Bab 2 - Jejak Di Dasar Laut

Action Series 33

Jejak di Dasar Laut

Langit pagi di Melaka berwarna pucat, diselimuti awan tipis yang tampak seperti kain sutra terbentang di cakrawala. Udara masih lembap sisa hujan semalam, membuat bau garam laut bercampur aroma tanah basah dan kayu tua dari bangunan-bangunan bersejarah di sepanjang Sungai Melaka.

Di dermaga kecil yang jarang dikunjungi turis, sebuah kapal penyelam berukuran sedang bersandar tenang. Cat putihnya mulai pudar, menampakkan karat di beberapa bagian, namun peralatan di atas dek terlihat canggih—sonar, kamera bawah air, dan lengan mekanik untuk pengambilan sampel.

Dr. Amir berdiri di ujung dermaga, memeriksa peta digital di tablet yang ia bawa. Rambutnya yang berantakan tertiup angin laut. Ia mengenakan jaket lapangan warna khaki, celana kargo, dan sepatu boots yang sudah berdebu. Matanya menyipit menatap layar, di mana titik merah dari peta kuno yang ia pelajari semalam kini diproyeksikan ke peta satelit modern.

“Kalau benar perkiraan saya…” gumamnya lirih. “Titik ini berada sekitar tiga puluh mil laut dari pantai Melaka, di dasar perairan yang jarang diselami. Lokasi yang sempurna untuk menyembunyikan kapal sebesar Flor de la Mar selama berabad-abad.”

Suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Seorang pria berperawakan tegap, kulit legam terbakar matahari, dan wajah penuh garis usia menghampiri. Ia mengenakan topi nelayan lusuh dan membawa tas jinjing berisi peralatan selam.

“Doktor Amir?” sapanya dengan suara berat. “Nama saya Kapten Salleh. Anda yang menghubungi saya semalam tentang penyelaman khusus itu, kan?”

Amir mengangguk dan menjabat tangan pria itu. Genggamannya kuat, penuh pengalaman hidup di laut. “Terima kasih sudah mau membantu, Kapten. Saya butuh orang berpengalaman untuk menjelajah lokasi ini. Laut di sekitar situ terkenal ganas.”

Kapten Salleh tersenyum samar, memperlihatkan gigi putih kontras dengan kulitnya yang legam. “Ganas itu biasa, Doktor. Tapi laut di sana… ada cerita-cerita lama. Nelayan bilang ada arus pusaran aneh, dan kadang terdengar suara gong dari dasar laut.” Ia terkekeh pelan, tapi matanya serius. “Saya tak pernah percaya hantu, tapi laut kadang punya cara sendiri untuk mengingatkan kita siapa yang berkuasa.”

Ucapan itu membuat Amir terdiam sejenak. Sejak kecil ia terbiasa mendengar legenda-legenda laut dari ayahnya, seorang penyelam tradisional Bugis. Namun kali ini, cerita itu terasa terlalu dekat dengan misteri yang ia kejar.

“Semua legenda ada dasarnya, Kapten,” ujar Amir akhirnya. “Saya ingin tahu apa yang disembunyikan laut itu.”

---

Perjalanan ke Tengah Laut

Beberapa jam kemudian, kapal penyelam yang mereka naiki bergerak perlahan meninggalkan dermaga. Mesin diesel bergemuruh, memecah kesunyian pagi. Matahari mulai tinggi, memantulkan cahaya ke permukaan laut yang berkilauan seperti kaca pecah. Di kejauhan, garis pantai Melaka memudar, digantikan pemandangan laut biru tak berujung.

Selain Kapten Salleh, ada tiga orang awak kapal: Zaki, teknisi sonar yang pendiam; Farah, penyelam muda berpengalaman yang pernah bekerja untuk tim arkeologi maritim di Terengganu; dan Haziq, operator kamera bawah air.

Mereka semua mengenakan pakaian selam setengah badan, siap jika dibutuhkan untuk terjun ke laut kapan saja.

Di dek kapal, Zaki sibuk memeriksa layar sonar. “Doktor,” katanya sambil menunjuk layar yang menampilkan peta kontur dasar laut. “Lokasi yang Anda tandai ini… kedalamannya sekitar enam puluh meter. Ada sesuatu yang memantulkan sinyal sonar cukup kuat. Bentuknya memanjang, sekitar lima puluh meter, dengan struktur padat di tengah.”

Amir menunduk memperhatikan layar itu. Bentuk yang terekam memang mencurigakan. Terlalu teratur untuk sekadar batu karang, terlalu besar untuk kapal nelayan yang karam.

“Itu dia,” bisik Amir dengan mata berbinar. “Mungkin itu Flor de la Mar.”

Farah yang mendengar ucapannya menoleh dengan mata terbelalak. “Kapal legenda Portugis itu? Dok, semua orang tahu itu cuma mitos! Tidak ada yang pernah menemukan bangkainya.”

Amir tersenyum tipis. “Setiap legenda berakar pada kenyataan, Farah. Kita hanya perlu cukup berani untuk menggali kebenarannya.”

---

Penyelaman Pertama

Setelah memposisikan kapal tepat di atas titik koordinat, Farah dan Amir mengenakan pakaian selam lengkap. Kapten Salleh membantu mereka memeriksa regulator oksigen dan memastikan semua peralatan terpasang sempurna. Ombak mulai sedikit bergelombang, angin membawa aroma asin yang lebih pekat.

“Doktor,” kata Kapten Salleh serius. “Kalau ada tanda-tanda arus bawah yang tak wajar, kita harus naik segera. Saya pernah kehilangan teman di perairan seperti ini.”

Amir mengangguk. “Saya mengerti, Kapten. Kita tidak akan ceroboh.”

Mereka pun terjun ke laut, tubuh tenggelam ke dalam dunia biru kehijauan yang sunyi. Cahaya matahari merembes dari permukaan, berubah menjadi kilau lembut yang menari di antara gelembung-gelembung udara. Suhu air turun drastis begitu mereka melewati kedalaman lima belas meter.

Farah bergerak gesit di depan, memimpin dengan senter bawah air. Amir mengikutinya, membawa kamera kecil untuk merekam setiap temuan. Semakin dalam mereka menyelam, semakin pekat kegelapan menyelimuti.

Pada kedalaman lima puluh meter, sesuatu mulai tampak di depan mereka. Sebuah bayangan besar membentang di dasar laut, tertutup lapisan karang dan lumpur. Bentuknya panjang dan patah di bagian tengah. Amir merasakan detak jantungnya meningkat.

Ia berenang mendekat. Dan di sanalah ia melihatnya: lambang salib Portugis yang pudar, terukir di sisi kayu yang lapuk.

“Flor de la Mar…” gumamnya, meski suaranya tertelan regulator oksigen.

Farah menyorotkan senter ke arah lambung kapal yang separuh terkubur pasir. Di sekitarnya, terlihat pecahan porselen, meriam perunggu yang separuh tertutup karang, dan peti-peti kayu yang sudah hancur dimakan waktu.

Namun ada satu hal yang membuat keduanya saling berpandangan: sebuah peti besi berukir emas, terkunci rapat, namun masih utuh meski sudah berabad-abad berada di dasar laut.

Farah mengisyaratkan agar Amir berhati-hati. Mereka berdua perlahan mendekat, mencoba membersihkan lumpur yang menempel di peti itu.

Namun tiba-tiba, arus bawah laut berubah drastis. Pasir di dasar laut beterbangan, menciptakan pusaran yang membatasi jarak pandang hanya beberapa meter.

Amir merasakan ada sesuatu bergerak di kegelapan. Sesuatu yang besar. Ia menoleh, mencoba menembus kabut pasir dengan lampu sorot.

Dan di sanalah ia melihat siluet samar sebuah kapal hitam, seperti yang digambarkan di cerita lama. Kapal itu tidak bergerak, hanya melayang di dalam air, layarnya koyak, tiang patah, namun kehadirannya membuat bulu kuduk Amir berdiri.

Dalam sekejap, pusaran arus semakin kuat. Farah menarik lengan Amir, memberi isyarat untuk naik. Mereka berenang secepat mungkin, sementara di bawah mereka, kapal misterius itu lenyap begitu saja, seperti ilusi.

---

Kejadian Aneh di Kapal

Begitu mencapai permukaan, Amir dan Farah segera ditarik ke dek oleh Haziq dan Zaki. Mereka berdua terengah-engah, wajah pucat karena adrenalin.

“Doktor! Apa yang terjadi?!” tanya Haziq cemas.

“Arus bawah tiba-tiba berubah,” jawab Farah dengan suara bergetar. “Tapi… ada yang aneh. Saya melihat kapal lain. Kapal hitam…”

Ucapan itu membuat suasana di dek hening. Kapten Salleh menatap mereka dengan mata tajam. “Kapal hitam?” tanyanya pelan. “Kalian yakin?”

Amir mengangguk pelan. “Saya melihatnya sendiri. Itu bukan kapal karam biasa. Itu… seperti bayangan kapal.”

Kapten Salleh menarik napas panjang, lalu berjalan ke arah kemudi. “Kita kembali dulu. Laut tidak suka orang asing mengusik rahasianya terlalu cepat.”

Namun Amir tak bisa berhenti memikirkan peti berukir emas yang ia lihat. Ia tahu di sanalah kunci rahasia Flor de la Mar tersimpan.

Malam itu, saat semua kru tertidur di kabin kecil masing-masing, Amir duduk sendirian di dek. Angin laut berhembus pelan, membawa aroma asin dan suara ombak yang berulang seperti mantera. Ia membuka catatan hariannya, menulis setiap detail penyelaman tadi.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Amir menoleh, namun tidak ada siapa-siapa. Kapal itu sunyi, hanya lampu navigasi yang berkelip pelan.

Ia kembali menulis. Namun kali ini, ia merasa diawasi.

Dalam pantulan kaca jendela kabin, ia melihat bayangan seseorang berdiri di ujung kapal. Sosok itu mengenakan jubah panjang, sorban putih melilit kepalanya—sosok yang sama yang pernah diceritakan dalam legenda tenggelamnya Flor de la Mar.

Ketika Amir menoleh cepat, sosok itu telah hilang.

---

Misteri yang Makin Dalam

Keesokan paginya, Amir bangun lebih awal. Kapal masih berada di tengah laut, namun suasananya berbeda. Burung-burung laut yang biasanya beterbangan tak terlihat. Permukaan air tampak terlalu tenang, seperti kaca raksasa.

“Laut sedang menahan napasnya,” ujar Kapten Salleh sambil memandang cakrawala. “Kalau kau percaya takhayul, inilah saatnya roh-roh laut berkeliaran.”

Amir hanya tersenyum tipis, meski hatinya berdebar. Ia tahu mereka sudah menemukan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar bangkai kapal. Ada rahasia yang sengaja dijaga—oleh waktu, oleh alam, atau mungkin oleh sesuatu yang lebih tua dari keduanya.

Dan ia bertekad untuk mengungkapnya, apa pun taruhannya.

---

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience