir tak sanggup melepaskan.

Arka hanya berdiri terpaku setelahnya, memandang punggung adiknya yang perlahan menghilang bersama arus penumpang lain.

Ada ribuan rasa bercampur aduk di dadanya bangga, rindu yang sudah mulai terasa, sekaligus ketakutan samar akan hari-hari tanpa kebersamaan mereka.

Dan di sana, di tengah keramaian bandara, keluarga Mahendra belajar bahwa cinta paling tulus kadang hadir dalam bentuk sederhana air mata, pelukan, dan sebuah boneka kecil dengan nama yang sama.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience