Bagian 1: Penyelaman Kedua dan Pusaran Misterius
Pagi itu, Selat Melaka tampak tenang, meski setiap orang yang pernah menempuh perairannya tahu, ketenangan ini menipu. Matahari baru saja muncul di ufuk timur, menebar sinar emas yang memantul di permukaan laut biru kehijauan. Ombak bergerak lembut, berirama, tapi Amir dan kru tidak terlena. Mereka tahu laut bisa berubah ganas dalam sekejap, dan sejarah Flor de la Mar belum sepenuhnya terbuka.
Di dek kapal penyelam, Dr. Amir Hakim berdiri dengan tablet di tangan, menatap titik merah di peta digital yang menandai lokasi kapal Portugis legendaris itu. Jantungnya berdetak cepat. Ia mengulangi koordinat berkali-kali, memastikan kedalaman, arus, dan posisi kapal yang akan menjadi tujuan penyelaman mereka. Titik merah itu tidak sekadar angka—ia adalah janji rahasia yang telah tersembunyi berabad-abad.
Di samping Amir, Kapten Salleh berdiri tegap. Wajahnya keras, terbentuk dari pengalaman bertahun-tahun di laut lepas. Tangannya menggenggam kemudi kapal, matanya menelusuri cakrawala, dan setiap gerakan tubuhnya memperlihatkan kesiapan menghadapi bahaya.
“Kita akan menghadapi arus yang lebih rumit dibanding sebelumnya,” katanya pelan. “Pastikan semua siap. Laut di sini tidak suka diganggu.”
Amir mengangguk. Ia sadar, ini bukan sekadar ekspedisi ilmiah. Setiap langkah mereka di permukaan air adalah langkah menuju sejarah yang terlupakan, sekaligus bahaya yang bisa menelan hidup mereka semua.
---
Persiapan Penyelaman
Farah, penyelam paling berpengalaman, memeriksa regulator, pelampung, dan tabung oksigen. Haziq mengecek kamera bawah air, sementara Zaki menyesuaikan sonar dan drone bawah air yang akan mereka gunakan untuk memetakan dasar laut. Semua peralatan harus sempurna—satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal di kedalaman enam puluh meter.
Amir memeriksa ulang semua alatnya. Lampu sorot, kamera mini, dan tabung oksigen cadangan telah siap. Ia merasakan adrenalin meningkat, tapi harus tetap fokus. Peti berukir emas yang tersembunyi di Flor de la Mar menunggu mereka, dan setiap gerakan harus tepat.
“Kita akan menurunkan drone dulu,” ujar Zaki, menyalakan sonar. “Kalau ada bahaya atau arus kuat, kita bisa melihatnya sebelum menyelam.”
Drone itu menembus gelapnya laut, lampunya memotong kabut biru kehijauan. Bentuk reruntuhan kapal terlihat samar: lambung yang retak, tiang patah, meriam berkarat, dan pecahan kayu berserakan. Drone bergerak perlahan, menyorot tiap sudut kapal yang tersembunyi di dasar laut.
Amir menahan napas. Di layar drone, ia melihat bayangan yang tampak terlalu rapi untuk sekadar karang. Bentuk panjang itu menyerupai ruang utama kapal, tempat yang kemungkinan menyimpan harta dan rahasia terbesar Flor de la Mar.
“Ini dia,” bisik Amir pada dirinya sendiri. “Petinya harus di sini.”
Farah menatap layar sonar dengan mata terbelalak. “Dok… itu… apakah itu nyata? Bentuk itu… terlalu sempurna untuk karang.”
Amir menelan ludah. Ia tidak mau percaya pada perasaan, tapi nalurinya mengatakan, legenda Flor de la Mar benar-benar hidup di depan mata mereka.
---
Menyelam ke Kedalaman
Mereka mengenakan pakaian selam lengkap. Farah memimpin, diikuti Amir, Haziq, dan Zaki. Tubuh mereka tenggelam ke dalam biru kehijauan, cahaya matahari menembus permukaan dan menari di antara gelembung udara yang mengalir bersama mereka. Tekanan air meningkat seiring kedalaman, membuat paru-paru terasa sesak meski regulator berfungsi sempurna.
Di kedalaman lima puluh meter, reruntuhan Flor de la Mar tampak jelas. Lambung retak, meriam tua berkarat tetap menempel, dan sisa peti serta perabot kayu terurai di dasar laut. Aroma air asin dan lumpur seakan menambah aura misterius kapal itu.
Farah menunjuk ke arah peti berukir emas yang sebagian terkubur lumpur. “Itu dia,” bisiknya. “Masih utuh. Selama berabad-abad… dan kita yang menemukannya.”
Amir merasakan detak jantungnya berpacu. Ia mendekati peti itu dengan hati-hati. Tangannya menyentuh permukaan logam yang dingin dan kasar, ukiran yang rumit menampilkan simbol Portugis dan ornamen kerajaan.
Tiba-tiba, pusaran arus muncul dari arah lambung kapal yang retak. Pasir beterbangan, mengaburkan pandangan. Drone sonar berkedip, menampilkan bayangan samar di dekat peti. Sosok itu tegak, berjubah putih, menatap mereka dengan mata yang seakan menembus jiwa.
Farah menelan ludah. “Amir… itu… bukan manusia…”
Amir menggenggam tangan Farah. “Tenang. Kita harus fokus.”
Arus semakin kuat, menarik mereka ke samping. Farah melawan, Amir membantu, keduanya berusaha mencapai peti. Mereka merasakan kehadiran sosok itu semakin dekat, meski tidak ada suara, hanya tatapan yang menembus kesunyian laut.
Drone bergerak liar, sinyal sonar memantul dari bayangan itu, menciptakan gambaran samar seperti kapal hitam kecil yang mengikuti mereka di dasar laut.
---
Pertarungan dengan Arus
Arus bawah laut semakin liar. Farah dan Amir hampir terseret ke pusaran kecil yang bisa menelan mereka ke dalam reruntuhan kapal. Amir meraih tangannya, menariknya sekuat tenaga. Air berputar di sekitar mereka, menciptakan kegelapan dan kabut pasir yang membatasi jarak pandang hanya beberapa meter.
Haziq dan Zaki membantu dari belakang, mencoba menstabilkan posisi drone dan memberikan sinyal. Lampu sorot menembus kegelapan, menyorot ukiran-ukiran dan peti, tapi bayangan sosok berjubah putih tetap berada di dekat mereka, tak bergerak, hanya mengawasi.
Amir sadar bahwa sosok ini mungkin adalah penjaga, legenda yang menunggu mereka untuk membuktikan keberanian atau mungkin menakut-nakuti manusia yang mencoba membuka rahasia laut.
Setelah perjuangan beberapa menit yang terasa seperti jam, mereka berhasil mencapai permukaan. Kapten Salleh menarik mereka ke dek, napas mereka tersengal, tubuh gemetar, wajah pucat.
“Ini… lebih dari sekadar laut biasa,” kata Farah, matanya menatap ombak yang tampak tenang tapi penuh bahaya.
Amir menatap peti berukir emas di dek kapal. “Kita harus membawanya ke permukaan. Rahasia Flor de la Mar tidak akan menunggu selamanya.”
---
Malam yang Mencekam
Malam itu, saat semua kru tertidur, Amir tetap duduk di dek. Angin laut membawa aroma asin dan suara ombak yang berulang, seperti mantera yang memanggil. Ia membuka catatan dan menulis setiap detail penyelaman. Drone bawah air, bayangan sosok berjubah putih, arus liar, dan pusaran yang hampir menelan mereka—semua dicatat dengan rapi.
Namun tiba-tiba, suara langkah terdengar di dek. Amir menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa. Bayangan samar melintas di sisi kapal, dan ia merasakan tatapan yang sama dari bawah laut—sosok yang telah menunggu selama berabad-abad.
Amir menulis lagi, kali ini dengan tangan gemetar, menyadari bahwa mereka bukan hanya menemukan harta, tapi sebuah misteri yang mengikat masa lalu dan masa kini. Sosok itu, peti berukir emas, dan reruntuhan kapal Portugis adalah teka-teki yang menuntut keberanian, kecerdikan, dan ketahanan mereka.
“Ini baru permulaan,” bisiknya pada diri sendiri. “Flor de la Mar… kita baru saja memulai petualanganmu.”
---
Share this novel