Meski di luar tidak hujan, angin malam berhembus tajam menusuk kulit. Udara dingin itu seakan menambah beban di tubuh Arka yang sudah sedia lemah.
Wajahnya pucat pasi, keringat dingin bercucuran di pelipis meski udara sejuk menusuk. Napasnya pendek-pendek, dada terasa sempit. Setiap langkah kecil yang dia ambil bagai membawa ratusan kilogram beban.
Tubuhnya penuh lebam pukulan, tendangan, semuanya meninggalkan jejak. Dia terbiasa menahan sakit, terbiasa pura-pura kuat. Tapi kali ini, sakit itu seolah merayap lebih dalam. Arka menekan perutnya dengan tangan gemetar, rasa nyeri menjalar seperti pisau yang menusuk perlahan.
Air mata nyaris jatuh, tapi dia menahan dia selalu menahan, kerana kalau menangis bukankah itu tanda lemah?
Dengan sisa tenaga, Arka membuka laci meja. Jemarinya gemetar saat meraih botol obat. Tanpa fikir panjang, dia menuang banyak pil ke telapak tangan. Lebih banyak dari biasanya. Lidahnya pahit,
Kerongkongannya terasa terbakar saat obat-obat itu meluncur masuk. Dia tahu ini berbahaya, tapi apa pilihan lain yang dia punya? Dia hanya ingin segera pulih. Segera berdiri. Segera bisa kembali seperti biasa, meski tubuhnya sudah menjerit minta berhenti.
Belum sempat dia duduk kembali, suara dering ponsel memecah kesunyian. Arka tersentak, tubuhnya bergetar. Suara itu saja sudah cukup membuat dadanya mencengkam.
Dia berjalan dengan langkah gontai menuju meja kecil tempat ponselnya bergetar. Jemarinya ragu saat menyentuh layar. Nama itu muncul, nama yang paling tidak ingin dia lihat.
Dimas.
Arka menggigit bibirnya, berusaha keras menahan ketakutan. Tapi rasa takut itu terlalu nyata. Terlalu dalam.
Dengan nafas berat, dia membuka pesan itu.
> “Hei… apa kau sudah tidur..?”
> “Ka.. aku terlupa mengambil kertas ulangan di ruang kelas. Bisakah kau mengambilnya?”
Arka menelan ludah. Dadanya berdegup kencang. Pesan itu terlihat sederhana, seolah tidak ada apa-apa. Tapi Arka tahu. Dia tahu benar apa yang tersirat di balik kata-kata itu.
Tangannya bergetar saat membalas.
> “Maaf, Dimas.. aku sedang tidak enak badan.. bisakah aku besok pagi sekali mengambilnya?”
Pesan terkirim.
Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali bergetar. Emoji marah. Lalu pesan singkat menyusul.
> “Bisa.. silakan. Jika besok kau tidak mau melihat orang tuamu.”
Arka terbelalak. Pesan itu menusuk jauh ke dalam dadanya. Ancaman. Tegas. Tidak ada ruang untuk menolak. Bayangan wajah ayah dan ibunya melintas dalam fikirannya.
Mereka sedang duduk tenang di kamar bawah, mungkin bercakap ringan, tidak tahu apa-apa tentang ancaman yang kini menggantung di leher anak mereka.
“Tidak…” bisik Arka, suaranya pecah. Nafasnya makin sesak. Dia tidak boleh membiarkan orang tuanya terluka. Tidak boleh.
Tanpa membuang masa, Arka meraih jaketnya. Jantungnya berdegup keras, telapak tangannya dingin, tapi langkahnya terpaksa bergerak. Jemarinya mengetik balasan dengan cepat.
“Ya.. aku ambil sekarang.”
Pesan terkirim.
Tanpa menoleh ke arah pintu kamar orang tuanya, tanpa meninggalkan pesan apa-apa, Arka melangkah keluar. Sepatu disarungkan tergesa-gesa, pintu depan dibuka dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi.
Malam itu, hanya dingin yang menemani langkahnya. Namun dingin itu tidak ada apa-apanya dibanding rasa takut yang merobek dadanya.
Share this novel